top social

Senin, 06 Juni 2016

Perjuangan Perempuan; Dari Khadijah Sampai Malahayati

Hasil gambar untuk malahayatiBagaimana jadinya dunia tanpa perempuan?. Pertanyaan ini seakan bernada gurau, tapi bisa jadi jawaban atas pertanyaan ini berimplikasi serius. Dalam pembahasan teologi, seringkali kita temukan penafsiran yang menyatakan bahwa perempuan kali pertama yang bernama Hawa, diciptakan dari tulang rusuk sang manusia pertama, Adam. Namun, jika harus ditafsiri leterlijk sedemikian dan ini bukan sebuah metafora, maka kita harus menyingkirkan berbagai pernyataan yang lebih jelas dan serius, bahwa semua manusia, laki-laki dan perempuan tercipta dari satu bahan yang sama, tanah. Disisi lain, ada perempuan mulia yang dimampukan mempunyai keturunan tanpa peran serta laki-laki, beliaulah Maryam Alaihasalam. Yang bahkan keagungan namanya diabadikan dalam sebuah nama surah di kitab suci al Qur’an.
Tidak selesai disana, kita juga mengenal Sayyidah Hajar, istri nabiullah Ibrahim alaihisalam. Wanita penyabar, yang bukan hanya taat kepada Tuhannya, tapi juga sabar dan sadar akan posisi dan tugasnya sebagai istri dan ibunda utusan Allah. Kesabarannya yang tanpa batas dan alasan, tentu sulit dicari padanannya. Selanjutnya kita akan terus menyebut beberapa pahlawan dalam arti harfiah dan dalam arti sebenarnya sekaligus, yang tentu berwujud perempuan. Seperti ummul mukminin, Khadijah. Seorang perempuan yang cantik, kaya, jenius dan tentu saja berakhlak mulia. Pendamping yang bahkan sampai akhir hayatnya tak pernah diduakan. Beliaulah tiga orang yang pertama kali sholat, selain manusia termulia Muhammad SAW dan sayyidina Ali. Perempuan yang pertama kali beriman, dan memegang keimanannya tanpa pertanyaan dan alasan. Kuatnya keimanan ini, merupakan bukti keluasan wawasan dan kecerdasan yang melampaui bahkan laki-laki dizamannya. Keutamaan Khadijah radliyallahu anha, ibu para kaum mukmin tentu tak bisa kita sangsikan. Perempuan kaya, mempunyai kedudukan sosial yang tinggi, cerdas, namun memilih seorang laki-laki muda yang bersahaja, Muhammad yang mulia, ketimbang lamaran para hartawan, bangsawan dan para raja. Pilihan ini tentu hanya akan dilakukan perempuan yang visioner. Dan ternyata pilihannya tak pernah salah, sejarah mencatat itu. Cerita tentang keutamaan Khadijah yang mulia perlu dikuak, sebagai ibrah bahwa pilihan perempuan, bisa jadi benar dan dan lebih visioner dari laki-laki zamannya.

Cerita berikutnya yang perlu kita telaah adalah ceritera syahidah Sumayyah, budak belian yang gugur dalam perjuangan keras mempertahankan keimanannya. Manusia pertama yang harus gugur dalam perjuangan mempertahankan keislamannya. Bukan hanya harus gugur, namun juga harus merasakan kepedihan dan kekejaman siksaan kaum kafir, serta harus menahan gemuruh emosi karena disaat yang sama harus menyaksikan kekejaman siksa yang menimpa keluarganya. Atau kisah fenomenal Siti Masyitoh, juru rias keluarga Fir’aun yang harus gugur bersama anak dan suaminya ditangan dzalim Fir’aun untuk mempertahankan keimanannya. Dua cerita ini menarik disimak mengingat bahwa sebagian kita berpendapat, bahwa perempuan bukanlah sosok dengan dengan keyakinan yang teguh, lemah dan tidak kuat pendirian. Adakah yang lebih mulia dari syahid dalam mempertahankan keimanan?. Adakah yang lebih kuat dari usaha memegang keimanan sampai mati, daripada iming-iming kekayaan?. Tidak ada.

Lalu ceritera tentang ummul mukminin Aisyah radliyallahu anha, puteri sahabat utama nabi Abu Bakar As Shidiq. Satu-satunya isteri Rasulullah yang dinikahi dalam kondisi masih muda. Terkenal dengan kecerdasannya. Dan dari kecerdasan itulah, umat muslim banyak terbantu. Bagaimana tidak?. Beliau acap menanyakan hal-hal mendasar kepada nabi SAW, dan kemudian meriwayatkan sabda-sabda nabi tersebut. Dari beliaulah, hadits-hadist tentang etika, perilaku keseharian dan hal-hal pribadi Rasulullah dapat diketahui. Lalu, apakah masih kita pertanyakan kecerdasan perempuan?.

