"Hanya manusia, yang menuliskan kalimat
selamatkan lingkungan, selamatkan hutan,dan menuliskannya diatas kertas yang
diproduksi dari hasil menebang kayu”, begitu kiranya kalimat bernada sindiran
yang menyatakan bagaimana paradoksnya
perbuatan dan perkataan manusia. Dan kita sering dibuat tanpa sadar
melakukannya. Melakukan paradoks besar dalam teori, nilai, pemikiran dan
tindakan keseharian kita. Sengaja atau tidak.
Keserakahan sepertinya memang watak dasar
manusia. Bahkan Allah SWT bukan sekedar menyindir, namun sudah dengan tegas
menguraikan keserakahan manusia adalah sumber petaka dibumi ini. Dalam sebuah
ayat dalam surat Ar Ruum ayat 41, Allah SWT mempertegas tentang bagaimana keserakahan
dan ulah tangan manusialah, penyebab kerusakan dibumi, baik didaratan maupun
dilautan.
Pada ayat tersebut digunakan kata al fasad yang merupakan kebalikan dari
kata al shalah yang berarti kebaikan.
Itupun berarti bahwa segala sesuatu yang tidak termasuk sebagai kebaikan adalah
bagian dari dari kategori al fasad. Banyak
para mufassir yang menafsirkan kata al
fasaddengan pelbagai sudut pandang. Al Nasafi, misalnya menafsirkan sebagai
paceklik, minimnya hujan dan hasil pertanian. Al Baghawi menafsirkan sebagai
situasi kekeringan, kekurangan hujan dan tanaman pangan. Pendapat ini
sekurangnya sama dengan yang disampaikan oleh Al Khazin dalam tafsirnya.
Sedangkan dalam mengartikan al fasad, Al Zamakhsyari dan Al Alusi
menafsirkan dengan meluasnya dampak buruk (madharat,
kegagalan nelayan dalam hasil laut). Menurut As Syaukani, penambahan alif dan
lam dalam al fasad, al bahr dan al barr dalam ayat tersebut menunjukkan lil jins. Yang mengindikasikan al fasad berarti seluruh kerusakan dalam
berbagai segi, baik kerusakan ekologi, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi,
moral dan lain sebagainya. Al barr pun
menunjukkan semua daratan, dan al bahr menunjukkan
semua lautan.
Dan pada ayat yang
sama akan kita juga akan membaca bahwa akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan
akibat keserakahan itu, akan berdampak secara luas. Walaupun dalam ayat
tersebut juga disebutkan, “hukuman”, kalaupun kita mengartikan akibat perusakan
itu demikian, itu hanya sebagian dari akibat perbuatan perusakan tersebut. Dan akibat ini memang dirancang sedemikian
rupa agar menjadi peringatan bagi seluruh manusia, agar manusia kembali pada
kebenaran dan kebaikan (al shalah).
Kebenaran dimaksud adalah bahwa kewajiban manusialah menjaga kelestarian dan
keseimbangan lingkungan hidup yang ada. Hal ini berkenaan dengan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai khalifatullah.
Selain bernada ikhbar, sebenarnya ayat ini juga mengandung
himbauan dan solusi. Selain menyatakan kabar bahwa akan banyak kerusakan yang
massif akibat perbuatan fasad yang
dilakukan oleh manusia. Ayat ini juga mengandung himbauan kepada siapa saja
yang percaya kepada firman Allah SWT, bahwa kita harus mencegah segala
perbuatan fasad, agar tidak terjadi
kerusakan yang meluas. Solusi dari ayat ini pun nyata, bahwa jikalaulah
perbuatan manusia berpotensi merusak tatanan ekosistem dunia dimana kita hidup.
Sudah seharusnyalah kita aware terhadap
lingkungan dan dunia kita ini. Namun sikap aware
tersebut, haruslah berupa tindakan nyata. Karena kerusakan yang ditimbulkan
oleh perbuatan manusia dalam ayat itu digambarkan sebagai sesuatu yang nyata,
maka perbuatan pencegahan pun haruslah perbuatan nyata.
Dalam ayat 03 surat Asy Syuura, Allah SWT
pun dengan gamblang bahwa sesungguhnya setiap bencana yang kita terima adalah
hasil ulah dari tangan-tangan kita. Tak kurang tak lebih. Kerusakan ekologis
yang diakibatkan oleh keserakahan manusia, karib kita rasakan. Banjir, longsor,
kekeringan dan sebagainya adalah masalah yang kerap ditimbulkan dari
kerusakan-kerusakan ekologis yang ditimbulkan dari keserakahan manusia.
Masalahnya menjadi lebih pelik, manakala
kaum agamawan memandang bahwa masalah lingkungan hidup bukanlah domain yang
harus digarap serius oleh agama. Sementara disisi lain, agamawan acap mengklaim
bahwa agama bersifat holistik dan komprehensif bagi kehidupan manusia, namun
disaat bersamaan agama kerap dipandang kurang peranan dan acap absen dalam
pembahasan soal lingkungan hidup. Padahal persoalan lingkungan hidup dan
ekologi, bukan hanya dekat dengan kehidupan manusia. Namun lebih dari itu,
kelestarian lingkungan adalah merupakan jaminan masa depan kehidupan manusia.
