Bagaimana jadinya dunia tanpa perempuan?. Pertanyaan ini seakan bernada gurau, tapi bisa jadi jawaban atas pertanyaan ini berimplikasi serius. Dalam pembahasan teologi, seringkali kita temukan penafsiran yang menyatakan bahwa perempuan kali pertama yang bernama Hawa, diciptakan dari tulang rusuk sang manusia pertama, Adam. Namun, jika harus ditafsiri leterlijk sedemikian dan ini bukan sebuah metafora, maka kita harus menyingkirkan berbagai pernyataan yang lebih jelas dan serius, bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan tercipta dari satu bahan yang sama, tanah. Disisi lain, ada perempuan mulia yang dimampukan mempunyai keturunan tanpa peran serta laki-laki, beliaulah Maryam Alaihasalam. Yang bahkan keagungan namanya diabadikan dalam sebuah nama surah di kitab suci al Qur’an.
Tidak selesai disana, kita juga mengenal Sayyidah Hajar, istri nabiullah
Ibrahim alaihisalam. Wanita penyabar, yang bukan hanya taat kepada Tuhannya,
tapi juga sabar dan sadar akan posisi dan tugasnya sebagai istri dan ibunda
utusan Allah. Kesabarannya yang tanpa batas dan alasan, tentu sulit dicari
padanannya. Selanjutnya kita akan terus menyebut beberapa pahlawan dalam arti
harfiah dan dalam arti sebenarnya sekaligus, yang tentu berwujud perempuan.
Seperti ummul mukminin, Khadijah. Seorang perempuan yang cantik, kaya, jenius
dan tentu saja berakhlak mulia. Pendamping yang bahkan sampai akhir hayatnya
tak pernah diduakan. Beliaulah tiga orang yang pertama kali sholat, selain
manusia termulia Muhammad SAW dan sayyidina Ali. Perempuan yang pertama kali
beriman, dan memegang keimanannya tanpa pertanyaan dan alasan. Kuatnya keimanan
ini, merupakan bukti keluasan wawasan dan kecerdasan yang melampaui bahkan
laki-laki dizamannya. Keutamaan Khadijah radliyallahu anha, ibu para kaum
mukmin tentu tak bisa kita sangsikan. Perempuan kaya, mempunyai kedudukan
sosial yang tinggi, cerdas, namun memilih seorang laki-laki muda yang bersahaja,
Muhammad yang mulia, ketimbang lamaran para hartawan, bangsawan dan para raja.
Pilihan ini tentu hanya akan dilakukan perempuan yang visioner. Dan ternyata
pilihannya tak pernah salah, sejarah mencatat itu. Cerita tentang keutamaan
Khadijah yang mulia perlu dikuak, sebagai ibrah
bahwa pilihan perempuan, bisa jadi benar dan dan lebih visioner dari laki-laki
zamannya.
Cerita berikutnya yang perlu kita telaah adalah ceritera syahidah
Sumayyah, budak belian yang gugur dalam perjuangan keras mempertahankan keimanannya.
Manusia pertama yang harus gugur dalam perjuangan mempertahankan keislamannya.
Bukan hanya harus gugur, namun juga harus merasakan kepedihan dan kekejaman
siksaan kaum kafir, serta harus menahan gemuruh emosi karena disaat yang sama
harus menyaksikan kekejaman siksa yang menimpa keluarganya. Atau kisah
fenomenal Siti Masyitoh, juru rias keluarga Fir’aun yang harus gugur bersama
anak dan suaminya ditangan dzalim Fir’aun untuk mempertahankan keimanannya. Dua
cerita ini menarik disimak mengingat bahwa sebagian kita berpendapat, bahwa
perempuan bukanlah sosok dengan dengan keyakinan yang teguh, lemah dan tidak
kuat pendirian. Adakah yang lebih mulia dari syahid dalam mempertahankan
keimanan?. Adakah yang lebih kuat dari usaha memegang keimanan sampai mati,
daripada iming-iming kekayaan?. Tidak ada.
Lalu ceritera tentang ummul mukminin Aisyah radliyallahu anha, puteri
sahabat utama nabi Abu Bakar As Shidiq. Satu-satunya isteri Rasulullah yang dinikahi
dalam kondisi masih muda. Terkenal dengan kecerdasannya. Dan dari kecerdasan
itulah, umat muslim banyak terbantu. Bagaimana tidak?. Beliau acap menanyakan
hal-hal mendasar kepada nabi SAW, dan kemudian meriwayatkan sabda-sabda nabi
tersebut. Dari beliaulah, hadits-hadist tentang etika, perilaku keseharian dan
hal-hal pribadi Rasulullah dapat diketahui. Lalu, apakah masih kita pertanyakan
kecerdasan perempuan?.
Beberapa ceritera diatas bisa jadi merupakan bukti nyata, bagaimana
perempuan bukanlah bumbu pelengkap, bukan pula konco wingking bak asisten rumah tangga, bukan juga hiasan yang
dipakai seperlunya. Maka membahas pergolakan perjuangan perempuan, adalah
memaknai sejak manusia itu ada. Karena nyata, selain adam, kita adalah anak
dari ibu-ibu hebat. Yang berjuang memperaruhkan nafas kehidupannya, demi munculnya
nafas kehidupan manusia baru. Maka membahas perempuan adalah membahas kaum ibu,
kaum yang disebut sebagai madrasah atau sekolah awal bagi manusia, kaum yang bahkan
surga setiap manusia diletakkan Tuhan ditelapak kakinya.
