\DARI
SARACEN SAMPAI MCA DAN MASA DEPAN ISLAM MODERAT
DI
INDONESIA
ABSTRACT
Moderate
is the original character of Islam, including Islam of Indonesia. Islam of Indonesia has been living
harmony in the life of a nation, religious,
although in a different perspective, interpretation and point of view.
But everything is still reasonable limits and dynamic. Moderate Islam is
suddenly threatened after the development of social media and online media that
can be accessed easily and cheaply. Especially after the emergence of groups
that spread the hoax, hate speech and SARA (ethnicity, religion,
race, and inter-group relations) sentiment.
The group is developed a new perspective that tends to be radical,
scripturalist and rigid. Worse, they use religion as a weapon just for his
political interests in the name of da’wâh
and jihâd. Here is a big challenge
for the existence of moderate Islam in Indonesia.
Keywords: Islam, Moderate, Hoax,
Politics
ABSTRAK
Moderat adalah watak asli Islam, termasuk Islam
Indonesia. Islam Indonesia selama ini hidup dalam harmoni dalam kehidupan
berbangsa, beragama walaupun tetap dalam perbedaan perspektif, penafsiran dan
sudut pandang. Namun semuanya masih dalam batas wajar dan dinamis. Islam nan
sedemikian moderat tiba-tiba terancam pasca berkembangnya media sosial dan
media daring yang dapat diakses dengan mudah dan murah. Terutama setelah
kemunculan kelompok-kelompok yang menebarkan hoax, ujaran kebencian dan
sentiment SARA. Kelompok ini mengembangkan sebuah sudut pandang baru yang
cenderung radikal, skripturalis dan rigid. Lebih parahnya, mereka menggunakan
agama sebagai senjata sekedar untuk kepentingan politis-nya dengan
mengatasnamakan dakwah dan jihad. Disinilah tantangan besar bagi eksistensi
Islam moderat di Indonesia.
Kata Kunci: Islam, Moderat, Hoax, Politik
Pendahuluan
Moderat, sesungguhnya adalah
watak asal Islam. Hal ini merujuk pada ayat yang menyatakan, “Wa kadhalika ja’alnakum ummatan wasat}an
litakûnû shuhadâa ‘ala al nasi wa yakûna al rasûlu ‘alaykum shahidâ…”.[1] Kata al wasat} (singular) atau
awsat} (plural) sebenarnya berarti yang tengah-tengah.[2] Pun kata ini kerap digunakan
sebagai padanan kata moderat. Dalam menafsirkan terminologi “ummatan wasat}an” dalam ayat ini, imam Nawawî
al Jawî mengartikan sebagai umat terpilih yang sangat adil dan terpuji dengan
ilmu dan amal.[3] Sedangkan ‘Alî al S}ôbûniy
mengutip pernyataan al T}abarîy dalam mengartikan kata wasat}an pada ayat tersebut sebagai, “Al wasat} dalam perkataan orang Arab berarti pilihan, atau adil.
Ini dimaksudkan karena sebaik-baik perkara adalah yang moderat. Dan sesungguhnya
fanatisme (radikal) dan yang abai (liberal) keduanya adalah hal yang tercela”.[4]
Rasulullah sebagai pembawa
risalah pun selalu memilih jalan tengah tatkala dihadapkan pada pilihan dua
kutub yang ekstrem. Nabi digambarkan sebagai sosok yang moderat dan cenderung
menghindari memilih jalur yang ekstrem. Setidaknya begitu menurut Khaled Abou
el Fadl. Karena itulah menurut Abou el Fadl mayoritas muslim adalah moderat.
Dan moderasi menggambarkan pendirian keagamaan mayoritas umat Islam.[5]
Muslim Indonesia pun dikenal
sebagai muslim yang moderat, setidaknya itu direpresentasikan dengan sikap dan
pendapat mayoritas tokoh agama Islam di tingkat nasional, sebut saja
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Nurcholish Madjid, Ahmad Syafii Maarif, Emha Ainun
Nadjib, Amin Abdullah, Azyumardi Azra, Abd A’la dan tentu representasi dari dua
ormas besar Islam Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah, Said Aqiel Siradj dan
Haedar Nashir. Kesemuanya itu menjadi bukti bahwa Islam Indonesia adalah
moderat.
Walaupun bukan tanpa perdebatan
dan perbedaan sudut pandang, namun kehidupan beragama di Indonesia berjalan
harmonis. Namun, harmoni yang lama ada menjadi terganggu dengan munculnya
kelompok-kelompok kecil radikal yang kerap abai pada harmoni bermasyarakat
dengan menebarkan aroma kebencian bernada SARA di media sosial, media daring. Dunia
daring menjadi lahan untuk menebar kebencian pada golongan tertentu. Golongan
dan grup tersebut kali pertama muncul pada momentum politik, yakni pemilihan
presiden pada tahun 2014 dan mencapai titik kulminasinya dalam Pilkada DKI
Jakarta. Calon petahana di Pilkada DKI Jakarta yang kebetulan beragama Kristen dan
diduga terlibat kasus penistaan agama, menjadikan Pilkada DKI Jakarta lahan
tumbuh berkembangnya isu SARA dalam perpolitikan Indonesia hingga saat ini.