Beberapa ceritera diatas bisa jadi merupakan bukti nyata, bagaimana perempuan bukanlah bumbu pelengkap, bukan pula konco wingking bak asisten rumah tangga, bukan juga hiasan yang dipakai seperlunya. Maka membahas pergolakan perjuangan perempuan, adalah memaknai sejak manusia itu ada. Karena nyata, selain adam, kita adalah anak dari ibu-ibu hebat. Yang berjuang memperaruhkan nafas kehidupannya, demi munculnya nafas kehidupan manusia baru. Maka membahas perempuan adalah membahas kaum ibu, kaum yang disebut sebagai madrasah atau sekolah awal bagi manusia, kaum yang bahkan surga setiap manusia diletakkan Tuhan ditelapak kakinya.

Mengenal pergolakan perempuan, manusia Indonesia sering hanya akan memunculkan sosok Kartini. Padahal perempuan nan perkasa tak melulu soal Kartini yang dari golongan aristocrat Jawa. Kartini (1879-1904) merupakan sosok yang menginginkan golongannya setara dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Namun, sebelum dan lebih Kartini, Nusantara telah mengenal beberapa nama perempuan besar. Sebut saja Ratu Tribuana Tunggadewi, ratu dari Majapahit. Atau Ratu Sima, sang ratu yang terkenal adil dari kerajaan Kalingga. Sosok-sosok itu tak mungkin kita lepaskan juga dari beberapa tokoh mitologi yang dikenal luas. Srikandi misalnya, sosok lincah, gesit yang juga seringkali jadi perlambang pejuang wanita. Atau Subadra, sosok lembut yang dikenal sebaliknya dari Srikandi.

Abad ke 14 di Nusantara juga dikenal 3 perempuan yang menjadi penguasa di zamannya. Sultanah Khadijah, Sultanah Maryam, dan Sultanah Fatimah. Walau ketiganya kemudian harus turun tahta, karena keputusan Qadli Makkah yang melarang kepemimpinan perempuan masa itu. Atau yang tak kalah fenomenal, kita akan mengenang Keumala Malahayati atau yang kerap dikenal sebagai Laksamana Malahayati, panglima perang dari Aceh yang menjabat pada tiga kekuasaan raja dari Ali Riayat Shah (1586-1604), Alaudin Riayat Syah (1604-1607), dan Iskandar Muda (1607-1636). Marie van Zuchtelen dalam bukunya Vrouwelijke Admiral Malahayati, menceritakan Malahayati adalah Laksamana yang memimpin 2000 prajurit perempuan yang gagah berani. Acap membikin gentar musuh yang hendak mendekati bumi serambi Mekkah.

Di bumi Aceh yang secara budaya tidak sepatriarkhi Jawa, kita juga mengenal lebih banyak nama pejuang perempuan. Cut Nyak Dien (1850-1908) yang menyertai suaminya berjuang masuk keluar hutan belantara menghadapi pasukan kolonial. Bahkan setelah suaminya gugur, dia meneruskan kepemimpinan perjuangan pembebasan dari penjajahan. Perjuangan yang lantas diteruskan putrinya, Cut Meurah Gambang, Cut Meutia, Pocut Baren dan banyak pejuang perempuan lainnya. Kita juga mengenal nama Martha Kristina Tiahahu, Wolanda Maramis dibelahan lain Nusantara.

Mereka rela membayar mahal cita-cita dan kecintaannya kepada rakyat dengan nyawa, bahkan Tiahahu harus membayar dengan nyawa di tiang gantungan. Kebanyakan diantaranya menjadi pendamping perjuangan suaminya dalam perjuangan, Emmy Saelan yang mendampingi Monginsidi, atau Roro Gusik mendampingi Surapati. Yang menarik adalah, kebanyakan diantara mereka adalah golongan aristokrat atau bangsawan, yang harusnya bisa menikmati kehidupan yang lebih mapan, lebih nyaman daripada rakyat jelata yang bertelanjang dada dan kurus kering kelaparan kala itu.

Kita juga perlu mengenang Rasuna Said (1910-1965), perempuan pertama yang ditangkap Belanda karena menantang ketidakadilan Belanda dalam pidatonya di Semarang pada 1932. Rasuna Said (Sumatera Barat) pada tahun 1926 menjadi perumus Sarikat Rakyat yang kemudian menjadi PSII, aktif pada organisasi Persatuan Muslim Indonesia tahun 1930, pendiri Komite Nasional Sumatera Barat, Dewan Perwakilan Negeri, anggota KNIP, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera, dan anggota Dewan Perwakilan Agung (DPA).

Nusantara juga harus mengenang Rahmah El Yunusiyah pejuang hebat dari Padang Panjang. Beliau mendirikan Diniyah Putri School di Padang Panjang. Tujuannya yang mulia melalui pendidikan itu adalah membentuk remaja putri Islam dan ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan keluarga, masyarakat dan tanah air. Mengikuti gaya politik non kooperatif. Ia ikut pula membantu pembentukan pasukan Sabilillah dan Hisbullah tahun 1919 hingga kemedekaan. Di era kemerdekaan, ia aktif di Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi inti dari batalyon Merapi. Pada 1955 Rektor Al Azhar berkunjung ke lembaga pendidikan putri yang ia pimpin, kemudian Rahmah di undang ke Al Azhar dan mendapatkan gelar “Syaikhah”, jabatan terakhirnya sebagai anggota DPR 1955. Atau Nyai Ahmad Dahlan yang membentuk organisasi perempuan Muhammadiyah “Sopo Trisno” pada 1917 yang kemudian berubah menjadi Aisyiyah. Sementara di dunia jurnalistik muncul Hj. Siti Latifah Herawati Diah.