Jika agama merupakan instrumen penting
dalam penataan kehidupan moral manusia, maka kelestarian adalah jaminan
berlangsungnya peradaban manusia. Yang berarti bahwa perjuangan agama dengan
ajaran-ajaran moral yang sedemikian luhur, dalam kondisi alam yang bergolak dan chaos.
Nabi Agung Muhammad SAW, diceritakan dalam
sebuah hadits di kitab Shahih Bukhari pada kitab pertanian diriwayatkan
menganjurkan reboisasi pada tanah-tanah yang tak terpakai (ihyaul mawat). Tentu hal ini bisa dipandang dalam usaha guna, yang
artinya menganjurkan penggunaan lahan agar produktif dan mampu menjadi sumber
ekonomi. Disisi lain, juga merupakan unsur konservasi, yakni upaya pelestarian
lingkungan yang dilakukan dengan mengembalikan fungsi lahan.
Hadits tentang bagaimana kepedulian
Rasulullah SAW tentu juga harus kita pelajari mendalam. Dalam kondisi sosial
budaya yang belum stabil, dalam artian banyak bahaya yang mengancam
kelangsungan hidup. Rasulullah juga mengajarkan bagaimana menjaga kelangsungan
ekosistem, seperti larangan untuk membakar dan menebang tanaman dalam perang
dan ketika menaklukkan sebuah daerah, termasuk ketika penaklukan Mekkah.
Dalam sebuah hadist lain, yang diriwayatkan
Imam Bukhari dalam magnum opusnya
Shahih Bukhari yang diriwayatkannya dari sahabat Anas RA, dalam kitab
pertanian, Rasulullah SAW bersabda, ”Tiada seorang muslim pun yang menanam
tanaman, kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang lainnya,
melainkan tercatat untuknya sebagai shodakoh”. Ini menunjukkan bahwa dalam
beberapa hal, Islam harus memegang peranan penting dalam usaha pelestarian
limgkungan. Karena nyata dalam kedua sumber hukum Islam, Al Qur’an dan Hadits
pun menganjurkan kita untuk melestarikan lingkungan dan member kita warning atas akibat dari kerusakan
lingkungan.
Dalam sejarah manusia, keseimbangan alam sebenarnya terjadi pada masa
Paleotilikum (590.000 SM) diaman manusia sangat tergantung pada alam. Pada masa
ini, manusia menjadi pemburu, pencari ikan, mencari buah di hutan. Kehidupan
mereka digantungkan kepada alam secara total. Pada masa ini, semua cara hidup
dengan cara sewajarnya. Mereka berburu, mencari ikan dan buah, hanya sekedar
untuk mempertahankan hidup belaka.
Dua kehidupan kemudian selanjutnya, yakni pada zaman Neolitikum, ketika
manusia menyadari sepenuhnya, bahwa dirinya berbeda dengan hewan pada umumnya
dan memulai hidup menetap, maka kerusakan ekosistem dan lingkungan sudah mulai
terjadi.
Fase kehidupan manusia selanjutnya yang
paling dahsyat membawa kerusakan lingkungan adalah revolusi industri. Hubungan
yang semula harmonis dan saling membutuhkan, menjadi hubungan yang cenderung
mengintervensi. Pabrik dan mesin besar yang diciptakan kemudian pasca
ditemukannya mesin-mesin yang semula diharapkan membantu manusia, kini sudah
mulai menghancurkan lingkungan sekitar.
Dalam keadaan demikian, alam dan lingkungan
hanya dijadikan lahan eksploitasi dan eksplorasi semata. Alam hanyalah alat
pemenuh kebutuhan manusia an sich. Dalam
pandangan Lynn White, pola piker antroposentris senyatanya muncul dari ajaran
agama Kristen. Akar pemikirannya dapat kita runut pada kitab kejadian 1:28 yang
dalam ayat itu mengizinkan Adam dan Hawa untuk berbuat semaunya di bumi.
Pandangan White tentu bisa dicurigai sebagai upaya mengolok-olok agama, karena
muncul pada zaman renaissance, yang
pada saat itu Eropa mencoba melepaskan diri dari kungkungan ortodoksi gereja.
Dalam sejarahnya, gerakan lingkungan secara
internasional dimulai manakala pada tanggal 22 April 1970, di Jalan Fifth
Avenue New York berkumpullah ratusan ribu aktifis lingkungan guna memperingati
hari bumi. Gerakan ini kemudian memang menggeser paradigma berfikir yang
awalnya bersifat biosentris yang mengandaikan bahwa alam sebagai sumber
penghidupan semata, dimana hutan adalah penghasil kayu, listrik dapat
dihasilkan dari aliran sungai dan air terjun, dan hewan adalah sumber makanan
dan energy belaka. Maka pergeseran terjadi menjadi antroposentris, bahwa
kelestarian dan kesehatan lingkungan adalah tujuan utama. Gerakan lingkungan
kemudian menjadi sebuah gerakan besar yang penting hingga saat ini.
