Kembali pada pertanyaan lelaki itu, Imam Ali menjawab, “Iya,
berbeda. Karena pada saat Abu Bakar menjabat khalifah, orang-orang seperti
akulah yang menjadi rakyatnya. Sedangkan ketika aku menjabat khalifah,
orang-orang sepertimulah yang menjadi rakyatku”. Jawaban ini tegas, lugas dan
tentu penuh sindiran berarti bagi kita yang selalu berteriak demi dan atas nama
rakyat dipanggung orasi.
Sejarah mencatat,
ketika sayyidina Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, presiden, pemimpin kaum
muslim sepeninggal Rasulullah, Imam Ali tak lantas berbaiat kepada Abu Bakar,
banyak sejarawan menduga-duga, menganalisis dan meraba-raba alas an Ali. Namun acap
juga lepas dari pengamatan sejarah, ketika kabar sahabat Abu Bakar diangkat
menjadi khalifah sampai ditelinga Abu Sufyan, yang juga senasab dengan
Rasulullah dan Imam Ali, Abu Sufyan mendatangi Ali dan menawarkan untuk merebut
kekuasaan dari Abu Bakar. Alas an Abu Sufyan, bahwa Ali-lah yang lebih berhak,
Ali adalah keponakan Rasulullah, sahabat terdekat, orang yang menggantikan
Rasulullah dalam pembaringan ketika Rasulullah harus meninggalkan kediaman
untuk berhijrah. Ali adalah Sang Pintu Ilmu, sahabat rasulullah paling cerdas,
orang yang zuhud, wirai. Dan terpenting dari itu semua, sesuai tradisi arab
yang kerap membanggakan keturunan, Ali adalah Bani Hasyim, keturunan dari klan
Quraisy yang agung dan paling berkuasa. Dan Quraisy, terutama Bani Hasyim
adalah keturunan mulia, maka taka da yang lebih pantas dari Ali. Begitu setidaknya
pendapat Abu Sufyan.
Saat itu, Abu Sufyan menawarkan bantuan bukan dengan
basa-basi. Abu Sufyan menawarkan bantuan finansial, infrastruktur, termasuk
kuda dan peralatan perang dan tentu pasukan.
Tawaran ini disambut dengan keras oleh imam Ali. Bahkan tak
segan, dalam beberapa riwayat menyebutkan, imam Ali menyambut tawaran itu
dengan menyebut Abu Sufyan sebagai aduwwallah
(musuh Allah). Ali mengatakan, “Hai musuh Allah, dulu kau memusuhi
nabi-Nya, dan sekarang kau hendak menghancurkan umatnya dengan adu domba”. Begitu
keras jawaban Ali atas tawaran tersebut. Bahkan beberapa sejarawan menyebut,
karena tawaran itu pula yang mendorong imam Ali untuk mempertimbangkan baiat
kepada Abu Bakar. Dan setelah wafatnya Sayyidah Fathimah, istri sang kekasih
hati yang juga puteri terkasih Rasulullah, imam Ali berbaiat kepada Abu Bakar. Sebagian
sejarawan mempertimbangkan, karena menjaga dan menghormati sang istri-lah yang
menghalangi imam Ali berbaiat kepada sahabat Abu Bakar as Shidiq.
Demikian sejarah mencatat bagaimana perkataan agung dari
imam besar umat, sayyidina Ali. Begitulah pandangannya tentang bagaimana
rakyat.
Kekinian, fatwa itu bisa kita rasakan. Bagaimana sejatinya
peran rakyat juga begitu pentingnya. Bukan hanya dalam rangka untuk menegakkan
keadilan, namun juga untuk memperbaiki tatanan. Tatanan ternyata tidak hanya
butuh terhadap pemimpin yang baik, namun juga rakyat yang baik.
Sejarah mencatat, bagaimana imam-imam besar, alih-alih
memberontak dan mencibir, mereka justeru mengingatkan kesalahan dan ketak
adilah penguasa dengan jantan dan gagah berani. Imam Abu Hanifah, misalnya. Memilih
mengingatkan penguasa dengan keras, walau akhirnya harus meringkuk dipenjara. Begitupula
imam Malik. Para imam ini, alih-alih menggunakan pengaruhnya untuk membuat
gerakan makar, mereka memilih mengingatkan dengan baik, mendebat dengan baik (wajadilhum billati hiya ahsan). Bukan hanya
baik, tapi dengan cara terbaik. Mereka memilih dipenjara daripada menggunakan
pengaruhnya untuk mempengaruhi pengikutnya berbuat makar. Bagi mereka menasehi
pemimpin dan berbuat makar adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.
Itu mungkin yang dicontohkan almarhum, almaghfurlah KH.
Abdurrahman Wahid. Sang presiden nyentrik, yang rela meninggalkan kekuasaan
daripada terjadi bentrok berdarah. Dengan celana kolornya, seakan Gus Dur,
begitu dia karib dipanggil, mengejek kita-kita yang sering mati-matian
mempertahankan sesuatu yang tak dibawa mati.
Tapi, para imam itu, bukanlah penakut, bukan pula sosok yang
apatis. Tercatat imam Malik menulis Muwatho’ dalam penjara karena kerasnya
kritik terhadap penguasa ketika itu. Ulama-ulama zaman dahulu begitu lugasnya
melakukan kritik, namun jarang melakukan makar, fitnah dan ujaran kebencian
lainnya. Walaupun mereka kerap mengucap kata keras, kritik pedas terhadap
penguasa. Kritik mereka didasarkan pada rasa saying terhadap bukan hanya
rakyat, namun juga penguasa. Kritik keras itu dilandasi kesadaran, bahwa
kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, dan mengingatkan atas
amanah itu adalah kewajiban. Bukan hal lain.