Mengenal pergolakan perempuan, manusia Indonesia sering hanya akan
memunculkan sosok Kartini. Padahal perempuan nan perkasa tak melulu soal
Kartini yang dari golongan aristocrat Jawa. Kartini (1879-1904) merupakan sosok
yang menginginkan golongannya setara dengan laki-laki dalam hal pendidikan.
Namun, sebelum dan lebih Kartini, Nusantara telah mengenal beberapa nama
perempuan besar. Sebut saja Ratu Tribuana Tunggadewi, ratu dari Majapahit. Atau
Ratu Sima, sang ratu yang terkenal adil dari kerajaan Kalingga. Sosok-sosok itu
tak mungkin kita lepaskan juga dari beberapa tokoh mitologi yang dikenal luas.
Srikandi misalnya, sosok lincah, gesit yang juga seringkali jadi perlambang
pejuang wanita. Atau Subadra, sosok lembut yang dikenal sebaliknya dari Srikandi.
Abad ke 14 di Nusantara juga dikenal 3 perempuan yang menjadi penguasa
di zamannya. Sultanah Khadijah, Sultanah Maryam, dan Sultanah Fatimah. Walau
ketiganya kemudian harus turun tahta, karena keputusan Qadli Makkah yang
melarang kepemimpinan perempuan masa itu. Atau yang tak kalah fenomenal, kita
akan mengenang Keumala Malahayati atau yang kerap dikenal sebagai Laksamana
Malahayati, panglima perang dari Aceh yang menjabat pada tiga kekuasaan raja
dari Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607), dan Iskandar
Muda (1607-1636). Marie van Zuchtelen dalam bukunya Vrouwelijke Admiral
Malahayati, menceritakan Malahayati adalah Laksamana yang memimpin 2000
prajurit perempuan yang gagah berani. Acap membikin gentar musuh yang hendak
mendekati bumi serambi Mekkah.
Di bumi Aceh yang secara budaya tidak sepatriarkhi Jawa,
kita juga mengenal lebih banyak nama pejuang perempuan. Cut Nyak Dien
(1850-1908) yang menyertai suaminya berjuang masuk keluar hutan belantara
menghadapi pasukan kolonial. Bahkan setelah suaminya gugur, dia meneruskan
kepemimpinan perjuangan pembebasan dari penjajahan. Perjuangan yang lantas
diteruskan putrinya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren dan banyak
pejuang perempuan lainnya. Kita juga mengenal nama Martha Kristina Tiahahu,
Wolanda Maramis dibelahan lain Nusantara.
Mereka rela membayar mahal cita-cita dan kecintaannya
kepada rakyat dengan nyawa, bahkan Tiahahu harus membayar dengan nyawa di tiang
gantungan. Kebanyakan diantaranya menjadi pendamping perjuangan suaminya dalam
perjuangan, Emmy Saelan yang mendampingi Monginsidi, atau Roro Gusik
mendampingi Surapati. Yang menarik adalah, kebanyakan diantara mereka adalah
golongan aristokrat atau bangsawan, yang harusnya bisa menikmati kehidupan yang
lebih mapan, lebih nyaman daripada rakyat jelata yang bertelanjang dada dan
kurus kering kelaparan kala itu.
Kita juga perlu mengenang Rasuna Said (1910-1965),
perempuan pertama yang ditangkap Belanda karena menantang ketidakadilan Belanda
dalam pidatonya di Semarang pada 1932. Rasuna Said (Sumatera Barat) pada tahun
1926 menjadi perumus Sarikat Rakyat yang kemudian menjadi PSII, aktif pada
organisasi Persatuan Muslim Indonesia tahun 1930, pendiri Komite Nasional
Sumatera Barat, Dewan Perwakilan Negeri, anggota KNIP, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Sumatera, dan anggota Dewan Perwakilan Agung (DPA).
Nusantara juga harus mengenang Rahmah El Yunusiyah pejuang hebat dari Padang Panjang. Beliau mendirikan Diniyah Putri School di Padang Panjang. Tujuannya yang mulia melalui pendidikan itu adalah membentuk remaja putri Islam dan ibu pendidik yang cakap,
aktif dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga, masyarakat dan
tanah air. Mengikuti gaya politik non kooperatif. Ia ikut pula membantu pembentukan pasukan
Sabilillah dan Hisbullah tahun 1919 hingga kemedekaan. Di era kemerdekaan, ia aktif di Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi
inti dari batalyon Merapi. Pada 1955 Rektor Al Azhar berkunjung ke lembaga
pendidikan putri yang ia pimpin, kemudian Rahmah di undang ke Al Azhar dan
mendapatkan gelar “Syaikhah”, jabatan terakhirnya sebagai anggota DPR 1955. Atau Nyai Ahmad Dahlan yang membentuk organisasi
perempuan Muhammadiyah “Sopo Trisno” pada 1917 yang kemudian berubah menjadi
Aisyiyah. Sementara
di dunia jurnalistik muncul Hj. Siti Latifah Herawati Diah.