Grup pertama kelompok yang
menamakan dirinya Saracen, Grup ini sendiri ditangkap oleh aparat kepolisian
pada Agustus 2017. Tidak tanggung, kelompok ini menebarkan kebencian, hoax dan sejenisnya dengan menggunakan 2000
akun media. Konten-konten berisi ujaran kebencian itu merupakan pesanan dari
pihak lain.[6] Kemunculan kelompok cyber dan hoax
yang massif menurut ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo, dimulai ketika wartawan menjadi
tim sukses dan munculnya media sebagai alat kampanye. Pada akhirnya muncul
berita tidak benar, baik dari media-media mainstream sampai situs abal-abal.[7]
Penangkapan Saracen tidak
menghentikan penyebaran ujaran kebencian, hoax
dan isu SARA. Dunia cyber yang tumbuh
sedemikian pesat di Indonesia dimanfaatkan beberapa pihak untuk menyebar isu
SARA, ujaran kebencian dan hoax tanpa
terkendali. Sedang beberapa politisi menjadikan isu-isu tersebut sebagai
komoditas politik kelompoknya. Pertemuan isu sektarian dengan politik
menjadikan isu ini berkembang liar dan berpotensi merusak harmoni kebangsaan,
keberagamaan dan tentu merusak citra Islam Indonesia yang moderat. Apalagi jika
penyebar isu SARA, kebencian dan hoax menyandarkan
bahwa yang dilakukan adalah dakwah dan jihad.
Kejadian ini merujuk pendapat
Muhammad ‘Abid al-Jabiri ketika melihat fenomena sektarianisme agama menjadi
dominan di beberapa negara Islam, seperti Lebanon, Suriah, Mesir dan Sudan.
Sektarianisme agama yang muncul di negara-negara tersebut muncul sebagai
pandangan yang menganggap agama minoritas merupakan masalah sosial yang
kemudian menjadi masalah politik.[8]
Belakangan hadir kelompok yang
menamakan dirinya Moslem Cyber Army atau
MCA. Grup yang ditangkap polisi pada 27 dan 26 Februari 2018 ini juga
menjalankan praktik menebarkan kebencian melalui media sosial dan media daring.
MCA dikenal ketika terjadi perhelatan Pilkada DKI. Isu yang disebarkan pun
bermacam-macam, dari isu kebangkitan PKI, penyerangan ulama dan lain
sebagainya. Kelompok ini lebih banyak anggotanya dan pola kerjanya lebih
massif. Bahkan disebutkan untuk menjadi anggota inti harus pula dibaiat.[9]
Saracen
dan MCA; Peyorasi Dakwah dan Jihad di Alam Cyber
Dalam lintasan sejarah Islam,
ekspansi dan penaklukan wilayah dikenal sebagai upaya penyebaran ajaran agama
atau dakwah. Diantara yang paling terkenal di periode Islam awal tentu
penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Seperti
penaklukan wilayah Persia, Mesir, Irak, Palestina dan sebagainya.[10] Penaklukan-penaklukan dan
perang-perang demi menjaga nama Islam itu diasosiasikan sebagai perang suci
melawan kaum kafir. Dalam al Qur’ân[11] dan al Hadith[12] tersirat perang sebagai jihad
atau perjuangan demi Allah semata.
Namun jika dikaji lebih mendalam,
jihad tidak hanya berarti perang. Namun semata perjuangan dengan
sungguh-sungguh dan ikhlas demi Allah SWT. Hal ini diungkap misalnya dalam
al-Qur’ân dengan sebutan jihad sebenar-benarnya.[13] Al-S}obûnî menafsirkan Q.S 22:78
ini sebagai usaha dengan materi dan jiwa demi tegaknya agama Allah dengan
meluapkan segala kapasitas dan kapabilitas.[14]
Tersebut riwayat bahwa usai sebuah
peperangan, Rasulullah menyatakan peperangan adalah jihad kecil. Sedangkan jihad
yang lebih besar adalah jihad melawan hawa nafsun.[15] Diriwayatkan Rasulullah juga
menyatakan bahwa jihad terpenting adalah jihad melawan nafsu.[16] Secara etimologi, jihad berarti mencurahkan usaha, kemampuan, dan tenaga. Dengan kata lain, ia berarti bersungguh-sungguh.[17]
Dalam Al-Qur’ân kata jihad dengan pelbagai derivasinya diulang sebanyak 41
kali.[18]
Sedangkan dakwah yang bermakna
dasar mengajak, memanggil, menyeru, mengundang sama sekali tidak memperkenankan
terkontaminasi dengan keburukan-keburukan apalagi kebencian dan kebohongan.
Karena konsep dakwah senyatanya berasal dari Al-Qur’ân dan Al-Sunnah. Dari
kedua sumber utama ini pemikiran dakwah dikembangkan dengan ilmu tauhid,
perilakunya dengan ilmu fikih, dan kalbunya dengan ilmu akhlak.[19]
Kesemua pengetahuan dan terminologi
jihad dan dakwah yang sedemikian mulia itu hari ini seakan tergadai, begitu
kita melihat kenyataan beberapa pihak telah mempergunakan terminologi jihad dan
dakwah dengan serampangan. Menjustifikasi kejahatan cyber mereka menebar hoax,
ujaran kebencian berbau SARA sebagai dakwah dan jihad cyber. Tidak hanya itu, Saracen dan MCA sering memanfaatkan isu
agama yang berkelindan dengan politik dengan tanpa pandang bulu.
