Yerusalem,
kota suci tiga agama Abrahamaik ini tiba-tiba terkenal. Memang sudah sering
terjadi kerusuhan disana. Namun kali ini gelombang kerusuhan dan protes semakin
gencar. Bukan tanpa sebab, ini adalah efek dari pengakuan presiden Amerika
Donald Trump, bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Keputusan ini kemudian
akan ditindak lanjuti dengan memindahkan kantor konsulat mereka ke Yerusalem.
Ini tentu memicu konflik, alih-alih menyelesaikan konflik berkepanjangan antara
Palestina dan bangsa penjajah Israel.
Klaim
Israel, bahwa mereka adalah penduduk asal, pemilik sah, dan klaim teologis
mereka, bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka
menjadikan konflik ini seakan konflik agama belaka. Padahal lebih dari itu,
konflik ini telah menjadi konflik antar bangsa dan terlebih menjadi semacam
genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilegalisasi. Lalu bagaimana?
Sejarah
panjang manusia, beberapa pendapat menyatakan terdiri dari dua fase besar. Fase
pertama adalah fase Adam alaihissalam.
Bapak para manusia. Adam yang berasal dari surga, diturunkan ke dunia sebagai
konsekwensi dari perbuatannya melanggar pantangan, memakan buah khuldi. Pada
fase ini, sampai keturunan Idris bagi sebagian pendapat menyatakan bahwa sampai
Nabi Idris mereka adalah nabi yang wajib diimani. Bukan sampai pada tingkatan
rasul. Karena masih sedikitnya umat dan beberapa alasan lainnya.
Fase
kedua kehidupan manusia, sebagian pendapat menyebutkan dimulai semenjak nabi
Nuh. Nabi Nuh ini terkenal dengan bahteranya. Nuh alaihissalam sendiri berdakwah kisaran 950 tahun untuk umatnya yang
membangkang dan menjauh dari ajaran utama agama bapak-bapak mereka. Untuk
alasan inilah sebagian pendapat, kenapa di Alquran hanya ada surat Nuh, bukan
surat Adam. Kesudahan umat Nuh ini sudah mafhum bagi kita, bahwa umat Nuh
kemudian dihancurkan dengan banjir bandang besar. Banjir ini kemudian
menyisakan umat yang kemudian melahirkan beberapa generasi berikutnya. Beberapa
tafsir menjelaskan bahwa umat yang tersisa atau dibawa Nuh dalam bahteranya berjumlah
80 orang. Wallahu a’lam. Diantara
mereka adalah Sham bin Nuh. Atau dikenal dengan Shem. Bangsa dari keturunan ini
kemudian dikenal sebagai bangsa Semitik. Dalam sejarah manusia modern dan
purba, semitik ini dalam kategorisasi bahasa menyangkut beberapa wilayah dari
Afrika, Asia Barat sampai semenanjung Arab. Diantara bangsa ini adalah bangsa
Aad, kaum yang juga diceritakan dalam Alquran.
Kaum Aad
ini suatu saat diberikan adzab yang pedih, sehingga menghabiskan mereka.
Sehingga kerap disebut sebagai bangsa Arab ba’idah. Bangsa Arab jauh yang tidak
lagi bisa ditemui kecuali melalui cerita-cerita yang dikemukakan dalam sejarah
yang bersumber dari Alquran, misalnya. Namun adzab itu sejatinya tidak
menghabiskan mereka semua. Ada segolongan kaum yang beriman dibawah komando
nabiyullah Hud alaihissalam yang
berhasil selamat. Hud ini juga disebut sebagai Eber, Ibir atau Nibir. Dan
kepadanyalah disandarkan julukan bangsa Ibrani kemudian. Bangsa keturunan Ibir,
seperti yang kerap kita ketahui, dengar dan baca sekarang.
Atas
petunjuk Ibir atau nabiyullah Hud inilah kemudian mereka “hijrah” ke utara.
Dalam perjalanannya, gelombang perpindahan ini kemudian terpisah menjadi dua
golongan. Pertama, mereka kemudian kea rah Mesir. Kelak dikenal sebagai bangsa
pengembara, penggembala yang sempat melakukan perebutan kekuasaan dan bahkan
sempat menganeksasi Mesir. Bangsa itu kita kenal sebagai suku Hyksos, yang
sempat mendirikan dinasti Hyksos di Mesir.
Kedua,
dari mereka kemudian ada yang meneruskan perjalanan hingga ke Mesopotamia, atau
yang kita kenal sebagai Irak hari ini. Dari keturunan Aad yang di Mesopotamia
inilah kemudian kita kenal dilahirkan seorang nabi besar, nabi yang menjadi
pengikat tiga agama besar dunia, yakni Abraham atau Ibrahim alaihissalam. Seorang nabi, rasul dan
bapak agama-agama samawi. Nabi Ibrahim dipercaya lahir di daerah Kaldan, atau
Kutsa. Sebelah selatan Irak. Di bantaran sungai indah Eufrat.
Ibrahim
yang diangkat menjadi rasul, kemudian menyatakan dakwahnya dan harus menerima
kenyataan bahwa dakwahnya diabaikan, dimusuhi dan dirinya disiksa. Tragedi
hukuman pembakaran dirinya, oleh bangsanya atas perintah raja Namrudz bin
Kana’an. Selamat dari upaya pembunuhan itu, bersama istrinya Sarah, Ibrahim
lantas hijrah ke Syam, tepatnya daerah Haran. Di tempat ini, Ibrahim pun
mengalami hal yang sama dalam dakwahnya. Sehingga harus beringsut pergi kembali
ke tanah Kana’an, atau kita kenal sebagai Palestina.