Hari ini, kita lihat bagaimana kita mudah menemukan kritik
terhadap penguasa, yang bukan menyasar pada kebijakan. Namun seringkali
mencibir, soal remeh temeh, bahkan soal penampilan dan fisik. Tidak selesai
sampai disana, fitnah yang dalam bahasa kekiniannya disebut hoax juga kerap
kita jumpa. Sehingga di dunia social media, misalnya, sulit membedakan antara
berita yang benar dan sekedar hoax.
Masyarakat kita sepenuhnya kurang sadar, bahwa pemimpin
adalah cermin rakyatnya. Diluar itu, bahwa fitnahan terhadap penguasa tentu
besar efeknya. Semisal berita karangan tentang harga suatu barang yang
dikabarkan akan dinaikkan oleh pemerintah atau penguasa. Jikalau berita itu
sampai menyebar dan menimbulkan kepanikan karena barang tersebut merupakan
kebutuhan dasar masyarakat, bisa jadi akan menimbulkan penimbunan, melonjaknya
permintaan (demand) dan pada akhirnya
menaikkan harga dan perdagangan liar.
Kita seakan lupa akan pentingnya menjadi rakyat yang baik,
dann hanya menuntut pemimpin yang baik. Alih-alih memperbaiki kualitas diri
untuk membangun diri dan lingkungan sekitar terdekat. Sebagian kita sibuk
berkomentar atas dan kepada penguasa atau pemerintahnya. Atau lebih dari itu,
sebagian dari kita terbiasa nyinyir dan sinis terhadap pemerintahnya.
Kebiasaan nyinyir ini, bahkan kadang menjadi kebiasaan (habit), yang kemudian menjadi lucu. Sebagian
bahkan menjadikannya lahan pekerjaan, sebagai buzzer bayaran misalnya. Lucu,
karena kemudian tidak aka nada yang positif dari sebuah hal. Ketika harga
dinaikkan, akan disambut dengan nyinyir, tak pro rakyat. Ketika harga
diturunkan, akan pula disambut dengan nyinyir yang anggap tak konsisten. Maka,
pemerintahan model apapun, dihadapan rakyat seperti ini, jelas tak ideal, dan
takkan pernah ideal. Celakanya, kadang orang seperti ini juga tak layak menjadi
pemimpin, bahkan pada sekup pemerintahan terendah sekalipun. Secara guyon kita
bisa mengatakan, bahwa komentator seperti ini, bak komentator bola, yang bahkan
takkan bisa membuat gol ke gawang yang tak ada penjaganya. Ironis.
Lupa atas pentingnya menjadi rakyat yang baik itu ditambah
dengan beberapa kalimat, yang seakan bijak namun menyesatkan. Seperti, seribu
macan yang dipimpin kambing akan mengembik, seribu kambing yang dipimpin macan
akan mengaum. Postulat seperti ini jelas mengganggu akal sehat dan menafikan
bagaimana pentingnya peningkatan sumberdaya manusia masyarakat kebanyakan. Bagiamana
mungkin seribu macan mau dipimpin kambing?. Jelaslah itu macan-macan bodoh nan
ompong. Atau bagaimana seribu kambing merasa nyaman dipimpin macan, yang setiap
saat siap menerkamnya. Dan kita menggantikan itu dengan bunyi-bunyian, semacam
mengaum dan mengembik?. Rakyat-rakyat yang baik, adil, berpengetahuan luas dan
bijak hanya akan memilih pemimpin yang baik. Dan sebaliknya. Jangan karena tak
suka, kita menafikan proses berfikir dan ikhtiyar kebanyakan orang.
Hal tak kalah penting adalah bagaimana membangun ketaatan
dan upaya untuk ditaati. Bagi penguasa, berbuat adil, bijak, berperikemanusiaan
dan arif adalah wajib. Jika tidak yang ada hanya nirketaatan. Bagi rakyat, upaya untuk bersuara lantang menuntut
keadilan, kebijaksanaan dan kebijakan yang pro rakyat adalah kewajiban dan hak
sekaligus. Namun cara dan etika tetaplah penting, setidaknya bisa kita ucapkan,
kun imaaman mutho’an, aw ma’muman muthi’an.
Jadilah imam yang ditaati, atau makmum yang taat. Bukankah sholat jamaah
mengajarkan itu, kita boleh mengingatkan imam yang salah, dengan cara yang
terbaik.
Melihat karut marutnya dunia model seperti ini, kemudia kita
harus mengingat pentingnya civic
education. Pendidikan untuk menjadi warga Negara yang baik. Bukan hanya
soal hafal sila persila dasar negara, namun juga etika bernegara, etika menjadi
pemimpin dan rakyat. Tentu dengan mengacu pada jawaban Imam Ali diatas, kita
bisa bermuhasabah, sangat penting mempunyai pemimpin yang baik dan adil. Namun juga
penting menjadi rakyat yang adil dan beradab.
Allahu A’lam.
Memang mudah merumuskan masyarakat yang ideal, namun cukup sulit mewujudkannya, bukan? Yang jadi pertanyaan saya adalah: seakan akan dalam tulisan ini hanya cari kambing hitam?
BalasHapusDalam setiap masalah, terutama masalag bernegara, memang selalu butuh "kambing hitam". Bukannya begitu kang?. Tapi lebih dari itu, sebagai rakyat, sudah sepantasnya kita membangun gerakan taat hukum, lebih dari itu adalah kesadaran membangun diri. Nyinyir dan demo bukan hal tabu dan haram. Tapi penting diingat, nyinyir di media sosial adalah penyebaran "aura" negatif. Tidak semua harus dinyinyiri, dan tak semua harus diamini. Proporsional saja. hahahahahahahaha
Hapus