Pertengahan tahun 1970-1980 terjadi
penggabungan organisasi lingkungan hidup yang baru dan yang lama. Ketika itu
disebut “kelompok sepuluh” atau “sepuluh besar”. Yang terdiri dari Audubon, Defenders
of Wildlife, Environmental Defense Fuld, Environmental Policy Institute, lzaak
Walton, National Wildlife, Natural Reqource, Defense Council, National Park
Association, Sierra Club dan Wilderness Society. Ini menjadi tonggak sejarah
penting dalam gerakan lingkungan hidup dunia. Gerakan lingkungan hidup menjadi
isu yang massif dan global.
Pada kisaran tahun 1962 sampai 1970 bermunculanlah tokoh-tokoh gerakan
lingkungan yang terkenal kala itu, seperti Gay Nelson, Ralp Nader yang terkenal
dengan Noder’s Raiders, Public Interest Group serta Public Citizen sebagai
sebuah pusat studi untuk mengadakan lobi dan gugatan terhadap
kebijakan-kebijkan lingkungan hidup, serta David Brower yang oleh New Yorker disebut sebagai
seseorang dengan suara yang paling keras dan suara yang tidak tergoyahkan dalam
gerakan pelestarian di Amerika.
Gerakan ini seakan menemukan momentumnya, karena pasca perang dunia kedua
yang berhasil melemahkan ekonomi dan pembangunan dibeberapa negara, maka pada
1960-1980an dibeberapa negara menjadi momentum pembangunan. Faham pembangunan
yang acap disebut sebagai developmatelisme, seringkalai abai terhadap
kelestarian dan kelangsungan lingkungan. Pembangunan dan industrialisasi yang
massif membutuhkan sumberdaya alam dan sumberdaya energi yang kemudian secara
serampangan menguras dan mengeksploitasi lingkungan tanpa batas. Dengan alasan
yang terus diulang-ulang, demi pembangunan dan kemajuan.
Dampak negatif yang muncul akibat pemanasan global yang dipicu dari efek
rumah kaca diantaranya adalah, perubahan iklim secara ekstrim. Mencairnya es di
Kutub Utara dan Kutub Selatan, lebih cepat dari yang diprediksikan. Hal ini
tentu juga dibarfengi dengan naiknya permukaan laut. Gelombang panas yang
semakin sering terjadi menyebabkan kematian manusia, hewan dan merusak hasil
pertanian serta memicu gelombang kebakaran hutan yang parah. Mencairnya gletser
abadi di berbagai pegunungan didunia.
Pada tahun 1972, di Paris diadakanlah konferensi pertama yakni Biosphere
Conference yang disponsori oleh UNESCO. Yang menghasilkan beberapa poin
penting. Diantaranya adalah pada bulan Juni 1972 PBB mengadakan konferensi
lingkungan di Stockholm, Swedia dengan motto “Satu Bumi”. Konferensi ini
melahirkan lima pokok pemikiran yakni tentang permukiman, pengelolaan sumber
daya alam, pencemaran, pendidikan dan pembangunan. Sebaran informasi tentang
pentingnya penyelamatan lingkungan hidup sehingga pada kurun 1970-1980,
masyarakat dunia termasuk Amerika mulai memahami tentang pentingnya gerakan
lingkungan hidup. Sehingga isu tentang lingkungan hidup menjadi isu yang besar
dan penting.
Walaupun gerakan lingkungan hidup menyala dan membara, namun itu bukan
berarti mengendurkan pelanggaran dan perusakan lingkungan, lagi-lagi harus
diutarakan bahwa penyebab terbesarnya adalah industrialisasi dan pembangunan. Hingga
pada 1988-1992, ketika terjadi begitu banyak bencana ekologi, mulai dari hujan
asam, limbah radioaktif, rekayasa genetik, punahnya beberapa spesies. Bermula
pada 1990, ketika Hari Bumi 24 April 1990 diadakan secara besar-besaran, dimana
140 negara merayakannya. Pada bulan Juni 1992 diadakanlah KTT Bumi di Rio de
Jenairo, yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting dalam gerakan dan
penyelamatan lingkungan hidup. Namun, negara adikuasa Amerika Serikat dengan
serta merta menolak bekerjasama dengan negara-negara lain. Amerika menolak
perjanjian pemerataan global dan dua perjanjian lain.
Sikap Amerika yang demikian itu, tentu dapat kita jadikan judgement bahwa Amerika mempunyai andil
besar dalam kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Ketidak adilan juga
biasa terjadi sampai saat ini, dimana Negara-negara besar yang notabene
menyumbang kerusakan besar pada lingkungan jarang mau berkontribusi terhadap
upaya konservasi lingkunga. Ataupun mau berkontribusi namun tidak sepadan.
Amerika, China dan beberapa negara dengan industri besar seringkali
mengangkangi isu lingkungan yang ada di negara-negara kecil dan berkembang.
Namun secara tidak sadar, bahwa penyumbang emisi dan elementer kerusakan
lingkungan terbesar justru dihasilkan dari industri mereka yang besar dan
massif.
Sementara negara-negara kecil dipacu untuk menjaga ekosistem dan
hutan-hutan, disaat yang sama, negara-negara industri itulah yang menangguk
untung dari industri manufaktur yang kadang berasal dari perusakan ekosistem
dan lingkungan. Disaat negara-negara “dipaksa” dengan isu penyelamatan
lingkungan, pengurangan penggunaan sumber energi yang berasal dari usaha
tambang, batubara, minyak dan gas bumi. Pada saat yang sama, industri merekalah
yang terbanyak menggunakan sumber-sumber energi itu untuk menggerakkan
mesin-mesin industri dan ekonomi mereka.