Kana’an
yang mengalami cobaan paceklik hebat, memaksa Ibrahim untuk angkat kaki.
Sehingga beliau menuju ke Mesir. Fir’aun, julukan raja Mesir ketika masa ini
dipercaya dipegang oleh Sanusart I atau Sanusart II. Di Mesir ini, istri Nabi
Ibrahim sempat hampir diminta paksa untuk dinikahi oleh sang raja. Namun atas
kuasa Allah, hal tersebut tidak sampai terjadi. Malah kemudian Ibrahim diberi
hadiah Siti Hajar, menurut sebagian sejarah budak raja, namun sebagian lagi
menganggap Hajar adalah anak raja.
Lama tak
mempunyai anak, Sarah menyarankan Ibrahim untuk menikahi Hajar. Benar saja,
Ibrahim lantas dikaruniai anak yang sangat dicintainya dari Rahim Hajar,
bernama Ismail. Namun kemudian, Sarah pun melahirkan anak dari Ibrahim, yang
bernama Ishak. Ismail seperti kerap kita kenang dalam cerita sebab ‘Idul
Qurban, kemudian oleh Ibrahim dibawa ke sebuah lembah tandus dekat Baitullah di
Mekkah. Dari keturunan Ismail yang menikah dengan suku Jurhum, kelak lahirlah
bangsa-bangsa Arab musta’ribah keturunan Ismail, sampai pada sayyid Adnan,
sampai pada sayyid Fihr yang dikenal sebagai Quraisy, dan pada akhirnya kelak
lahir Abdullah. Ayah seorang nabi besar, yakni Muhammad Shalallahu alaihi wa
alihi wa ashabihi. Ismail ini pada kitab Perjanjian Lama kerap diceritakan lahir
ketika Ibrahim berusia 86 tahun. Sementara Ishak lahir ketika Ibrahim berusia
100 tahun.
Sementara
itu dari Ishak-lah keturunan-keturunan nabi-nabi Israel diturunkan. Dalam pohon
sejarahnya, Ishaq mempunyai beberapa anak. Ish dan Ya’qub diantaranya. Dari
Ish, kita mengenal keturunannya dari jalur ini adalah nabi Ayyub dan nabiyullah
Dzulkfili. Sedangkan dari Ya’qub-lah gelar Israel dinisbatkan. Tentang julukan
Israel, julukan bagi Ya’qub bisa kita lacak dalam Alquran ketika menjelaskan
tentang makanan yang halal-haram bagi Bani Israel. Dalam surat Ali Imran ayat
93. Tentang arti Israel, sebagian mengatakan Isra adalah budak atau tawanan, sedang el dari kata elohim, atau Tuhan. Yang berarti hamba atau budak
Tuhan. Ada pula yang mengatakan nama itu diambil karena Ya’qub suka berdakwah
dengan berpindah-pindah di malam hari.
Ya’qub
atau Israel dikenal mempunyai 12 anak. Dari sinilah kita ketahui awal mula 12
suku Bani Israel. Diantara anaknya tentu kita mengingat kisah Yusuf alaihissalam. Yusuf ini dalam ceritanya
hendak dibunuh oleh saudara-saudaranya. Hal ini dipicu karena kasih saying
Ya’qub yang berlebih kepada Yusuf dan Bunyamin, saudara kandung Yusuf. Ketika
strategi pembunuhan hendak dilaksanakan, seseorang saudaranya, yang oleh sebagian
pendapat diyakini adalah Yahuda menolak rencana itu. Namun menyarankan agar
Yusuf cukup “disingkirkan” dengan dimasukkan
ke dalam sumur agar tetap hidup.
Dibagian
genealogi, dari keturunan Bunyamin saudara kandung Yusuf, kelak akan lahir
nabiyullah Yunus alaihissalam.
Sementara dari keturunan Imran akan lahir nabi besar kaum Israel, yakni Musa
dengan saudaranya Harun. Dan dari Harun ini kelak lahir nabi Ilyas dan Ilyasa’.
Sementara itu dari keturunan Yahuda, saudara tiri lain Yusuf, akan lahir kelak
raja dan nabi Bani Israel, yakni Daud. Ayah dari Sulaiman, raja terbesar suku
Israel yang juga darinya akan muncul keturunannya kelak Zakaria,Yahya dan tentu
Isa.
Seperti
ceritera yang kerap dituturkan dan diceritakan, bahwa kelak Yusuf akan dijual
di Mesir, menjadi budak dan kemudian sampai akhirnya dipenjara karena sesuatu
hal. Tapi pada akhirnya kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai bendahara
negara Mesir. Jabatan yang cukup prestisius. Disisi lain keluarganya terancam
kelaparan akibat paceklik yang melanda. Maka Israel atau nabiyullah Ya’qub
kemudian mengajak keluarganya hijrah dari Kana’an atau Palestina ke Mesir.
