top social

Jumat, 22 September 2017

Ngaji Online; Jejak Digital Para Santri

Ngaji Online, adalah sebuah pengajian yang ditangkan secara langsung melalui media-media sosial yang sedang kekinian. Ngaji online sedang marak-maraknya pada bulan Ramadhan tahun ini, dimana beberapa pesantren dan lembaga mengadakan dan menyiarkan secara langsung pengajian yang rutin ada di pesantren dan lembaga-lembaga tersebut. Tak kurang NUtizen misalnya menyiarkan pengajian-pengajian dari beberapa kyai terkemuka, atau cendekiawan muda NU, Ulil Abshar Abdallah, serta beberapa tokoh NU terkemuka seperti KH. Musthofa Bisri mengadakan pengajian secara online. Hal yang jarang ditemui di tahun-tahun lalu. Sepertinya ini adalah bentuk jawaban atas beberapa pengajian online yang kerap “menyerang” amaliyah dan sistem serta keyakinan kaum pesantren, kalau tidak dibilang sebagai bentuk kesadaran.

Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran tentang penting penggunaan teknologi dalam berdakwah. Karena teknologi, terutama teknologi informasi dipercaya lebih efektif dalam melakukan diseminasi atau sebaran informasi ke publik, serta lebih cepat dan mudah diakses. Kesadaran ini tidak didapati pada tahun-tahun sebelumnya. Kaum pesantren, sebelumnya bertindak pasif dan cenderung hanya bersikap “defensif”, itu pun dengan kesederhanaan dan keterbatasan mereka. Paling jauh, fitnah atau “serangan” terhadap mereka hanya akan direspon melalui mimbar khutbah atau podium pengajian di jamaah masing-masing. Mereka seakan tidak mau peduli dan acuh ketika terus-terusan menjadi bahan serangan dan di­-bully­ habis-habisan. Namun sepertinya “kesabaran” dan kesadaran datang jua. Kaum pesantren akahirnya menyadari, bahwa diam dan membiarkan diri mereka menjadi objek serangan jahat dan hoax, pun menambah panjang daftar masalah bangsa. Terutama masalah berkembangnya faham radikal, ekstrem yang berpontensi menjadi teror dan duri bagi kerukunan dan pluralitas bangsa.

Kesadaran lain yang muncul kemudian adalah bahwa dakwah, sudah harus menggunakan media yang mudah diakses dan efektif. Dakwah, yang berarti ajakan, harus berada pada “frekuensi” yang sama dengan objek yang dituju. Kesamaan frekuensi itu tentu mengandung banyak makna. Mulai dari kesamaan frekuensi bahasa, bahasa yang bisa dan mudah difahami oleh kebanyakan obyek dakwah. Termasuk kesamaan dan kesesuaian tema, pokok pembahasan yang dibicarakan dengan objek dakwah. Tema dan pokok pembahasan yang berbeda harus diberikan pada objek yang berbeda pula. Dan selanjutnya adalah kesamaan “frekuensi” dalam saluran atau media dakwah. Jika sekarang yang banyak diakses adalah dunia media sosial, maka disanalah dakwah harus banyak dikembangkan. Kalau tidak, bisa dipastikan dakwah tidak akan tepat sasaran dan efektif.

Meruyaknya sosial media, seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, Path dan lain sebagainya, memang harus diantisipasi oleh dunia pesantren. Karena kemudahan akses pada sosial media, telah dimanfaatkan dengan sangat maksimal oleh beberapa golongan yang kerap menyerang amaliyah kaum pesantren, kyai dan pesantren itu sendiri. Mungkin bagi sebagian pihak pesantren, ini tidak menggugah sama sekali. Bagi kelompok ini, perjuangan mereka dalam segala aspek kehidupan, memang tidak untuk menangguk pujian, sanjungan. Perjuangan kaum pesantren, bagi kelompok ini, lebih dari sanjungan dan pujian makhluk, karena tujuan utama mereka adalah, mengabdi pada kemanusiaan, selain tentu pengabdian dan penghambaan mereka kepasa Sang Pencipta.

Adalah kaum muda pesantren, yang nampak resah dengan fenomena ini. Bukan tanpa alasan, kaum muda ini memahami apa yang terjadi pada generasinya, generasi millenial. Generasi millenial yang kerap menjadi sasaran utama berita-berita bohong, hoax dan berita yang memojokkan ajaran, kyai dan pesantren itu sendiri, kerap tak memperoleh asupan informasi yang berimbang. Dan pada akhirnya mereka dengan gegabah, melakukan justifikasi, penghakiman pada ajaran pesantren, kyai dan pesantren itu sendiri sebagai sarang bid’ah, khurafat dan ajaran-ajaran yang salah, misalnya. Maka, pesantren butuh dan penting untuk mengklarifikasi, bukan demi nama baik saja, atau sekedar pujian dan sanjungan. Ini terlebih pada upaya yang jauh lebih mulia, yakni mendasarkan pemahamanan keagamaan yang lebih moderat, lebih benar dan jauh dari hujatan dan cacian bagi generasi muda, generasi millenial.

