top social

Jumat, 13 Juli 2018

DARI SARACEN SAMPAI MCA DAN MASA DEPAN ISLAM MODERAT DI INDONESIA


\DARI SARACEN SAMPAI MCA DAN MASA DEPAN ISLAM MODERAT
DI INDONESIA


ABSTRACT

Moderate is the original character of Islam, including Islam of  Indonesia. Islam of Indonesia has been living harmony in the life of a nation, religious,  although in a different perspective, interpretation and point of view. But everything is still reasonable limits and dynamic. Moderate Islam is suddenly threatened after the development of social media and online media that can be accessed easily and cheaply. Especially after the emergence of groups that spread the hoax, hate speech and SARA (ethnicity, religion, race, and inter-group relations) sentiment. The group is developed a new perspective that tends to be radical, scripturalist and rigid. Worse, they use religion as a weapon just for his political interests in the name of da’wâh and jihâd. Here is a big challenge for the existence of moderate Islam in Indonesia.

Keywords: Islam, Moderate, Hoax, Politics


ABSTRAK
Moderat adalah watak asli Islam, termasuk Islam Indonesia. Islam Indonesia selama ini hidup dalam harmoni dalam kehidupan berbangsa, beragama walaupun tetap dalam perbedaan perspektif, penafsiran dan sudut pandang. Namun semuanya masih dalam batas wajar dan dinamis. Islam nan sedemikian moderat tiba-tiba terancam pasca berkembangnya media sosial dan media daring yang dapat diakses dengan mudah dan murah. Terutama setelah kemunculan kelompok-kelompok yang menebarkan hoax, ujaran kebencian dan sentiment SARA. Kelompok ini mengembangkan sebuah sudut pandang baru yang cenderung radikal, skripturalis dan rigid. Lebih parahnya, mereka menggunakan agama sebagai senjata sekedar untuk kepentingan politis-nya dengan mengatasnamakan dakwah dan jihad. Disinilah tantangan besar bagi eksistensi Islam moderat di Indonesia.

Kata Kunci: Islam, Moderat, Hoax, Politik




Pendahuluan
Moderat, sesungguhnya adalah watak asal Islam. Hal ini merujuk pada ayat yang menyatakan, “Wa kadhalika ja’alnakum ummatan wasat}an litakûnû shuhadâa ‘ala al nasi wa yakûna al rasûlu ‘alaykum shahidâ…”.[1] Kata al wasat} (singular) atau awsat} (plural) sebenarnya berarti yang tengah-tengah.[2] Pun kata ini kerap digunakan sebagai padanan kata moderat. Dalam menafsirkan terminologi “ummatan wasat}an” dalam ayat ini, imam Nawawî al Jawî mengartikan sebagai umat terpilih yang sangat adil dan terpuji dengan ilmu dan amal.[3] Sedangkan ‘Alî al S}ôbûniy mengutip pernyataan al T}abarîy dalam mengartikan kata wasat}an pada ayat tersebut sebagai, “Al wasat} dalam perkataan orang Arab berarti pilihan, atau adil. Ini dimaksudkan karena sebaik-baik perkara adalah yang moderat. Dan sesungguhnya fanatisme (radikal) dan yang abai (liberal) keduanya adalah hal yang tercela”.[4]
Rasulullah sebagai pembawa risalah pun selalu memilih jalan tengah tatkala dihadapkan pada pilihan dua kutub yang ekstrem. Nabi digambarkan sebagai sosok yang moderat dan cenderung menghindari memilih jalur yang ekstrem. Setidaknya begitu menurut Khaled Abou el Fadl. Karena itulah menurut Abou el Fadl mayoritas muslim adalah moderat. Dan moderasi menggambarkan pendirian keagamaan mayoritas umat Islam.[5]

Muslim Indonesia pun dikenal sebagai muslim yang moderat, setidaknya itu direpresentasikan dengan sikap dan pendapat mayoritas tokoh agama Islam di tingkat nasional, sebut saja Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Maarif, Emha Ainun Nadjib, Amin Abdullah, Azyumardi Azra, Abd A’la dan tentu representasi dari dua ormas besar Islam Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah, Said Aqiel Siradj dan Haedar Nashir. Kesemuanya itu menjadi bukti bahwa Islam Indonesia adalah moderat.

Walaupun bukan tanpa perdebatan dan perbedaan sudut pandang, namun kehidupan beragama di Indonesia berjalan harmonis. Namun, harmoni yang lama ada menjadi terganggu dengan munculnya kelompok-kelompok kecil radikal yang kerap abai pada harmoni bermasyarakat dengan menebarkan aroma kebencian bernada SARA di media sosial, media daring. Dunia daring menjadi lahan untuk menebar kebencian pada golongan tertentu. Golongan dan grup tersebut kali pertama muncul pada momentum politik, yakni pemilihan presiden pada tahun 2014 dan mencapai titik kulminasinya dalam Pilkada DKI Jakarta. Calon petahana di Pilkada DKI Jakarta yang kebetulan beragama Kristen dan diduga terlibat kasus penistaan agama, menjadikan Pilkada DKI Jakarta lahan tumbuh berkembangnya isu SARA dalam perpolitikan Indonesia hingga saat ini.