Sebagaimana diungkapkan oleh
Savic Ali, aktifis dan peneliti dari Departemen Komunikasi dan Informasi
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Bahwa ada tiga hal yang khas dari MCA. Pertama, anggotanya anonim. Kedua, biasa menyebarkan berita tidak
benar. Dan ketiga, berusaha
menjatuhkan kredibilitas Basuki Tjahaja Purnama. Kelompok ini menggunakan isu
agama sebagai senjata. Isu ini dipilih lantaran agama adalah
cara tercepat agar mempengaruhi rakyat Indonesia. Kelompok ini juga memakai
sumber tidak jelas untuk membuat informasi yang keliru. Apapun yang mereka
sampaikan adalah sesuatu untuk menjatuhkan pemerintah, meski isinya tidak
benar.[20]
Mati
Surinya Analisis Wacana dan Bencana Hoax
Islam sebenarnya adalah agama
ilmu pengetahuan. Islam tidak mempertentangkan ilmu dan iman. Dalam pandangan
Islam, ilmu tidak terletak setelah iman, dan tidak pula menjadi penghambatnya.[21] Untuk itulah, orang yang berilmu
disebut sebagai pewaris kenabian. Sedangkan tak ada tingkatan atau kedudukan
yang lebih tinggi dari kedudukan kenabian. Maka, jelas tak ada kemuliaan yang
melebihi dari kemuliaan para pewaris kedudukan kenabian tersebut.[22]
Islam juga mengajarkan bahwa ilmu
adalah suatu piranti untuk mencegah perbuatan munkar yang “didakwahkan” syetan
sekaligus benteng dari para pendengki serta petunjuk bagi akal.[23] Ilmu dalam Islam adalah landasan
amal disamping juga sebagai landasan iman.[24] Oleh karena itu, semua amal
haruslah dilandasi dengan ilmu yang cukup. Itu pula yang melandasi, bahwa
seorang yang berilmu lebih utama daripada seorang ahli ibadah. Untuk itulah
dalam pergerakan dakwah maupun jihad yang digagas di dunia cyber dalam segala bentuknya harusnya tetap memperhatikan ilmu
tentang dakwah dan jihad itu sendiri.
Dalam mendakwahkan kebaikan
melalui media, kita juga harus mengetahui sosiolinguistik, misalnya. Kepahaman
tentang sosiolinguistik bermanfaat untuk melakukan komunikasi dan interaksi.
Sosiolinguistik akan memberikan pedoman kepada kita cara berkomunikasi dengan
menunjukkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus digunakan
ketika berkomunikasi dengan orang tertentu.[25] Selain itu dalam membaca
“realitas” sebuah informasi atau gagasan, tentu kita harus mengetahui tentang
analisis wacana kritis. Diantara kekuatan dari analisis wacana kritis adalah
kemampuannya untuk melihat dan membongkar politik ideologi di dalam media.[26]
Seringkali beberapa kelompok
masyarakat mudah termakan provokasi kelompok-kelompok yang menebarkan ide
kebencian, karena tak memahami beberapa hal mendasar dari kedua ilmu ini.
Misalnya ketika kelompok-kelompok tersebut melakukan strategi wacana
asosiasi-disosiasi dalam beberapa beberapa pemberitaan. Misalnya ketika Pilkada
DKI disamakan dengan kekalahan politis etnis Melayu-Muslim Singapura dari etnis
Tionghoa.
Kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya
melihat konstruk realitas yang dibangun oleh media maupun kelompok tertentu di
media-media sosial dan media daring secara kritis nyatanya masih sangat minim.
Sehingga Saracen maupun MCA masih dapat menjalankan misinya. Disinilah
pentingnya kaum akademis terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya melek
media secara kritis. Disamping urgensi dimunculkannya kebijakan-kebijakan yang
bisa menjaga dan mengatur dunia cyber agar
tidak semakin terisi dengan ide kebencian, hoax
dan kampanye SARA.
Masa
Depan Kajian-kajian Keislaman
Islam, seringkali disebut sebagai
peradaban teks (al-Had}arah
al-Nus}ûs}iyah). Ini merujuk pada begitu dominannya peran teks dalam
kehidupan peradaban muslim. Al-Qur’ân dan al-Hadith, merupakan dua penuntun
jalan seorang muslim mengarungi hidupnya. Dan
sebagai teks, Al Qur’ân jelas tidak
muncul dari ruang hampa.
Nashr
Hamid Abu Zayd, mengatakan bahwa Al Qur’ân
adalah muntaj Al Thaqafi, hal
yang sering difahami dengan salah dari ungkapan Nashr Hamid. Bahwa maksud
pernyataan itu adalah, Al Qur’ân
merupakan bentuk sebuah respon atas budaya, tradisi dan tatanan hukum,
sosial dan lain-lain.[27]
Dan sebagai tafsir atas teks, instrumen seperti kondisi sosial-politik-ekonomi
penafsir tentu mempengaruhi penafsiran. Maka, bisa saja dikatakan bahwa teks (Al-Qur’ân dan al-Hadith) bersifat “otoriter”, tapi sebuah tafsir atas
keduanya tidaklah bisa menjadi “paling” otoritatif.
Matinya kesadaran akan hal itu
menyebabkan propaganda mengatasnamakan teks menjadi massif dan tak terbendung.
Celakanya propaganda itu tidak pandang bulu. Acap kita temukan teks digunakan
untuk menjustifikasi kebenaran kelompok politiknya dan untuk menyerang musuh
politik dari kelompoknya. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang agama
dimanfaatkan kelompok-kelompok pengujar kebencian dengan sangat presisi. Misalnya,
menyerang kelompok lain dengan teks agama tanpa disertai keterangan konteks
ayatnya.