Di Mesir
inilah, Bani Israel atau anak turun Ya’qub berketurunan. Pada masa itu,
kekuasaan sedang berada di tangan suku Hyksos. Suku yang secara genealogi masih
bersambung jauh dengan mereka. Dibawah kuasa suku Hyksos ini Bani Israel
berkembang dan menikmati kehidupan yang aman, tentram dan makmur. Sampai
kemudian Mesir dapat direbut kembali oleh para penduduk asli Mesir.
Masalah
kemudian muncul, ketika Bani Israel ini merasa nyaman dalam naungan Hyksos dan
menjadi begitu dominan dalam masyarakat. Dan hal tersebut jelas tidak
menyenangkan bagi penguasa baru Mesir, yakni pendidik Mesir asli. Mereka juga
merasa Bani Israel ini terlalu dekat dengan dinasti Hyksos. Dinasti yang telah
lama menjajah mereka. Penguasa baru Mesir ini, dalam beberapa sejarah kerap
disebut berusaha menghilangkan jejak peninggalan dinasti Hyksos. Dan dalam
usaha itu, tentu Bani Israel termasuk kaum yang harus dieliminasi pengaruhnya.
Maka, kehidupan yang tenang itu berubah menjadi petaka.
Kesulitan
paling dahsyat melanda mereka adalah ketika Firaun Mesir dijabat oleh Ramses II.
Apalagi setelah terjadi drama, beberapa kali Bani Israel mencoba melakukan manuver
untuk melakukan pemberontakan pada dinasti XIX yang berasal dari kaum asli
Mesir tersebut. Akumulasi dari semua itu, maka Bani Israel menjadi warga negara
kelas dua, bahkan diperbudak. Dalam kegetiran ini, Allah mengutus seorang
pembebas bagi mereka yakni nabiyullah Musa alaihissalam.
Musa
dalam cerita Alquran, sebenarnys justru pernah menjadi anak angkat dari sang
Firaun sendiri. Ketika itu, keturunan bani Israel diperbudak oleh Firaun dan
rakyatnya. Bahkan anak-anak laki-laki bani Israel pun banyak dibunuh, sedangkan
perempuan-perempuan Bani Israel dijadikan budak nafsu. Hal karena adanya
pertanda dari cenayang kerajaan, atau dukun-dukun resmi kerajaan bahwa kelak
Firaun akan dikalahkan oleh seorang anak lelaki dari Bani Israel. Sebagai
tambahan informasi, bahwa pada masa ini, dukun mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi. Sistem kepercayaan Mesir memungkinkan para peramal, cenayang dan dukun
mempunyai kedudukan yang tinggi. Ini sebenarnya juga berpengaruh pada
kepercayaan Bani Israel.
Nasib Bani
Israel di Mesir memang miris, mereka dipekerjakan untuk proyek-proyek mercusuar
Firaun. Bahkan menurut beberapa pendapat proyek Piramida dikerjakan oleh budak
dari Bani Israel. Maka misi Musa untuk menyelamatkan bangsanya, bukan hanya
persoalan benturan kepercayaan, namun juga persoalan ekonomi. Bani Israel di
satu sisi merupakan asset, menurut Firaun, sehingga mereka bisa melakukan
pembangunan dengan biaya murah. Selain bahwa Firaun juga akan sulit untuk
menegaskan eksistensi dirinya, yang kadung mengaku sebagai “tuhan”, jika Musa
berhasil melawannya dengan menyelamatkan Bani Israel.
Tapi Bani
Israel ini adalah bangsa pengeluh. Misi Musa, selain dipersulit oleh represi
dan gangguan dari Firaun dan bangsa Mesir. Misi itu juga harus melampaui
tantangan internal berupa kemalasan, sikap fatalistik kaum Bani Israel dan
tentu, tentangan dari kaum Bani Israel sendiri. Persiapan eksodus besar-besaran
yang digagas nabi Musa atas petunjuk Allah ini jelas menjadi terhambat. Sampai pada cerita Musa harus bertarung dengan
para penyihir Firaun dan menang. Hingga akhirnya eksodus itu pun terjadi dalam
kejaran Firaun Ramses II. Dan seperti kita ketahui, ketika terdesak di Laut
Merah, Musa pun meminta agar Laut itu dipecah guna membaeri jalan bagi pelarian
Bani Israel.
Sampailah
mereka pada tempat tujuan, tanah yang dijanjikan, Kana’an, Palestina sekarang. Tapi
ini bukan tanpa resiko, mereka kembali di sebuah tempat untuk mempertahankan
hidup, setelah lama “terlena” dalam perbudakan di Mesir. Terbiasa dengan
“kenyamanan”, maka ketika Musa mengajak mereka untuk melakukan penaklukan
Kana’an, mereka menolak. Bahkan dalam Alquran dengan jelas menyuguhkan sebuah
dialog yang menunjukkan, bagaimana lemah dan “manja”nya. Melihat Musa yang
“sakti” dengan kemampuan membelah Laut Merah. Mereka malah meminta agar Musa
sendiri yang berperang, sedangkan mereka akan menunggu kabar kemenangan Musa.
Sebuah pemikiran picik.
Dan perlu
kita kemukakan, bahwa maksud “tanah yang dijanjikan”, tentu berkaitan dengan
zaman itu, pun dengan syarat perjuangan untuk merebutnya dengan perjuangan yang
tentu berdarah. Jika itu menjadi sebuah konsideran mereka, untuk menuntut tanah
Palestina sekarang.