Disamping itu, dari Negara-negara industri itulah emisi gas kaca
terbanyak dihasilkan. Walaupun akibatnya akan dirasakan seluruh dunia. Terutama
negara-negara kecil dengan garis pantai yang panjang. Beberapa Negara bahkan
sudah menyampaikan kekhawatiran akan tenggelamnya pulau-pulau dan negara-negara
mereka. Selain akibat abrasi air laut, juga terus meningginya permukaan laut
akibat mencairnya es di kutub utara. Maka benarlah Al Qur’an memperingatkan
kita, bahwa kerusakan ekologi yang massif bukan hanya akan menyebabkan bencana
pada penyebab kerusakan, tapi juga pada sebagian masyarakat lain yang tak
bersalah.
Pada 1997 di Kyoto KTT perubahan iklim diselenggarakan dan menghasilkan
Protokol Kyoto mengenai perubahan iklim setelah negosiasi dan diskusi yang a
lot dan intensif akhirnya disepakati. Pada pertemuan ini sebagian besar
negara-negara Eropa dan negara-negara besar sepakat untuk mengurangi emisi
rumah kaca rata-rata 6 sampai 8 % pertahun
antara tahun 2008-2012. Kesepakatan ini dibuat untuk mengikat
negara-negara peserta secara hukum. Namun lagi-lagi Amerika Serikat menolak dan
keberatan, sehinggan Presiden George W.
Bush meminta kepada senat untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto tersebut
dengan alasan akan merugikan industry dalam negeri mereka.
Pada Agustus-September 2002 juga diadakan World Summit on Suistanable Development di Johannesburg Afrika
Selatan. Namun lagi-lagi keputusannya tidak mencerminkan keadilan dan
menimbulkan ketidak puasan negara-negara berkembang. Negara-negara industri
besar acapkali hanya mementingkan dan memikirkan kepentingan industri mereka,
disisi lain mereka adalah penyebab dan penyumbang kerusakan dan kehancuran
lingkungan terbesar. Sementara negara-negara kecil dan berkembang, yang
seringkali menerima akibat dari kerusakan lingkungan, baik berupa bencana alam
dan bencana ekologi, masih membutuhkan kekayaan alam sebagai pengungkit ekonomi
mereka dan harus dihadang dengan sekian kebijakan lingkungan. Serta bagaimana
negara kecil dan berkembang berkepentingan untuk mempertahankan ekosistem dan
lingkungan, karena merekalah senyatanya penerima akibat langsung dari kerusakan
lingkungan.
Pada KTT 15 di Kopenhagen Denmark, yang digelar pada Desember 2009
menghasilkan Copenhagen Accord atau
Kesepakatan Kopenhagen. Kesepakatan ini dicapai melalui mediasi Presiden Barack
Obama dari Amerika Serikat dengan China dan beberapa negara besar lainnya.
Namun tampaknya kesepakatan ini juga jauh dari yang diharapkan oleh
negara-negara lain. Tampak ketidak puasan menyeruak atas Kesepakatan Kopenhagen
ini.
Ketidak puasan dan protes terhadap Kesepakatan Kopenhagen itu lebih pada
tidak adanya upaya mengikat dan kepastian batas waktu tertentu untuk mengurangi
emisi gas kaca. Ini bisa dipahami bahwa setiap negara berusaha melindungi
kepentingan industri dalam negeri masing-masing. Maka tidak salah jika kemudia
mengemuka tudingan, bahwa pemimpin-pemimpin dunia telah “terbeli” oleh
raksasa-raksasa industri dunia. Sehingga alih-alih berfikir melindungi
lingkungan dan alam, mereka lebih memikirkan dan melindungi industri-industri
besar yang nyata-nyata merusak alam dan lingkungan.
Sebelum global warming atau
pemanasan global mengemuka karena efeknya yang meluas, perkembangan teknologi
juga sebelumnya menyumbangkan beberapa kerusakan lingkungan. Kita pernah
disuguhi ledakan bom atom yang luar biasa, yang mampu meluluh lantakkan
Nagasaki dan Hiroshima pada 6 dan 9 Agustus dan telah menewaskan ratusan bahkan
ribuan orang. Bahkan senjata pembunuh missal itu juga berhasil membuat ratusan
orang menderita dalam jangka panjang akibat cacat permanen dan kanker yang mereka
derita. Radio aktif yang mengancam jiwa dan lingkungan luas itu juga menjadi
ancaman bagi masa depan kehidupan.
Diluar kejadian itu, kita tentu tidak bisa menafikan kejadian lain yang
diakibatkan oleh industri yang mengakibatkan lingkungan dan manusia terancam
jiwa dan masa depannya. Meledaknya reaktor nuklir Chernobyl yang legendaris dan
menewaskan 4200 orang baik korban langsung meninggal maupun yang harus
“perlahan” mati dengan menderita. Atau ledakan di Bhopal, yakni meledaknya Union
Carbide Co yang merupakan pabrik
pupuk kimia. Meledaknya pabrik ini mengakibatkan 2000 orang mati dan kerugian
serta kerusakan yang tidak sedikit.