Pejuang perempuan yang tak kalah penting adalah Rohana Koedoes, yang
mengangkat nama perempuan didunia pendidikan. Rohana Koedoes mendirikan
organisasi Kerajinan Amal Setia atau Kerajinan Perempoean pada tanggal 11
Februari 1914 di Gadang, Sumatera Barat. Organisasi ini dimaksudkan melatih
perempuan untuk meningkatkan ketrampilan perempuan dalam mengatur rumah tangga,
kerajinan tangan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tahun 1912, beliau menerbitkan
surat kabar Soenting Melajoe.
Pergolakan perlawanan perempuan di Indonesia dapat dirunut jauh pada
tahun 1912. Dibantu Boedi Oetomo, berdirilah organisasi Poetri Mardika di
Jakarta. Organisasi didirikan dengan maksud untuk mengangkat harkat martabat perempuan.
Terlebih agar perempuan dapat berdiri tegak, menyingkirkan rasa malu-malu dan
agar perempuan bersikap tegas. Tentu ini dimaksudkan agar perempuan dapat
membantu pergerakan tujuan tercapainya kemerdekaan Indonesia. Menyusul kemudian
berdirilah organisasi-organisasi serupa, di Jawa dan Sumatera pada 1915 sampai
1920-an.
Pada 1913 Kaoetamaan Isteri berdiri di Tasikmalaya dengan tokoh
perempuannya yang terkenal, Dewi Sartika. Tokoh ini berprofesi sebagai pengajar, perkumpulan ini bergerak di bidang pendidikan. Pertama berdirinya, organisasi dan sekolah ini bernama
Putri Merdika. Dewi Sartika menjadi kepala sekolah di Kaoetamaan Isteri pada
1904, yang kemudian merubah sekolah ini menjadi organisasi gerakan, dengan
mendirikan lebih banyak sekolah dibeberapa tempat. Bahkan sekolah Kaoetamaan Isteri berdiri di 9 kabupaten
diwilayah Pasundan. Dewi Sartika adalah seorang putri bangsawan dari Raden Somanegara dan
Raden Ayu Permas. Walaupun dari golongan
aristokrat, namun Dewi Sartika juga menghendaki perubahan adat pingitan seperti
kawin paksa dan poligami yang dipandangnya mencekat kaum perempuan.
Masa-masa tahun 1913 sampai tahun 1920-an adalah masa bersemainya
organisasi-organisasi gerakan perempuan, sama dengan gerakan-gerakan usaha
kemerdekaan dan rintisan perjuangan nasionalisme yang dilakukan para nasionalis
dari golongan laki-laki. Ini adalah efek dari diterapkannya politik etis
pemerintah kolonial Belanda yang dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya
perjuangan membebaskan tanah air dan rakyat dari kolonialisme, dari kalangan
bumiputera. Termasuk kalangan perempuan.
Tahun 1915 berdiri Pawiyatan Wanito di Magelang. Purborini di Tegal
berdiri pada tahun 1917. Pada tahun berikutnya, 1918 berdiri organisasi Wanito
Soesilo di Pemalang. 1919 berdiri Wanito Hadi di Jepara, dan Poeteri Boedi
Sedjati di Surabaya. Sedang pada 1920 berdiri Wanito Oetomo dan Wanito Muljo di
Yogyakarta, sedangkan nun jauh di Bukittinggi Sumatera berdiri organisasi
Serikat Kaoem Iboe Soematera. Gerakan-gerakan perempuan yang ada sejak
tahun-tahun ini membuktikan bahwa kesadaran perempuan Indonesia nyata sudah
terbentuk, walaupun negara Indonesia belum terbentuk. Pun dapat dikata sejajar
dan sama tuanya dengan gerakan-gerakan perempuan dibelahan dunia lain. Walaupun
kebanyakan gerakan-gerakan perempuan Indonesia saat itu lebih mengutamakan
bagaimana membentuk generasi puteri yang dapat menjadi isteri yang mempunyai
keterampilan dalam mengatur rumah tangga. Selain usaha-usaha untuk menjadikan
perempuan setara dalam pendidikan dengan kaum laki-laki.
Usaha-usaha ini bukannya tanpa tantangan. Adat istiadat yang mengungkung
perempuan dan menjadikannya kelas kedua dalam kehidupan sosial, sulit untuk
ditembus. Adat istiadat, budaya patriarkhi yang berkelindan dengan penafsiran
keagamaan yang ortodok dan cenderung bias gender menjadikan perjuangan ini
semakin terjal. Hal ini ditambah dengan kondisi kolonialisme yang menjadi
penghalang sempurna bagi “kemerdekaan” perempuan.
Seperti diketahui, kemajuan perpolitikan di Indonesia zaman kolonialisme
sangat lamban, lebih lamban dari India yang dijajah Inggris atau Filipina yang
dijajah Amerika. Hindia Belanda (sebutan Indonesia zaman penjajahan), baru
dibentuk Volksraad, sebuah Dewan Rakyat yang dibentuk oleh pemerintah Belanda.
