top social

Rabu, 14 Februari 2018

Melacak Jejak di Yerusalem, Kota Suci Tiga Agama


Yerusalem, kota suci tiga agama Abrahamaik ini tiba-tiba terkenal. Memang sudah sering terjadi kerusuhan disana. Namun kali ini gelombang kerusuhan dan protes semakin gencar. Bukan tanpa sebab, ini adalah efek dari pengakuan presiden Amerika Donald Trump, bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Keputusan ini kemudian akan ditindak lanjuti dengan memindahkan kantor konsulat mereka ke Yerusalem. Ini tentu memicu konflik, alih-alih menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Palestina dan bangsa penjajah Israel.

Klaim Israel, bahwa mereka adalah penduduk asal, pemilik sah, dan klaim teologis mereka, bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka menjadikan konflik ini seakan konflik agama belaka. Padahal lebih dari itu, konflik ini telah menjadi konflik antar bangsa dan terlebih menjadi semacam genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilegalisasi. Lalu bagaimana?

Sejarah panjang manusia, beberapa pendapat menyatakan terdiri dari dua fase besar. Fase pertama adalah fase Adam alaihissalam. Bapak para manusia. Adam yang berasal dari surga, diturunkan ke dunia sebagai konsekwensi dari perbuatannya melanggar pantangan, memakan buah khuldi. Pada fase ini, sampai keturunan Idris bagi sebagian pendapat menyatakan bahwa sampai Nabi Idris mereka adalah nabi yang wajib diimani. Bukan sampai pada tingkatan rasul. Karena masih sedikitnya umat dan beberapa alasan lainnya.

Fase kedua kehidupan manusia, sebagian pendapat menyebutkan dimulai semenjak nabi Nuh. Nabi Nuh ini terkenal dengan bahteranya. Nuh alaihissalam sendiri berdakwah kisaran 950 tahun untuk umatnya yang membangkang dan menjauh dari ajaran utama agama bapak-bapak mereka. Untuk alasan inilah sebagian pendapat, kenapa di Alquran hanya ada surat Nuh, bukan surat Adam. Kesudahan umat Nuh ini sudah mafhum bagi kita, bahwa umat Nuh kemudian dihancurkan dengan banjir bandang besar. Banjir ini kemudian menyisakan umat yang kemudian melahirkan beberapa generasi berikutnya. Beberapa tafsir menjelaskan bahwa umat yang tersisa atau dibawa Nuh dalam bahteranya berjumlah 80 orang. Wallahu a’lam. Diantara mereka adalah Sham bin Nuh. Atau dikenal dengan Shem. Bangsa dari keturunan ini kemudian dikenal sebagai bangsa Semitik. Dalam sejarah manusia modern dan purba, semitik ini dalam kategorisasi bahasa menyangkut beberapa wilayah dari Afrika, Asia Barat sampai semenanjung Arab. Diantara bangsa ini adalah bangsa Aad, kaum yang juga diceritakan dalam Alquran.
Kaum Aad ini suatu saat diberikan adzab yang pedih, sehingga menghabiskan mereka. Sehingga kerap disebut sebagai bangsa Arab ba’idah. Bangsa Arab jauh yang tidak lagi bisa ditemui kecuali melalui cerita-cerita yang dikemukakan dalam sejarah yang bersumber dari Alquran, misalnya. Namun adzab itu sejatinya tidak menghabiskan mereka semua. Ada segolongan kaum yang beriman dibawah komando nabiyullah Hud alaihissalam yang berhasil selamat. Hud ini juga disebut sebagai Eber, Ibir atau Nibir. Dan kepadanyalah disandarkan julukan bangsa Ibrani kemudian. Bangsa keturunan Ibir, seperti yang kerap kita ketahui, dengar dan baca sekarang.

Atas petunjuk Ibir atau nabiyullah Hud inilah kemudian mereka “hijrah” ke utara. Dalam perjalanannya, gelombang perpindahan ini kemudian terpisah menjadi dua golongan. Pertama, mereka kemudian kea rah Mesir. Kelak dikenal sebagai bangsa pengembara, penggembala yang sempat melakukan perebutan kekuasaan dan bahkan sempat menganeksasi Mesir. Bangsa itu kita kenal sebagai suku Hyksos, yang sempat mendirikan dinasti Hyksos di Mesir.

Kedua, dari mereka kemudian ada yang meneruskan perjalanan hingga ke Mesopotamia, atau yang kita kenal sebagai Irak hari ini. Dari keturunan Aad yang di Mesopotamia inilah kemudian kita kenal dilahirkan seorang nabi besar, nabi yang menjadi pengikat tiga agama besar dunia, yakni Abraham atau Ibrahim alaihissalam. Seorang nabi, rasul dan bapak agama-agama samawi. Nabi Ibrahim dipercaya lahir di daerah Kaldan, atau Kutsa. Sebelah selatan Irak. Di bantaran sungai indah Eufrat.

Ibrahim yang diangkat menjadi rasul, kemudian menyatakan dakwahnya dan harus menerima kenyataan bahwa dakwahnya diabaikan, dimusuhi dan dirinya disiksa. Tragedi hukuman pembakaran dirinya, oleh bangsanya atas perintah raja Namrudz bin Kana’an. Selamat dari upaya pembunuhan itu, bersama istrinya Sarah, Ibrahim lantas hijrah ke Syam, tepatnya daerah Haran. Di tempat ini, Ibrahim pun mengalami hal yang sama dalam dakwahnya. Sehingga harus beringsut pergi kembali ke tanah Kana’an, atau kita kenal sebagai Palestina.

Kana’an yang mengalami cobaan paceklik hebat, memaksa Ibrahim untuk angkat kaki. Sehingga beliau menuju ke Mesir. Fir’aun, julukan raja Mesir ketika masa ini dipercaya dipegang oleh Sanusart I atau Sanusart II. Di Mesir ini, istri Nabi Ibrahim sempat hampir diminta paksa untuk dinikahi oleh sang raja. Namun atas kuasa Allah, hal tersebut tidak sampai terjadi. Malah kemudian Ibrahim diberi hadiah Siti Hajar, menurut sebagian sejarah budak raja, namun sebagian lagi menganggap Hajar adalah anak raja.

Lama tak mempunyai anak, Sarah menyarankan Ibrahim untuk menikahi Hajar. Benar saja, Ibrahim lantas dikaruniai anak yang sangat dicintainya dari Rahim Hajar, bernama Ismail. Namun kemudian, Sarah pun melahirkan anak dari Ibrahim, yang bernama Ishak. Ismail seperti kerap kita kenang dalam cerita sebab ‘Idul Qurban, kemudian oleh Ibrahim dibawa ke sebuah lembah tandus dekat Baitullah di Mekkah. Dari keturunan Ismail yang menikah dengan suku Jurhum, kelak lahirlah bangsa-bangsa Arab musta’ribah keturunan Ismail, sampai pada sayyid Adnan, sampai pada sayyid Fihr yang dikenal sebagai Quraisy, dan pada akhirnya kelak lahir Abdullah. Ayah seorang nabi besar, yakni Muhammad Shalallahu alaihi wa alihi wa ashabihi. Ismail ini pada kitab Perjanjian Lama kerap diceritakan lahir ketika Ibrahim berusia 86 tahun. Sementara Ishak lahir ketika Ibrahim berusia 100 tahun.