Dalam
Alquran juga diterangkan, bagaimana rentannya keimanan mereka, padahal mereka
telah diselamatkan. Ketika Musa berkhalwat, menyendiri, untuk menerima Taurat
selama 40 hari saja. Ketika kepemimpinan spiritual Bani Israel diserahkan pada
nabiyullah Harun, saudara dari Musa alaihimasalam, mereka pun dapat terperdaya
oleh Samiri. Yang membuat sesembahan dengan patung anak sapi, bahkan Samiri
sempat mengatakan, bahwa Musa telah lalai dengan mencari-cari Tuhan, padahal
tuhannya ada disana. Yakni patung sapi. Pun beberapa kali diceritakan, kaum
Bani Israel meminta kepada Musa agar dibuatkan gambaran Tuhan, seperti yang
sering mereka temui pada kaum Mesir, yang menyembah patung-patung mereka.
Dan
karena mereka yang mengabaikan perintah Tuhan melalui Musa. Maka Bani Israel
dikutuk untuk tidak mendapatkan tempat. Mereka stateless, tidak mempunyai
negara. Mereka juga tak dapat masuk ke Kana’an, hingga Musa wafat, meninggalkan
mereka.
Barulah
setelah berganti generasi, generasi-generasi baru itu kemudian mempunyai visi
yang cukup untuk menaklukan Kana’an, dibawah komando Yusya’ bin Nuh. Beberapa
pendapat menyatakan Yusya’ atau Joshua ini adalah murid dari Musa yang menemani
beliau ketika harus mencari hamba Allah yang bernama nabiyullah Haidir alaihissalam, atau Balya bin Malkan.
Yusya’ bin Nuh ini juga pahlawan Bani Israel yang luar biasa. Memimpin pasukan
dengan jumlah yang lebih sedikit dan kemampuan yang pas-pasan namun mampu
menaklukkan kota Jericho awalnya. Hingga kemudia terus merangsek menaklukkan
kota Ramallah dan berusaha mencapai Al Quds, ibu kota kaum Yabus yang ada di
Kana’an. Pada saat penaklukkan kota Al Quds itulah, disebutkan dalam sebuah
hadits, Allah sempat menahan laju matahari untuk memberi kesempatan lebih
panjang bagi Yusya’ bin Nuh.
Setelah
pendudukan itu, Bani Israel dipimpin oleh para hakim yang berkuasa dengan
wilayah semacam protektorat. Hakim-hakim itu terhubung dengan kesukuan mereka,
dengan wilayah tertentu. Hingga munculnya Thalut yang menjadi panglima perang
mereka. Setelah penaklukan yang gilang gemilang dengan mengalahkan Jalut atau
Goliath, maka setelah itu Bani Israel dipimpin oleh Daud, seorang nabi dan raja
Bani Israel. Daud adalah seorang yang cerdas, hingga kerajaan Bani Israel itu
menjadi sangat kuat. Pada awalnya kerajaan ini beribukita di Hebron atau el
Khalil, namun kemudian dipindah ke Yerussalem. Diantara misi dari Daud selain
memerintah, adalah mengembalikan akidah bangsa Israel. Sedangkan Hebron atau el
Khalil sebagai ibu kota pertama sendiri mempunyai posisi khusus, disanalah
Khalilullah Ibrahim dengan anaknya Ishak dan Ya’kub atau Israel alaihimsalam
bermukim.
Pada masa
pemerintah Daud inilah terjadi perluasan kekuasaan yang merembet hingga sungai
Eufrat dan sebagian wilayah Mesir. Kekuasaan Daud itu lantas diwariskan kepada
Sulaiman alaihissalam. Seorang nabi
dan raja besar, yang dalam Alquran bahkan kerajaan itu tak pernah akan
diberikan kepada orang sesudahnya. Pada masa kekuasaan Sulaiman inilah,
dibangun sebuah bangunan untuk beribadah di Yerussalem. Bagi orang Yahudi,
bangunan itu kemudian dikenang sebagai kuil Sulaiman, Solomon Temple atau Beit
Solomon. Kemudian hari, kuil Sulaiman inilah yang menjadi masalah besar,
dalam rangka perebutan kekuasaan di Yerussalem.
Pasca
wafatnya Sulaiman, Bani Israel bukannya tambah maju. Kebiasaan bebal mereka
kembali kambuh. Ternyata kebiasaan mereka berbuat aniaya kembali terjadi,
bangsa Israel ini kemudian terpecah. Dimulai dari diwarisinya kerajaan oleh
salah seorang putra Sulaiman, Rehabeam. Beberapa orang yang mewakili 10 suku
dari 12 suku Israel mendatanginya dibawah koordinasi Jeroboam. Mereka menuntut
tingginya pajak peninggalan Sulaiman. Dan seperti akan menjadi “kebiasaan” para
nabi, pasca Rasulullah pun pemberontakan pertama yang muncul adalah golongan
penolak zakat. Golongan yang kemudian berhasil ditumpas oleh Abu Bakar as
Shidiq, radhiyallah anhu.
Terjadi
perselisihan hingga akhirnya kerajaan itu terbagi dua. Dua suku dibawah
kekuasaan Rehabeam, beribukota di Yerussalem. Mereka ini di wilayah selatan,
yang kelak lebih dikenal sebagai suku Judea atau Judah atau Judeah. Kerajaan
ini dinisbatkan pada Yahuda, seorang keturunan Ya’kub alias Israel yang
keturunannya terbanyak. Juga merupakan pohon nasab yang menurunkan Daud atau
David dan selanjutnya Sulaiman.