Dewan yang dibentuk pada tahun 1918 ini berisi perwakilan rakyat Indonesia yang
dipilih dengan status sosial tertentu. Sehingga tentu saja, perempuan sebagai
“kelas kedua” dalam struktur masyarakat, tidak termasuk dalam dewan ini. Dewan
ini hanya diisi oleh para ambtenar pribumi, priyayi yang kesemuanya laki-laki.
Pada saat itu di Belanda, perkumpulan perempuan yang tergabung Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV-Asosiasi Hak
Perempuan Memilih) baru memikirkan hak memilih bagi saudara mereka di Hindia Belanda pada
tahun 1926. Untuk maksud ini, perempuan
Belanda menginginkan agar mempunyai anggota yang signifikan dengan mengajak
serta perempuan-perempuan dari Hindia Belanda agar tuntutannya semakin
didengar. Namun, ajakan ini tidak bersambut. Masalahnya, komunikasi antara
perempuan Belanda dengan Hindia Belanda tidak berjalan dengan “lancar”. Ada
jarak yang amat panjang, kaum perempuan Belanda dengan kaum perempuan
“pribumi”. Ada ketidak percayaan atas kemampuan perempuan Hindia Belanda bahkan
yang terdidik sekalipun dari kaum perempuan Belanda. Bagi perempuan Belanda,
kaum perempuan Hindia Belanda belum bisa diajak berbicara tentang hal-hal yang
politis dan masih sangat terbelakang untuk berbicara gerakan perempuan.
Pandangan yang meremehkan ini semakin mengalienasikan perempuan Hindia Belanda.
Peristiwa penting
selanjutnya adalah Kongres Wanita pertama yang diadakan 22 Desember 1928 di
Yogyakarta. Hari itu kemudian kita peringati sebagai Hari Ibu. Dalam kongres
yang bersejarah itu, lahirlah Persatoean
Perempoean Indonesia (PPI), yang pada 1929 berganti nama menjadi Perikatan
Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Dihadiri oleh 30 organisasi perempuan se-Indonesia, dimana mereka menyatakan bahwa
persamaan derajat akan dicapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah. PPII
juga membentuk sebuah panitia penghapusan perdagangan perempuan. Walaupun
nyatanya peserta kongres ini adalah perempuan-perempuan “kelas atas”. Pada
tahun 1928 ini pula dilangsungkan Kongres Pemuda pada bulan Mei, yang
menelurkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres ini diadakan pula sessi khusus membahas
tentang keperempuanan. Pembicara-pembicara pada saat itu, seperti Nona Adam, M. Tabrani, Djaksodipoero dan Bahder
Johan acap mengkaitkan peranan perempuan dan
kemerdekaan.
“Saat
ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena
dibawah kolonialisme laki-laki juga tertindas. Maka, bersama-sama dengan
laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya dibawah Indonesia yang
merdekalah, kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraannya”,
begitulah yang dikatakan oleh Soekarno pada tahun 1932. Ini tak lain adalah
buah dari serbuan nasionalisme yang siang malam datang menyerbu ke dada para
pemuda pertiwi. Pun begitu pada kaum perempuan. Walau nyatanya mereka juga
sedang berjibaku membebaskan kaumnya dari ketertindasan lain, berusaha
membebaskan kaumnya dari buta huruf, peminggiran dibidang pendidikan dan
hal-hal keperempuanan lain. Kongres Wanita selanjutnya dilangsungkan pada tahun
1935 di Jakarta, sedangkan kongres ke 3 dilangsungkan tahun 1938 di Bandung.
Gerakan-gerakan perempuan pada saat itu semakin populis, selain bahwa terjadi
pergeseran orientasi kepada perempuan kelas bawah.
Perang dunia ke II turut memberikan kontribusi pada
kesadaran perempuan akan kedudukannya yang harusnya setara. Selama perang itu,
pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh kaum laki-laki harus dikerjakan oleh
kaum perempuan, hal ini menyadarkan mereka akan kemampuan mereka. Lebih dari 6
juta perempuan bekerja disektor yang selama ini digeluti laki-laki. Maka, pada
tahun 1940 untuk pertama kalinya dibentuklah serikat buruh perempuan di
Indonesia, Pekerja Perempuan Indonesia (PPI). Selain melakukan perlawanan
terhadap perbedaan upah dan kenaikan pangkat, terlebih tujuan utamanya adalah memberikan
pelatihan ketrampilan kerja kepada perempuan.
Pada saat Jepang datang menjajah menggantikan Belanda,
sebenarnya keadaan tidak lantas bertambah baik. kolonial tetaplah kolonial, penjajah tetaplah serakah.
Kedatangannya alih-alih membawa perubahan menjadi lebih baik. Tujuan utama
mereka datang tetaplah memenangkan kepentingannya, dan kepentingan terbesar
Jepang ketika itu adalah memenangkan pertempuran Asia Timur Raya.
Memperkenalkan diri sebagai saudara tua, Jepang mulai hegemoninya. Pada saat yang
sama, semua organisasi perempuan yang ada sebelum kedatangan Jepang dibubarkan,
kecuali yang dibentuk Jepang kemudian untuk kepentingannya, seperti Fujinkai.