Kaum muda millenial yang akrab dengan sosial media, manakala terus disuguhi dengan berita hoax, berita bohong dan informasi yang salah tentang Islam, terutama tentang amalam, kyai dan pesantren itu sendiri. Maka, bisa dipastikan pemahamannya tentang Islam akan cenderung radikal, keras dan ekstrem, dan tentu ini akan menjadi masalah kemasyarakatan, dan tentu masalah kebangsaan kemudian. Oleh karena itu, pesantren, bagi kaum muda pesantren, harus lebih progressif dalam berdakwah. Pilihannya, tentu diantaranya memperbanyak berdakwah di lingkup yang banyak sebaran anak muda, media sosial. Kaum muda ini pun kemudian tidak tinggal diam dan terus bergerak untuk menguasai atau setidaknya mewarnai berita dan konten di jejaring media sosial.

Pada Ramadhan beberapa waktu yang lalu, semangat anak muda itu sudah lebih memperlihatkan hasil dari tahun sebelumnya.  Pengajian dari beberapa gus dan kyai terkenal sudah membanjiri medan digital tanah air. Jika pada waktu sebelumnya masyarakat bingung mencari referensi dan pengajian yang cocok, yang santun dan penuh rahmat. Kini, masyarakat mulai bingung pengajian mana yang “ditelan” duluan. Tapi jelas ini merupakan kemajuan, dan lebih baik. Karena konten negatif, bukan hanya soal pornografi dan pornoaksi, namun juga konten “pengajian” yang keras, cenderung radikal, mudah menyalahkan, tuding sana-sini, menjadi semacam keprihatinan tersendiri.

Perayaan besar “turun gunungnya” para gus dan kyai didunia daring tersebut tentu saja menggembirakan. Pertama kali, kyai sepuh yang paling dekat dengan dunia digital, tentu KH. Musthofa Bisri atau karib disebut Gus Mus. Beliau sudah mengawali dengan memberi teladan, berupa seringnya beliau mengunggah status sampai video dan foto dengan caption yang bukan saja islami, namun juga menyejukkan dan menuntun kita yang kerap tersesat di belantara dunia nyata dan maya.

Gus Mus memang sudah lebih dikenal sebagai kyai yang paling “online”, tentu tidak luput dari latar belakang beliau yang juga budayawan yang mempunyai pergaulan lintas batas. Namun, tentu Gus Mus saja tidak cukup. Sedangkan konten negatif yang selalu memojokkan nilai, amaliyah kaum pesantren bak sapuan ombak, sedemikian besar dan massifnya. Menyadari itu, banyak kaum muda pesantren yang tergerak. Diantaranya adalah pimpinan media NU Online, Savic Ali, yang kemudian bersama kawan-kawannya, Hamzah Sahal diantaranya, membentuk Nutizen. Nutizen ini bahkan mempunyai nilai lebih, karena mudah diakses dan diunduh di gawai (handphone) berbasis Android dan IoS. Ini tentu lebih muda diakses dan akrab bagi generasi millenial. Nutizen, merupakan aplikasi yang mudah diunduh oleh para pengguna handphone.

Di Nutizen pula, bisa kita dapati pengajian-pengajian dengan berbagai macam varian. Mulai dari yang seperti tanya jawab, diskusi, atau seperti yang biasa dilakukan kaum pesantren dengan mengaji kitab kuning. Sampai pada yang bersifat ceramah, seperti ceramah seorang muballigh dan kyai kondang, KH. Anwar Zahid. Kyai Anwar Zahid, cukup terkenal dengan gaya ceramah yang ceplas-ceplos, mudah difahami dan humoris. Ini tentu menjadi oase bagi kaum muslim, yang ingin belajar Islam, namun tak kehilangan sisi “kemanusiaan”-nya, ditengah dakwah-dakwah model keras yang mengajarkan permusuhan, caci maki dan celaan.