Sementara itu dari Ishak-lah keturunan-keturunan nabi-nabi Israel diturunkan. Dalam pohon sejarahnya, Ishaq mempunyai beberapa anak. Ish dan Ya’qub diantaranya. Dari Ish, kita mengenal keturunannya dari jalur ini adalah nabi Ayyub dan nabiyullah Dzulkfili. Sedangkan dari Ya’qub-lah gelar Israel dinisbatkan. Tentang julukan Israel, julukan bagi Ya’qub bisa kita lacak dalam Alquran ketika menjelaskan tentang makanan yang halal-haram bagi Bani Israel. Dalam surat Ali Imran ayat 93. Tentang arti Israel, sebagian mengatakan Isra adalah budak atau tawanan, sedang el dari kata elohim, atau Tuhan. Yang berarti hamba atau budak Tuhan. Ada pula yang mengatakan nama itu diambil karena Ya’qub suka berdakwah dengan berpindah-pindah di malam hari.

Ya’qub atau Israel dikenal mempunyai 12 anak. Dari sinilah kita ketahui awal mula 12 suku Bani Israel. Diantara anaknya tentu kita mengingat kisah Yusuf alaihissalam. Yusuf ini dalam ceritanya hendak dibunuh oleh saudara-saudaranya. Hal ini dipicu karena kasih saying Ya’qub yang berlebih kepada Yusuf dan Bunyamin, saudara kandung Yusuf. Ketika strategi pembunuhan hendak dilaksanakan, seseorang saudaranya, yang oleh sebagian pendapat diyakini adalah Yahuda menolak rencana itu. Namun menyarankan agar Yusuf cukup “disingkirkan” dengan  dimasukkan ke dalam sumur agar tetap hidup.
Dibagian genealogi, dari keturunan Bunyamin saudara kandung Yusuf, kelak akan lahir nabiyullah Yunus alaihissalam. Sementara dari keturunan Imran akan lahir nabi besar kaum Israel, yakni Musa dengan saudaranya Harun. Dan dari Harun ini kelak lahir nabi Ilyas dan Ilyasa’. Sementara itu dari keturunan Yahuda, saudara tiri lain Yusuf, akan lahir kelak raja dan nabi Bani Israel, yakni Daud. Ayah dari Sulaiman, raja terbesar suku Israel yang juga darinya akan muncul keturunannya kelak Zakaria,Yahya dan tentu Isa.

Seperti ceritera yang kerap dituturkan dan diceritakan, bahwa kelak Yusuf akan dijual di Mesir, menjadi budak dan kemudian sampai akhirnya dipenjara karena sesuatu hal. Tapi pada akhirnya kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai bendahara negara Mesir. Jabatan yang cukup prestisius. Disisi lain keluarganya terancam kelaparan akibat paceklik yang melanda. Maka Israel atau nabiyullah Ya’qub kemudian mengajak keluarganya hijrah dari Kana’an atau Palestina ke Mesir.

Di Mesir inilah, Bani Israel atau anak turun Ya’qub berketurunan. Pada masa itu, kekuasaan sedang berada di tangan suku Hyksos. Suku yang secara genealogi masih bersambung jauh dengan mereka. Dibawah kuasa suku Hyksos ini Bani Israel berkembang dan menikmati kehidupan yang aman, tentram dan makmur. Sampai kemudian Mesir dapat direbut kembali oleh para penduduk asli Mesir.

Masalah kemudian muncul, ketika Bani Israel ini merasa nyaman dalam naungan Hyksos dan menjadi begitu dominan dalam masyarakat. Dan hal tersebut jelas tidak menyenangkan bagi penguasa baru Mesir, yakni pendidik Mesir asli. Mereka juga merasa Bani Israel ini terlalu dekat dengan dinasti Hyksos. Dinasti yang telah lama menjajah mereka. Penguasa baru Mesir ini, dalam beberapa sejarah kerap disebut berusaha menghilangkan jejak peninggalan dinasti Hyksos. Dan dalam usaha itu, tentu Bani Israel termasuk kaum yang harus dieliminasi pengaruhnya. Maka, kehidupan yang tenang itu berubah menjadi petaka.

Kesulitan paling dahsyat melanda mereka adalah ketika Firaun Mesir dijabat oleh Ramses II. Apalagi setelah terjadi drama, beberapa kali Bani Israel mencoba melakukan manuver untuk melakukan pemberontakan pada dinasti XIX yang berasal dari kaum asli Mesir tersebut. Akumulasi dari semua itu, maka Bani Israel menjadi warga negara kelas dua, bahkan diperbudak. Dalam kegetiran ini, Allah mengutus seorang pembebas bagi mereka yakni nabiyullah Musa alaihissalam.

Musa dalam cerita Alquran, sebenarnys justru pernah menjadi anak angkat dari sang Firaun sendiri. Ketika itu, keturunan bani Israel diperbudak oleh Firaun dan rakyatnya. Bahkan anak-anak laki-laki bani Israel pun banyak dibunuh, sedangkan perempuan-perempuan Bani Israel dijadikan budak nafsu. Hal karena adanya pertanda dari cenayang kerajaan, atau dukun-dukun resmi kerajaan bahwa kelak Firaun akan dikalahkan oleh seorang anak lelaki dari Bani Israel. Sebagai tambahan informasi, bahwa pada masa ini, dukun mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Sistem kepercayaan Mesir memungkinkan para peramal, cenayang dan dukun mempunyai kedudukan yang tinggi. Ini sebenarnya juga berpengaruh pada kepercayaan Bani Israel.

Nasib Bani Israel di Mesir memang miris, mereka dipekerjakan untuk proyek-proyek mercusuar Firaun. Bahkan menurut beberapa pendapat proyek Piramida dikerjakan oleh budak dari Bani Israel. Maka misi Musa untuk menyelamatkan bangsanya, bukan hanya persoalan benturan kepercayaan, namun juga persoalan ekonomi. Bani Israel di satu sisi merupakan asset, menurut Firaun, sehingga mereka bisa melakukan pembangunan dengan biaya murah. Selain bahwa Firaun juga akan sulit untuk menegaskan eksistensi dirinya, yang kadung mengaku sebagai “tuhan”, jika Musa berhasil melawannya dengan menyelamatkan Bani Israel.

Tapi Bani Israel ini adalah bangsa pengeluh. Misi Musa, selain dipersulit oleh represi dan gangguan dari Firaun dan bangsa Mesir. Misi itu juga harus melampaui tantangan internal berupa kemalasan, sikap fatalistik kaum Bani Israel dan tentu, tentangan dari kaum Bani Israel sendiri. Persiapan eksodus besar-besaran yang digagas nabi Musa atas petunjuk Allah ini jelas menjadi terhambat.  Sampai pada cerita Musa harus bertarung dengan para penyihir Firaun dan menang. Hingga akhirnya eksodus itu pun terjadi dalam kejaran Firaun Ramses II. Dan seperti kita ketahui, ketika terdesak di Laut Merah, Musa pun meminta agar Laut itu dipecah guna membaeri jalan bagi pelarian Bani Israel.

Sampailah mereka pada tempat tujuan, tanah yang dijanjikan, Kana’an, Palestina sekarang. Tapi ini bukan tanpa resiko, mereka kembali di sebuah tempat untuk mempertahankan hidup, setelah lama “terlena” dalam perbudakan di Mesir. Terbiasa dengan “kenyamanan”, maka ketika Musa mengajak mereka untuk melakukan penaklukan Kana’an, mereka menolak. Bahkan dalam Alquran dengan jelas menyuguhkan sebuah dialog yang menunjukkan, bagaimana lemah dan “manja”nya. Melihat Musa yang “sakti” dengan kemampuan membelah Laut Merah. Mereka malah meminta agar Musa sendiri yang berperang, sedangkan mereka akan menunggu kabar kemenangan Musa. Sebuah pemikiran picik.

Dan perlu kita kemukakan, bahwa maksud “tanah yang dijanjikan”, tentu berkaitan dengan zaman itu, pun dengan syarat perjuangan untuk merebutnya dengan perjuangan yang tentu berdarah. Jika itu menjadi sebuah konsideran mereka, untuk menuntut tanah Palestina sekarang.