Tujuan utama Fujinkai adalah memobilisasi tenaga kerja perempuan guna membantu
Jepang memenangkan perang Asia Timur Raya.
Penjajahan Jepang menyisakan kepedihan yang dalam bagi
banyak perempuan dibanyak negara yang dijajahnya dalam kurun perang dunia ke
II, pun begitu di Indonesia. Beberapa perempuan dipaksa menjadi Jugun Ianfu,
julukan bagi perempuan yang dipaksa menjadi “perempuan penghibur” dan harus
mendampingi angkatan perang Jepang. Belum lagi beberapa perempuan yang harus
mengalami kekerasan dan pelecehan seksual oleh tentara Jepang. Walau demikian,
seperti para laki-laki, perempuan masa itu tak berpangku tangan, mereka juga
mengorganisasi diri untuk meraih kemerdekaan, walau acap dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi. Bahkan pasca kemerdekaan, ketua Fujinkai menyeru kepada para
anggotanya untuk merubah organisasi lokal keperempuanan menjadi organisasi yang
menyokong usaha pertahanan kemerdekaan.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun bukan melulu
dominasi kaum laki-laki. Tercatat terdapat lasywi, Lasykar Wanita Indonesia
turut berada digaris depan pertempuran. Belum lagi rekan mereka dibarisan
belakang yang bahu membahu mengorganisasi diri untuk membantu perjuangan.
Kongres Perempuan pertama pasca proklamasi diadakan di
Klaten dekat Yogyakarta pada tanggal 15-17 Desember 1945 atas inisiasi sebuah
perkumpulan perempuan yang populer dimasa itu, PERWANI (Persatuan Wanita
Indonesia) cabang Yogyakarta pimpinan nyonya D.D Susanto. Kongres diketuai oleh
nyonya Maria Ulfah Santoso dan nyonya Kartowiyono. Dalam
kongres ini disepakati fusi antara PERWANI dan Wanita Negara Indonesia (WANI)
menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (perwari). Pada tahun berikutnya, tepatnya pada 24 sampai 26 Februari 1946 dilakukan pertemuan di Solo, yang melahirkan Kongres Wanita
Indonesia (KOWANI), KOWANI juga melakukan kontak kerjasama internasional dengan WIDF (Women`s
International Democratic Federation). Yang
dimaksudkan
mendukung usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam bidang pendidikan,
sosial, dan politik.
Kongres kedua dilakukan di Madiun pada 14-16 Juni 1946 setelah terjadi
perang. Keputusan pentingnya adalah perempuan akan membantu tentara republik
dalam mempertahankan kemerdekaan baik digaris depan pertempuran maupun digaris
belakang sebagai kekuatan pendukung dengan membentuk dapur umum dan semacamnya.
Perempua akan berjuang turut serta mempertahankan kemerdekaan dengan segala
cara.
Kongres ketiga perempuan diadakan di Magelang yang dipimpin oleh nyonya
Soenarjo Mangoen Poespita. Kongres keempat dilakukan di Solo pada 26-28 Agustus
1948 dibawah kepemimpinan nyonya Soepeni Poedjoboentoro yang selanjutnya
menyetujui untuk mendasarkan diri pada kelima sila Pancasila. Walau pada
Desember 1948 Belanda melancarkan agresi yang mengejutkan republik yang masih
muda saat itu. Namun dalam situasi sulit, pada 26 Agustus sampai 2 September
1949, KOWANI tetap menyelenggarakan konferensi dengan beberapa keputusan
krusial. Diantaranya mendirikan pusat kegiatan bagi kaum perempuan di
Yogyakarta yang diberi nama Gedung Persatuan Wanita Indonesia, untuk mengenang
pertemuan kongres pertama perempuan pra kemerdekaan pada tahun 1928 dikota itu.
Kejadian penting pada 1950,
adalah fusi dua badan federatif yang terpecah selama revolusi. Organisasi fusi Kowani, yang pernah ditinggalkan
sejumlah organisasi Islam dan Badan Kontak yang didirikan oleh Konferensi
Perempuan Yogyakarta. Mereka bersatu dalam kongres pada bulan November 1950.
Selanjutnya pada 17 Desember 1953 terjadi demonstrasi besar-besaran yang
menolak Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1952 yang terang-terangan mensahkan
poligami bagi para pegawai. Dan puncaknya pada 1974, beberapa pihak mensinyalir
terjadi gerakan besar depolitisasi gerakan perempuan, sejak difusikannya 19
organisasi perempuan istri pegawai negeri menjadi sebuah organisasi bernama
Dharma Wanita dan 4 organisasi perempuan istri tentara menjadi Dharma Pertiwi.
Sejak saat itu, semangat perlawanan gerakan perempuan mulai mengendur dan
bergeser. Dan pada dekade 1980-an, gerakan perempuan lebih diwarnai oleh
ide-ide radikal liberal dan sosialis dari feminimis Amerika dan Eropa. Namun
sebenarnya gerakan tak pernah sepenuhnya berhenti, Inong Bale di Aceh,
misalnya. Merupakan organisasi janda korban operasi militer di Aceh. Serta
beberapa organisasi dan gerakan perempuan yang tak kalah pentingnya.