Pejuang perempuan yang tak kalah penting adalah Rohana Koedoes, yang mengangkat nama perempuan didunia pendidikan. Rohana Koedoes mendirikan organisasi Kerajinan Amal Setia atau Kerajinan Perempoean pada tanggal 11 Februari 1914 di Gadang, Sumatera Barat. Organisasi ini dimaksudkan melatih perempuan untuk meningkatkan ketrampilan perempuan dalam mengatur rumah tangga, kerajinan tangan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tahun 1912, beliau menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe.

Pergolakan perlawanan perempuan di Indonesia dapat dirunut jauh pada tahun 1912. Dibantu Boedi Oetomo, berdirilah organisasi Poetri Mardika di Jakarta. Organisasi didirikan dengan maksud untuk mengangkat harkat martabat perempuan. Terlebih agar perempuan dapat berdiri tegak, menyingkirkan rasa malu-malu dan agar perempuan bersikap tegas. Tentu ini dimaksudkan agar perempuan dapat membantu pergerakan tujuan tercapainya kemerdekaan Indonesia. Menyusul kemudian berdirilah organisasi-organisasi serupa, di Jawa dan Sumatera pada 1915 sampai 1920-an.

Pada 1913 Kaoetamaan Isteri berdiri di Tasikmalaya dengan tokoh perempuannya yang terkenal, Dewi Sartika. Tokoh ini berprofesi sebagai pengajar, perkumpulan ini bergerak di bidang pendidikan. Pertama berdirinya, organisasi dan sekolah ini bernama Putri Merdika. Dewi Sartika menjadi kepala sekolah di Kaoetamaan Isteri pada 1904, yang kemudian merubah sekolah ini menjadi organisasi gerakan, dengan mendirikan lebih banyak sekolah dibeberapa tempat. Bahkan sekolah Kaoetamaan Isteri berdiri di 9 kabupaten diwilayah Pasundan. Dewi Sartika adalah seorang putri bangsawan dari Raden Somanegara dan Raden Ayu Permas. Walaupun dari golongan aristokrat, namun Dewi Sartika juga menghendaki perubahan adat pingitan seperti kawin paksa dan poligami yang dipandangnya mencekat kaum perempuan.

Masa-masa tahun 1913 sampai tahun 1920-an adalah masa bersemainya organisasi-organisasi gerakan perempuan, sama dengan gerakan-gerakan usaha kemerdekaan dan rintisan perjuangan nasionalisme yang dilakukan para nasionalis dari golongan laki-laki. Ini adalah efek dari diterapkannya politik etis pemerintah kolonial Belanda yang dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya perjuangan membebaskan tanah air dan rakyat dari kolonialisme, dari kalangan bumiputera. Termasuk kalangan perempuan.

Tahun 1915 berdiri Pawiyatan Wanito di Magelang. Purborini di Tegal berdiri pada tahun 1917. Pada tahun berikutnya, 1918 berdiri organisasi Wanito Soesilo di Pemalang. 1919 berdiri Wanito Hadi di Jepara, dan Poeteri Boedi Sedjati di Surabaya. Sedang pada 1920 berdiri Wanito Oetomo dan Wanito Muljo di Yogyakarta, sedangkan nun jauh di Bukittinggi Sumatera berdiri organisasi Serikat Kaoem Iboe Soematera. Gerakan-gerakan perempuan yang ada sejak tahun-tahun ini membuktikan bahwa kesadaran perempuan Indonesia nyata sudah terbentuk, walaupun negara Indonesia belum terbentuk. Pun dapat dikata sejajar dan sama tuanya dengan gerakan-gerakan perempuan dibelahan dunia lain. Walaupun kebanyakan gerakan-gerakan perempuan Indonesia saat itu lebih mengutamakan bagaimana membentuk generasi puteri yang dapat menjadi isteri yang mempunyai keterampilan dalam mengatur rumah tangga. Selain usaha-usaha untuk menjadikan perempuan setara dalam pendidikan dengan kaum laki-laki.

Usaha-usaha ini bukannya tanpa tantangan. Adat istiadat yang mengungkung perempuan dan menjadikannya kelas kedua dalam kehidupan sosial, sulit untuk ditembus. Adat istiadat, budaya patriarkhi yang berkelindan dengan penafsiran keagamaan yang ortodok dan cenderung bias gender menjadikan perjuangan ini semakin terjal. Hal ini ditambah dengan kondisi kolonialisme yang menjadi penghalang sempurna bagi “kemerdekaan” perempuan.