Di Indonesia, gerakan pelestarian lingkungan hidup sebenarnya sudah dapat
dilacak sejak zaman kolonial Belanda. Seperti yang sering kita pelajari sejak
dari bangku sekolah dasar, bahwa senyatanya kolonial pada substansinya adalah
upaya mengeruk kekayaan sumber daya alam tanah koloni. Semboyan gold, glory and god. Jelas bukan untuk
kepentingan tanah koloni, tidak ada urusan tanah koloni kelaparan, bodoh dan
miskin. Kolonial selalu begitu sifatnya. Gold
atau emas, adalah penambangan dan pengerukan sumber energi dan hasil tambang
lain yang mampu menambah pundi kekayaan negara kolonial.
Glory, tentu dimaksudkan
sebagai tujuan kolonialisasi. Kekayaan dan kesejahteraan harus diupayakan dan
diusahakan dengan segala cara, termasuk mengeruk dan mengeksploitasi kekayaan
sumberdaya alam tanah koloni. Maka, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,
karena tak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Begitu tekad bangsa
Indonesia, saat itu dan sampai kini.
Pada zaman kolonial, gerakan lingkungan hidup bisa kita lacak dalam paruh
kedua abad ke 19. Gerakan masa kolonial menorehkan beberapa catatan dan capain
penting walau masih terkesan elitis. Diantaranya adalah pembentukan proyek
konservasi berupa cagar alam dan suaka margasatwa. Nawiyanto mencatat dalam
tulisan di Jurnal Paramita terbitan Universitas Negeri Jember tahun 2014, bahwa
pembentukan suaka margasatwa dan suaka alam, sebagai proyek konservasi, serta
peletakan kerangka hukum perlindungan satwa fauna dan flora. Serta yang tak
kalah penting adalah pembentukan organ birokrasi yang secara khusus menangani
kegiatan konservasi lingkungan.
Konservasi lingkungan seperti yang disebutkan diatas, pada masa paruh
kedua abad ke-19 ini setidaknya memunculkan tiga karakteristik pokok. Pertama, gerakan sebenarnya muncul juga
atas kepentingan kolonial ketika itu. Negeri kolonial Belanda yang ketika itu
menjajah Indonesia, membutuhkan limpahan kekayaan alam yang tidak sedikit untuk
dikeruk. Diantara sumber penghasilan kolonial adalah dalam bidang pertanian dan
perkebunan.
Pertanian dan perkebunan butuh fondasi lingkungan yang kuat, diantaranya
adalah kebutuhan terhadap keberlangsungan sumber daya air. Perkebunan juga
membutuhkan keberlangsungan sumber daya hutan. Disamping itu, perkebunan dan
pertanian juga terancam akan bahaya erosi akibat eksploitasi berlebihan dari
sumberdaya hutan secara berlebihan dalam rangka komersialisasi.
Akibat berlebihannya komersialisasi dan eksploitasi hutan, sumber-sumber
air terancam keberlangsungannya. Dan itu artinya akan mengancam produktifitas
perkebunan dan pertanian kolonial. Yang sama artinya mengurangi pundi-pundi
uang kas negara kolonial.
Kedua, akibat komersialisasi
yang berlebihan juga menyebabkan hilangnya beberapa kekayaan flora dan fauna
yang maupun situs alam yang bersifat estetis, eksotis dan tentu mengandung
unsur komersil luar biasa. Maka gerakan lingkungan hidup masa kolonial juga
mempunyai concern yang luar biasa
untuk urusan ini.
Ketiga, peranan negara dalam
gerakan lingkungan masa ini menjadi agak dominan. Termasuk dalam pengelolan dan
konservasi lingkungan hidup. Dalam proyek-proyek konservasi dan penyelamatan
lingkungan hidup pada masa kolonial ini pada 1936, F.H Endert menyatakan dalam
tulisannya bahwa wujud real dari usaha konservasi yang digagas ketika itu
adalah menghasilkan dan meninggalkan setidak 61 situs konservasi. Situs itu
berupa suakan margasatwa dan cagar alam dalam skala kecil maupun besar, yang
tersebar dibeberapa daerah diwilayah Jawa. Dengan rincian 3 di Banten, 1 di
Batavia, 10 di Bogor, 10 di Priangan, 6 di Pekalongan, 4 di Semarang, 1 di
Rembang, 2 di Banyumas, 1 di Kedu, 1 di Bojonegoro, 3 di Madiun, 2 di Kediri, 5
di Malang, 1 di Madura dan 10 di Besuki.
Dalam bidang sumberdaya air pemerintah Belanda pernah menerbitkan
Ketetapan Gubernur Jenderal No. 86 tertanggal 26 Mei 1920 atau yang dikenal Visscheri Jordonantie (Stbl 1920 No.
396). Ketetapan ini untuk melindungi keadaan ikan dan termasuk didalamnya telur
dan benih ikan. Dimasa ini pula telah ditetapkan aturan perlindungan satwa dan
pada 1940 diterbitkan pula aturan tentang cagar alam suaka margasatwa.
Namun lebih dari itu semua, warisan non benda yang ditinggalkan dari
gerakan itu adalah program reboisasi yang digadang sebagi langkah besar dalam
menangani problem lingkungan yang mulai muncul ketika itu dan berlanjut hingga
saat ini yang mengancam kehidupan manusia dan ekosistem.