Padahal asbab
al nuzûl adalah sesuatu yang wajib dikuasai oleh penafsir. Jumhur ulama seperti
Al Wah}h}idî, mengatakan tidak mungkin menafsirkan Al Qur’ân tanpa memperhatikan cerita dan keterangan
tafsirnya. Ibnu Taimiyah, Ibnu Daqiq juga mengatakan hal yang sama tentang
ketidak mungkinan menafsirkan Al Qur’ân
tanpa asbab al nuzûl.[28]
Selain
itu, yang paling mencolok dari tradisi Islam adalah peranan kunci fiqh sebagai parameter keberislaman
seorang muslim. Tidak sedikit propaganda kebencian itu membenturkan tradisi
kultural dan mengkampanyekan penghapusannya hanya karena pertimbangan fiqhiyyah yang tidak matang. Fiqh sendiri
dipandang sebagai fondasi keislaman. Karena itulah Abid al-Jâbiri mengatakan
bahwa peradaban Islam adalah peradaban fiqh,
karena sangat dominannya fiqh mempengaruhi
peri kehidupan kaum muslim. Berbeda misalnya dengan masyarakat Yunani yang
begitu mencintai filsafat. Atau tradisi barat yang sangat menjunjung tinggi
ilmu pengetahuan dan teknologi.[29]
Dengan
hadirnya kelompok politik yang mengujarkan kebencian, hoax dan sentimen SARA di media-media daring menggunakan isu Islam,
pentinglah merivitalisasi kajian-kajian keislaman. Berikut gambaran tantangan
dan peran beberapa kajian keislaman yang perlu direvitalisasi tanpa menafikan
kajian keislaman yang lain seperti filsafat Islam, sejarah Islam dan lainnya, penyebutan
tiga contoh kajian ini tidak lebih keterbatan ruang pembahasan:
-
Kajian
Us}ûl al Fiqh
Kajian Us}ûl al Fiqh berbeda dengan kajian fiqh. Sementara fiqh adalah
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan amal-amal
manusia yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sementara Us}ûl al Fiqh adalah ilmu tentang
kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang digunakan untuk menetapkan
hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan amal-amal dari dalil-dalilnya yang
terperinci.[30]
Us}ûl al Fiqh merupakan tarkib id}afi, yang terdiri dari dua kata. Us}ûl al Fiqh mempunyai dua makna. Pertama, susunan ini difahami saling terpisah dari setiap katanya. Kedua, nama Us}ûl al Fiqh ini bisa diartikan sebagai sebuah “julukan” untuk
sebuah ilmu khusus.[31]
Pembahasan penting dari ilmu ini
diantaranya adalah maqâs}id al-sharî’ah atau
kebertujuan penetapan hukum Islam. Paling terkenal adalah perkataan al-Shat}ibî,
tentang lima tujuan penetapan hukum Islam. Yakni, menjaga agama, menjaga jiwa,
menjaga keturunan (keberlangsungan nasab dan populasi manusia), menjaga harta,
menjaga akal sehat. Bagi al-Shat}ibî, kelima hal ini adalah harga pokok dari
segala agama.[32] Termasuk pembahasan dari ilmu ini
adalah syarat-syarat pengambilan hukum, dalil-dalil guna pengambilan hukum dan sesiapa
yang berhak dan boleh menetapkan hukum.[33]
Fase sejarah
hukum Islam menurut Harun Nasution terdiri dari lima periode. Pertama, periode
Rasulullah. Kedua, fase al khulafâ al
rashidîn. Ketiga, fase dinasti Abbasiyah, atau periode mujtahidin klasik. Keempat,
fase taqlîd, juga disebut sebagai
ketertutupan. Dan kelima, fase pembaharuan atau modern.[34]
Sementara syarat menjadi mujtahid
mutlak juga sangatlah berat. Muhammad Faqih
Maskumambang (1857-1937) mensyaratkan hal-hal berikut ini. Pertama, mengetahui perbedaan tingkatan dan karakteristik setiap
dalil dalam Al Qur’ân maupun al Hadith,
seperti kategori ‘am dan khas, mut}laq dan muqayyad, mujmal dan
mubayyan, naskh dan mansukh, serta
hal lainnya.
Kedua,
memahami ragam hadith seperti mutawatir,
ah}ad, mut}tas}il, munqat}i’, marfu’ dan mursal. Ketiga, memahami
cara mentarjih ketika ada dua dalil bertentangan (tanaqud}). Keempat, memahami
ihwal periwayatan hadith yang bisa dijadikan istidlal, dan mana yang tidak. Kelima,
tidak mengeluarkan hukum yang menyalahi ijma’
ulama. Keenam, mengetahui naskh dan mansukh, memahami amr dan nahyi.
Mengedepankan nash yang z}âhir. Dan ketujuh,
mengenal ketiga qiyas, yakni, qiyas al Aula,
al Maawi dan Adwan.[35]
Tantangan dan relevansi ilmu ini justru
muncul ketika banyak orang menjatuhkan hukum tanpa otoritas dan tanpa dalil
yang otoritatif. Parahnya beberapa diantara mereka justru menggunakan hukum
secara serampangan guna kepentingan politis semata. Diantara tantangan terbesar
us}ûl al fiqh adalah agar ilmu ini
bisa menjadi praktik yang mencerahkan dalam keberagamaan dan kebangsaan. Karena
watak dari kaidah-kaidah ilmu ini yang menghargai maslahah dan menjadikannya
tolok ukur setiap penetapan hukum syar’i.[36]
-
Kajian
Ulum Al-Qur’ân
Kajian tentang ulum Al-Qur’ân menjadi sangat penting
karena kedudukan Al-Qur’ân sumber utama jurisprudensi Islam. Pengetahuan
tentang sumber hukum utama ini menjadi urgen untuk dikembangkan. Berbeda dengan
generasi awal Islam yang langsung mendapatkan pengajaran dan penjabaran isi dan
makna Al-Qur’ân dari Rasulullah sendiri.[37] Sepeninggal Rasulullah, zaman
terus berkembang, kejadian demi kejadian yang dihadapi oleh umat Islam terus
terjadi. Sedangkan teks Al-Qur’ân maupun Al-Hadith, telah purna. Untuk itulah
pemahaman tentang ilmu ini menjadi sedemikian pentingnya.