Seperti diketahui, kemajuan perpolitikan di Indonesia zaman kolonialisme sangat lamban, lebih lamban dari India yang dijajah Inggris atau Filipina yang dijajah Amerika. Hindia Belanda (sebutan Indonesia zaman penjajahan), baru dibentuk Volksraad, sebuah Dewan Rakyat yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Dewan yang dibentuk pada tahun 1918 ini berisi perwakilan rakyat Indonesia yang dipilih dengan status sosial tertentu. Sehingga tentu saja, perempuan sebagai “kelas kedua” dalam struktur masyarakat, tidak termasuk dalam dewan ini. Dewan ini hanya diisi oleh para ambtenar pribumi, priyayi yang kesemuanya laki-laki.

Pada saat itu di Belanda, perkumpulan perempuan yang tergabung Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV-Asosiasi Hak Perempuan Memilih) baru memikirkan hak memilih bagi saudara mereka di Hindia Belanda pada tahun 1926.  Untuk maksud ini, perempuan Belanda menginginkan agar mempunyai anggota yang signifikan dengan mengajak serta perempuan-perempuan dari Hindia Belanda agar tuntutannya semakin didengar. Namun, ajakan ini tidak bersambut. Masalahnya, komunikasi antara perempuan Belanda dengan Hindia Belanda tidak berjalan dengan “lancar”. Ada jarak yang amat panjang, kaum perempuan Belanda dengan kaum perempuan “pribumi”. Ada ketidak percayaan atas kemampuan perempuan Hindia Belanda bahkan yang terdidik sekalipun dari kaum perempuan Belanda. Bagi perempuan Belanda, kaum perempuan Hindia Belanda belum bisa diajak berbicara tentang hal-hal yang politis dan masih sangat terbelakang untuk berbicara gerakan perempuan. Pandangan yang meremehkan ini semakin mengalienasikan perempuan Hindia Belanda.

Peristiwa penting selanjutnya adalah Kongres Wanita pertama yang diadakan 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hari itu kemudian kita peringati sebagai Hari Ibu. Dalam kongres yang bersejarah itu, lahirlah Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang pada 1929 berganti nama menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII). Dihadiri oleh 30 organisasi perempuan se-Indonesia, dimana mereka menyatakan bahwa persamaan derajat akan dicapai dalam susunan masyarakat yang tidak terjajah. PPII juga membentuk sebuah panitia penghapusan perdagangan perempuan. Walaupun nyatanya peserta kongres ini adalah perempuan-perempuan “kelas atas”. Pada tahun 1928 ini pula dilangsungkan Kongres Pemuda pada bulan Mei, yang menelurkan Sumpah Pemuda. Dalam kongres ini diadakan pula sessi khusus membahas tentang keperempuanan. Pembicara-pembicara pada saat itu, seperti Nona Adam, M. Tabrani, Djaksodipoero dan Bahder Johan acap mengkaitkan peranan perempuan dan kemerdekaan.

Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena dibawah kolonialisme laki-laki juga tertindas. Maka, bersama-sama dengan laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya dibawah Indonesia yang merdekalah, kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraannya, begitulah yang dikatakan oleh Soekarno pada tahun 1932. Ini tak lain adalah buah dari serbuan nasionalisme yang siang malam datang menyerbu ke dada para pemuda pertiwi. Pun begitu pada kaum perempuan. Walau nyatanya mereka juga sedang berjibaku membebaskan kaumnya dari ketertindasan lain, berusaha membebaskan kaumnya dari buta huruf, peminggiran dibidang pendidikan dan hal-hal keperempuanan lain. Kongres Wanita selanjutnya dilangsungkan pada tahun 1935 di Jakarta, sedangkan kongres ke 3 dilangsungkan tahun 1938 di Bandung. Gerakan-gerakan perempuan pada saat itu semakin populis, selain bahwa terjadi pergeseran orientasi kepada perempuan kelas bawah.

Perang dunia ke II turut memberikan kontribusi pada kesadaran perempuan akan kedudukannya yang harusnya setara. Selama perang itu, pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh kaum laki-laki harus dikerjakan oleh kaum perempuan, hal ini menyadarkan mereka akan kemampuan mereka. Lebih dari 6 juta perempuan bekerja disektor yang selama ini digeluti laki-laki. Maka, pada tahun 1940 untuk pertama kalinya dibentuklah serikat buruh perempuan di Indonesia, Pekerja Perempuan Indonesia (PPI). Selain melakukan perlawanan terhadap perbedaan upah dan kenaikan pangkat, terlebih tujuan utamanya adalah memberikan pelatihan ketrampilan kerja kepada perempuan.