Grup pertama kelompok yang menamakan dirinya Saracen, Grup ini sendiri ditangkap oleh aparat kepolisian pada Agustus 2017. Tidak tanggung, kelompok ini menebarkan kebencian, hoax dan sejenisnya dengan menggunakan 2000 akun media. Konten-konten berisi ujaran kebencian itu merupakan pesanan dari pihak lain.[6] Kemunculan kelompok cyber  dan hoax yang massif menurut ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, dimulai ketika wartawan menjadi tim sukses dan munculnya media sebagai alat kampanye. Pada akhirnya muncul berita tidak benar, baik dari media-media mainstream sampai situs abal-abal.[7]

Penangkapan Saracen tidak menghentikan penyebaran ujaran kebencian, hoax dan isu SARA. Dunia cyber yang tumbuh sedemikian pesat di Indonesia dimanfaatkan beberapa pihak untuk menyebar isu SARA, ujaran kebencian dan hoax tanpa terkendali. Sedang beberapa politisi menjadikan isu-isu tersebut sebagai komoditas politik kelompoknya. Pertemuan isu sektarian dengan politik menjadikan isu ini berkembang liar dan berpotensi merusak harmoni kebangsaan, keberagamaan dan tentu merusak citra Islam Indonesia yang moderat. Apalagi jika penyebar isu SARA, kebencian dan hoax menyandarkan bahwa yang dilakukan adalah dakwah dan jihad.

Kejadian ini merujuk pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiri ketika melihat fenomena sektarianisme agama menjadi dominan di beberapa negara Islam, seperti Lebanon, Suriah, Mesir dan Sudan. Sektarianisme agama yang muncul di negara-negara tersebut muncul sebagai pandangan yang menganggap agama minoritas merupakan masalah sosial yang kemudian menjadi masalah politik.[8]

Belakangan hadir kelompok yang menamakan dirinya Moslem Cyber Army atau MCA. Grup yang ditangkap polisi pada 27 dan 26 Februari 2018 ini juga menjalankan praktik menebarkan kebencian melalui media sosial dan media daring. MCA dikenal ketika terjadi perhelatan Pilkada DKI. Isu yang disebarkan pun bermacam-macam, dari isu kebangkitan PKI, penyerangan ulama dan lain sebagainya. Kelompok ini lebih banyak anggotanya dan pola kerjanya lebih massif. Bahkan disebutkan untuk menjadi anggota inti harus pula dibaiat.[9]

Saracen dan MCA; Peyorasi Dakwah dan Jihad di Alam Cyber
Dalam lintasan sejarah Islam, ekspansi dan penaklukan wilayah dikenal sebagai upaya penyebaran ajaran agama atau dakwah. Diantara yang paling terkenal di periode Islam awal tentu penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Seperti penaklukan wilayah Persia, Mesir, Irak, Palestina dan sebagainya.[10] Penaklukan-penaklukan dan perang-perang demi menjaga nama Islam itu diasosiasikan sebagai perang suci melawan kaum kafir. Dalam al Qur’ân[11] dan al Hadith[12] tersirat perang sebagai jihad atau perjuangan demi Allah semata.

Namun jika dikaji lebih mendalam, jihad tidak hanya berarti perang. Namun semata perjuangan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas demi Allah SWT. Hal ini diungkap misalnya dalam al-Qur’ân dengan sebutan jihad sebenar-benarnya.[13] Al-S}obûnî menafsirkan Q.S 22:78 ini sebagai usaha dengan materi dan jiwa demi tegaknya agama Allah dengan meluapkan segala kapasitas dan kapabilitas.[14]

Tersebut riwayat bahwa usai sebuah peperangan, Rasulullah menyatakan peperangan adalah jihad kecil. Sedangkan jihad yang lebih besar adalah jihad melawan hawa nafsun.[15] Diriwayatkan Rasulullah juga menyatakan bahwa jihad terpenting adalah jihad melawan nafsu.[16] Secara etimologi, jihad berarti mencurahkan usaha, kemampuan, dan tenaga. Dengan kata lain, ia berarti bersungguh-sungguh.[17] Dalam Al-Qur’ân kata jihad dengan pelbagai derivasinya diulang sebanyak 41 kali.[18]

Sedangkan dakwah yang bermakna dasar mengajak, memanggil, menyeru, mengundang sama sekali tidak memperkenankan terkontaminasi dengan keburukan-keburukan apalagi kebencian dan kebohongan. Karena konsep dakwah senyatanya berasal dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Dari kedua sumber utama ini pemikiran dakwah dikembangkan dengan ilmu tauhid, perilakunya dengan ilmu fikih, dan kalbunya dengan ilmu akhlak.[19]

Kesemua pengetahuan dan terminologi jihad dan dakwah yang sedemikian mulia itu hari ini seakan tergadai, begitu kita melihat kenyataan beberapa pihak telah mempergunakan terminologi jihad dan dakwah dengan serampangan. Menjustifikasi kejahatan cyber mereka menebar hoax, ujaran kebencian berbau SARA sebagai dakwah dan jihad cyber. Tidak hanya itu, Saracen dan MCA sering memanfaatkan isu agama yang berkelindan dengan politik dengan tanpa pandang bulu.