Dibelahan
bumi lain pda abad ke 19, gerakan perempuan menuntuk penghapusan diskriminasi
dan persamaan hak terjadi di Amerika. Gerakan ini dikemudian hari dikenal
dengan feminimisme. Sebuah konvensi diorganisir oleh Lucretia Mott dan
Elizabeth Cady Stanton tepat pada 19-20 Juli 1848 yang menghasilkan sebuah
deklarasi, dikenal sebagai declaration of
sentiment. Dari konvensi ini pula digagas National Women Suffrage Association (NWSA) yang menuntut amandemen hak untuk memilih. Pada awal abad ke-20
gerakan ini memperoleh angin segar dengan diterimanya amandemen XIX (sembilan
belas) yang menjamin hak suara tanpa memandang jenis kelamin.
Sedangkan
di Chile, gerakan perempuan baru mulai awal tahun 1900-an. Ada dua model gerakan perempuan di Chile.
Pertama, gerakan yang memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan.
Gerakan ini bergerak juga dibidang politik dan banyak dipengaruhi pemikiran
feminimisme Eropa dan Amerika. Pada tahun 1919, gerakan ini mendirikan partai El Partindo Civico Femenino. Semula
hanya beranggotakan perempuan “kelas atas”, namun pada tahun 1920 banyak
perempuan kelas menengah bergabung.
Kedua,
gerakan perempuan kiri atau acap dikenal dengan gerakan perempuan proletariat.
Beranggotakan kaum militan, buruh tanim istri kalangan pekerja, buruh tambang.
Gerakan ini dikenal dengan Gerakan untuk Emansipasi Perempuan Cile (Movimiento Pro Emancipacion de la
Mujer Chilena). Pada tahun 1945 mereka mendirikan
Partai Feminis yang memperjuangkan hak pilih universal dan berhasil.
Namun pada 1973 terjadi kudeta yang dipimpin Jenderal Pinochet. Gerakan
perempuan hancur, rezim menerapkan paksa ideologi tradisional, perempuan
“menjadi ibu” (motherhood). Peran perempuan diruang publik diberangus.
Di Filipina gerakan perempuan baru mengemuka pada tahun 1970-an.
Organisasi paling terkenal adalah General Assembly Binding Women
For Reforms, Integrity, Leadership, dan Action (GABRIELA), yang terdiri atas koalisi 42 organisasi perempuan dan 50.000 anggota.
Nama ini diambil dari nama pemimpin pemberontakan abad 19, Gabriela Silang.
Tuntutan mereka tak jauh dari gerakan sejenis, yakni kesetaran peran dan posisi
diruang publik. Namun lebih jauh juga memperjuangkan berbagai isu, termasuk
melakukan protes soal pangkalan militer Amerika Serikat. Gerakan ini cukup
dinamis. Terutama ketika Benigno Aquino terbunuh pada 1983, gerakan ini
melakukan protes pada pemerintah. Tercatat terdapat 200 aksi yang dimotori
GABRIELA dalam waktu 8 bulan. Gerakan ini pula yang berhasil menumbangkan
persiden Marcos dengan revolusi damai, termasuk kemenangan Corazo Aquino tak lepas
dari peran gerakan ini.
Australia yang didatangi oleh orang Eropa mulai tahun 1778 dan
kebanyakan adalah orang buangan Eropa juga mempunyai catatan tentang gerakan perempuan. Kaum perempuan Inggris
mulai memasuki Australia pada tahun 1830. Pada 1883 Inggris menjadikan
Australia sebagai koloninya. Dalam kedatangannya, suku asli Australia, Aborigin
acap mengalami diskriminasi, terutama kaum perempuannya. Perselisihan antara
perempuan pendatang dan perempuan Aborigin sering terjadi, sampai
dikembangkannya kesadaran sisterhood, persaudaraan
antar mereka.
Organisasi perempuan Australia yang pertama adalah Woman's
Christian Temperance Union (WCTU). Awalnya
mereka hanya memperjuangkan hak pilih bagi perempuan kulit putih, selayaknya di
Amerika. Namun pada tahun 1970, mereka mulai mengangkat isu rasisme dan
meghendaki persamaan derajat, terutama bagi perempuan Aborigin.
Tak
kalah pentingnya adalah melihat bagaimana perempuan muslim ambil bagian dalam
semua gerakan perempuan di bumi Nusantara. Dan tentu akan lebih menarik membaca
gerakan perempuan kalangan pesantren. Santri putri sendiri ada sejak kisaran
tahun 1920-an. Adalah KH. Bisyri Syamsuri yang menerima secara diam-diam santri
perempuan. Kerapkali santriwati itu harus disembunyikan, karena pada waktu itu,
perempuan masih tabu untuk keluar rumah walau hanya untuk belajar. Termasuk
ketika KH. Hasyim Asyari berkunjung ke pondok Kiai Bisri di Peterongan.