Tentu kita boleh berbangga, kaum pesantren boleh sedikit bernafas lega. Namun tentu masih sangat kurang, dan jauh dari ideal. Jika saja dibandingkan, antara akun dan gerakan penyebar Islam nan damai, santun dan penuh rahmat, dengan akun dan gerakan Islam yang penuh amarah, caci maki, bahkan acap mem-bid’ah-kan ajaran, keyakinan dan amaliyah kaum pesantren. Untuk itu kaum pesantren juga harus segera bangkit. Diam tentu bukan cara yang bijak dan tidak selamanya diam adalah emas.

Pada bulan Ramadhan 2017, muncullah beberapa kyai dan gus (julukan untuk putra kyai), yang mengaji secara daring, online. Ada yang menyiarkannya secara langsung atau live adapula yang merekam dan mengunggahnya kemudian. Lebih menarik, karena kajian kitabnya, pun sangat variatif. Seorang kyai asal Jogjakarta, misalnya, mengkaji kitab karangan Jalaluddin Rumi dan kitab karangan Ibnu Arabi. Ini merupakan hal yang tak lumrah. Jika biasanya yang dikaji adalah kitab-kitab sufi pun, kitab  karangan Jalaluddin Rumi jarang jadi pilihan. Jika biasanya di pesantren, kitab tasawwuf yang banyak dipelajari, adalah kitab-kitab karangan Imam al Ghozali, seperti Minhajul Abidin atau magnum opus-nya, Ihya Ulumuddin. Tentu hal ini menjadi menarik, seorang kyai pesantren mbalah kitab karangan Ar Rumi dan Ibnu Arabi. Ibnu Arabi, misalnya terkenal dengan konsep Wihdatul Wujud. Tidak sedikit ulama yang menjatuhkan vonis sesat dan kafir padanya. Ulama kelahiran Andalusiyah, Spanyol ini merupakan seorang sufi falsafi yang terkenal. Ibnu Arabi di Indonesia mempengaruhi pemikiran Hamzah Fansuri, Syamsuddin as Sumatrani, dan Abdus Shomad al Falimbani.

Keberanian Kyai Kuswaidi Syafiie, mem-balah (istilah untuk membaca dan mengajarkan kitab didepan para santri dalam dunia pesantren.red) kitab karangan ar Rumi dan Ibnu Arabi, tentu tidak serta merta harus kita curigai sebagai sebuah hal yang melenceng dari adat dan berpotensi “menyesatkan”, namun harus kita apresiasi sebagai bentuk lompatan dan kreatifitas serta inovasi. Pengkajian kitab yang tak biasa ini, selain menarik kaum muda yang sedang gandrung dengan berbagai macam “penggunaan logika”, juga merupakan benteng untuk menangkal pemikiran-pemikiran yang rasionalistis an sich, yang sering justru menyesatkan pikiran kaum muda. Kenapa demikian?. Ketika kyai mengkaji kitab-kitab yang dapat memenuhi hausnya kaum muda pada penggunaan rasionalitas, seperti yang kerap dihadapi kaum muda. Namun selain membaca dan menjelaskan, kyai juga dapat secara langsung membatasi dan mengetengahkan kritik atas pemikiran-pemikiran yang dianggap keluar dari koridor akidah dan syariah. Dengan begitu, ketika santri lulus, dan bergaul diluar, baik dalam rangka meneruskan pendidikan, di perguruan tinggi misalnya, akan dapat membentengi diri dan akidahnya. Dengan penjelasan dari kyai secara langsung, santri tidak akan gagap, ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikiran baru yang berkembang didunia luar, yang penuh dinamika dan dapat mencederai akidah.

Namun, tidak semua kyai dan gus mengambil cara itu. Adapula yang memilih cara mengkaji kitab seperti biasanya, dengan menguatkan penjelasannya sesuai perkembangan zaman. Langkah ini diambil, tentu dengan keyakinan, walau dengan mengkaji kitab pesantren seperti biasanya, namun dengan penjelasan dan sudut pandang berbeda akan juga memberikan pemahaman dan sudut pandang yang berbeda. Di lain pihak, dengan mengkaji kitab-kitab khas pesantren, justru santri akan bertambah percaya diri dengan keyakinan, sistem dan pesantren itu sendiri. Selain tentu akan bertambah kuatnya keimanan dan akidah santri. Hal itu, seperti yang dilakukan oleh seorang gus, Ulil Abshar Abdalla.