Sebagaimana diungkapkan oleh Savic Ali, aktifis dan peneliti dari Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Bahwa ada tiga hal yang khas dari MCA. Pertama, anggotanya anonim. Kedua, biasa menyebarkan berita tidak benar. Dan ketiga, berusaha menjatuhkan kredibilitas Basuki Tjahaja Purnama. Kelompok ini menggunakan isu agama sebagai senjata. Isu ini dipilih lantaran agama adalah cara tercepat agar mempengaruhi rakyat Indonesia. Kelompok ini juga memakai sumber tidak jelas untuk membuat informasi yang keliru. Apapun yang mereka sampaikan adalah sesuatu untuk menjatuhkan pemerintah, meski isinya tidak benar.[20]

Mati Surinya Analisis Wacana dan Bencana Hoax
Islam sebenarnya adalah agama ilmu pengetahuan. Islam tidak mempertentangkan ilmu dan iman. Dalam pandangan Islam, ilmu tidak terletak setelah iman, dan tidak pula menjadi penghambatnya.[21] Untuk itulah, orang yang berilmu disebut sebagai pewaris kenabian. Sedangkan tak ada tingkatan atau kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan kenabian. Maka, jelas tak ada kemuliaan yang melebihi dari kemuliaan para pewaris kedudukan kenabian tersebut.[22]

Islam juga mengajarkan bahwa ilmu adalah suatu piranti untuk mencegah perbuatan munkar yang “didakwahkan” syetan sekaligus benteng dari para pendengki serta petunjuk bagi akal.[23] Ilmu dalam Islam adalah landasan amal disamping juga sebagai landasan iman.[24] Oleh karena itu, semua amal haruslah dilandasi dengan ilmu yang cukup. Itu pula yang melandasi, bahwa seorang yang berilmu lebih utama daripada seorang ahli ibadah. Untuk itulah dalam pergerakan dakwah maupun jihad yang digagas di dunia cyber dalam segala bentuknya harusnya tetap memperhatikan ilmu tentang dakwah dan jihad itu sendiri.

Dalam mendakwahkan kebaikan melalui media, kita juga harus mengetahui sosiolinguistik, misalnya. Kepahaman tentang sosiolinguistik bermanfaat untuk melakukan komunikasi dan interaksi. Sosiolinguistik akan memberikan pedoman kepada kita cara berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus digunakan ketika berkomunikasi dengan orang tertentu.[25] Selain itu dalam membaca “realitas” sebuah informasi atau gagasan, tentu kita harus mengetahui tentang analisis wacana kritis. Diantara kekuatan dari analisis wacana kritis adalah kemampuannya untuk melihat dan membongkar politik ideologi di dalam media.[26]

Seringkali beberapa kelompok masyarakat mudah termakan provokasi kelompok-kelompok yang menebarkan ide kebencian, karena tak memahami beberapa hal mendasar dari kedua ilmu ini. Misalnya ketika kelompok-kelompok tersebut melakukan strategi wacana asosiasi-disosiasi dalam beberapa beberapa pemberitaan. Misalnya ketika Pilkada DKI disamakan dengan kekalahan politis etnis Melayu-Muslim Singapura dari etnis Tionghoa.

Kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya melihat konstruk realitas yang dibangun oleh media maupun kelompok tertentu di media-media sosial dan media daring secara kritis nyatanya masih sangat minim. Sehingga Saracen maupun MCA masih dapat menjalankan misinya. Disinilah pentingnya kaum akademis terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya melek media secara kritis. Disamping urgensi dimunculkannya kebijakan-kebijakan yang bisa menjaga dan mengatur dunia cyber agar tidak semakin terisi dengan ide kebencian, hoax dan kampanye SARA.

Masa Depan Kajian-kajian Keislaman
Islam, seringkali disebut sebagai peradaban teks (al-Had}arah al-Nus}ûs}iyah). Ini merujuk pada begitu dominannya peran teks dalam kehidupan peradaban muslim. Al-Qur’ân dan al-Hadith, merupakan dua penuntun jalan seorang muslim mengarungi hidupnya. Dan sebagai teks, Al Qur’ân  jelas tidak muncul dari ruang hampa.

Nashr Hamid Abu Zayd, mengatakan bahwa Al Qur’ân  adalah muntaj Al Thaqafi, hal yang sering difahami dengan salah dari ungkapan Nashr Hamid. Bahwa maksud pernyataan itu adalah, Al Qur’ân  merupakan bentuk sebuah respon atas budaya, tradisi dan tatanan hukum, sosial dan lain-lain.[27] Dan sebagai tafsir atas teks, instrumen seperti kondisi sosial-politik-ekonomi penafsir tentu mempengaruhi penafsiran. Maka, bisa saja dikatakan bahwa teks (Al-Qur’ân dan al-Hadith) bersifat “otoriter”, tapi sebuah tafsir atas keduanya tidaklah bisa menjadi “paling” otoritatif.

Matinya kesadaran akan hal itu menyebabkan propaganda mengatasnamakan teks menjadi massif dan tak terbendung. Celakanya propaganda itu tidak pandang bulu. Acap kita temukan teks digunakan untuk menjustifikasi kebenaran kelompok politiknya dan untuk menyerang musuh politik dari kelompoknya. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang agama dimanfaatkan kelompok-kelompok pengujar kebencian dengan sangat presisi. Misalnya, menyerang kelompok lain dengan teks agama tanpa disertai keterangan konteks ayatnya.