Menerima
perempuan menjadi santri adalah sesuatu yang masih terbilang “aneh”. Bahkan
masih menjadi khilafiyah yang terus
diperdebatkan dikalangan pesantren. Sebagian pihak masih menganggap tidak
“aman” untuk menerima perempuan dalam ruang public. Ini bisa dimengerti jikalau
kita merunut, bahwa saat itu kondisi sosial politik dan keamanan tidak seperti
zaman ini. Pun soal lain yang masih diperdebatkan adalah soal ikhtilath,
campurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat. Sedangkan menolak mafasid atau kerusakan, haruslah
dikedepankan daripada mencipta maslahah. Hal itupun sempat menjadi pembahasan
dalam bahtsul masail dan menjadi khilaf pada kurun tahun 1920-1930-an.Maka
ketika muncul pesantren khusus putri seperti Diniyyah Putri di Padang Panjang,
atau di Pondok Pesantren Gontor Putri, tidak heran lantas menarik perhatian
khalayak ketika itu.
Merunut
perjuangan pendirian organisasi kaum perempuan pesantren juga menarik. Sejak
mendirikan organisasi bernama Nahdlatoel Oelama atau kita kenal Nahdlatul Ulama
pada tahun 1926. Kaum santri yang berhimpun adalah mayoritas kaum laki-laki.
Organisasi ini begitu maskulin. Sehingga pada 1938, dalam sebuah kogres atau
muktamar NU di Menes Banten, untuk kali pertama perempuan bisa berdiri di
podium. Perwakilan kaum ibu yang menyampaikan pandangannya dalam kongres itu
adalah Nyonya R. Djuaesih dan Nyonya Siti Sarah. Dan semenjak saat itulah, kaum
perempuan diakui sebagai anggota, walau hanya sebagai pendengar dan pengikut
saja. Tidak mempunyai hak untuk duduk di kepengurusan.
Kemajuan
peranan perempua dalam tubuh organisasi NU mulai terlihat setahun kemudia, pada
Muktamar ke 14 di Magelang, kaum perempuan diperkenankan mendengarkan dari
balik tabir dan salah satu pimpinan siding dipegang oleh perempuan, yakni
Nyonya Djuaesih yang berasal dari Bandung. Beberapa perwakilan yang hadir saat
itu adalah NU Muslimat Muntilan, NU Muslimat
Sukaraja, NU Muslimat Kroya, NU Muslimat Wonosobo, NU Muslimat Surakarta
(Solo), NU Muslimat Magelang, Banatul Arabiyah Magelang, Zahratul Imam
Magelang, Islamiyah Purworejo dan Aisiyah Purworejo. Diskusi
terpenting berkutat masalah urgensi peranan perempuan dalam NU, masyarakat,
pendidikan dan dakwah.
Muktamar
NU ke 15 di Surabaya pada 1940 memberikan warna tersendiri bagi upaya pembentukan badan khusus di organisasi NU.
Pada masa ini, walaupun teah lengkap aturan organisasi dan struktur organisasinya,
namun belum mendapat pengakuan resmi. Tujuan utamanya sesuai yang disebut dalam
pasal 2 Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga adalah menyadarkan para wanita Islam Indonesia akan
kewajibannya, supaya menjadi ibu yang sejati, sehingga dapatlah mereka itu
turut memperkuat dan membantu pekerjaan NU dalam menegakkan agama Islam.
Muktamar
NU ke 16 di Purwokerto membawa perubahan yang signifikan, setelah sebelumnya NU
lumpuh akibat kedatangan Jepang. Pada Muktamar kali ini, kaum perempuan resmi
mempunyai badan yang diakui secara resmi merupakan bagian dari organisasi NU,
dengan nama resmi Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM). mereka mempunyai struktur
tersendiri dan berhak menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sendiri. Maka
tanggal 29 Maret
1946 atau 26 Rabiul Akhir 1465, dicatat sebagai hari lahir Muslimat NU.
Kemajuan
peranan perempuan dalam organisasi NU semakin terlihat manakala pada Muktamar
NU di tahun 1950 terdapat sidang-sidang kombinasi yang melibatkan Tanfidziyah,
Syuriyah dan Muslimat. Selain bahwa Muslimat juga menyelenggarakan persidangan
tersendiri. Puncaknya adalah ketika Muslimat NU dinyatakan menjadi badan otonom
NU pada Muktamar NU di tahun 1952 di Palembang.
Salah
satu peran vital yang diharapkan dari Muslimat NU adalah peranannya dalam
pemberantasan buta huruf dan pendidikan. Disisi lain karena NU sudah mempunya
lembaga LP Maarif NU yang bertugas menangani pendidikan. Maka, diadakan
pembagian tugas. Muslimat mengambil peran di pendidikan anak usia dini, selain
karena sejak awal Muslimat NU sudah sejak awal merintis dan mengembangkan
sekolah-sekolah TK, selain majlis taklim dan pelatihan-pelatihan ketrampilan
bagi para perempuan. Untuk maksud ini Muslimat mendirikan Yayasan Bina Bakti
Wanita, sedangkan untuk masalah sosial Muslimat mendirikan Yayasan
Kesejahteraan Muslimat NU. Selain adapula Yayasan Haji Muslimat NU. Yang
membantu perjalanan haji dan umroh.