Sementara
itu sepuluh suku yang menolak pajak peninggalan Sulaiman, kemudian mendirikan
sebuah kerajaan yang beribukota di
Samaria. Kerajaan ini lebih dikenal sebagai kerajaan Samiria. Dipimpin
oleh Jeroboam I. Jeroboam sendiri sebagian berpendapat adalah pemberontak masa
Sulaiman yang dibuang dan diasingkan ke wilayah Mesir.
Kemalangan
mereka tak berhenti, kerajaan Samiria ini kemudian diserang oleh kerajaan Asyur
atau Assyiria pada 721 SM. Dibawah kepemimpinan Shalmaneser V dan dilanjutkan
oleh Sargon II kerajaan Samiria ini dihancur leburkan. Para anak kecil pun
banyak dibunuh. Mereka diusir, diperbudak, diasingkan dan dibuang ke wilayah
Khurasan yang masa modern ini kita kenal dengan Iran bagian timur dan
Afghanistan bagian barat. Praktis pengusiran dan pembunuhan menghilangkan jejak
10 suku Israel itu.
Sekedar
menjadi penanda saja. Bangsa Judea, adalah bangsa yang sangat menjaga kemurnian
darah Israel mereka, ini berbeda dengan bangsa Samiria yang kemudian banyak
melakukan pernikahan campuran.
Kerajaan
Assyirian ini pun kemudian diserang oleh kerajaan Babilonia. Dan bukan hanya
itu, Babilonia pun akhirnya merangsek ke kerajaan Judea di selatan. Judean
takluk, Yerussalem diluluh lantakkan, hancur berkeping-keping. Beit Solomon
atau kuil Sulaiman dihancurkan. Taurat dibakar, dan yang lebih miris para
penduduknya diusir. Inilah awal diaspora Yahudi, sebutan bagi Bani Israel oleh
bangsa Babilonia yang merujuk pada kepercayaan mereka.
Sebutan
Yahudi itu merujuk pada keturunan Yahuda, suku terbesar dan juga praktik
kepercayaan mereka. Sehingga hari ini, Yahudi dikenal sebagai agama seorang
tanpa merujuk apakah yang bersangkutan adalah keturunan Israel atau Ya’kub atau
bukan. Yahudi pasca serbuan Babilonia harus terpencar. Sementara 10 suku yang
lainnya dinyatakan hilang, walau beberapa tradisi di beberapa tempat merujuk
pada suku-suku itu. Seperti suku Chazar di Rusia, Pasthuns di
Afghanistan-Pakistan, Kashmir di India, Bene-Menashe di India-Myanmar, dan
beberapa tempat lain.
Yahudi
yang terusir dari Judea itu kemudian berdiaspora, berpencar, berpindah-pindah
dari satu wilayah ke wilayah yang lain, terlunta-lunta. Melalui Nebukhadnezar,
raja Babilonia, kaum Yahudi atau Israel menjadi pecundang. Tapi ini tak lain
adalah buah dari kesalahan, dosa yang menghasilkan adzab dan peringatan dari
Allah. Sebagaimana nabi Jeremiah mengatakan kepada Nebukhadnezar, bahwa hasil
kemenangan Babilonia bukanlah atas kekuatan mereka. Namun, itu tak lain adalah
hasil dari kesalahan dan dosa-dosa kaum Israel sendiri, yang berpecah belah,
mengingkari ajaran para rasul Allah bahkan mereka membunuh para rasul dan nabi
yang diutus Allah kepada mereka.
Para
Yahudi itu dipenjara di Babilonia, sebagian bermigrasi ke wilayah penaklukan
Babilonia. Tapi, mereka tak punya hak untuk hidup di Kana’an atau Palestina.
Dan tak pula mereka mempunyai hak hidup di Yerussalem. Sampai kemudian kerajaan
Persia datang menguasai kerajaan Babilonia. Persia dibawah kuasa maharaja Cyrus
Agung (550-530 SM), berhasil menguasai Yerussalem. Maka, kaum Bani Israel atau
Yahudi pun dibebaskan dan mereka diperbolehkan kembali ke Palestina dan
membangun kembali Yerussalem.
Rekonstruksi
Yerussalem besar-besaran, termasuk didalamnya adalah Beit Solomon atau kuil Sulaiman. Tempat kaum Yahudi menyembah
Tuhannya, Yahweh. Yang dalam kategori tauhid sebagaimana ajaran Ibrahim atau
Abraham, Ishak, Ya’qub atau Israel, atau Musa dan Harun, Daud dan kemudia
Sulaiman, jelasnya haruslah menyembah Allah
Subhananu wa Ta’ala.
Rekonstruksi
Yerussalem dan Beit Solomon sendiri
dibawah pengawasan dua orang sholeh. Yakni nabi Nehima dan Ezra. Ezra sendiri
adalah seorang yang sangat dihormati, selain karena kesholehan juga
kecerdasannya. Dalam Alquran, Ezra ini bahkan sering didudukkan hampir sama dengan
kedudukan Isa bagi orang Nasrani, yakni anak Tuhan. Ezra dalam Alquran disebut
dengan sebutan Uzair. Namun tentu tak semua Yahudi hendak pulang, ada yang
sudah merasa tenang dan nyaman di tempat baru mereka.