Pada saat Jepang datang menjajah menggantikan Belanda, sebenarnya keadaan tidak lantas bertambah baik. kolonial tetaplah  kolonial, penjajah tetaplah serakah. Kedatangannya alih-alih membawa perubahan menjadi lebih baik. Tujuan utama mereka datang tetaplah memenangkan kepentingannya, dan kepentingan terbesar Jepang ketika itu adalah memenangkan pertempuran Asia Timur Raya. Memperkenalkan diri sebagai saudara tua, Jepang mulai hegemoninya. Pada saat yang sama, semua organisasi perempuan yang ada sebelum kedatangan Jepang dibubarkan, kecuali yang dibentuk Jepang kemudian untuk kepentingannya, seperti Fujinkai. Tujuan utama Fujinkai adalah memobilisasi tenaga kerja perempuan guna membantu Jepang memenangkan perang Asia Timur Raya.

Penjajahan Jepang menyisakan kepedihan yang dalam bagi banyak perempuan dibanyak negara yang dijajahnya dalam kurun perang dunia ke II, pun begitu di Indonesia. Beberapa perempuan dipaksa menjadi Jugun Ianfu, julukan bagi perempuan yang dipaksa menjadi “perempuan penghibur” dan harus mendampingi angkatan perang Jepang. Belum lagi beberapa perempuan yang harus mengalami kekerasan dan pelecehan seksual oleh tentara Jepang. Walau demikian, seperti para laki-laki, perempuan masa itu tak berpangku tangan, mereka juga mengorganisasi diri untuk meraih kemerdekaan, walau acap dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Bahkan pasca kemerdekaan, ketua Fujinkai menyeru kepada para anggotanya untuk merubah organisasi lokal keperempuanan menjadi organisasi yang menyokong usaha pertahanan kemerdekaan.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun bukan melulu dominasi kaum laki-laki. Tercatat terdapat lasywi, Lasykar Wanita Indonesia turut berada digaris depan pertempuran. Belum lagi rekan mereka dibarisan belakang yang bahu membahu mengorganisasi diri untuk membantu perjuangan.

Kongres Perempuan pertama pasca proklamasi diadakan di Klaten dekat Yogyakarta pada tanggal 15-17 Desember 1945 atas inisiasi sebuah perkumpulan perempuan yang populer dimasa itu, PERWANI (Persatuan Wanita Indonesia) cabang Yogyakarta pimpinan nyonya D.D Susanto. Kongres diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan nyonya Kartowiyono. Dalam kongres ini disepakati fusi antara PERWANI dan Wanita Negara Indonesia (WANI) menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (perwari). Pada tahun berikutnya, tepatnya pada 24 sampai 26 Februari 1946 dilakukan pertemuan di Solo, yang melahirkan Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), KOWANI juga melakukan kontak kerjasama internasional dengan WIDF (Women`s International Democratic Federation). Yang dimaksudkan mendukung usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan dalam bidang pendidikan, sosial, dan politik.

Kongres kedua dilakukan di Madiun pada 14-16 Juni 1946 setelah terjadi perang. Keputusan pentingnya adalah perempuan akan membantu tentara republik dalam mempertahankan kemerdekaan baik digaris depan pertempuran maupun digaris belakang sebagai kekuatan pendukung dengan membentuk dapur umum dan semacamnya. Perempua akan berjuang turut serta mempertahankan kemerdekaan dengan segala cara.

Kongres ketiga perempuan diadakan di Magelang yang dipimpin oleh nyonya Soenarjo Mangoen Poespita. Kongres keempat dilakukan di Solo pada 26-28 Agustus 1948 dibawah kepemimpinan nyonya Soepeni Poedjoboentoro yang selanjutnya menyetujui untuk mendasarkan diri pada kelima sila Pancasila. Walau pada Desember 1948 Belanda melancarkan agresi yang mengejutkan republik yang masih muda saat itu. Namun dalam situasi sulit, pada 26 Agustus sampai 2 September 1949, KOWANI tetap menyelenggarakan konferensi dengan beberapa keputusan krusial. Diantaranya mendirikan pusat kegiatan bagi kaum perempuan di Yogyakarta yang diberi nama Gedung Persatuan Wanita Indonesia, untuk mengenang pertemuan kongres pertama perempuan pra kemerdekaan pada tahun 1928 dikota itu.

Kejadian penting pada 1950, adalah fusi dua badan federatif yang terpecah selama revolusi. Organisasi fusi Kowani, yang pernah ditinggalkan sejumlah organisasi Islam dan Badan Kontak yang didirikan oleh Konferensi Perempuan Yogyakarta. Mereka bersatu dalam kongres pada bulan November 1950. Selanjutnya pada 17 Desember 1953 terjadi demonstrasi besar-besaran yang menolak Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1952 yang terang-terangan mensahkan poligami bagi para pegawai. Dan puncaknya pada 1974, beberapa pihak mensinyalir terjadi gerakan besar depolitisasi gerakan perempuan, sejak difusikannya 19 organisasi perempuan istri pegawai negeri menjadi sebuah organisasi bernama Dharma Wanita dan 4 organisasi perempuan istri tentara menjadi Dharma Pertiwi. Sejak saat itu, semangat perlawanan gerakan perempuan mulai mengendur dan bergeser. Dan pada dekade 1980-an, gerakan perempuan lebih diwarnai oleh ide-ide radikal liberal dan sosialis dari feminimis Amerika dan Eropa. Namun sebenarnya gerakan tak pernah sepenuhnya berhenti, Inong Bale di Aceh, misalnya. Merupakan organisasi janda korban operasi militer di Aceh. Serta beberapa organisasi dan gerakan perempuan yang tak kalah pentingnya.