Dalam Alquran juga diterangkan, bagaimana rentannya keimanan mereka, padahal mereka telah diselamatkan. Ketika Musa berkhalwat, menyendiri, untuk menerima Taurat selama 40 hari saja. Ketika kepemimpinan spiritual Bani Israel diserahkan pada nabiyullah Harun, saudara dari Musa alaihimasalam, mereka pun dapat terperdaya oleh Samiri. Yang membuat sesembahan dengan patung anak sapi, bahkan Samiri sempat mengatakan, bahwa Musa telah lalai dengan mencari-cari Tuhan, padahal tuhannya ada disana. Yakni patung sapi. Pun beberapa kali diceritakan, kaum Bani Israel meminta kepada Musa agar dibuatkan gambaran Tuhan, seperti yang sering mereka temui pada kaum Mesir, yang menyembah patung-patung mereka.

Dan karena mereka yang mengabaikan perintah Tuhan melalui Musa. Maka Bani Israel dikutuk untuk tidak mendapatkan tempat. Mereka stateless, tidak mempunyai negara. Mereka juga tak dapat masuk ke Kana’an, hingga Musa wafat, meninggalkan mereka.
Barulah setelah berganti generasi, generasi-generasi baru itu kemudian mempunyai visi yang cukup untuk menaklukan Kana’an, dibawah komando Yusya’ bin Nuh. Beberapa pendapat menyatakan Yusya’ atau Joshua ini adalah murid dari Musa yang menemani beliau ketika harus mencari hamba Allah yang bernama nabiyullah Haidir alaihissalam, atau Balya bin Malkan. Yusya’ bin Nuh ini juga pahlawan Bani Israel yang luar biasa. Memimpin pasukan dengan jumlah yang lebih sedikit dan kemampuan yang pas-pasan namun mampu menaklukkan kota Jericho awalnya. Hingga kemudia terus merangsek menaklukkan kota Ramallah dan berusaha mencapai Al Quds, ibu kota kaum Yabus yang ada di Kana’an. Pada saat penaklukkan kota Al Quds itulah, disebutkan dalam sebuah hadits, Allah sempat menahan laju matahari untuk memberi kesempatan lebih panjang bagi Yusya’ bin Nuh.

Setelah pendudukan itu, Bani Israel dipimpin oleh para hakim yang berkuasa dengan wilayah semacam protektorat. Hakim-hakim itu terhubung dengan kesukuan mereka, dengan wilayah tertentu. Hingga munculnya Thalut yang menjadi panglima perang mereka. Setelah penaklukan yang gilang gemilang dengan mengalahkan Jalut atau Goliath, maka setelah itu Bani Israel dipimpin oleh Daud, seorang nabi dan raja Bani Israel. Daud adalah seorang yang cerdas, hingga kerajaan Bani Israel itu menjadi sangat kuat. Pada awalnya kerajaan ini beribukita di Hebron atau el Khalil, namun kemudian dipindah ke Yerussalem. Diantara misi dari Daud selain memerintah, adalah mengembalikan akidah bangsa Israel. Sedangkan Hebron atau el Khalil sebagai ibu kota pertama sendiri mempunyai posisi khusus, disanalah Khalilullah Ibrahim dengan anaknya Ishak dan Ya’kub atau Israel alaihimsalam bermukim.

Pada masa pemerintah Daud inilah terjadi perluasan kekuasaan yang merembet hingga sungai Eufrat dan sebagian wilayah Mesir. Kekuasaan Daud itu lantas diwariskan kepada Sulaiman alaihissalam. Seorang nabi dan raja besar, yang dalam Alquran bahkan kerajaan itu tak pernah akan diberikan kepada orang sesudahnya. Pada masa kekuasaan Sulaiman inilah, dibangun sebuah bangunan untuk beribadah di Yerussalem. Bagi orang Yahudi, bangunan itu kemudian dikenang sebagai kuil Sulaiman, Solomon Temple atau Beit Solomon. Kemudian hari, kuil Sulaiman inilah yang menjadi masalah besar, dalam rangka perebutan kekuasaan di Yerussalem.
Pasca wafatnya Sulaiman, Bani Israel bukannya tambah maju. Kebiasaan bebal mereka kembali kambuh. Ternyata kebiasaan mereka berbuat aniaya kembali terjadi, bangsa Israel ini kemudian terpecah. Dimulai dari diwarisinya kerajaan oleh salah seorang putra Sulaiman, Rehabeam. Beberapa orang yang mewakili 10 suku dari 12 suku Israel mendatanginya dibawah koordinasi Jeroboam. Mereka menuntut tingginya pajak peninggalan Sulaiman. Dan seperti akan menjadi “kebiasaan” para nabi, pasca Rasulullah pun pemberontakan pertama yang muncul adalah golongan penolak zakat. Golongan yang kemudian berhasil ditumpas oleh Abu Bakar as Shidiq, radhiyallah anhu. 

Terjadi perselisihan hingga akhirnya kerajaan itu terbagi dua. Dua suku dibawah kekuasaan Rehabeam, beribukota di Yerussalem. Mereka ini di wilayah selatan, yang kelak lebih dikenal sebagai suku Judea atau Judah atau Judeah. Kerajaan ini dinisbatkan pada Yahuda, seorang keturunan Ya’kub alias Israel yang keturunannya terbanyak. Juga merupakan pohon nasab yang menurunkan Daud atau David dan selanjutnya Sulaiman.
Sementara itu sepuluh suku yang menolak pajak peninggalan Sulaiman, kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang beribukota di  Samaria. Kerajaan ini lebih dikenal sebagai kerajaan Samiria. Dipimpin oleh Jeroboam I. Jeroboam sendiri sebagian berpendapat adalah pemberontak masa Sulaiman yang dibuang dan diasingkan ke wilayah Mesir.
Kemalangan mereka tak berhenti, kerajaan Samiria ini kemudian diserang oleh kerajaan Asyur atau Assyiria pada 721 SM. Dibawah kepemimpinan Shalmaneser V dan dilanjutkan oleh Sargon II kerajaan Samiria ini dihancur leburkan. Para anak kecil pun banyak dibunuh. Mereka diusir, diperbudak, diasingkan dan dibuang ke wilayah Khurasan yang masa modern ini kita kenal dengan Iran bagian timur dan Afghanistan bagian barat. Praktis pengusiran dan pembunuhan menghilangkan jejak 10 suku Israel itu.

Sekedar menjadi penanda saja. Bangsa Judea, adalah bangsa yang sangat menjaga kemurnian darah Israel mereka, ini berbeda dengan bangsa Samiria yang kemudian banyak melakukan pernikahan campuran.

Kerajaan Assyirian ini pun kemudian diserang oleh kerajaan Babilonia. Dan bukan hanya itu, Babilonia pun akhirnya merangsek ke kerajaan Judea di selatan. Judean takluk, Yerussalem diluluh lantakkan, hancur berkeping-keping. Beit Solomon atau kuil Sulaiman dihancurkan. Taurat dibakar, dan yang lebih miris para penduduknya diusir. Inilah awal diaspora Yahudi, sebutan bagi Bani Israel oleh bangsa Babilonia yang merujuk pada kepercayaan mereka.
Sebutan Yahudi itu merujuk pada keturunan Yahuda, suku terbesar dan juga praktik kepercayaan mereka. Sehingga hari ini, Yahudi dikenal sebagai agama seorang tanpa merujuk apakah yang bersangkutan adalah keturunan Israel atau Ya’kub atau bukan. Yahudi pasca serbuan Babilonia harus terpencar. Sementara 10 suku yang lainnya dinyatakan hilang, walau beberapa tradisi di beberapa tempat merujuk pada suku-suku itu. Seperti suku Chazar di Rusia, Pasthuns di Afghanistan-Pakistan, Kashmir di India, Bene-Menashe di India-Myanmar, dan beberapa tempat lain.