Perpindahan
kekuasaan pun terjadi, ketika Alexander The
Great dari Macedonia atau Yunani menguasai Israel. Upaya hellenisasi pun
berjalan. Bahasa Yunani pun dijadikan bahasa resmi. Untuk itulah kenapa bahasa
Ibrani Modern atau Ibrani baru banyak mengandung unsur bahasa Yunani, Persia
dan tentu, Latin Romawi yang datang selanjutnya.
Memang,
Romawi kemudian menaklukkan Yunani dan Yerussalem. Maka secara otomatis,
Yerussalem dikuasai oleh imperium Romawi. Dan pada masa ini, untuk meluruskan
akidah kaum Yahudi atau Israel, maka Allah kembali mengutus nabinya, yakni
nabiyullah Isa alahissalam. Selain untuk meluruskan akidah, Isa juga sama
dengan Musa yang berusaha membebaskan Israel dari cengkeraman Romawi. Oleh
Romawi, gerakan Isa ini dianggap sebagai gerakan subversif. Sebuah gerakan yang
melawan negara Romawi dengan hukuman terberatnya, yakni disiksa hingga mati di
tiang salib.
Pun sama
dengan Musa, gerakan Isa yang bertujuan membebaskan kaum Israel itu tak
sepenuhnya bersambut. Entah karena kebebalan dan kebodohan serta terutama
kemalasan mereka. Namun sebagian sejarah juga menyatakan bahwa tidak
diterimanya ajaran Isa itu diantaranya adalah, bahwa pengikut awal musa
terbanyak justru berasal dari kaum nelayan miskin Samiria. Sedangkan bagi kaum
Yahudi Judea, mereka ini hanyalah kelompok masyarakat yang bahkan dianggap
najis.
Sampai
kemudian Isa meninggalkan mereka. Yahudi ternyata kemudian memberontak kepada
Romawi. Dan oleh sebab itu, mereka mengalami kembali pengusiran dari
Yerussalem. Yerussalem dihancurkan kembali oleh Romawi. Mereka dilarang kembali
ke tanah Kanaan. Dan berdiaspora kembali. Sementara Yerussalem dibumi hanguskan
atas perintah Titus, sang raja Romawi (65-75 M). Walaupun masihlah tersisa
sekelompok kecil orang Yahudi di Yerussalem.
Oleh Romawi,
ibu kota kemudian dipindahkan ke Konstantinopel. Yang naifnya kemudian, agama
yang diajarkan oleh Isa yang dianggap subversif awalnya oleh Romawi, malah
dijadikan agama resmi Romawi. Maka, Yerussalem oleh Nasrani juga merupakan
kiblat suci agama mereka. Karena Isa yang lahir di Betlehem dan banyak berdiam
di Nazaret (Nashiriyah), banyak menyebarkan ajaran agamanya dengan berbagai
mukjizatnya di Yerussalem.
Di
Yerussalem pula berdiri, gereja Makam Suci atau al Kanisiyah al Qadisiyah yang
dibangun secara megah oleh Helena Augusta atau Sain Helena (250-330 M). Seorang
ratu Romawi yang saleh dan taat. Ibunda dari raja Constantine The Great, pendiri kota Konstantinopel.
Pada saat
Umar menjadi pemimpin besar kaum Muslim dan berhasil menaklukkan Palestina.
Adalah Uskup Agung Palestina, Sophronius yang menyatakan penyerahan kota ke
tangan kaum Muslim. Berbeda dengan penguasa sebelumnya, Yahudi pada saat itu
beserta Nasrani tetap dilindungi dan dihargai.
Dalam
dunia modern, ketika berbicara tentang Yahudi dan hubungannya dengan Palestina,
kita akan mendengar juga tentang Zionisme. Banyak dihubungkan kemudian yang
banyak dirugikan oleh Zionisme ini adalah kaum Muslim. Akibat pencaplokan
wilayah Palestina oleh negara Israel modern bentukan Inggris.
Zionisme,
berasal dari kata ‘zion’ kata yang merupakan sinonim dari atau sebutan lain
kota Yerussalem. Kata ini kemudian mendapat tempat khusus bagi kaum Yahudi yang
terusir dari negaranya sejak zaman Babilonia yang menghancurkan Yerussalem
pertama kali. Zion juga terdapat dalam kitab Mazmur:
Di tepi
sungai-sungai Babilon
Disana
kita duduk dan menangis
Ketika
kita teringat Zion
(Mazmur
137;1)
Kata zionisme
ini kemudian muncul dalam pelbagai karya kesusasteraan dan bahasan ilmiah, baik
yang merupakan karya keagamaan maupun dalam skup sekuler. Istilah ini secara
modern muncul pada akhir abad ke 19, yang menjadi berarti tujuan kembalinya
bangsa Yahudi ke Erez Israel (Palestina). Sekelompok Yahudi membeli tanah di
Palestina dan mendirikan sebuah sekolah Yahudi pada tahun 1835. Sekolah itu
kemudian menjadi sekolah pertama dengan silabus asing diwilayah kekuasaan Turki
Ustmani. Proyek ini didanai seorang milyuner Yahudi berkebangsaan Inggris Sir Moshe
Monteveury.