Menantu Gus Mus ini mengkaji kitab Imam al Ghozali, namun dengan bahasa-bahasa dan penjelasan yang ilmiah dan kekinian. Karena penjelasan dan gaya bahasa yang cenderung “intelek” itu,  pengikut pengajian yang disiarkan langsung sepanjang bulan Ramadhan itu pun membludak. Tak sedikit kalangan akademisi, para doktor, professor bahkan dar luar negeri mengikuti kajian itu secara langsung. Peminatnya pun tak tanggung-tanggung, mencapai ribuan. Yang tak kalah mengagetkan adalah alasan Gus Ulil mengkaji kitab Ihya Ulumuddin, yakni untuk mengambil barokah (seeking blessing) pengarang kitab Ihya’ ini. Sesuatu yang sulit diprediksi, mengingat label liberal yang sempat disandang oleh beliau. Ini juga berarti bahwa, pengampuh-pengampuh pengajian online inipun, masih sangat kental dengan paradigma dan budaya pesantren, konsep barokah misalnya.

Kyai muda atau Gus lain yang melakukan siaran pengajian secara daring adalah Agus Abdul Ghofur Maimoen, atau Gus Ghofur. Gus Ghofur adalah putra dari kyai terkenal al allamah KH. Maimoen Zubair, pengasuh pondok pesantren Al Anwar, Sarang. Kyai Maimoen yang terkenal alim ini merupakan ulama yang sangat qualified dan acap menjadi rujukan para kyai-kyai Indonesia, bahkan dunia. Gus Ghofur pun demikian adanya, beliau adalah seorang doktor muda alumnus universitas tertua dunia di Mesir, Al Azhar University. Bukan hanya sekedar doktor, Gus Ghofur lulus dari Al Azhar dengan predikat summa cumlaude,sesuatu yang sulit dan jarang dicapai oleh orang non-Arab di Al Azhar. Dan pada Ramadhan tahun2017 Masehi beliau juga mengadakan pengajian daring. Sebuah hal yang bukan hanya menggembirakan, namun juga patut diapresiasi setinggi-tingginya.

Tak ketinggalan KH. Yusuf Chudlori, dari Tegalrejo, Magelang pun juga menyiarkan pengajian daring. Dan tentu ini memberikan warna yang menarik. Karena seperti kita ketahui, bahwa pada era ini banyak anak muda dan masyarakat luas yang menyandarkan kebutuhannya akan informasi pada mesin pencari daring, seperti google. Celakanya, jika kita mengakses google untuk mendapati keterangan tentang permasalahan agama, yang menjamur disana adalah keterangan dari situs maupun pengajian yang cenderung radikal, keras, rigid dan atau bercorak takfiri khas wahabi.

Hal ini tentu patut menjadi keprihatinan kita bersama, terutama kaum pesantren. Ini adalah tantangan sekaligus peluang. Tantangan dan peluang dakwah. Jika saja kita mengaca pada strategi dakwah walisongo yang berbasis pada kebudayaan, maka seharusnyalah dakwah kita berjalan dinamis. Termasuk diantaranya adalah masuk pada budaya kaum millenial, yakni dakwah di media sosial. Karena disamping secara psikologis kaum millenial adalah sosok-sosok yang masih labil, kaum millenial ini adalah generasi penerus perjuangan bangsa dan agama. Tentu tidak bisa kita bayangkan, jika generasi sedemikian telah dirasuki dan diracuni dengan Islam yang berwajah garang, keras dan mudah mengkafirkan sesama muslim.

Jika dakwah kaum pesantren selama ini berkisar dari satu madrasah ke madrasah, atau dari satuu mimbar khutbah ke mimbar yang lain. Tentu semua itu tetap patut dilestarikan. Dengan catatatan, bahwa kita juga harus mengayahi dan meng-cover medan dakwah yang lain yakni media sosial dan media daring. Jika di sebuah mimbar misalnya, kita bisa berbicara dengan seribu orang. Nyata bahwa di media sosial, kita bisa berdakwah dengan lebih luas. Bahkan mungkin lebih luas dari yang bisa kita perkirakan.


Semogalah, semakin banyak para kyai dan gus yang sadar dan mau berperan serta, berdakwah di media sosial. Agar media sosial kita, tak lagi dikuasai oleh kaum takfiri, kaum yang berdakwah dengan kekerasan dan makian serta celaan. 