Dibelahan bumi lain pda abad ke 19, gerakan perempuan menuntuk penghapusan diskriminasi dan persamaan hak terjadi di Amerika. Gerakan ini dikemudian hari dikenal dengan feminimisme. Sebuah konvensi diorganisir oleh Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton tepat pada 19-20 Juli 1848 yang menghasilkan sebuah deklarasi, dikenal sebagai declaration of sentiment. Dari konvensi ini pula digagas National Women Suffrage Association (NWSA) yang menuntut amandemen hak untuk memilih. Pada awal abad ke-20 gerakan ini memperoleh angin segar dengan diterimanya amandemen XIX (sembilan belas) yang menjamin hak suara tanpa memandang jenis kelamin.

Sedangkan di Chile, gerakan perempuan baru mulai awal tahun 1900-an.  Ada dua model gerakan perempuan di Chile. Pertama, gerakan yang memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum perempuan. Gerakan ini bergerak juga dibidang politik dan banyak dipengaruhi pemikiran feminimisme Eropa dan Amerika. Pada tahun 1919, gerakan ini mendirikan partai El Partindo Civico Femenino. Semula hanya beranggotakan perempuan “kelas atas”, namun pada tahun 1920 banyak perempuan kelas menengah bergabung.

Kedua, gerakan perempuan kiri atau acap dikenal dengan gerakan perempuan proletariat. Beranggotakan kaum militan, buruh tanim istri kalangan pekerja, buruh tambang. Gerakan ini dikenal dengan Gerakan untuk Emansipasi Perempuan Cile (Movimiento Pro Emancipacion de la Mujer Chilena). Pada tahun 1945 mereka mendirikan Partai Feminis yang memperjuangkan hak pilih universal dan berhasil.

Namun pada 1973 terjadi kudeta yang dipimpin Jenderal Pinochet. Gerakan perempuan hancur, rezim menerapkan paksa ideologi tradisional, perempuan “menjadi ibu” (motherhood). Peran perempuan diruang publik diberangus.

Di Filipina gerakan perempuan baru mengemuka pada tahun 1970-an. Organisasi paling terkenal adalah General Assembly Binding Women For Reforms, Integrity, Leadership, dan Action (GABRIELA), yang terdiri atas koalisi 42 organisasi perempuan dan 50.000 anggota. Nama ini diambil dari nama pemimpin pemberontakan abad 19, Gabriela Silang. Tuntutan mereka tak jauh dari gerakan sejenis, yakni kesetaran peran dan posisi diruang publik. Namun lebih jauh juga memperjuangkan berbagai isu, termasuk melakukan protes soal pangkalan militer Amerika Serikat. Gerakan ini cukup dinamis. Terutama ketika Benigno Aquino terbunuh pada 1983, gerakan ini melakukan protes pada pemerintah. Tercatat terdapat 200 aksi yang dimotori GABRIELA dalam waktu 8 bulan. Gerakan ini pula yang berhasil menumbangkan persiden Marcos dengan revolusi damai, termasuk kemenangan Corazo Aquino tak lepas dari peran gerakan ini.

Australia yang didatangi oleh orang Eropa mulai tahun 1778 dan kebanyakan adalah orang buangan Eropa juga mempunyai catatan tentang  gerakan perempuan. Kaum perempuan Inggris mulai memasuki Australia pada tahun 1830. Pada 1883 Inggris menjadikan Australia sebagai koloninya. Dalam kedatangannya, suku asli Australia, Aborigin acap mengalami diskriminasi, terutama kaum perempuannya. Perselisihan antara perempuan pendatang dan perempuan Aborigin sering terjadi, sampai dikembangkannya kesadaran sisterhood, persaudaraan antar mereka.

Organisasi perempuan Australia yang pertama adalah Woman's Christian Temperance Union (WCTU). Awalnya mereka hanya memperjuangkan hak pilih bagi perempuan kulit putih, selayaknya di Amerika. Namun pada tahun 1970, mereka mulai mengangkat isu rasisme dan meghendaki persamaan derajat, terutama bagi perempuan Aborigin.

Tak kalah pentingnya adalah melihat bagaimana perempuan muslim ambil bagian dalam semua gerakan perempuan di bumi Nusantara. Dan tentu akan lebih menarik membaca gerakan perempuan kalangan pesantren. Santri putri sendiri ada sejak kisaran tahun 1920-an. Adalah KH. Bisyri Syamsuri yang menerima secara diam-diam santri perempuan. Kerapkali santriwati itu harus disembunyikan, karena pada waktu itu, perempuan masih tabu untuk keluar rumah walau hanya untuk belajar. Termasuk ketika KH. Hasyim Asyari berkunjung ke pondok Kiai Bisri di Peterongan.