Pembahasan dari kajian ini adalah
segala sesuatu yang berkenaan dengan Al-Qur’ân dalam pemabahasan turunnya,
seperti pembahasan makkiyah, madaniyah, juga sanadnya, cara
penyampaiannya, lafaz}-lafaz}nya, makna-makna yang terkandung didalamnya yang
berkenaan dengan hukum dan lain sebagainya.[38]
Diantara hikmah dan urgensi
belajar ilmu ini adalah mengetahui asbâb
al nuzûl, ‘âmm dan khas}, nâsikh dan
mansûkh, mut}laq dan muqayyad yang kesemuanya itu penting guna
mendapatkan “citra” tafsir yang benar.
Tantangan ke depan ilmu ini
adalah, menjaga agar tidak ada lagi penggunaan ayat yang tidak pada tempatnya.
Seperti penggunaan ayat yang seharusnya untuk kaum kafir namun digunakan untuk
menyerang kaum muslim yang tidak sepemahaman atau malah untuk menyerang musuh
politik semata.
-
Kajian
Ulum al Hadith
Kajian hadith terdiri dari
beberapa bahasan. Diantaranya adalah, mus}t}alah}
al hadith, ilmu isnâd, ilmu riwâyah, ilmu dirâyah, ilmu al-athar, ilmu
mus}t}alah al athar.[39] Urgensi pengetahuan tentang
hadith telah kita ketahui karena kedudukan hadith sebagai sumber jurisprudensi Islam
kedua setelah Al-Qur’ân.
Pentingnya ilmu ini juga karena
dalam Al-Qur’ân memrintahkan untuk mencari kebenaran dari setiap berita yang
diterima. Seperti pendapat Ibnu Sirîn yang dikutip Al-T}ahân bahwa sebelumnya
tidak pernah ada yang menanyakan tentang sanad hadith. Namun ketika telah
terjadi banyak fitnah maka kemudian berlaku penyebutan nama-nama periwayat
hadith. Jika periwayat dilihat sebagai ahl
al sunnah maka akan diambil hadith-nya. Sebaliknya jika merupakan ahl al bida’ maka hadith-nya ditolak.[40]
Kajian tentang hadith ini juga
penting mengingat serangan-serangan hoax
dan ujaran kebencian itu tak sedikit dengan memakai hadith secara serampangan.
Serangan kepada kelompok dan golongan lain juga kerap dengan kajian hadith yang
setengah-setengah, sehingga menjatuhkan dalil keberagamaan kelompok lain dengan
menyebut dalil tersebut d}aif dan
meletakkan hadith d}aif tersebut
sebagai hadith palsu, padahal keduanya jelas berbeda. Sebagian ulama masih
menerima hadith d}aif asal tidak berkaitan dengan ‘aqâîd dan atau hukum yang berkaitan dengan halal-haram. Dan boleh
menggunakan hadith d}aif sebagai
nasehat, cerita dan sejenisnya. Diantara beberapa ulama yang menggunakan hadith
d}aif dengan maksud demikian adalah
sufyân al thauri dan Abd al Rahman bin Mahdî serta Ahmad bin Hanbal[41]
Kajian ilmu hadith juga harusnya
berguna untuk menanggulangi maraknya hoax,
ujaran kebencian dan massifnya kampanye berbau SARA. Karena kajian ini
mengenal proses takhrij al hadith untuk mengenali derajat hadith dan kemungkinan
hadith tersebut mengandung kebohongan. Bisa juga dikatakan bahwa ulama ahli
hadith adalah ulama terdepan dalam menverifikasi dan menfalsifikasi berita (khabar, hadith). Hadith biasa
diverifikasi dan difalsifikasi dengan berbagai macam cara. Seperti
menverifikasi dengan rujukan yang qualified
sampai dengan kajian bahasa dan kajian sesiapa yang menyampaikan hadith
tersebut.[42]
Pengalaman melakukan verifikasi
dan falsifikasi terhadap berita yang ada harusnya juga dipergunakan oleh para
cendekiawan ahli hadith ketika menerima berita apapun, apalagi di zaman yang
penuh dengan hoax dan ujaran
kebencian seperti hari ini.
Menghadapi
Hoax yang Mengotori Islam, Tantangan
Islam Moderat: Sebuah Simpulan
Penggunaan isu agama untuk
menyerang lawan politik sebenarnya bukan hal baru. Penggunaan ayat-ayat
Al-Qur’ân untuk menyerang lawan politik bahkan terjadi dalam kurun awal-awal
Islam. Misalnya yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri, al-Nasâî, serta Ibn Abî
H}âtim dan dikutip oleh al-Suyut}î bahwa
Marwân di Madinah ketika Mu’âwiyah mengangkat Yazîd anaknya menjadi khalifah
penerusnya dan berpidato, “Sesungguhnya Allah SWT telah memberi kepada Amirul Mukminin Mu’âwiyah, pandangan yang baik tentang Yazîd. Ia ingin mengangkatnya sebagai khalifah
sebagaimana Abû Bakar dan ‘Umar pernah melakukannya”. Abd al-Rahmân bin Abû Bakar yang mendengar ini kemudia
menyela, “ Itu mencontoh Heraklius dan Kisra. Sesungguhnya Abû Bakar tidak pernah mengangkat
(khalifah) seorang pun dari anaknya. Juga tidak mengangkat seseorangpun dari keluarganya.