Yahudi yang terusir dari Judea itu kemudian berdiaspora, berpencar, berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah yang lain, terlunta-lunta. Melalui Nebukhadnezar, raja Babilonia, kaum Yahudi atau Israel menjadi pecundang. Tapi ini tak lain adalah buah dari kesalahan, dosa yang menghasilkan adzab dan peringatan dari Allah. Sebagaimana nabi Jeremiah mengatakan kepada Nebukhadnezar, bahwa hasil kemenangan Babilonia bukanlah atas kekuatan mereka. Namun, itu tak lain adalah hasil dari kesalahan dan dosa-dosa kaum Israel sendiri, yang berpecah belah, mengingkari ajaran para rasul Allah bahkan mereka membunuh para rasul dan nabi yang diutus Allah kepada mereka.

Para Yahudi itu dipenjara di Babilonia, sebagian bermigrasi ke wilayah penaklukan Babilonia. Tapi, mereka tak punya hak untuk hidup di Kana’an atau Palestina. Dan tak pula mereka mempunyai hak hidup di Yerussalem. Sampai kemudian kerajaan Persia datang menguasai kerajaan Babilonia. Persia dibawah kuasa maharaja Cyrus Agung (550-530 SM), berhasil menguasai Yerussalem. Maka, kaum Bani Israel atau Yahudi pun dibebaskan dan mereka diperbolehkan kembali ke Palestina dan membangun kembali Yerussalem.

Rekonstruksi Yerussalem besar-besaran, termasuk didalamnya adalah Beit Solomon atau kuil Sulaiman. Tempat kaum Yahudi menyembah Tuhannya, Yahweh. Yang dalam kategori tauhid sebagaimana ajaran Ibrahim atau Abraham, Ishak, Ya’qub atau Israel, atau Musa dan Harun, Daud dan kemudia Sulaiman, jelasnya haruslah menyembah Allah Subhananu wa Ta’ala.
Rekonstruksi Yerussalem dan Beit Solomon sendiri dibawah pengawasan dua orang sholeh. Yakni nabi Nehima dan Ezra. Ezra sendiri adalah seorang yang sangat dihormati, selain karena kesholehan juga kecerdasannya. Dalam Alquran, Ezra ini bahkan sering didudukkan hampir sama dengan kedudukan Isa bagi orang Nasrani, yakni anak Tuhan. Ezra dalam Alquran disebut dengan sebutan Uzair. Namun tentu tak semua Yahudi hendak pulang, ada yang sudah merasa tenang dan nyaman di tempat baru mereka.

Perpindahan kekuasaan pun terjadi, ketika Alexander The Great dari Macedonia atau Yunani menguasai Israel. Upaya hellenisasi pun berjalan. Bahasa Yunani pun dijadikan bahasa resmi. Untuk itulah kenapa bahasa Ibrani Modern atau Ibrani baru banyak mengandung unsur bahasa Yunani, Persia dan tentu, Latin Romawi yang datang selanjutnya.

Memang, Romawi kemudian menaklukkan Yunani dan Yerussalem. Maka secara otomatis, Yerussalem dikuasai oleh imperium Romawi. Dan pada masa ini, untuk meluruskan akidah kaum Yahudi atau Israel, maka Allah kembali mengutus nabinya, yakni nabiyullah Isa alahissalam. Selain untuk meluruskan akidah, Isa juga sama dengan Musa yang berusaha membebaskan Israel dari cengkeraman Romawi. Oleh Romawi, gerakan Isa ini dianggap sebagai gerakan subversif. Sebuah gerakan yang melawan negara Romawi dengan hukuman terberatnya, yakni disiksa hingga mati di tiang salib.

Pun sama dengan Musa, gerakan Isa yang bertujuan membebaskan kaum Israel itu tak sepenuhnya bersambut. Entah karena kebebalan dan kebodohan serta terutama kemalasan mereka. Namun sebagian sejarah juga menyatakan bahwa tidak diterimanya ajaran Isa itu diantaranya adalah, bahwa pengikut awal musa terbanyak justru berasal dari kaum nelayan miskin Samiria. Sedangkan bagi kaum Yahudi Judea, mereka ini hanyalah kelompok masyarakat yang bahkan dianggap najis.

Sampai kemudian Isa meninggalkan mereka. Yahudi ternyata kemudian memberontak kepada Romawi. Dan oleh sebab itu, mereka mengalami kembali pengusiran dari Yerussalem. Yerussalem dihancurkan kembali oleh Romawi. Mereka dilarang kembali ke tanah Kanaan. Dan berdiaspora kembali. Sementara Yerussalem dibumi hanguskan atas perintah Titus, sang raja Romawi (65-75 M). Walaupun masihlah tersisa sekelompok kecil orang Yahudi di Yerussalem.
Oleh Romawi, ibu kota kemudian dipindahkan ke Konstantinopel. Yang naifnya kemudian, agama yang diajarkan oleh Isa yang dianggap subversif awalnya oleh Romawi, malah dijadikan agama resmi Romawi. Maka, Yerussalem oleh Nasrani juga merupakan kiblat suci agama mereka. Karena Isa yang lahir di Betlehem dan banyak berdiam di Nazaret (Nashiriyah), banyak menyebarkan ajaran agamanya dengan berbagai mukjizatnya di Yerussalem.

Di Yerussalem pula berdiri, gereja Makam Suci atau al Kanisiyah al Qadisiyah yang dibangun secara megah oleh Helena Augusta atau Sain Helena (250-330 M). Seorang ratu Romawi yang saleh dan taat. Ibunda dari raja Constantine The Great, pendiri kota Konstantinopel.
Pada saat Umar menjadi pemimpin besar kaum Muslim dan berhasil menaklukkan Palestina. Adalah Uskup Agung Palestina, Sophronius yang menyatakan penyerahan kota ke tangan kaum Muslim. Berbeda dengan penguasa sebelumnya, Yahudi pada saat itu beserta Nasrani tetap dilindungi dan dihargai.

Dalam dunia modern, ketika berbicara tentang Yahudi dan hubungannya dengan Palestina, kita akan mendengar juga tentang Zionisme. Banyak dihubungkan kemudian yang banyak dirugikan oleh Zionisme ini adalah kaum Muslim. Akibat pencaplokan wilayah Palestina oleh negara Israel modern bentukan Inggris.

Zionisme, berasal dari kata ‘zion’ kata yang merupakan sinonim dari atau sebutan lain kota Yerussalem. Kata ini kemudian mendapat tempat khusus bagi kaum Yahudi yang terusir dari negaranya sejak zaman Babilonia yang menghancurkan Yerussalem pertama kali. Zion juga terdapat dalam kitab Mazmur:

Di tepi sungai-sungai Babilon
Disana kita duduk dan menangis
Ketika kita teringat Zion
(Mazmur 137;1)

Kata zionisme ini kemudian muncul dalam pelbagai karya kesusasteraan dan bahasan ilmiah, baik yang merupakan karya keagamaan maupun dalam skup sekuler. Istilah ini secara modern muncul pada akhir abad ke 19, yang menjadi berarti tujuan kembalinya bangsa Yahudi ke Erez Israel (Palestina). Sekelompok Yahudi membeli tanah di Palestina dan mendirikan sebuah sekolah Yahudi pada tahun 1835. Sekolah itu kemudian menjadi sekolah pertama dengan silabus asing diwilayah kekuasaan Turki Ustmani. Proyek ini didanai seorang milyuner Yahudi berkebangsaan Inggris Sir Moshe Monteveury.