Warisan kolonial juga banyak dirasakan pasca kemerdekaan. Warisan
kolonial itu setidaknya menjadi semacam pembentuk gerakan lingkungan pasca
kemerdekaan. Hal ini terjadi karena pasca kemerdekaan, masalah lingkungan
setidaknya tidak banyak berubah disamping bahwa aktivis gerakan lingkungan
hidup ketika itu, baik yang berasal dari Belanda dan akhirnya memutuskan untuk
menetap, atau bangsa pribumi yang dahulunya
aktif dan menjadi pegawai Belanda tetap berada di barisan aktifis lingkungan
hidup sampai pasca kemerdekaan.
Pada masa pendudukan Jepang, menyumbang kerusakan ekologis yang tidak
sedikit. Jepang yang berjuang dibarisan negara-negara fasis berusaha bersaing
dengan Negara Amerika dan sekutu. Dalam peperangan yang mereka mainkan,
dibutuhkan banyak sumber daya alam guna mendukung n operasional perang. Kebutuhan
perang yang sedemikian tinggi menyebabkan eksploitasi hutan dibawah pendudukan
Jepang menjadi tidak terkendali. Penebangan dilakukan secara serampangan
seiring kebutuhan perang yang juga meninggi. Pohon-pohon yang berusia muda pun
tak lepas menjadi korban penebangan. Tercatat pada 1943 sampai 1944 permintaan
kayu meningkat hingga dua kali lipat. Kebutuhan kayu itu diantaranya digunakan
untukmemenuhi berbagai macam kebutuhan ketika itu, mulai bahan bakar kereta
api, serta berbagai macam keperluan industri seperti korek api, spiritus dan
sebagainya.
Diantara kayu-kayu juga ada yang digunakan untuk membuat tong-tong yang
digunakan untuk mengepak kebutuhan makanan bagi tentara Jepang, seperti kecap
dan kain sebagainya. Disamping itu permintaan kayu juga muncul untuk kebutuhan
perlengkapan perang dan bangunan pertahanan. Di lereng Argopuro misalnya,
penebangan kayu Jamuju dilakukan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan pasokan
pabrik korek api Machi Kozo dan Mokozo di Surabaya. Begitupula pohon Jamuju
juga ditebang dari daerah sekitar hutan Brantas Timur. Begitu catatan Soepardo
Perwokoesoemo pada tahun 1974 dalam bukunya.
Kebijakan pelipat gandaan hasil pertanian pada masa pendudukan Jepang
juga menimbulkan masalah lingkungan yang tak sedikit. Karena pelipat gandaan
hasil pertanian ini dilakukan dengan cara merusak ekosistem hutan. Para Residen
Jepang berhak meminjamkan kawasan hutan kepada rakyat, sepintas lalu kebijakan
ini sepertinya memihak rakyat. Namun sebenarnya sebaliknya. Beberapa hutan
telah dikonversi menjadi lahan pertanian baru.
Tanah-tanah hasil konversi itu kemudian dipinjamkan pada para petani
penggarap. Kebijakan demikian ditemukan merata hamper disetiap tempat di Jawa.
Kebijakan demikian dilakukan guna menggenjot hasil pertanian, dan senyatanya
bukan untuk kepentingan petani itu sendiri. Melainkan untuk kepentingan perang
Jepang yang sedang bersusah payah menghadapi sekutu.
Luasan hutan yang dipinjamkan kepada petani lebih kurang 4.428 hektar
yang melibatkan sekitar 8.242 orang petani. Peminjaman hutan menjadi lahan
pertanian, telah nyata menyebabkan kerusakan lingkungan yang fatal diwilayah
hutan.
Pada masa kemerdekaan para aktifis gerakan lingkungan pada masa kolonial
Belanda, banyak bekerja di instansi pemerintah, pusat riset milik pemerintah
atau swasta. Mereka tetap bekerja dan concern
pada gerakan lingkungan hidup.
Kemerdekaan bukan berarti lingkungan kita di negeri tercinta semakin
membaik. Karena merdeka dalam term sederhananya adalah kebebasan dari penjajah,
dan kebebasan untuk berbuat apapun. Pada masa kemerdekaan nyata terlihat
perusakan lingkungan menjadi semakin massif. Kemerdekaan yang bagi sebagian
pihak diartikan sebagai kebebasan dari hokum kolonial menyebabkan eskalasi
kerusakan menjadi luar biasa.
Pada masa reformasi kemerdekaan perburuan, penebangan dan pembukaan lahan
pertanian baru secara liar dipercaya membawa kerusakan yang tidak sedikit. Erosi,
kekeringan dan banjir mengancam dengan nyata. Para aktifis yang pernah
mengkritisi itu menyatakan bahwa Indonesia mengalami kerusakan ekologi parah
akibat banyak perbuatan illegal yang merusak lingkungan pascsa kemerdekaan.
Menurut catatan Soedarma, kerusakan hutan pada masa ini mencapai luas 537.700
hektar pada tahun 1950 dan 543.300 pada tahun 1951.