Sedangkan Mu’âwiyah mengangkat anaknya karena sayang dan ingin
memuliakan anaknya”. Mendengar itu
Marwân berkata pada Abd al-Rahmân, “Bukankah engkau yang dimaksud Al-Qur’ân
‘orang yang berkata cis pada orang tuanya?’”. Abd al-Rahmân membalas, “ Bukankah engkau
adalah anak terlaknat, karena Rasulullah melaknat ayahmu”. Demi mendengar ini,
‘Aisyah saudari Abd al-Rahmân mengatakan, “Marwan berbohong, bukanlah ayat itu
turun untuk Abd al-Rahmân. Tetapi turun untuk fulan bin fulan. Sedang Allah
melaknat ayah Marwân ketika Marwân masih di tulang rusuk ayahnya. Maka Marwân
adalah bagian dari laknat Allah itu”. [43]
Dari kejadian ini, sangat jelas
bahwa Qur’ân dan al-Hadith sangat mudah digunakan untuk melakukan justifikasi
dan glorifikasi terhadap pendapat dan golongan politik bahkan sejak awal Islam
berkembang. Hal yang paling mudah ditemui tentu pemalsuan hadith dengan berbagai
motif, mulai dari faktor politik dengan melakukan glorifikasi terhadap
seseorang atau kelompok.[44] Persaingan ras seperti ketika
Islam telah menaklukkan Persia, maka terjadi upaya membangun superioritas
bangsa Arab atas bangsa Persia. [45] Banyaknya para pendongeng atau
penceramah yang menginginkan perhatian pendengar. [46] Diantaranya juga untuk menjilat
penguasa, seperti yang dilakukan oleh Ghiyath bin Ibrâhîm al Nakha’î kepada
Al-Mahdi.[47] Diantaranya juga perbedaan
madhhab.[48]
Demi melihat kenyataan ini, fenomena
penggunaan agama dan tafsirnya guna memupuk fanatisme dan glorifikasi kelompok,
politisasi agama, penyerangan kelompok lain dengan dalil agama dan hoax di media sosial yang kerap
menganggu seperti terjadi hari ini, sebenarnya fenomena sejak lama. Tentu
dengan media yang berbeda. Pertama,
teks-teks keagamaan telah menjadi dalil glorifikasi kelompok politik. Baik
dalam Pilpres maupun Pilkada. Kedua,
sedemikian juga agama menjadi amunisi untuk menyerang kelompok lain, demi menjatuhkan
kredibilitas musuhnya. Ketiga,
munculnya da’i atau pendakwah di
media sosial yang fanatik terhadap sebuah faham penafsiran dengan menyalahkan
faham penafsiran lainnya. Para pendakwah ini juga kadang membuat kontroversi
demi mendulang popularitas. Keempat,
media sosial juga memunculkan para ustadh selebritis yang sebenarnya tidak
kompeten secara keilmuan. Kelima,
masyarakat yang “awam” secara kajian keagamaan mendapatkan asupan kajian yang
“instan” dari media sosial dan sebagian menjadi fanatik. Sehingga terjadi
perdebatan dan diskusi tak sehat karena dangkalnya dasar kajian keagamaan
mereka.
Tantangan bagi harmoni keagamaan
dan kebangsaan serta Islam moderat di Indonesia adalah hoax, ujaran kebencian dan sejenisnya. Beberapa hal yang harus
segera dilakukan oleh para pegiat Islam moderat diantaranya: Pertama, melakukan usaha yang massif untuk
menyebarkan Islam yang santun, moderat dan beradab di media sosial. Kedua, mendorong penegakan hukum yang berkeadilan oleh aparat penegak hukum. Ini
dilakukan demi melindungi hak-hak hidup warga negara, termasuk untuk beragama
dan meyakini serta menjalankan tafsir atas agamanya. Ketiga, pentingnya para pegiat Islam moderat melakukan diseminasi
kepada masyarakat tentang kajian Islam yang santun, moderat dan beradab. Keempat, pentingnya pemahaman sejarah, ideologi,
dan kajian hukum dan kajian lainnya yang komprehensif dalam pengajaran agama
Islam. Selama ini kajian keagamaan Islam seringkali hanya berorientasi pada
kajian hukum semata.
Daftar Bacaan:
al-Bayhaqî,
Abû Bakar Ahmad b. Husain, Kitab al Zuhdu
al Kabîr , Beirut: Dâr al-Jinân wa Muassasati al-Kutub al Saqafiyah, 1987.
al-Bukhârî,
Al Imam Abû Abd Allâh Muhammad b. Ismâîl b. Ibrâhim b. al Mughîrah b. Bardazbah
al-Ju’fi, S}ah}ih} Bukhârî, Kairo:
Dâr al-Hadith, 2011.
Al-Ghazâlî,
Abû Hâmid Muhammad b. Muhammad. Ihyâ Ulûm
Al-Dîn, Beirut: Dâr Al Fikr, 2001.
al-Jabiri,
Muhammad ‘Abid, Agama, Negara, dan
Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2002.
al-Jabiri,
Muhammad ‘Abid, Takwinul ‘Aql al-‘Arabi, Beirut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arâbiyah, 1989.
al-Mâlikî,
As-Sayyid Muhammad b. ‘Alawi al-H}asani, Sharh
Manz}umat al-Waraqat, Surabaya: As-Shofwah, tt.
al-Mâlikî,
As-Sayyid Muhammad b. ‘Alawi al-H}asani,Zubdat
al-Itqân fî Ulûm Al-Qur’ân, Jeddah: Dâr al-Shurûq, 1976.
al-Naysabûrî,
Abû al H}usain Muslim b. al H}ajjâj al Qushairî, S}ahih Muslim, Kairo: Dâr al Hadith, 2010.
al-Qardhâwi,
Yûsuf, Fiqh Jihad, Bandung: Mizan,
2010.