Padahal asbab al nuzûl adalah sesuatu yang wajib dikuasai oleh penafsir. Jumhur ulama seperti Al Wah}h}idî, mengatakan tidak mungkin menafsirkan Al Qur’ân  tanpa memperhatikan cerita dan keterangan tafsirnya. Ibnu Taimiyah, Ibnu Daqiq juga mengatakan hal yang sama tentang ketidak mungkinan menafsirkan Al Qur’ân  tanpa asbab al nuzûl.[28]

Selain itu, yang paling mencolok dari tradisi Islam adalah peranan kunci fiqh sebagai parameter keberislaman seorang muslim. Tidak sedikit propaganda kebencian itu membenturkan tradisi kultural dan mengkampanyekan penghapusannya hanya karena pertimbangan fiqhiyyah yang tidak matang. Fiqh sendiri dipandang sebagai fondasi keislaman. Karena itulah Abid al-Jâbiri mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban fiqh, karena sangat dominannya fiqh mempengaruhi peri kehidupan kaum muslim. Berbeda misalnya dengan masyarakat Yunani yang begitu mencintai filsafat. Atau tradisi barat yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi.[29]

Dengan hadirnya kelompok politik yang mengujarkan kebencian, hoax dan sentimen SARA di media-media daring menggunakan isu Islam, pentinglah merivitalisasi kajian-kajian keislaman. Berikut gambaran tantangan dan peran beberapa kajian keislaman yang perlu direvitalisasi tanpa menafikan kajian keislaman yang lain seperti filsafat Islam, sejarah Islam dan lainnya, penyebutan tiga contoh kajian ini tidak lebih keterbatan ruang pembahasan:

-          Kajian Us}ûl al Fiqh
Kajian Us}ûl al Fiqh berbeda dengan kajian fiqh. Sementara fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan amal-amal manusia yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sementara Us}ûl al Fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan amal-amal dari dalil-dalilnya yang terperinci.[30]

Us}ûl al Fiqh  merupakan tarkib id}afi, yang terdiri dari dua kata. Us}ûl al Fiqh mempunyai dua makna. Pertama, susunan ini difahami saling terpisah dari setiap katanya. Kedua, nama Us}ûl al Fiqh ini bisa diartikan sebagai sebuah “julukan” untuk sebuah ilmu khusus.[31]

Pembahasan penting dari ilmu ini diantaranya adalah maqâs}id al-sharî’ah atau kebertujuan penetapan hukum Islam. Paling terkenal adalah perkataan al-Shat}ibî, tentang lima tujuan penetapan hukum Islam. Yakni, menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan (keberlangsungan nasab dan populasi manusia), menjaga harta, menjaga akal sehat. Bagi al-Shat}ibî, kelima hal ini adalah harga pokok dari segala agama.[32] Termasuk pembahasan dari ilmu ini adalah syarat-syarat pengambilan hukum, dalil-dalil guna pengambilan hukum dan sesiapa yang berhak dan boleh menetapkan hukum.[33]

Fase sejarah hukum Islam menurut Harun Nasution terdiri dari lima periode. Pertama, periode Rasulullah. Kedua, fase al khulafâ al rashidîn. Ketiga, fase dinasti Abbasiyah, atau periode mujtahidin klasik. Keempat, fase taqlîd, juga disebut sebagai ketertutupan. Dan kelima, fase pembaharuan atau modern.[34]

Sementara syarat menjadi mujtahid mutlak juga sangatlah berat. Muhammad Faqih Maskumambang (1857-1937) mensyaratkan hal-hal berikut ini. Pertama, mengetahui perbedaan tingkatan dan karakteristik setiap dalil dalam Al Qur’ân  maupun al Hadith, seperti kategori ‘am dan khas, mut}laq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, naskh dan mansukh, serta hal lainnya.

Kedua, memahami ragam hadith seperti mutawatir, ah}ad, mut}tas}il, munqat}i’, marfu’ dan mursal. Ketiga, memahami cara mentarjih ketika ada dua dalil bertentangan (tanaqud}). Keempat, memahami ihwal periwayatan hadith yang bisa dijadikan istidlal, dan mana yang tidak. Kelima, tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijma’ ulama. Keenam, mengetahui naskh dan mansukh, memahami amr  dan nahyi. Mengedepankan nash yang z}âhir. Dan ketujuh, mengenal ketiga qiyas, yakni, qiyas al Aula, al Maawi dan Adwan.[35]

Tantangan dan relevansi ilmu ini justru muncul ketika banyak orang menjatuhkan hukum tanpa otoritas dan tanpa dalil yang otoritatif. Parahnya beberapa diantara mereka justru menggunakan hukum secara serampangan guna kepentingan politis semata. Diantara tantangan terbesar us}ûl al fiqh adalah agar ilmu ini bisa menjadi praktik yang mencerahkan dalam keberagamaan dan kebangsaan. Karena watak dari kaidah-kaidah ilmu ini yang menghargai maslahah dan menjadikannya tolok ukur setiap penetapan hukum syar’i.[36]