Peranan
Muslimat NU ini sangat vital, melihat pola dan padunya gerakan perempuan NU
hari ini. Pada tahun 2011 saja, di Kongres Muslimat NU yang diadakan di Lampung
tahun 2011, Muslimat NU telah memiliki asset berupa 13.568 TPQ, 9.800 TPA/RA,
4.567 Playgroup dan 103 Panti Asuhan dan 74 BKIA (rumah bersalin/rumah sakit).
Melihat
serentetan perjuangan perempuan diatas, tentu tak perlu kita dedahkan bagaimana
sebenarnya perempuan adalah setara dengan laki-laki. Baik dalam peran, dan
tentu saja dalam kedudukan.
Dalam
Islam utamanya, kita tentu tidak harus diingatkan bahwa kedudukan kita dimata
Sang Maha Pencipta hanya ditentukan oleh ketakwaan kita. Acap kita sebut
sederet nama para kekasih Allah dengan segala hormat dan kemuliaan dari
golongan laki-laki. Namun kita juga harusnya tak lupa menyebut sederet nama
para waliyah Allah sebut saja Rabiah al Adawiyah, Nafisah binti Hasan dan
Maimunah al Sauda.
Rabiah
Al Adawiyah mempunyai nama lengkap Rabiah bin Ismail al Adawiyah al Qisysyiyah.
Lahir dari keluarga miskin, yang pada kelahirannya bahkan minyak untuk
menyalakan lampu dan selimut untuk menyelimuti tubuh bayi mungil pun tak ada.
Kewaraan diikuti dari ayahnya yang bahkan bersumpah untuk tak menumpuhkan
segala keluh kesah selain kepada Rabnya.
Alih-laih kepada manusia. Rabiah merupakan puteri keempat, itulah sebab namanya
disebut Rabiah. Konon termasuk dalam suku Atiq yang secara nasab bersambung
pada nabiyullah Nuh Alaihisalam.
Hidup
pada masa dinasti Umayyah, Rabiah mampu menghafal al Qur’an pada usia 10 tahun.
Karena keadaan ekonomi yang tak menentu, Rabiah dan saudari-saudarinya
seringkali berpindah tempat, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga suatu
saat Rabiah harus jatuh ke tangan perampok yang menjualnya sebagai budak. Namun
tuannya yang bengis, harus takluk dan memerdekakannya tatkala mendengar
rintihan doa dan dzikir yang menyentuh kalbu. Ajarannya tentang jalan mahabbah, jalan cinta tanpa batas telah
menjadi pilihan hidupnya. Zuhud, wirai dan sabar dalam cinta adalah tindak laku
hidup hingga maut hadir padanya.
Inilah
salah satu perempuan mulia, yang dalam malam sepi terlelap karena lelah, atas
panjangnya tangis sedih pada kelahiran Rabiah karena begitu miskinnya, sang ibu
ditemui oleh Nabi Mulia Muhammad SAW dalam mimpi, seraya mengabarkan bahwa
Rabiah adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang.
Rabiah adalah perempuan yang darinya banyak wali-wali Allah yang utama dari
kalangan laki-laki mengambil hikmah. Sebut saja Sufyan As Tsauri, Syaqiq al
Balkhi, atau Abdul Wahid bin Zaid atau Hasan Basri.
Nafisah
binti al Hasan Anwar ibn Zaid al Ablaj ibn Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib, adalah
perempuan mulia dari keturunan yang mulia. Yang lahir dari nasab agung cucu
kesayangan Nabi Agung Muhammad SAW. Salah satu waliyah Allah yang mulia dari
golongan dzuriyyah. Yang akhirnya
dipersunting oleh salah satu putera imam Ja’far al Shadiq radliyallahu anhu. Sayyidah
Nafisah adalah sosok yang cerdas, teguh dan wara’. Atau Maimunah al Sauda,
salah seorang waliyah yang seringkali direndahkan. Wajah yang jauh dari kata
cantik, bahkan mendapat gelar al sauda (berwajah
hitam), menutupi kemuliaan dan kedudukannya. Abdul Wahid bin Zaid, seorang wali
Allah ketika bermunajat dan bertanya sesiapa yag menjadi pendampingnya di
akhirat. Isyarah menunjukkannya kepada Maimunah al Sauda. Yang ternyata adalah
penggembala domba.
Dan
terakhir dalam tulisan ini, hal penting yang perlu kita renungkan adalah
sesiapapun kita, kita “hanyalah” anak dari seorang ibu. Jika kita menanyakan
kesempurnaan akal perempuan, kemandirian, keteguhan, kekuatan dan kemuliaan
perempuan. Maka sebenarnya, kita sedang mempertanyakan awal mula kehadiran
kita. Terpujilah kaum ibu, yang surga setiap insan diletakkan dibawah telapak
kakinya.
Wallahu
a’lam, wa ilaLlah turja’ul umuur…
(Pernah diterbitkan sebagai editorial dalam Majalah Al Fikrah Edisi 91)
(Pernah diterbitkan sebagai editorial dalam Majalah Al Fikrah Edisi 91)
0 komentar:
Posting Komentar
Harap berkomentar demi perbaikan...