Organisasi
dan penyebutan kata zionisme untuk melakukan imperialism bukan tanpa tentangan
di dalam tubuh kaum Yahudi. Herzl yang sepenuhnya tak faham arti kata zionisme
dalam ranah sejarah dan semantic menggunakan kata ini dan pentingnya
menggunakan kata ini untuk merujuk gerakan politik merebut kembali Palestina
untuk menjadi negara yang murni Yahudi.
Padahal
sebelumnya ketika Andalusia sepenuhnya dikuasai oleh kaum Kristen Spanyol dari
kerajaan Castilla dan Aragon dibawah kekuasaan Ratu Isabella dan khawatir akan
pemberontakan yang mungkin akan dilakukan kaum Yahudi dan Islam. Maka kaum
Muslim dan Yahudi dibunuh, diusir atau dikristenkan massal. Kaum Muslim dan
Yahudi yang selamat pun lari ke wilayah kekuasaan Turki Ustmani. Ke daerah
Bosnia, misalnya. Ini terjadi pada tahun 1492. Bahkan ketika Andalusia masih
dikuasai kaum Muslim, Yahudi pun mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya,
termasuk dalam dunia intelektual. Itu bisa dilacak dari munculnya intelektual
Yahudi seperti, Moses Maimonides dan Ibnu Gabirol.
Pada tahun 1897, di Basle-Swiss digagas oleh bapak zionisme modern
Theodore Herzl digelarlah kongres zionisme internasional dengan mengeluarkan
beberapa keputusan atau resolusi. Diantara resolusinya dalah pernyataan bahwa
umat Yahudi bukanlah sekedar umat beragama namun sebuah kebangsaan. Dan oleh
sebab itu mereka bertekad bulat untuk hidup dalam berbangsa dan bernegara yang
satu. Sedemikian itu adalah guna
menghindari pemusnahan etnis, seperti yang sudah-sudah dan paling dekat dengan
saat itu adalah pemusnahan ras Yahudi yang dilakukan oleh Jerman melalui
Hitler.
Hitler adalah mimpi buruk yang terekam erat bagi kaum Yahudi. Memahami
“kebiasaan” Yahudi untuk memberontak, Hitler yang masih juga mempunyai darah
Yahudi memutuskan untuk mengejar Yahudi, membunuh dan mengirim mereka ke
kamp-kamp, dimana mereka dipaksa untuk bekerja dengan siksaan yang tak
manusiawo. Bahkan banyak diantara mereka yang dikirim ke sebuah ruangan untuk
dibunuh secara massal dengan senjata biologis atau gas beracun. Kejadian ini kerap
disebut sebagai holocaust.
Maka, ide zionisme dengan satu negara untuk Yahudi yang kuat,
diantaranya adalah untuk menghindari hal yang serupa. Tapi ada yang dilupakan,
bahwa sekian kesialan bangsa Yahudi adalah selalu akibat kesalahan mereka
sendiri. Kongres Basle sebagai cikal bakal gerakan zionisme politik bukan tanpa
halangan, adalah R. Hirsch Hildesheimeir dan Willy Bambus dua orang terkemuka
dari organisasi Masyarakat Ezra, yang menyadari bahwa konsep zionisme Herzl
adalah politik belaka. Menolak untuk berbicara dalam kongres dan mendukung
konsep Herzl.
Diantara yang mendorong gerakan zionisme adalah kepercayaan mesianik. Kepercayaan
kaum Yahudi yang meyakini bahwa sang juru selamat hanya akan hadir, jika kaum
Israel menempati tanah yang dijanjikan. Diantara yang mendorong ini adalah Rabi
Zevi Kalischer dan Judah Al Kalai. Gerakan ini disebut dengan gerakan Hibbat
Zion. Doktrin dari gerakan ini secara keagamaan diperngaruhi oleh Kalischer dan
Al Kalai. Sedangkan bagi Ha Shahar, seorang penulis Ibrani terkenal justru
menekankan pentingnya kebangkitan Yahudi dengan mengarus utamakan kembali
bahasa Ibrani.
Praktis gerakan zionisme ini menempatkan Palestina sebagai pusat
emigrasi. Namun bukan tanpa tentangan, Ahad Ha-Ahm seorang filosof dan pemikir
Zionis justru menyarankan agar Palestina “hanya” dijadikan sebagai pusat ritual
spiritual. Namun bukan pusat emigrasi karena beberapa keterbatasan. Yang hampir
serupa dengan pendapat itu adalah Leon Pinsker. Bagi Pinsker Judophobia atau
gerakan anti Yahudi merupakan fenomena psiko-pathologi. Bagian dari xenophobia
atau anti orang asing. Dan selamanya Yahudi tidak akan bisa melakukan asimilasi
dengan masyarakat lain yang mayoritas. Namun, solusinya tidak harus kembali
pada Palestina walaupun ada hubungan historis-emosional. Namun bisa dimanapun
asal bisa mewujudkan satu negara dengan nasionalisme Yahudi. Sebelumnya Inggris
memang pernah menjanjikan protektorat Uganda atau daerah di Amerika Latin,
sebagai negara baru untuk Yahudi.