Al-Qardhâwî,
Yusûf, Rasulullah dan Science: Ilmu,
Belajar dan Pengajaran dari Sudut Pandang Rasulullah. Terj. Amir Hamzah.dkk, Jakarta:
Firdauss, 2015.
Al-Qat}t}an,
Manna@’ Khalil, Mabâhits fi> Ulûm Al
Qur’ân, Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973.
al-Rahîlî,
Abd Allâh b. Daif Allâh, Istikharj al
Âyât wa al Ahâdith: Fî al Abh}âth al Ilmiyat
wa al Da’wiyat, Riyadh: Dâr al Muslim lil Nashr wa al Tauzi’, tt.
Al-S}obuni,
Muhammad ‘Alî, S}afwah al Tafâsîr: Tafsîr
lil Qur’an al ‘Az}im, Jami’ Bayna al Ma’thur wa al Manqul Vol. 1, Kairo:
Dâr al Hadith, tt.
al-Shat}ibî,
Abû Ishaq, Al Muwâfaqât, fî Ushûl al Shari’ah, Kairo: Dâr al Hadith, 2005.
Al-Suyût}î,
Jalâl al Dîn Abd al Rahmân ibn Abî Bakar, Tarîkh
al Khulafâi, Jeddah: Dâr al Minhâj, 2015.
Al-T}ahân,
Mahmud, Taysir
Mus}t}alah} al Hadith, Surabaya: Al Hidayah, tt.
al-Tirmidhi,
Muhammad b. ‘Isâ b. Sûrah, Sunan Tirmidhi,
Kairo: Al-Quds, 2009.
Ash’arî,
As-Syaikh Hâshim, Adab Al-‘Alim wa
Al-Muta’alim, Jombang; Maktabah Al-Turâth Al-Islâmi, tt.
Ash-Shiddieqy,
Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadist , Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, cet. Ke-4, 1999.
Aziz,
Muhammad Ali, Ilmu Dakwah, Jakarta:
Kencana, 2009.
Badara,
Aris, Analisis Wacana, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik.
Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
el
Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari
Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, 2005.
Hasan,
A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, (Bandung:
Diponegoro, 1982)
Khalâf,
‘Abd Al-Wahâb, ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, Kairo:
Dâr al-Hadith, 2003.
Maskumambang,
Muhammad Faqih, Menolak Wahabi:
Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At
Tilimsani Terj. KH. Abdul Azis Mashuri, Depok: Sahifa, 2015.
Munawwir,
A. W, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progessif, 1997.
Muta’al,
Isa Anshori, Dkk, Ulumul Hadits,
Palembang, Raden Fatah Press, cet ke-3, 2005.
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979.
Nawawî,
Al Shaykh Muhammad al Ja@wi, Tafsir
Marâh} Labîd li Kashf Ma’na Qur’ân Majîd, Surabaya: Al Hidayah, tt.
Qadafy,
Mu’ammar Zayn, Buku Pintar Asbabun Nuzûl
Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, Yogyakarta: In AzNa
Books, 2015.
Shihab,
M. Quraish, Wawasan Al-Quran, Bandung:
Mizan, 2007.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadist, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.
Usâmah,
Abu, Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta:
Daarul Ibn Hazm, 2007.
Zaydan,
‘Abd al Karîm, Al-Wajiz fî Ushûl al-Fiqh,
Beirut: Mu’assasat Qurtubah, 1987.
Internet:
[1] Al-Baqarah [2]: 143.
[2] A. W Munawwir, Kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progessif, 1997),
1557.
[3] Al Shaykh Muhammad
Nawawî al Ja@wi, Tafsir Marâh} Labîd li
Kashf Ma’na Qur’ân Majîd (Surabaya: Al Hidayah, tt), 37.
[4] Muhammad ‘Alî al
S}obuni, S}afwah al Tafâsîr: Tafsîr lil
Qur’an al ‘Az}im, Jami’ Bayna al Ma’thur wa al Manqul Vol. 1, (Kairo:
Dâr al Hadith, tt), 98.
[5] Khaled Abou el Fadl,
Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, (Jakarta:
Serambi, 2005), 29.
[6] https://nasional.tempo.co/read/902601/sindikat-konten-kebencian-saracen-ditangkap-polisi-siapa-mereka. Diakses pada
28-Maret-2018
[7] http://kalimantan.bisnis.com/read/20170112/15/618794/dewan-pers-berita-hoax-berkembang-sejak-pilpres-2014. Diakses pada
28-Maret-2018
[8] Muhammad ‘Abid
al-Jabiri, Agama, Negara, dan Penerapan
Syariah, terj. Mujiburrahman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), 99.
[9] https://seword.com/umum/mengenal-lebih-dekat-muslim-cyber-army-mca-r1cwbLOdf. Diakses pada 28-Maret-2018
[10] Jalâl al Dîn Abd al
Rahmân ibn Abî Bakar al Suyût}î, Tarîkh
al Khulafâi (Jeddah: Dâr al Minhâj, 2015), 237-238.
[11] Lihat Q.S. Al
Baqarah [2]: 216 , Q.S. Al Nisâ [4]: 77-78, Q. S Al Taubah [9]: 111-112
[12] Lih. Al Imam Abû Abd
Allâh Muhammad b. Ismâîl b. Ibrâhim b. al Mughîrah b. Bardazbah al-Bukhârî
al-Ju’fi, S}ah}ih} Bukhârî, H}adith
ke-2817 (Kairo: Dâr al-Hadith, 2011), 463. Dan lihat. Abû al H}usain Muslim b.
al H}ajjâj al Qushairî al-Naysabûrî, S}ahih
Muslim, H}adith ke-1885 (Kairo: Dâr al Hadith, 2010) , 619-620.