Menerima perempuan menjadi santri adalah sesuatu yang masih terbilang “aneh”. Bahkan masih menjadi khilafiyah yang terus diperdebatkan dikalangan pesantren. Sebagian pihak masih menganggap tidak “aman” untuk menerima perempuan dalam ruang public. Ini bisa dimengerti jikalau kita merunut, bahwa saat itu kondisi sosial politik dan keamanan tidak seperti zaman ini. Pun soal lain yang masih diperdebatkan adalah soal ikhtilath, campurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat. Sedangkan menolak mafasid atau kerusakan, haruslah dikedepankan daripada mencipta maslahah. Hal itupun sempat menjadi pembahasan dalam bahtsul masail dan menjadi khilaf pada kurun tahun 1920-1930-an.Maka ketika muncul pesantren khusus putri seperti Diniyyah Putri di Padang Panjang, atau di Pondok Pesantren Gontor Putri, tidak heran lantas menarik perhatian khalayak ketika itu.

Merunut perjuangan pendirian organisasi kaum perempuan pesantren juga menarik. Sejak mendirikan organisasi bernama Nahdlatoel Oelama atau kita kenal Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Kaum santri yang berhimpun adalah mayoritas kaum laki-laki. Organisasi ini begitu maskulin. Sehingga pada 1938, dalam sebuah kogres atau muktamar NU di Menes Banten, untuk kali pertama perempuan bisa berdiri di podium. Perwakilan kaum ibu yang menyampaikan pandangannya dalam kongres itu adalah Nyonya R. Djuaesih dan Nyonya Siti Sarah. Dan semenjak saat itulah, kaum perempuan diakui sebagai anggota, walau hanya sebagai pendengar dan pengikut saja. Tidak mempunyai hak untuk duduk di kepengurusan.

Kemajuan peranan perempua dalam tubuh organisasi NU mulai terlihat setahun kemudia, pada Muktamar ke 14 di Magelang, kaum perempuan diperkenankan mendengarkan dari balik tabir dan salah satu pimpinan siding dipegang oleh perempuan, yakni Nyonya Djuaesih yang berasal dari Bandung. Beberapa perwakilan yang hadir saat itu adalah NU Muslimat Muntilan, NU Muslimat Sukaraja, NU Muslimat Kroya, NU Muslimat Wonosobo, NU Muslimat Surakarta (Solo), NU Muslimat Magelang, Banatul Arabiyah Magelang, Zahratul Imam Magelang, Islamiyah Purworejo dan Aisiyah Purworejo. Diskusi terpenting berkutat masalah urgensi peranan perempuan dalam NU, masyarakat, pendidikan dan dakwah.

Muktamar NU ke 15 di Surabaya pada 1940 memberikan warna tersendiri bagi upaya  pembentukan badan khusus di organisasi NU. Pada masa ini, walaupun teah lengkap aturan organisasi dan struktur organisasinya, namun belum mendapat pengakuan resmi. Tujuan utamanya sesuai yang disebut dalam pasal 2 Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga adalah menyadarkan para wanita Islam Indonesia akan kewajibannya, supaya menjadi ibu yang sejati, sehingga dapatlah mereka itu turut memperkuat dan membantu pekerjaan NU dalam menegakkan agama Islam.

Muktamar NU ke 16 di Purwokerto membawa perubahan yang signifikan, setelah sebelumnya NU lumpuh akibat kedatangan Jepang. Pada Muktamar kali ini, kaum perempuan resmi mempunyai badan yang diakui secara resmi merupakan bagian dari organisasi NU, dengan nama resmi Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM). mereka mempunyai struktur tersendiri dan berhak menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sendiri. Maka tanggal 29 Maret 1946 atau 26 Rabiul Akhir 1465, dicatat sebagai hari lahir Muslimat NU.

Kemajuan peranan perempuan dalam organisasi NU semakin terlihat manakala pada Muktamar NU di tahun 1950 terdapat sidang-sidang kombinasi yang melibatkan Tanfidziyah, Syuriyah dan Muslimat. Selain bahwa Muslimat juga menyelenggarakan persidangan tersendiri. Puncaknya adalah ketika Muslimat NU dinyatakan menjadi badan otonom NU pada Muktamar NU di tahun 1952 di Palembang.

Salah satu peran vital yang diharapkan dari Muslimat NU adalah peranannya dalam pemberantasan buta huruf dan pendidikan. Disisi lain karena NU sudah mempunya lembaga LP Maarif NU yang bertugas menangani pendidikan. Maka, diadakan pembagian tugas. Muslimat mengambil peran di pendidikan anak usia dini, selain karena sejak awal Muslimat NU sudah sejak awal merintis dan mengembangkan sekolah-sekolah TK, selain majlis taklim dan pelatihan-pelatihan ketrampilan bagi para perempuan. Untuk maksud ini Muslimat mendirikan Yayasan Bina Bakti Wanita, sedangkan untuk masalah sosial Muslimat mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU. Selain adapula Yayasan Haji Muslimat NU. Yang membantu perjalanan haji dan umroh.