Organisasi dan penyebutan kata zionisme untuk melakukan imperialism bukan tanpa tentangan di dalam tubuh kaum Yahudi. Herzl yang sepenuhnya tak faham arti kata zionisme dalam ranah sejarah dan semantic menggunakan kata ini dan pentingnya menggunakan kata ini untuk merujuk gerakan politik merebut kembali Palestina untuk menjadi negara yang murni Yahudi.
Padahal sebelumnya ketika Andalusia sepenuhnya dikuasai oleh kaum Kristen Spanyol dari kerajaan Castilla dan Aragon dibawah kekuasaan Ratu Isabella dan khawatir akan pemberontakan yang mungkin akan dilakukan kaum Yahudi dan Islam. Maka kaum Muslim dan Yahudi dibunuh, diusir atau dikristenkan massal. Kaum Muslim dan Yahudi yang selamat pun lari ke wilayah kekuasaan Turki Ustmani. Ke daerah Bosnia, misalnya. Ini terjadi pada tahun 1492. Bahkan ketika Andalusia masih dikuasai kaum Muslim, Yahudi pun mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya, termasuk dalam dunia intelektual. Itu bisa dilacak dari munculnya intelektual Yahudi seperti, Moses Maimonides dan Ibnu Gabirol.

Pada tahun 1897, di Basle-Swiss digagas oleh bapak zionisme modern Theodore Herzl digelarlah kongres zionisme internasional dengan mengeluarkan beberapa keputusan atau resolusi. Diantara resolusinya dalah pernyataan bahwa umat Yahudi bukanlah sekedar umat beragama namun sebuah kebangsaan. Dan oleh sebab itu mereka bertekad bulat untuk hidup dalam berbangsa dan bernegara yang satu.  Sedemikian itu adalah guna menghindari pemusnahan etnis, seperti yang sudah-sudah dan paling dekat dengan saat itu adalah pemusnahan ras Yahudi yang dilakukan oleh Jerman melalui Hitler.

Hitler adalah mimpi buruk yang terekam erat bagi kaum Yahudi. Memahami “kebiasaan” Yahudi untuk memberontak, Hitler yang masih juga mempunyai darah Yahudi memutuskan untuk mengejar Yahudi, membunuh dan mengirim mereka ke kamp-kamp, dimana mereka dipaksa untuk bekerja dengan siksaan yang tak manusiawo. Bahkan banyak diantara mereka yang dikirim ke sebuah ruangan untuk dibunuh secara massal dengan senjata biologis atau gas beracun. Kejadian ini kerap disebut sebagai holocaust.

Maka, ide zionisme dengan satu negara untuk Yahudi yang kuat, diantaranya adalah untuk menghindari hal yang serupa. Tapi ada yang dilupakan, bahwa sekian kesialan bangsa Yahudi adalah selalu akibat kesalahan mereka sendiri. Kongres Basle sebagai cikal bakal gerakan zionisme politik bukan tanpa halangan, adalah R. Hirsch Hildesheimeir dan Willy Bambus dua orang terkemuka dari organisasi Masyarakat Ezra, yang menyadari bahwa konsep zionisme Herzl adalah politik belaka. Menolak untuk berbicara dalam kongres dan mendukung konsep Herzl.

Diantara yang mendorong gerakan zionisme adalah kepercayaan mesianik. Kepercayaan kaum Yahudi yang meyakini bahwa sang juru selamat hanya akan hadir, jika kaum Israel menempati tanah yang dijanjikan. Diantara yang mendorong ini adalah Rabi Zevi Kalischer dan Judah Al Kalai. Gerakan ini disebut dengan gerakan Hibbat Zion. Doktrin dari gerakan ini secara keagamaan diperngaruhi oleh Kalischer dan Al Kalai. Sedangkan bagi Ha Shahar, seorang penulis Ibrani terkenal justru menekankan pentingnya kebangkitan Yahudi dengan mengarus utamakan kembali bahasa Ibrani.

Praktis gerakan zionisme ini menempatkan Palestina sebagai pusat emigrasi. Namun bukan tanpa tentangan, Ahad Ha-Ahm seorang filosof dan pemikir Zionis justru menyarankan agar Palestina “hanya” dijadikan sebagai pusat ritual spiritual. Namun bukan pusat emigrasi karena beberapa keterbatasan. Yang hampir serupa dengan pendapat itu adalah Leon Pinsker. Bagi Pinsker Judophobia atau gerakan anti Yahudi merupakan fenomena psiko-pathologi. Bagian dari xenophobia atau anti orang asing. Dan selamanya Yahudi tidak akan bisa melakukan asimilasi dengan masyarakat lain yang mayoritas. Namun, solusinya tidak harus kembali pada Palestina walaupun ada hubungan historis-emosional. Namun bisa dimanapun asal bisa mewujudkan satu negara dengan nasionalisme Yahudi. Sebelumnya Inggris memang pernah menjanjikan protektorat Uganda atau daerah di Amerika Latin, sebagai negara baru untuk Yahudi.

Herzl sebenarnya awalnya adalah seorang jurnalis yang percaya bahwa kaum Yahudi harus asimilasi nasional dimanapun berada. Namun kemenangan Karl Lueger Monarkhi sebagai waki kota Mina menyentak pikirannya. Lueger yang mengkampanyekan anti Yahudi mendapat dukungan luas, yang artinya begitu banyak orang yang benci terhadap Yahudi. Mereka menggunakan kata Yahudi, bahkan untuk mengolok dan mengejek. Kemenangan Lueger ini, sebenarnya sudah di veto oleh Kaisar Austria ketika itu. Namun kemenangan Lueger yang berulang tiga kali adalah peristiwa yang luar biasa.

Dari luar gerakan zionisme ini mendapat sokongan diantaranya pasca perjanjian Sykes-Picot yang berniat mencaplok kekuasaan Turki Ustmani, untuk mereka bagi-bagi antar mereka. Perjanjian itu dilakukan oleh para negara persekutuan imperialis (Inggris-Perancis-Rusia). Dan ketika perang dunia I berakhir dengan kemenangan sekutu, maka Inggris mendapatkan kontrol penuh atas Palestina. Pada 1917, menteri luar negeri Inggris yang keturunan Yahudi, Arthur James Balfour melalui deklarasi Balfour mengatakan pada Lord Roschild, seorang pemimpin zionis Inggris. Bahwa akan segera mempercepat pembentukan negara Yahudi di Palestina.

Partai Buruh Inggris pada 1944, dengan terbuka menyatakan akan membiarkan kaum Yahudi masuk secara besar-besaran untuk mendesak kaum Pribumi Arab Palestina keluar dari Palestina. Sedangkan pada 1947 Perserikatan Bangsa-bangsa merekomendasikan akan terbentuknya dua negara; Palestina dan Israel. Dan ini disusul pada 14 Mei 1948, atau sehari sebelum kekuasaan perwalian Inggris habis. Maka Israel memproklamirkan diri sebagai sebuah negara. Dan melakukan agresi militer pada rakyat Palestina yang lemah dan tak bersenjata. Kontan hal ini menyulut pertikaian dan gelombang pengungsi.

Kembali pada konsep Zionisme, Herzl secara tegas menyatakan bahwa negara Yahudi akan membentang dari Sungai Nil dan Eufrat. Ini bisa kita lihat dari bendera Israel hari ini yang menandakan dua garis biru, pertanda Nil dan Eufrat dan bintang Daud. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Rabi Fischman.

Mau tak mau, usaha untuk melakukan perluasan wilayah menuju negara Israel Raya adalah dengan melemahkan negara-negara Muslim di sekitarnya. Maka, bisa jadi orang menganggap Arab Spring adalah gerakan demokratisasi Arab yang menggeliat. Tapi bisa jadi pada satu sisi, kejadian itu telah mengakibatkan lemahnya negara-negara Arab. Lebih dari itu, imperialism dan penghancuran negara-negara Arab oleh negara yang bergabung dengan NATO, bisa dicurigai sebagai gerakan mendukung perluasan wilayah dan pengaruh gerakan zionisme di timur tengah.