-          Kajian Ulum Al-Qur’ân
Kajian tentang ulum Al-Qur’ân menjadi sangat penting karena kedudukan Al-Qur’ân sumber utama jurisprudensi Islam. Pengetahuan tentang sumber hukum utama ini menjadi urgen untuk dikembangkan. Berbeda dengan generasi awal Islam yang langsung mendapatkan pengajaran dan penjabaran isi dan makna Al-Qur’ân dari Rasulullah sendiri.[37] Sepeninggal Rasulullah, zaman terus berkembang, kejadian demi kejadian yang dihadapi oleh umat Islam terus terjadi. Sedangkan teks Al-Qur’ân maupun Al-Hadith, telah purna. Untuk itulah pemahaman tentang ilmu ini menjadi sedemikian pentingnya.

Pembahasan dari kajian ini adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan Al-Qur’ân dalam pemabahasan turunnya, seperti pembahasan makkiyah, madaniyah, juga sanadnya, cara penyampaiannya, lafaz}-lafaz}nya, makna-makna yang terkandung didalamnya yang berkenaan dengan hukum dan lain sebagainya.[38]

Diantara hikmah dan urgensi belajar ilmu ini adalah mengetahui asbâb al nuzûl, ‘âmm dan khas}, nâsikh dan mansûkh, mut}laq dan muqayyad yang kesemuanya itu penting guna mendapatkan “citra” tafsir yang benar.

Tantangan ke depan ilmu ini adalah, menjaga agar tidak ada lagi penggunaan ayat yang tidak pada tempatnya. Seperti penggunaan ayat yang seharusnya untuk kaum kafir namun digunakan untuk menyerang kaum muslim yang tidak sepemahaman atau malah untuk menyerang musuh politik semata.

-          Kajian Ulum al Hadith
Kajian hadith terdiri dari beberapa bahasan. Diantaranya adalah, mus}t}alah} al hadith, ilmu isnâd, ilmu riwâyah, ilmu dirâyah, ilmu al-athar, ilmu mus}t}alah al athar.[39] Urgensi pengetahuan tentang hadith telah kita ketahui karena kedudukan hadith sebagai sumber jurisprudensi Islam kedua setelah Al-Qur’ân.

Pentingnya ilmu ini juga karena dalam Al-Qur’ân memrintahkan untuk mencari kebenaran dari setiap berita yang diterima. Seperti pendapat Ibnu Sirîn yang dikutip Al-T}ahân bahwa sebelumnya tidak pernah ada yang menanyakan tentang sanad hadith. Namun ketika telah terjadi banyak fitnah maka kemudian berlaku penyebutan nama-nama periwayat hadith. Jika periwayat dilihat sebagai ahl al sunnah maka akan diambil hadith-nya. Sebaliknya jika merupakan ahl al bida’ maka hadith-nya ditolak.[40]

Kajian tentang hadith ini juga penting mengingat serangan-serangan hoax dan ujaran kebencian itu tak sedikit dengan memakai hadith secara serampangan. Serangan kepada kelompok dan golongan lain juga kerap dengan kajian hadith yang setengah-setengah, sehingga menjatuhkan dalil keberagamaan kelompok lain dengan menyebut dalil tersebut d}aif dan meletakkan hadith d}aif tersebut sebagai hadith palsu, padahal keduanya jelas berbeda. Sebagian ulama masih menerima hadith d}aif asal tidak berkaitan dengan ‘aqâîd dan atau hukum yang berkaitan dengan halal-haram. Dan boleh menggunakan hadith d}aif sebagai nasehat, cerita dan sejenisnya. Diantara beberapa ulama yang menggunakan hadith d}aif dengan maksud demikian adalah sufyân al thauri dan Abd al Rahman bin Mahdî serta Ahmad bin Hanbal[41]

Kajian ilmu hadith juga harusnya berguna untuk menanggulangi maraknya hoax, ujaran kebencian dan massifnya kampanye berbau SARA. Karena kajian ini mengenal proses takhrij al hadith  untuk mengenali derajat hadith dan kemungkinan hadith tersebut mengandung kebohongan. Bisa juga dikatakan bahwa ulama ahli hadith adalah ulama terdepan dalam menverifikasi dan menfalsifikasi berita (khabar, hadith). Hadith biasa diverifikasi dan difalsifikasi dengan berbagai macam cara. Seperti menverifikasi dengan rujukan yang qualified sampai dengan kajian bahasa dan kajian sesiapa yang menyampaikan hadith tersebut.[42]

Pengalaman melakukan verifikasi dan falsifikasi terhadap berita yang ada harusnya juga dipergunakan oleh para cendekiawan ahli hadith ketika menerima berita apapun, apalagi di zaman yang penuh dengan hoax dan ujaran kebencian seperti hari ini.