Pernyataan para aktifis itu menemukan pembenaran melihat realita yang
terjadi dilapangan. Masalah lain yang tak kalah pelik sebenarnya adalah
pertumbuhan jumlah populasi manusia yang tak terkendali. Semakin banyak orang,
semakin banyak dibutuhkan tempat pemukiman. Selain itu, semakin banyak jumlah
populasi manusia, juga membutuhkan suplai makanan yang berlebih.
Kedua masalah itu hanya bisa dijawab dengan membuka lahan pertanian dan
pemukiman dengan membabat hutan. Solusi instan yang mengancam masa depan.
Tekanan demografis nyatanya telah berimbas pada tekanan ekologis. Hutan yang
telah dibuka dan dihuni oleh individu itu kemudian menjadi milik pribadi.
Kerusakan akan terus berlanjut. Proporsi hutan di Jawa pun jauh dari kebutuhan
hutan dalam fungsi menjaga tata hidrologis, klimatologis, dan orologis. Begitu
catatan Soedarma. Karena hutan hanya tersisa 22 persen, jauh dari titik ideal
yakni minimal 44 persen.
Kongres Kehutanan Indonesia Pertama diselenggarakan pada 1955, kongres
ini dilakukan setelah melihat begitu luas dan massifnya dampak yang ditimbulkan
dari kerusakan lingkungan terutama hutan. Banjir, erosi, berkurangnya sumber
air dan dampak lainnya dirasakan telah menjadi problem yang serius dan perlu
segera ditangani.
Pasca kongres berdasarkan gagasan dan saran para ahli, upaya perbaikan
dilakukan dengan pelibatan masyarakat. Kegiatan berskala nasional yang digagas
dan dilahirkan ketika itu adalah Program Penghijauan Nasional (PPN). PPN kali
pertama dilakukan pada tahun 1961. Oleh pemerintah orde baru, kegiatan ini
kemudian dijadikan kegiatan selain berskala nasional juga merupakan kegiatan
rutinan.
PPN menjadi kegiatan bukan lagi bersifat ad hoc, PPN menjadi kegiatan yang lebih terlembaga dan suistanable. Kepemimpinan kegiatan ini dipegang
dibawah kendali Menteri Pertanian. Sejak tahun 1976 kegiatan penghijaun dan
reboisasi diselenggarakan dengan instruksi presiden (Inpres) seiring dengan
dibentuknya kementerian kehutanan sebagai kementerian sendiri.
Ir. Soedarsono Hadisapoetro, Menteri Pertanian ketika itu, pada tahun
1982 mendeklarasikan pembentukan taman-taman nasional di Indonesia pada Kongres
Taman Nasional se-Dunia ketiga di Bali. Ketika itu calon taman nasional sudah
dituangkan dalam SK Menteri Pertanian, namun butuh waktu sekurangnya 10 tahun
untuk merealisasikan tempat-tempat itu menjadi taman nasional. Kemunculan taman
nasional dimulai pada 1992 dan sampai 2004 telah terbentuk sekurangnya 12 taman
nasional. Yakni, Ciremai, Alas Purwo, Merapi, Merbabu, Baluran, Ujung Kulon,
Kepulauan Seribu, Gunung Gede Paranggo, Gunung Halimun, Meru Betiri,
Bromo-Tengger-Semeru, Karimun Jawa.
Melalui Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan atau dikenal AMDAL sebagai pedoman pelaksanaan proyek
pembangunan. Peraturan pemerintah ini merupakan sebuah ikhtiyar yang dilakukan
agar setiap pembangunan memperhatikan dampak dan efek kerusakan lingkungan yang
mungkin ditimbulkan dan meminimalisirnya. Jika pedoman ini tidak ditaati, besar
kemungkinan proyek pembangunan tidak akan diberikan izin atau malah diberikan
sanksi.
Pada tahun 1990 berdasarkan Keppres No. 23 tahun 1990 dibentuklah Bapedal
atau Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Sebuah badan yang bertugas
melaksanakan pemantauan pengendalian kegiatan-kegiatan pembangunan yang
berdampak pada lingkungan. Pada dasarnya AMDAL secara filosofis adalah, bahwa
pemilik proyek harus membayar untuk upaya mengendalikan akibat yang dihasilkan
dari proyek yang dikerjakan. Sehingga dampak lingkungan bisa dikendalikan
sedemikian rupa sampai batas-batas tertentu yang bisa diterima dan ditolerir.
Disisi lain, Amdal dan Bapedal justru tidak berjalan sebagaimana
mestinya, kota-kota besar yang menjadi tempat berkembangnya investasi dan
proyek-proyek besar menangguk akibat dari rusaknya lingkungsan yang ditimbulkan
dari proyek dan investasi serta industri yang tidak ramah lingkungan. Bahkan
dalam rangka membayar Amdal yang menjadi kewajiban para pemegang proyek atau
penanam investasi, para taipan dan kapitalis itu menganggap bahwa biaya Amdal
adalah bagian dari biaya produksi. Akhirnya, masyarakat dan konsumen juga yang
harus menanggung kerusakan lingkungan yang ditimbulkan para pemegang modal.