Peranan Muslimat NU ini sangat vital, melihat pola dan padunya gerakan perempuan NU hari ini. Pada tahun 2011 saja, di Kongres Muslimat NU yang diadakan di Lampung tahun 2011, Muslimat NU telah memiliki asset berupa 13.568 TPQ, 9.800 TPA/RA, 4.567 Playgroup dan 103 Panti Asuhan dan 74 BKIA (rumah bersalin/rumah sakit).

Melihat serentetan perjuangan perempuan diatas, tentu tak perlu kita dedahkan bagaimana sebenarnya perempuan adalah setara dengan laki-laki. Baik dalam peran, dan tentu saja dalam kedudukan.

Dalam Islam utamanya, kita tentu tidak harus diingatkan bahwa kedudukan kita dimata Sang Maha Pencipta hanya ditentukan oleh ketakwaan kita. Acap kita sebut sederet nama para kekasih Allah dengan segala hormat dan kemuliaan dari golongan laki-laki. Namun kita juga harusnya tak lupa menyebut sederet nama para waliyah Allah sebut saja Rabiah al Adawiyah, Nafisah binti Hasan dan Maimunah al Sauda.

Rabiah Al Adawiyah mempunyai nama lengkap Rabiah bin Ismail al Adawiyah al Qisysyiyah. Lahir dari keluarga miskin, yang pada kelahirannya bahkan minyak untuk menyalakan lampu dan selimut untuk menyelimuti tubuh bayi mungil pun tak ada. Kewaraan diikuti dari ayahnya yang bahkan bersumpah untuk tak menumpuhkan segala keluh kesah selain kepada Rabnya. Alih-laih kepada manusia. Rabiah merupakan puteri keempat, itulah sebab namanya disebut Rabiah. Konon termasuk dalam suku Atiq yang secara nasab bersambung pada nabiyullah Nuh Alaihisalam.

Hidup pada masa dinasti Umayyah, Rabiah mampu menghafal al Qur’an pada usia 10 tahun. Karena keadaan ekonomi yang tak menentu, Rabiah dan saudari-saudarinya seringkali berpindah tempat, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga suatu saat Rabiah harus jatuh ke tangan perampok yang menjualnya sebagai budak. Namun tuannya yang bengis, harus takluk dan memerdekakannya tatkala mendengar rintihan doa dan dzikir yang menyentuh kalbu. Ajarannya tentang jalan mahabbah, jalan cinta tanpa batas telah menjadi pilihan hidupnya. Zuhud, wirai dan sabar dalam cinta adalah tindak laku hidup hingga maut hadir padanya.

Inilah salah satu perempuan mulia, yang dalam malam sepi terlelap karena lelah, atas panjangnya tangis sedih pada kelahiran Rabiah karena begitu miskinnya, sang ibu ditemui oleh Nabi Mulia Muhammad SAW dalam mimpi, seraya mengabarkan bahwa Rabiah adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang. Rabiah adalah perempuan yang darinya banyak wali-wali Allah yang utama dari kalangan laki-laki mengambil hikmah. Sebut saja Sufyan As Tsauri, Syaqiq al Balkhi, atau Abdul Wahid bin Zaid atau Hasan Basri.

Hasil gambar untuk rismaharini
Nafisah binti al Hasan Anwar ibn Zaid al Ablaj ibn Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib, adalah perempuan mulia dari keturunan yang mulia. Yang lahir dari nasab agung cucu kesayangan Nabi Agung Muhammad SAW. Salah satu waliyah Allah yang mulia dari golongan dzuriyyah. Yang akhirnya dipersunting oleh salah satu putera imam Ja’far al Shadiq radliyallahu anhu. Sayyidah Nafisah adalah sosok yang cerdas, teguh dan wara’. Atau Maimunah al Sauda, salah seorang waliyah yang seringkali direndahkan. Wajah yang jauh dari kata cantik, bahkan mendapat gelar al sauda (berwajah hitam), menutupi kemuliaan dan kedudukannya. Abdul Wahid bin Zaid, seorang wali Allah ketika bermunajat dan bertanya sesiapa yag menjadi pendampingnya di akhirat. Isyarah menunjukkannya kepada Maimunah al Sauda. Yang ternyata adalah penggembala domba.

Dan terakhir dalam tulisan ini, hal penting yang perlu kita renungkan adalah sesiapapun kita, kita “hanyalah” anak dari seorang ibu. Jika kita menanyakan kesempurnaan akal perempuan, kemandirian, keteguhan, kekuatan dan kemuliaan perempuan. Maka sebenarnya, kita sedang mempertanyakan awal mula kehadiran kita. Terpujilah kaum ibu, yang surga setiap insan diletakkan dibawah telapak kakinya.

Wallahu a’lam, wa ilaLlah turja’ul umuur…


(Pernah diterbitkan sebagai editorial dalam Majalah Al Fikrah Edisi 91)

0 komentar:

Posting Komentar

Harap berkomentar demi perbaikan...