Penghancuran Irak yang cukup potensial menjadi musuh berat Israel di kawasan. Lalu Libya. Kekacauan politik di Mesir. Perpecahan di Yaman. Terbaginya negara Sudan menjadi Sudan dan Sudan selatan. Adalah proyek politik untuk melemahkan negara-negara Arab. Ditambah dengan Arab Saudi yang diharapkan menjadi pemimpin regional kawasan Timur Tengah yang malah lebih sibuk membebek pada Amerika Serikat dan sekutunya. Menjadikan proyek zionisme internasional, berkembang dan berjalan dengan baik. Karena Israel tentu dalam bahaya yang luar biasa, jika negara-negara Arab bersatu dan damai. Karena ia akan menjadi negara minoritas. Maka perlu dikembangkan sebuah strategi melemahkan daerah sekitar dan memperkuat kekuasaan Israel. Dan itulah yang juga terjadi hari ini. Termasuk berkembangan Nusrah, ISIS dan sebagainya. Termasuk juga didalmnya penyerangan Suriah.

Untuk mengakhiri tulisan panjang ini, beberapa pertanyaan patut dipertanyakan kembali terkait klaim Israel atas tanah yang dijanjikan. Pertama, jikalaulah kolonialisme dan imperialisme Israel disahkan dan didasarkan pada teori historis belaka. Bukankah mereka harus berfikir untuk melacak negara asli mereka yang sebenarnya. Yaman, Irak, atau Palestina?. Kedua, jika kolonialisme dan imperialisme Israel, disahkan dan didasarkan pada kaidah teologis semata. Maka semua agama mempunyai alasan yang sama untuk melakukan kolonialisasi. Bukankah Islam juga mengenal sebuah ayat yang menyatakan bahwa seluruh bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh, dan kaum yang sholeh itu jelas merujuk pada kaum Muslim. Ketiga, jika diaspora mereka tidak “berhasil” dan mereka terus dimusuhi oleh kaum lain di tempat dan negara barunya. Apakah kaum lain yang bersalah?. Cobalah melihat bagaimana bangsa India, Arab atau China yang tersebar dimanapun. Kenapa mereka bisa diterima oleh bangsa lain?. Lantas yang salah siapa?.


Nahdlatul Ulama; Kebangkitan dan Sejarahnya


Membincang sejarah Nahdlatul Ulama, adalah membahas persoalan yang sulit dan tak biasa. Organisasi ini bahkan berdiri jauh sebelum negara kesatuan ini terbentuk dan berdiri. Selain itu, organisasi ini juga mempunyai sifat yang khusus dan khas, yang butuh “sentuhan” khusus untuk memahami tindak lampahnya. Maka sebenarnya, tidak ada orang yang paling ahli menceritakan Nahdlatul Ulama, kecuali dalam perspektifnya. Kekayaan perspektif ini tentu berkaitan dengan  asal muasal Nahdlatul Ulama, yang muncul dari pesantren. Sebuah sub-kultur masyarakat Indonesia. Banyak pihak mengatakan, bahwa pesantren adalah NU kecil, sedangkan NU adalah pesantren besar. Keduanya berkelindan saling menjaga, saling mengisi. Dan ruhnya, sebenarnya satu.
Demi menilik itu, tentu lambat laun akan kita fahami, bagaimana bercoraknya pemahaman orang yang terlibat dalam organisasi NU. Setiap pesantren adalah manifestasi pemahamanan keagamaan atau fikrah diniyyah dari sang kyai, yang bertumpu pada realitas sosial, ekonomi, politik dimana dakwahnya berkembang. Tentu hal sedemikian menjadikan penafsirannya atas agama sedemikian unik dan khas. Hal sedemikian, kemudian harus disatukan dalam sebuah organisasi besar bernama NU. Tentu kemudian, organisasi ini adalah organisasi yang menghimpun sekian keunikan dan kekhasan.
Nahdlatul Ulama atau NU, sebenarnya “hanyalah” perwujudan dari potensi yang sudah ada jauh sebelumnya. Potensi yang ada bahkan jauh sebelum negeri ini mewujud dalam bentuk republik, atau kalau cermat menelusuri, bahkan searah dan selangkah dengan upaya awal dakwah dan islamisasi di Nusantara. Potensi demikian terkadang mewujud dalam bentuk konkrit, misalnya Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan atau Tashwirul Afkar. Para ulama-ulama besar ini pun berhimpun pada beberapa organisasi yang ada, semisal Boedi Oetomo, tanpa merasa perlu jengah dan perlu untuk menghimpun kekuatan sendiri.
Pesantren sebagai basis kekuatan dan basis ideologi, memang mempunyai watak yang khas. Yakni konsisten dan mandiri. Konsisten dan mandiri ini, beberapa kali disalah fahami oleh beberapa elite sebagai sikap “keras kepala”, kolot dan tidak adaptif terhadap perkembangan zaman. Sikap ini nyatanya adalah sikap pokok yang dikembangkan guna menjaga tradisi, tak lebih. Dan sikap ini dikembangkan dalam kerangka menjaga nasionalisme, serta ruh jihad yang pada mulanya dikembangkan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Sikap ini juga bukan sikap yang muncul begitu saja dan konstan adanya. Pada beberapa hal, kaum pesantren justru merupakan orang yang moderat. Dalam satu waktu, mereka “terpaksa” menganggap pemerintahan Hindia Belanda, nama Indonesia pada saat penjajahan Belanda, sebagai pemerintahan darurat yang sah. Namun juga pada saat yang sama, merekalah garda depan perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda. Ini dilakukan sebab, mereka menyadari sebenar-benarnya akan penting keabsahan pemerintahan, dalam penerapan ajaran Islam, walaupun “darurat” bentuk pengakuan itu. Keabsahan nikah dengan wali hakim dan beberapa hal lain menuntut keabsahan “qadhi” atau hakim yang diangkat oleh pemerintahan yang sah.
Pendirian Nahdlatul Ulama sendiri merupakan sebuah ikhtiyar luar biasa yang harus diapresiasi bukan saja oleh bangsa Indonesia, namun juga oleh dunia Islam kini dan seterusnya. Perjuangan itu bermula dari Komite Hijaz. Komite Hijaz adalah sebuah lembaga yang mendahului formalisasi kegiatan para ulama, kyai dan santri. Yang sebenarnya mempunyai saham terbesar dalam proses islamisasi di Indonesia. Kyai dan santri, entitas yang belakangan kemudia dianggap sebagai kalangan terbelakang, justru adalah penyebar Islam pada awalnya. Penyebaran keislaman dengan metode kebudayaan telah dimulai sejak zaman para Sembilan wali atau yang kerap disebut sebagai walisongo. Dan perjuangan Komite Hijaz yang bisa kita nikmati hari ini adalah, tetap terjaganya makam baginda Rasulullah, dan terjaganya kesempatan beribadah sesuai empat madzhab, walaupun dengan peraturan yang sangat ketat. Ini adalah salah satu hasil dari ikhtiyar perjuangan para ulama Komite Hijaz, embrio Nahdlatul Ulama.
Strategi kebudayaan dalam dakwah terbukti manjur, dengan masifnya penyebaran Islam di Indonesia. Namun belakangan, beberapa orang yang baru belajar tentang perspektif lain dalam Islam. Bagi kalangan ini, Islam harus difahami persis dan sama ketika ia turun, tak kurang dan tak lebih. Kalangan ini apriori terhadap perbedaan budaya, zaman dan perkembangan kemasyarakatan. Bagi kelompok ini, Islam adalah agama yang sempurna dan bisa diterapkan dalam semua tempat dan waktu. Islam adalah agama yang final, dan oleh karenanya, sesiapapun yang menganutnya, harus juga menganutnya dengan kaffah. Sesiapapun yang percaya pada agama ini, bukan harus mencari cara penyesuaian antara ajaran Islam dengan budaya, tempat dan waktu. Tapi budaya, tempat, waktu dan kultur sosial-lah yang harus menyesuaikna dengan ajaran Islam.
Ajaran ini pertama didengungkan sejak lama. Sejak zaman terjadi konflik antara sayyidina Ali dan sayyidina Muawiyah. Ketika itu mucullah golongan sempalan yang bernama Khawarij. Dalam perjalanan sejarahnya di ruang waktu, Khawarij ini selalu mendengungkan ajak untuk kembali pada al Qur’an dan al Hadits. Padahal ketika itu, tentu kita fahami para sahabat yang masih hidup adalah sosok-sosok yang selalu hidup dengan al Qur’an dan al Hadits. Dan bukan hanya itu, sahabat-sahabat utama Rasulullah semisal Ali bin Abi Thalib, keponakan, menantu sekaligus teman dekatnya, harusnyalah dipandang lebih banyak mengetahui dan mempelajari bagaimana penafsiran dan maksud suatu ayat al Qur’an ataupun suatu al Hadits. Namun pada kenyataannya, Ali bin Abi Thalib pun terkena “khitob” sesat dan tidak berpegang pada al Qur’an dan al Hadits oleh golongan Khawarij. Tentu hal yang mengherankan.
Pada pusaran waktu, kemudian kita jumpai juga Ibnu Taimiyah, yang kerap diagung-agungkan pemikirannya oleh para golongan yang menginginkan Islam, dimaknai secara sempurna cukup dengan al Qur’an dan al Hadits belaka. Kalangan ini, dalam term akademik disebut dengan berbagai sebutan, ada yang menyebutnya sebagai golongan puritan, skripturalis, ekstremis, radikal dan sebagainya. Kebanyakan term itu berbeda sudut pandang, namun dalam satu hal mereke bersepakat bahwa, golongan-golongan ini sangat “kaku” menafisir teks, terkesan letterlijk dan scriptural. Sehingga selalu saja melahirkan satu pemaknaan tunggal, yang dipaksakan menjadi kebenaran tunggal, dan secara keras berusaha memberangus atau setidaknya membungkam tafsir-tafsir lain yang tidak berkesusaian dengan tafsir mereka.
Pada saatnya, pemikiran ini dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di kawasan Hijaz, setelah “berselingkuh” dengan kekuasaan Bani Saud yang mengambil alih pemerintahan di kawasan haromain as syarifain. Ideologi ini lantas dinamakan Wahabiyah, serupa dengan nama pencetusnya. Dan langsung saja menjadi ideologi resmi kerajaan Arab Saudi.
Sementara itu di belahan dunia lain,  ada beberapa orang yang menyuarakan hal yang hampir sama. Mereka lebih akademik, ilmiah dan sistematis. Mereka mengembangkan pemahaman yang hampir sama dengan pendahulunya. Jamaluddin al-afghani dan Muhammad Abduh serta Rasyid Ridha di Mesir mengembangkan sebuah pemikiran yang hampir sama dengan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan ini mencoba untuk menggugat keabsahan madzhab-madzhab yang banyak dianut oleh kebanyakan muslim di dunia. Bagi mereka taklid  yang dilakukan oleh kaum muslim telah menyebabkan matinya intelektualitas di kalangan Muslimin. Gerakan ini menandai dirinya sebagai gerakan pembaharuan atau pemurnian Islam.

Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mempelopori pembaharuan itu dari Mesir dengan menerbitkan sebuah majalah yang terkenal yakni, Al Manar. Atau sebelum itu Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani lebih lebih dulu menerbitkan majalah Al Urwatul Wutsqo. Pemikiran ini berkembang pesat karena berkesesuaian dengan pendapat pemerintah Inggris, yang juga menduga kejumudan orang Mesir adalah karena taklid yang mereka lakukan pada madzhab-madzhab ulama terdahulu. Senyatanya gerakan di Mesir ini menekankan tentang pentingnya menghidupkan kembali ijtihad kalangan kaum muslim dan lebih menekankan perjuangan di bidang muamalah, termasuk kemasyarakatan, ekonomi, politik, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Bukan dalam hal khilafiyah ibadah seperti yang terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan di Mesir, di Indonesia yang kerap diserang oleh pengagum Muhammad Abduh adalah persoalan-persoalan furu'iyah dan khilafiyah di bidang ibadah. Dalam ijtihad,  Muhammad Abduh sendiri pun mengakui bahwa tidak semua orang mampu dan layak untuk melakukan ijtihad. Perdebatan yang terjadi di Indonesia lebih sering menyasar pada terminologi ijtihad daripada esensi ijtihad itu sendiri. Misalnya tentang taklid dan ittiba’.
Dalam Kongres al-Islam di Cirebon tahun 1922 para utusan pesantren mendapatkan kecaman dan serangan dari para penganut Muhammad Abduh. Karena kalangan Pesantren tetap mempertahankan taqlid dan menolak menerapkan ijtihad, mengingat kemampuan para ulama dan kebanyakan rakyat. Serta minimnya referensi dan tidak tersedianya perangkat metodologi ijtihad yang cukup reliable. Tiga tahun setelah itu pada Kongres al-Islam ketiga di Surabaya, tahun 1924, terjadi kompromi diantaranya adalah bahwa ijtihad boleh dilakukan dengan syarat-syarat tertentu dan ulama salaf yang disepakati adalah fuqoha, muhaditsun, ahli tauhid pada abad pertama sampai abad ke-3 Hijriyah, dan kurun setelah itu maka tidak dimasukkan dalam kategori salaf. Secara tidak langsung, sebenarnya ini adalah kemenangan kaum madzhab, kaum pesantren, karena dengan begitu imam-imam madzhab adalah ulama salaf yang sah untuk diikuti.
Awal tahun 1924 Khalifah Abdul Majid telah disingkirkan oleh Mustafa Kamal Attaturk yang disusul dengan berita, bahwa Syekh Al Azhar akan menyelenggarakan pertemuan membahas soal Khilafah. Menghadapi hal itu pada tanggal 4 Agustus 1924 dihadiri oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al Irsyad, Tashwirul Afkar, Ta'mirul Masajid dan beberapa perhimpunan lain beberapa tokoh Indonesia menyelenggarakan pertemuan untuk membentuk komite guna menghadiri Konferensi Kairo tersebut.
Di tengah keriuhan berita konferensi khilafah di Semenanjung Arabia terjadi perebutan kekuasaan antara Abdul Aziz bin Saud melawan Sarif Husin. Ibnu Saud sebagai pemenang menjanjikan akan menyelenggarakan pertemuan Islam internasional untuk mengatur dua kota suci Mekkah dan Madinah
Dua berita itu tentu membuat kalangan Pesantren banyak berpikir, beberapa trauma masa lalu masih membayangi. Hal yang dikhawatirkan diantaranya adalah pelestarian tradisi keagamaan dan ajaran madzhab Ahlussunnah Wal Jamaah, tradisi tarekat sufi dan wirid, serta pelaksanaan ibadah menurut madzhab-madzhab, yang berpotensi diberangus. Hal ini mengingat dibelakang Ibnu Saud adalah gerakan Wahabi yang terkenal ekstrem.
Pengambilalihan kekuasaan Hijaz oleh Ibnu Saud dari Syarif Husin dan menyebabkan kalangan Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Polarisasi gerakan terjadi sementara kaum pembaharuan yang selama ini menentang tradisi kaum pesantren bergembira, sebaliknya kaum Pesantren khawatir tradisi keagamaan mereka akan dilarang dan tergerus dari tanah hijaz.
Orientasi gerakan Islam Indonesia berada di persimpangan jalan, dan hal ini semakin diperuncing ketika golongan non-pesantren dan pro-pembaharuan Islam menyelenggarakan pertemuan di Cianjur sebelum Kongres al-Islam di Bandung. Diantara maksud pertemuan itu adalah untuk melakukan lobi, agar ada pergantian utusan ke Mekkah, dari yang telah disepakati pada kongres sebelumnya di Yogyakarta. Keputusan sepihak itu diambil di Kongres Bandung dan memutuskan delegasi ke Mekkah adalah Cokroaminoto (SI) dan Mas Mansyur (Muhammadiyah). Kyai Abdul Wahab yang sedianya menjadi utusan memang sudah meninggalkan medan kongres sebelumnya, karena ayahandanya sakit keras. Tapi bukan karena itu pula dibentuk Komite Hijaz, sebab komite itu sudah dibentuk sebelumnya. Pada rapat 31 Januari 1926 beberapa kyai memutuskan untuk membentuk organisasi bernama Nahdlatul Ulama dan Komite Hijaz sebagai perwakilan kaum pesantren, sedangkan Kongres al-Islam di Bandung baru berlangsung Februari 1926. Jadi ketika Kongres al Islam di Bandung komite Hijaz dan Nahdlatul Ulama sendiri bahkan sudah lahir.
Kelahiran Nahdlatul Ulama sekaligus menjawab kebutuhan kaum pesantren akan sebuah wadah yang bisa menerima dan mempertahankan tradisi, kultur dan saluran politik mereka yang selama ini selalu dikebiri. Memang muncul pertanyaan, kenapa kamu pesantren tidak memperkuat Nahdatul Wathan?.  Hal ini bisa diterima mengingat perlunya sebuah organisasi pergerakan bercirikan keagamaan untuk melakukan dakwah dan terutama ketika itu untuk kebutuhan sebagai induk utusan Komite Hijaz dalam pertemuan di Mekkah. Sedangkan Nahdatul Wathan, tidak mampu merepresentasikan ciri organisasi yang bercirikan keagamaan.