Menghadapi Hoax yang Mengotori Islam, Tantangan Islam Moderat: Sebuah Simpulan
Penggunaan isu agama untuk menyerang lawan politik sebenarnya bukan hal baru. Penggunaan ayat-ayat Al-Qur’ân untuk menyerang lawan politik bahkan terjadi dalam kurun awal-awal Islam. Misalnya yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri, al-Nasâî, serta Ibn Abî H}âtim  dan dikutip oleh al-Suyut}î bahwa Marwân di Madinah ketika Mu’âwiyah mengangkat Yazîd anaknya menjadi khalifah penerusnya dan berpidato, “Sesungguhnya Allah SWT telah memberi kepada Amirul Mukminin Mu’âwiyah, pandangan yang baik tentang Yazîd. Ia ingin mengangkatnya sebagai khalifah sebagaimana Abû Bakar dan ‘Umar pernah melakukannya”. Abd al-Rahmân bin Abû Bakar yang mendengar ini kemudia menyela, “ Itu mencontoh Heraklius dan Kisra. Sesungguhnya Abû Bakar tidak pernah mengangkat (khalifah) seorang pun dari anaknya. Juga tidak mengangkat seseorangpun dari keluarganya. Sedangkan Mu’âwiyah mengangkat anaknya karena sayang dan ingin memuliakan anaknya”.  Mendengar itu Marwân berkata pada Abd al-Rahmân, “Bukankah engkau yang dimaksud Al-Qur’ân ‘orang yang berkata cis pada orang tuanya?’”.  Abd al-Rahmân membalas, “ Bukankah engkau adalah anak terlaknat, karena Rasulullah melaknat ayahmu”. Demi mendengar ini, ‘Aisyah saudari Abd al-Rahmân mengatakan, “Marwan berbohong, bukanlah ayat itu turun untuk Abd al-Rahmân. Tetapi turun untuk fulan bin fulan. Sedang Allah melaknat ayah Marwân ketika Marwân masih di tulang rusuk ayahnya. Maka Marwân adalah bagian dari laknat Allah itu”. [43]

Dari kejadian ini, sangat jelas bahwa Qur’ân dan al-Hadith sangat mudah digunakan untuk melakukan justifikasi dan glorifikasi terhadap pendapat dan golongan politik bahkan sejak awal Islam berkembang. Hal yang paling mudah ditemui tentu pemalsuan hadith dengan berbagai motif, mulai dari faktor politik dengan melakukan glorifikasi terhadap seseorang atau kelompok.[44] Persaingan ras seperti ketika Islam telah menaklukkan Persia, maka terjadi upaya membangun superioritas bangsa Arab atas bangsa Persia. [45] Banyaknya para pendongeng atau penceramah yang menginginkan perhatian pendengar. [46] Diantaranya juga untuk menjilat penguasa, seperti yang dilakukan oleh Ghiyath bin Ibrâhîm al Nakha’î kepada Al-Mahdi.[47] Diantaranya juga perbedaan madhhab.[48]

Demi melihat kenyataan ini, fenomena penggunaan agama dan tafsirnya guna memupuk fanatisme dan glorifikasi kelompok, politisasi agama, penyerangan kelompok lain dengan dalil agama dan hoax di media sosial yang kerap menganggu seperti terjadi hari ini, sebenarnya fenomena sejak lama. Tentu dengan media yang berbeda. Pertama, teks-teks keagamaan telah menjadi dalil glorifikasi kelompok politik. Baik dalam Pilpres maupun Pilkada. Kedua, sedemikian juga agama menjadi amunisi untuk menyerang kelompok lain, demi menjatuhkan kredibilitas musuhnya. Ketiga, munculnya da’i atau pendakwah di media sosial yang fanatik terhadap sebuah faham penafsiran dengan menyalahkan faham penafsiran lainnya. Para pendakwah ini juga kadang membuat kontroversi demi mendulang popularitas. Keempat, media sosial juga memunculkan para ustadh selebritis yang sebenarnya tidak kompeten secara keilmuan. Kelima, masyarakat yang “awam” secara kajian keagamaan mendapatkan asupan kajian yang “instan” dari media sosial dan sebagian menjadi fanatik. Sehingga terjadi perdebatan dan diskusi tak sehat karena dangkalnya dasar kajian keagamaan mereka.

Tantangan bagi harmoni keagamaan dan kebangsaan serta Islam moderat di Indonesia adalah hoax, ujaran kebencian dan sejenisnya. Beberapa hal yang harus segera dilakukan oleh para pegiat Islam moderat diantaranya: Pertama, melakukan usaha yang massif untuk menyebarkan Islam yang santun, moderat dan beradab di media sosial. Kedua, mendorong penegakan hukum yang berkeadilan oleh aparat penegak hukum. Ini dilakukan demi melindungi hak-hak hidup warga negara, termasuk untuk beragama dan meyakini serta menjalankan tafsir atas agamanya. Ketiga, pentingnya para pegiat Islam moderat melakukan diseminasi kepada masyarakat tentang kajian Islam yang santun, moderat dan beradab. Keempat, pentingnya pemahaman sejarah, ideologi, dan kajian hukum dan kajian lainnya yang komprehensif dalam pengajaran agama Islam. Selama ini kajian keagamaan Islam seringkali hanya berorientasi pada kajian hukum semata.


