Herzl sebenarnya awalnya adalah seorang jurnalis yang percaya bahwa kaum
Yahudi harus asimilasi nasional dimanapun berada. Namun kemenangan Karl Lueger
Monarkhi sebagai waki kota Mina menyentak pikirannya. Lueger yang
mengkampanyekan anti Yahudi mendapat dukungan luas, yang artinya begitu banyak
orang yang benci terhadap Yahudi. Mereka menggunakan kata Yahudi, bahkan untuk
mengolok dan mengejek. Kemenangan Lueger ini, sebenarnya sudah di veto oleh
Kaisar Austria ketika itu. Namun kemenangan Lueger yang berulang tiga kali
adalah peristiwa yang luar biasa.
Dari luar gerakan zionisme ini mendapat sokongan diantaranya pasca
perjanjian Sykes-Picot yang berniat mencaplok kekuasaan Turki Ustmani, untuk
mereka bagi-bagi antar mereka. Perjanjian itu dilakukan oleh para negara
persekutuan imperialis (Inggris-Perancis-Rusia). Dan ketika perang dunia I
berakhir dengan kemenangan sekutu, maka Inggris mendapatkan kontrol penuh atas
Palestina. Pada 1917, menteri luar negeri Inggris yang keturunan Yahudi, Arthur
James Balfour melalui deklarasi Balfour mengatakan pada Lord Roschild, seorang
pemimpin zionis Inggris. Bahwa akan segera mempercepat pembentukan negara
Yahudi di Palestina.
Partai Buruh Inggris pada 1944, dengan terbuka menyatakan akan
membiarkan kaum Yahudi masuk secara besar-besaran untuk mendesak kaum Pribumi
Arab Palestina keluar dari Palestina. Sedangkan pada 1947 Perserikatan
Bangsa-bangsa merekomendasikan akan terbentuknya dua negara; Palestina dan
Israel. Dan ini disusul pada 14 Mei 1948, atau sehari sebelum kekuasaan
perwalian Inggris habis. Maka Israel memproklamirkan diri sebagai sebuah
negara. Dan melakukan agresi militer pada rakyat Palestina yang lemah dan tak
bersenjata. Kontan hal ini menyulut pertikaian dan gelombang pengungsi.
Kembali pada konsep Zionisme, Herzl secara tegas menyatakan bahwa negara
Yahudi akan membentang dari Sungai Nil dan Eufrat. Ini bisa kita lihat dari
bendera Israel hari ini yang menandakan dua garis biru, pertanda Nil dan Eufrat
dan bintang Daud. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Rabi Fischman.
Mau tak mau, usaha untuk melakukan perluasan wilayah menuju negara
Israel Raya adalah dengan melemahkan negara-negara Muslim di sekitarnya. Maka,
bisa jadi orang menganggap Arab Spring
adalah gerakan demokratisasi Arab yang menggeliat. Tapi bisa jadi pada satu
sisi, kejadian itu telah mengakibatkan lemahnya negara-negara Arab. Lebih dari
itu, imperialism dan penghancuran negara-negara Arab oleh negara yang bergabung
dengan NATO, bisa dicurigai sebagai gerakan mendukung perluasan wilayah dan
pengaruh gerakan zionisme di timur tengah.
Penghancuran Irak yang cukup potensial menjadi musuh berat Israel di
kawasan. Lalu Libya. Kekacauan politik di Mesir. Perpecahan di Yaman.
Terbaginya negara Sudan menjadi Sudan dan Sudan selatan. Adalah proyek politik
untuk melemahkan negara-negara Arab. Ditambah dengan Arab Saudi yang diharapkan
menjadi pemimpin regional kawasan Timur Tengah yang malah lebih sibuk membebek
pada Amerika Serikat dan sekutunya. Menjadikan proyek zionisme internasional,
berkembang dan berjalan dengan baik. Karena Israel tentu dalam bahaya yang luar
biasa, jika negara-negara Arab bersatu dan damai. Karena ia akan menjadi negara
minoritas. Maka perlu dikembangkan sebuah strategi melemahkan daerah sekitar
dan memperkuat kekuasaan Israel. Dan itulah yang juga terjadi hari ini.
Termasuk berkembangan Nusrah, ISIS dan sebagainya. Termasuk juga didalmnya penyerangan Suriah.
Untuk mengakhiri tulisan panjang ini, beberapa pertanyaan patut dipertanyakan
kembali terkait klaim Israel atas tanah yang dijanjikan. Pertama, jikalaulah kolonialisme
dan imperialisme Israel disahkan dan didasarkan pada teori historis belaka. Bukankah mereka harus
berfikir untuk melacak negara asli mereka yang sebenarnya. Yaman, Irak, atau Palestina?. Kedua,
jika kolonialisme dan imperialisme Israel, disahkan dan didasarkan pada kaidah teologis
semata. Maka semua agama mempunyai alasan yang sama untuk melakukan
kolonialisasi. Bukankah Islam juga mengenal sebuah ayat yang menyatakan bahwa
seluruh bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang sholeh, dan kaum yang sholeh itu jelas merujuk pada kaum Muslim. Ketiga, jika diaspora mereka tidak
“berhasil” dan mereka terus dimusuhi oleh kaum lain di tempat dan negara
barunya. Apakah kaum lain yang bersalah?. Cobalah melihat bagaimana bangsa
India, Arab atau China yang tersebar dimanapun. Kenapa mereka bisa diterima oleh bangsa lain?. Lantas yang salah siapa?.