[13] Q.S al H}ajj [22]:
78.
[14] Lih. Muhammad ‘Alî
al S}obuni, S}afwah… Vol. 2 hal. 286
[15] Abû Bakar Ahmad b.
Husain al-Bayhaqî, Kitab al Zuhdu al
Kabîr (Beirut: Dâr al-Jinân wa Muassasati al-Kutub al Saqafiyah, 1987),
165.
[16] Muhammad b. ‘Isâ b.
Sûrah al-Tirmidhi, Sunan Tirmidhi, vol.
2 hadith ke-1621 (Kairo: Al-Quds, 2009), 55.
[17] Yûsuf al-Qardhâwi, Fiqh Jihad (Bandung: Mizan, 2010), 3.
[18] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007),
660.
[19] Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2009),
69.
[21] Yusûf Al-Qardhâwî, Rasulullah dan Science: Ilmu, Belajar dan
Pengajaran dari Sudut Pandang Rasulullah. Terj. Amir Hamzah.dkk (Jakarta:
Firdauss, 2015), 21.
[22] Abû Hâmid Muhammad
b. Muhammad Al-Ghazâlî. Ihyâ Ulûm Al-Dîn (Beirut:
Dâr Al Fikr, 2001), 12
[23] As-Syaikh Hâshim
Ash’arî, Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’alim
(Jombang; Maktabah Al-Turâth Al-Islâmi, tt),19.
[24] Lih. [24] Yusûf
Al-Qardhâwî, Rasulullah… hal. 30
[25] Abdul Chaer dan
Leonie Agustina, Sosiolinguistik. (Jakarta:
Rineka Cipta, 2010), 7.
[26] Dr. Aris Badara,
M.Hum, Analisis Wacana, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013), 7-8.
[27] Mu’ammar Zayn
Qadafy, S.Th.I., M.Hum., Buku Pintar
Asbabun Nuzûl Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, (Yogyakarta:
In AzNa Books, 2015), x-xi.
[28] Lih. Muammar Zayn
Qadafy, Buku Pintar Asbabun Nuzûl…, 5-6.
[29] Muhammad ‘Abid
al-Jabiri, Takwinul ‘Aql al-‘Arabi, (Beirut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arâbiyah, 1989), 97.
[30] ‘Abd Al-Wahâb Khalâf,
‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, (Kairo: Dâr
al-Hadith, 2003), 11-12.
[31] As-Sayyid Muhammad
b. ‘Alawi al-Mâlikî al-H}asani, Sharh
Manz}umat al-Waraqat (Surabaya: As-Shofwah, tt), 10.
[32] Abû Ishaq al-Shat}ibî, Al Muwâfaqât, fî Ushûl
al Shari’ah. (Kairo: Dâr al Hadith, 2005), 266.
[33] Lih. ‘Abd Al-Wahâb
Khalaâf, ‘Ilm Ushûl… hal. 12-13
[34] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid
II (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[35] KH. Muhammad Faqih
Maskumambang, Menolak Wahabi: Membongkar
Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At Tilimsani Terj.
KH. Abdul Azis Mashuri (Depok: Sahifa, 2015), 55-56.
[36] ‘Abd al Karîm
Zaydan, Al-Wajiz fî Ushûl al-Fiqh (Beirut:
Mu’assasat Qurtubah, 1987), 378.
[37] Manna@’ Khalil al
Qat}t}an, Mabâhits fi> Ulûm Al Qur’ân,
(Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973), 1-2.
[38] As-Sayyid Muhammad
b. ‘Alawi al-Mâlikî al-H}asani,Zubdat
al-Itqân fî Ulûm Al-Qur’ân (Jeddah: Dâr al-Shurûq, 1976), 9-10.
[39] A. Qadir Hasan, Ilmu Mushtalah Hadits, (Bandung:
Diponegoro, 1982), 15-16.
[40] Dr. Mahmud Al-T}ahân, Taysir Mus}t}alah} al
Hadith, (Surabaya: Al Hidayah, tt), 9-10.
[41] Lih. Dr. Mahmud Al-T}ahân, Taysir Mus}t}alah}.. hal.
65
[42] Lih. Dr. Abd Allâh
b. Daif Allâh al-Rahîlî, Istikharj al
Âyât wa al Ahâdith: Fî al Abh}âth al Ilmiyat
wa al Da’wiyat (Riyadh: Dâr al Muslim lil Nashr wa al Tauzi’, tt), 65-105.
[43] Lih. Jalâl al Dîn
Abd al Rahmân ibn Abî Bakar al Suyût}î, Tarîkh…
hal. 335-336
[44] Munzier
Suparta, Ilmu Hadist (Jakarta,
Rajawali Pers, 2010), 183
[45] Tengku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadist (Semarang, PT.
Pustaka Rizki Putra, cet. Ke-4, 1999) , 226.
[46] Isa Anshori Muta’al,
Dkk, Ulumul Hadits, (Palembang,
Raden Fatah Press, cet ke-3, 2005.), 108.
[47] Abu Usâmah , Ilmu-ilmu Hadits,( Jakarta: Daarul Ibn
Hazm, 2007), 205
[48] Lih. Munzier
Suparta, Ilmu… hal. 187.
0 komentar:
Posting Komentar
Harap berkomentar demi perbaikan...