Daftar Bacaan:

al-Bayhaqî, Abû Bakar Ahmad b. Husain, Kitab al Zuhdu al Kabîr , Beirut: Dâr al-Jinân wa Muassasati al-Kutub al Saqafiyah, 1987.
al-Bukhârî, Al Imam Abû Abd Allâh Muhammad b. Ismâîl b. Ibrâhim b. al Mughîrah b. Bardazbah al-Ju’fi, S}ah}ih} Bukhârî, Kairo: Dâr al-Hadith, 2011.
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad b. Muhammad. Ihyâ Ulûm Al-Dîn, Beirut: Dâr Al Fikr, 2001.
al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002.
al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Takwinul ‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arâbiyah, 1989.
al-Mâlikî, As-Sayyid Muhammad b. ‘Alawi al-H}asani, Sharh Manz}umat al-Waraqat, Surabaya: As-Shofwah, tt.
al-Mâlikî, As-Sayyid Muhammad b. ‘Alawi al-H}asani,Zubdat al-Itqân fî Ulûm Al-Qur’ân, Jeddah: Dâr al-Shurûq, 1976.
al-Naysabûrî, Abû al H}usain Muslim b. al H}ajjâj al Qushairî, S}ahih Muslim, Kairo: Dâr al Hadith, 2010.
al-Qardhâwi, Yûsuf, Fiqh Jihad, Bandung: Mizan, 2010.
Al-Qardhâwî, Yusûf, Rasulullah dan Science: Ilmu, Belajar dan Pengajaran dari Sudut Pandang Rasulullah. Terj. Amir Hamzah.dkk, Jakarta: Firdauss, 2015.
Al-Qat}t}an, Manna@’ Khalil, Mabâhits fi> Ulûm Al Qur’ân, Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973.
al-Rahîlî, Abd Allâh b. Daif Allâh, Istikharj al Âyât wa al Ahâdith: Fî al Abh}âth al Ilmiyat  wa al Da’wiyat, Riyadh: Dâr al Muslim lil Nashr wa al Tauzi’, tt.
Al-S}obuni, Muhammad ‘Alî, S}afwah al Tafâsîr: Tafsîr lil Qur’an al ‘Az}im, Jami’ Bayna al Ma’thur wa al Manqul  Vol. 1, Kairo: Dâr al Hadith, tt.
al-Shat}ibî, Abû Ishaq, Al Muwâfaqât, fî Ushûl al Shari’ah, Kairo: Dâr al Hadith, 2005.
Al-Suyût}î, Jalâl al Dîn Abd al Rahmân ibn Abî Bakar, Tarîkh al Khulafâi, Jeddah: Dâr al Minhâj, 2015.
Al-T}ahân, Mahmud, Taysir Mus}t}alah} al Hadith, Surabaya: Al Hidayah, tt.
al-Tirmidhi, Muhammad b. ‘Isâ b. Sûrah, Sunan Tirmidhi, Kairo: Al-Quds, 2009.
Ash’arî, As-Syaikh Hâshim, Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’alim, Jombang; Maktabah Al-Turâth Al-Islâmi, tt.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist , Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, cet. Ke-4, 1999.
Aziz, Muhammad Ali, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana, 2009.
Badara, Aris,  Analisis Wacana, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
el Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2005.
Hasan, A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1982)
Khalâf, ‘Abd Al-Wahâb, ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Hadith, 2003.
Maskumambang, Muhammad Faqih, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At Tilimsani Terj. KH. Abdul Azis Mashuri, Depok: Sahifa, 2015.
Munawwir, A. W, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progessif, 1997.
Muta’al, Isa Anshori, Dkk, Ulumul Hadits, Palembang, Raden Fatah Press, cet ke-3, 2005.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979.
Nawawî, Al Shaykh Muhammad al Ja@wi, Tafsir Marâh} Labîd li Kashf Ma’na Qur’ân Majîd, Surabaya: Al Hidayah, tt.
Qadafy, Mu’ammar Zayn, Buku Pintar Asbabun Nuzûl Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, Yogyakarta: In AzNa Books, 2015.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2007.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.
Usâmah, Abu, Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Daarul Ibn Hazm, 2007.
Zaydan, ‘Abd al Karîm, Al-Wajiz fî Ushûl al-Fiqh, Beirut: Mu’assasat Qurtubah, 1987.

Internet:




[1] Al-Baqarah [2]: 143.
[2] A. W Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap  (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997), 1557.
[3] Al Shaykh Muhammad Nawawî al Ja@wi, Tafsir Marâh} Labîd li Kashf Ma’na Qur’ân Majîd (Surabaya: Al Hidayah, tt), 37.
[4] Muhammad ‘Alî al S}obuni, S}afwah al Tafâsîr: Tafsîr lil Qur’an al ‘Az}im, Jami’ Bayna al Ma’thur wa al Manqul  Vol. 1, (Kairo: Dâr al Hadith, tt), 98.
[5] Khaled Abou el Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, (Jakarta: Serambi, 2005), 29.
[8] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 99.
[10] Jalâl al Dîn Abd al Rahmân ibn Abî Bakar al Suyût}î, Tarîkh al Khulafâi (Jeddah: Dâr al Minhâj, 2015), 237-238.
[11] Lihat Q.S. Al Baqarah [2]: 216 , Q.S. Al Nisâ [4]: 77-78, Q. S Al Taubah [9]: 111-112
[12] Lih. Al Imam Abû Abd Allâh Muhammad b. Ismâîl b. Ibrâhim b. al Mughîrah b. Bardazbah al-Bukhârî al-Ju’fi, S}ah}ih} Bukhârî, H}adith ke-2817 (Kairo: Dâr al-Hadith, 2011), 463. Dan lihat. Abû al H}usain Muslim b. al H}ajjâj al Qushairî al-Naysabûrî, S}ahih Muslim, H}adith ke-1885 (Kairo: Dâr al Hadith, 2010) , 619-620.
[13] Q.S al H}ajj [22]: 78.
[14] Lih. Muhammad ‘Alî al S}obuni, S}afwah… Vol. 2 hal. 286
[15] Abû Bakar Ahmad b. Husain al-Bayhaqî, Kitab al Zuhdu al Kabîr (Beirut: Dâr al-Jinân wa Muassasati al-Kutub al Saqafiyah, 1987), 165.
[16] Muhammad b. ‘Isâ b. Sûrah al-Tirmidhi, Sunan Tirmidhi, vol. 2 hadith ke-1621 (Kairo: Al-Quds, 2009), 55.
[17] Yûsuf al-Qardhâwi, Fiqh Jihad (Bandung: Mizan, 2010), 3.
[18] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007), 660.
[19] Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2009), 69.
[21] Yusûf Al-Qardhâwî, Rasulullah dan Science: Ilmu, Belajar dan Pengajaran dari Sudut Pandang Rasulullah. Terj. Amir Hamzah.dkk (Jakarta: Firdauss, 2015), 21.
[22] Abû Hâmid Muhammad b. Muhammad Al-Ghazâlî. Ihyâ Ulûm Al-Dîn (Beirut: Dâr Al Fikr, 2001), 12
[23] As-Syaikh Hâshim Ash’arî, Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’alim (Jombang; Maktabah Al-Turâth Al-Islâmi, tt),19.
[24] Lih. [24] Yusûf Al-Qardhâwî, Rasulullah… hal. 30
[25] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 7.
[26] Dr. Aris Badara, M.Hum, Analisis Wacana, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 7-8.
[27] Mu’ammar Zayn Qadafy, S.Th.I., M.Hum., Buku Pintar Asbabun Nuzûl Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, (Yogyakarta: In AzNa Books, 2015), x-xi.
[28] Lih. Muammar Zayn Qadafy, Buku Pintar Asbabun Nuzûl…, 5-6.
[29] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwinul ‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arâbiyah, 1989), 97.
[30] ‘Abd Al-Wahâb Khalâf, ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, (Kairo: Dâr al-Hadith, 2003), 11-12.
[31] As-Sayyid Muhammad b. ‘Alawi al-Mâlikî al-H}asani, Sharh Manz}umat al-Waraqat (Surabaya: As-Shofwah, tt), 10.
[32] Abû Ishaq al-Shat}ibî, Al Muwâfaqât, fî Ushûl al Shari’ah. (Kairo: Dâr al Hadith, 2005), 266.
[33] Lih. ‘Abd Al-Wahâb Khalaâf, ‘Ilm Ushûl… hal. 12-13
[34] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[35] KH. Muhammad Faqih Maskumambang, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At Tilimsani Terj. KH. Abdul Azis Mashuri (Depok: Sahifa, 2015), 55-56.
[36] ‘Abd al Karîm Zaydan, Al-Wajiz fî Ushûl al-Fiqh (Beirut: Mu’assasat Qurtubah, 1987), 378.
[37] Manna@’ Khalil al Qat}t}an, Mabâhits fi> Ulûm Al Qur’ân, (Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973), 1-2.
[38] As-Sayyid Muhammad b. ‘Alawi al-Mâlikî al-H}asani,Zubdat al-Itqân fî Ulûm Al-Qur’ân (Jeddah: Dâr al-Shurûq, 1976), 9-10.
[39] A. Qadir Hasan, Ilmu Mushtalah Hadits, (Bandung: Diponegoro, 1982), 15-16.
[40] Dr. Mahmud Al-T}ahân, Taysir Mus}t}alah} al Hadith, (Surabaya: Al Hidayah, tt), 9-10.
[41] Lih. Dr. Mahmud Al-T}ahân, Taysir Mus}t}alah}.. hal. 65
[42] Lih. Dr. Abd Allâh b. Daif Allâh al-Rahîlî, Istikharj al Âyât wa al Ahâdith: Fî al Abh}âth al Ilmiyat  wa al Da’wiyat (Riyadh: Dâr al Muslim lil Nashr wa al Tauzi’, tt), 65-105.
[43] Lih. Jalâl al Dîn Abd al Rahmân ibn Abî Bakar al Suyût}î, Tarîkh… hal. 335-336
[44] Munzier Suparta, Ilmu Hadist (Jakarta, Rajawali Pers, 2010), 183
[45] Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist  (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, cet. Ke-4, 1999) , 226.
[46] Isa Anshori Muta’al, Dkk, Ulumul Hadits, (Palembang, Raden Fatah Press, cet ke-3, 2005.), 108.
[47] Abu Usâmah , Ilmu-ilmu Hadits,( Jakarta: Daarul Ibn Hazm, 2007),  205
[48] Lih. Munzier Suparta, Ilmu… hal. 187.