Tahun 2009 diterbitkan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang bertujuan
melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan atau
kerusakan lingkungan hidup, menjamin keselamatan dan kesehatan serta kehidupan
manusia, menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup, mencapai keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup, menjamin terpenuhinya keadilan
generasi masa depan, menjamin pemenuhan dan perlindungan atas hak atas
lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia, mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dan mengantisipasi isu lingkungan hidup. UU yang terdiri dari 17
Bab dan 127 pasal itu diharapkan menjadi dasar hukum dalam penindakan perusakan
lingkungan.
Setelah mengakui bahwa pelestarian lingkungan adalah bagian dari hak
asasi manusia, dan mengakui adanya kearifan-kearifan lokal, maka diharapkan
adanya partisipasi publik yang lebih luas dalam pelestarian dan perbaikan
kualitas lingkungan hidup.
Keterlibatan masyarakat yang lebih luas diakui secara eksplisit oleh UU
No 32/2009 melalui pasal 65 bahwa, “Setiap orang berhakuntuk berperan dalam
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dalam pasal 70
pun dinyatakan bahwa, setiap masyarakat punya hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan penelolaan
lingkungan.
Keterlibatan masyarakat sejatinya sudah dimulai lama sebelum
undang-undang ini diterbitkan. Forum yang dinamakan Wahana Lingkungan Hidup
atau WALHI berdiri pada 15 Oktober 1980. Lembaga ini digagas guna membantu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan lingkungan yang ada. Dari unsur
mahasiswa pun tak kalah kontribusinya pada isu ini. Lembaga yang ada dilingkungan
kampus ini biasanya disebut dengan Mahasiswa Pecinta Alam, atau MAPALA. Atau
dilingkungan kampus juga biasanya disebut Pusat Studi Lingkungan. Dimana
lembaga ini biasa melakukan penelitian dan pengkajian tentang lingkungan hidup.
Sejak berhembus isu reformasi dan terjadi perubahan politik di Indonesia,
isu lingkungan tetap menjadi isu yang diperhatikan banyak pihak dan mengandung
banyak kepentingan. Tetapi toh bukan
berarti penegakan hokum dalam pelestarian lingkungan berjalan sesuai dengan
yang diharapkan.
Masalah polusi juga tidak ada habisnya dan menjadi masalah yang
bertambah, tapi sulit untuk ditemukan solusinya. Survei oleh Bank Dunia pada
tahun 2004 dalam skala global, Jakarta merupakan kota dengan polusi udara
terburuk ke 3 didunia (setelah kota di Meksiko dan Bangkok, Thailand). Dengan
kadar partikel debu (particulate matter)
yang terkandung pada udara Jakarta merupakan yang tertinggi nomor 9 dari 111
kota didunia.
Penegakan hukum dibidang lingkungan hidup juga masih menjadi pekerjaan
rumah yang besar bagi Indonesia. Kasus Salim Kancil, seorang aktivis anti
tambang dan petani di Desa Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian Lumajang yang
dibunuh pada 26 September 2015. Konflik dipicu karena penolakan Salim terhadap
penambangan illegal yang merusak lingkungan yang justru dimotori oleh Kepala
Desa setempat, Hariyono dan ketua LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Mat
Dasir, hingga berakhir pada pembunuhan.
Melihat ini terjadi dinegara yang menjadikan hukum sebagi panglima tentu
kita akan miris. Bagaimana penegakan hukum dan pelestarian lingkungan akan
menjadi agenda pokok semua lini, manakala justru oknum-oknum pemerintahan lokal
terlibat secara aktif bahkan memotori gerakan perusakan lingkungan.
Secara teoritis, gerakan lingkungan merupakan gerakan social baru. Bentuk
kebaruan dari gerakan lingkungan adalah pada basis dukungan yang melintasi
sekat-sekat kelas. Dengan ini, maka gerakan ini bukan merupakan manifestasi
gerakan kelas. Fokusnya pun bersifat non-material. Dan merupakan gerakan
kolektif guna mencipta tatanan dunia yang lebih baik dan berkeadilan.
Menjaga lingkungan, sebenarnya adalah upaya pewarisan kehidupan yang
lebih baik untuk generasi mendatang. Dan sebaliknya. Lingkungan yang rusak,
bukan hanya akan menyebabkan bencana, namun juga akan menjadikan kesengsaraan
bagi generasi berikutnya.
Jika kita menelaah dan menafsir ulang bagaimana ayat Ar Ruum ayat 41,
menyatakan bahwa manusia akan berbuat al
fasad, maka tugas muslimlah untuk
menggaungkan kembali al shalah, kebaikan.
Jikalah nyata bahwa kemaksiatan, termasuk didalamnya adalah perusakan lingkungan
dengan tidak bertanggung jawab “dikutuk” oleh Allah SWT, sebagai perbuatan
tercela. Maka seharusnyalah manusia muslim melakukan upaya perbaikan-perbaikan.
Bukankah ada pepatah mengatakan, “Tanamlah hari ini, agar anak cucumu
kelak memanen”. Jikalaulah kita menanam kerusakan tentu kerusakan pulalah yang
akan diperoleh anak cucu kita. Jikalaulah kita menanam kebaikan hari ini,
semogalah kelak Allah memberikan kebaikan pada anak cucu kita. Wa ilaa Llah Turjaul Umuur.
(Pernah dimuat sebagai Editorial Majalah Al Fikrah Edisi 95)
(Pernah dimuat sebagai Editorial Majalah Al Fikrah Edisi 95)