Beberapa kali Kongres al-Islam nyata setelah meminggirkan peran serta kaum pesantren dan kerap menghasilkan komposisi dan keputusan yang sama sekali tidak berimbang untuk kalangan pesantren. Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama ini maka Kongres al-Islam selalu sepi dari dari kehadiran kalangan pesantren. Tiga kali kongres mulai dari Kongres al Islam di Bogor, Surabaya dan Malang tidak mereka hadiri.
Kalangan pesantren baru aktif kembali dalam kongres-kongres keislaman nasional ketika diselenggarakan Majelis Islam A’la Indonesia pada tahun 1937. Ketika itu Nahdlatul Ulama diwakili oleh Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah. Keikutsertaan itu diputuskan setelah didapatkan keputusan yang dianggap adil, karena setiap organisasi yang mengikuti MIAI harus diwakili oleh pengurus pusatnya, kecuali bagi organisasi lokal yang tidak mempunyai organisasi pusat atau induk. Hal ini penting, karena sebelumnya kalangan pesantren (NU) selalu kalah dalam setiap pemungutan suara yang dilakukan dengan cara voting. Karena pada kongres-kongres al-Islam sebelumnya, seringkali utusan yang ada dalam kongres tidak beraturan dan bahkan berasal dari ranting-ranting organisasi. Sehingga suara kalangan pesantren selalu terpinggirkan.
Pada tahun 1927, pada kongres atau sekarang muktamar kedua Nahdlatul Ulama, bahkan organisasi ini dengan berani mengeluarkan keputusan untuk mendorong agar pemerintah Hindia Belanda mengajarkan pelajaran keagamaan, dalam hal ini agama Islam pada setiap sekolah yang terdapat siswa pribumi, atau siswa muslimnya. Memang, ketika itu seruan hanya untuk sekitar sekolah di Jawa dan Madura sebagai basis awal pendirian Nahdlatul Ulama. Tapi setidaknya, itu adalah sebuah rekomendasi dan langkah berani dalam masa itu.
Tidak berhenti disana, sejarah mencatat geliat perjuangan Nahdlatul Ulama masih terus berlangsung hingga kini. Pada saat perjuangan melawan penjajahan Belanda, pesantren dan NU terus men”suplai” sumber daya manusia dan seumber daya lainnya bagi perjuangan kemerdekaan. Para kyai dan santri, bahu membahu berjuang demi kemerdekaan bangsa mereka. Bahkan perjuangan ini, mereka kategorikan jihad, karena selain melawan penjajahan, juga melawan upaya penindasan ajaran Islam. Lascar Sabilillah dan Hizbullah, adalah lascar santri. Tidak bisa ditolak dan ditampik keberadaannya. Dalam praktiknya, pesantren juga memproduksi semangat kebangsaan yang luar biasa.
Pada saat agresi Belanda, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, lagi-lagi pesantren memegang peran kunci yang tak bisa dinafikan. Resolusi jihad, adalah langkah awal perjuangan, spiritnya telah mampu membakar semangat para pejuang, hingga Inggris pun dibuat tak berdaya.
Pada saat suasana revolusi, upaya makar disana-sini, hampir saja pemerintah kehilangan kewibawaan dan kekuasaannya, pesantren dan NU lagi-lagi mengambil perannya yang luar biasa. Soekarno, yang oleh banyak orang ditentang karena memasukkan unsur komunisme dalam pemerintahannya, didukung oleh NU dengan gelar waliyyul amri ad dhoruri bis syaukah. Ini dilakukan oleh NU, tidak lebih agar stabilitas nasional dapat terjaga. Dan republic yang masih ringkih tidak lagi jatuh pada kubangan penjajahan dan terutama disitegrasi. Kecintaan pada negara dengan cara inilah, NU disusun, didirikan dan dikenal hingga hari ini.
Pada saat orde baru dan NU dikesampingkan perannya, ditekan, dan dipinggirkan, organisasi ini tidak lantas kecil dan mati. Karena organisasi ini memang sejak awal memperjuangkan idealism keagamaan dan kebangsaan, tidak lantas kehilangan “panggung” membunuhnya. Ia terus saja bertumbuh dan berkembang, tentu dengan caranya sendiri. Pantas saja, jika beredar ungkapan, bahwa yang bisa membunuh organisasi NU itu hanya Tuhan itu sendiri, yang telah mengilhamkan kepada para kekasih dan awliya’nya untuk mendirikan organisasi ini.
Pada era reformasi, perannya tak surut. Walau kerap disudutkan, diterpa berbagai macam godaan dan ujian. Nyata memang NU adalah organisasi teruji. Hingga kini, tak sedikit negara di dunia yang belajar bagaimana NU berjuang. Mereka bukan hanya belajar, ulama-ulama dari timur tengah malah sebagian berusaha menduplikasi NU di negaranya. Afghanistan, misalnya. Mendirikan Nahdlatul Ulama Afghanistan. Mereka berharap dapat belajar, bagaimana Indonesia dan NU dapat berjuang, bahu membahu saling mendukung dan mempertahankan negara dan stabilitas sosial politiknya. Kita tentu tak dapat menyangkal kealiman dan keilmuan ulama Afghanistan, Yaman, Irak, Suriah dan sebagainya. Namun disisi lain, nyata sudah bagaimana negara tersebut diujung tanduk dan dalam masa suram.
Dan pada saatnya, hanya zaman yang dapat menjawab, bagaimana kelak nasib NU dikemudian hari. Namun NU tetaplah NU, seperti namanya, ia akan menjadi ajang nahdlah, ajang kebangkitan, kebangkitan ide, kebangkitan Islam dan tentu kebangkitan ulama. Semoga!.
Wa ila Allah Turja’ al Umuur, Wallahu A’lam.