Pernah diterbitkan dalam Majalah Al Fikrah sebagai editorial

Selasa, 12 September 2017

Masa Depan Aliran Bebas Madzhab: Kritik Terhadap Kejumudan Aliran Lâ Madhhabiyah

Masa Depan Aliran Bebas Madzhab: Kritik Terhadap Kejumudan Aliran Lâ Madhhabiyah
Muhammad Asrori (asrori_gresik24@yahoo.co.id)
081330338328
Universitas Islam Lamongan

Abstract
Islam as a religion that the plenary should be shalih li kulli zamân wa makân. It means that Islam can be Adaptive and developing appropriate structure of era and place. However, as a religion, Islam is not a mere set of values, but also has some clear legal rules for the believer. And that in accordance with the rules of guidance locus and tempus, Islamic law need to evolve. So intellectuals, Muslim scholars also make the methodology of Islamic law jurisprudence, so that Islamic law is not stagnant, old-fashioned and stiff. So, Islam appeared several genre of law in Islam called Madhhab. Madhhab or madzhab is a codification of Islamic law which is generated by the priest mujtahid. However this is not necessarily approved by the Muslims entirely. Some of the Muslim, reject the madzhab because they think it is just bid'ah, and the efforts "rival" madzhab of islam actually, Rasulullah's madzhab. An invitation to return to the Al-Qur'an and Al-Hadith finnally called. This day the development is also massive through social media. Call to purify the religion of Islam, with direct reference to the Quran and Al Hadith. Unfortunately that development is not supported by conceptual development. Actually, solicitation and this genre is weak ontological, epistemological even in the realm of Axiological. Since seeing the spread of Islam and the condition of Muslims today, so is not possible to produce the law of the Quran and Al Hadith directly.
Keyword: Madzhab, epistemological, Quran, Al Hadith
Abstrak
Islam sebagai agama yang paripurna haruslah shalih li kulli zamân wa makân. Adaptif dan berkembang sesuai tatanan zaman dan tempatnya. Namun sebagai agama, Islam juga bukan kumpulan nilai belaka, namun juga mempunyai kaidah hukum yang jelas bagi penganutnya. Dan agar sesuai dengan kaidah tuntunan locus dan tempus itu, hukum Islam perlu berkembang. Maka cerdik cendekia, ulama muslim pun membuat metodologi jurisprudensi hukum Islam, agar hukum Islam tidak stagnan, jumud dan kaku. Maka, muncullah beberapa aliran hukum dalam Islam yang disebut Madhhab. Madhhab atau madzhab adalah sebuah kodifikasi hukum Islam yang dimulai oleh para imam mujtahid. Namun hal ini, tidak lantas disetujui oleh kaum muslim seluruhnya. Beberapa kaum muslim, menolak adanya madzhab karena menganggap itu hanyalah bid’ah, dan upaya “menyaingi” madzhab Islam sebenarnya, madzhab Rasulullah. Ajakan “kembali kepada Al Qur’ân dan Al Hadith” pun akhirnya digaungkan. Namun sebenarnya, ajakan dan aliran ini lemah secara ontologis, epistemologis bahkan dalam ranah aksiologis. Karena melihat sebaran Islam dan kondisi umat Islam hari ini, amat tidak mungkin menghasilkan hukum dari Al Qur’ân dan Al Hadith secara langsung.
Keyword: Madzhab, Epistemologis, Al Qur’ân, Al Hadith
Pendahuluan
Islam sebagai agama yang paripurna tidak hanya datang menyediakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Namun juga membawa risalah hukum yang wajib ditaati sesiapapun yang menganutnya. Risalah hukum itu mengatur ritual peribadatan, muamalah dan hal-hal keseharian kaum muslim.
Namun tak dapat dipungkiri, walaupun Al Qur’ân, misalnya adalah mukjizat Allah yang kekal, dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh ilmu pengetahuan.[1] Namun upaya untuk menjangkau maknanya dalam rangka penentuan hukum, tidak dapat dikatakan mudah. Walaupun dalam al-Qur’ân banyak perintah untuk merenungkan dan mentadaburi kandungan dan isi dalam Al Qur’ân, namun hasil penafsiran akan berbeda jika dilakukan tanpa ilmu yang memadai. Hal sedemikian, tentu berbahaya bagi kepastian hukum didalam Islam. Ibnu ‘Abbâs seperti dikutip oleh Dr. M. Quraish Shihab membagi penafsiran Al Qur’ân dalam empat tingkat. Pertama, yang dapat dimengerti oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasanya. Kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama. Dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2]
Diluar Al Qur’ân, sebagai sumber jurisprudensi sekaligus penjelas Al Qur’ân adalah Al Hadith Atau Al Sunnah. Yaitu segala ucapan, perbuatan, kelakuan, sifat, kebenaran yang dikatakan dari nabi.[3] Kedudukan Al Hadith sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdul Halim Mahmud yang dikutip oleh Quraish Shihab mempunyai dua fungsi. Pertama, bayân takkid. Yakni sekedar menguatkan dan menggaris bawahi isi Al Qur’ân. Kedua, bayân tafsir. Memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari Al Qur’ân. Hal ini menunjuk pada keterangan imam Al Sha@fi’I dalam kitab Al Risa@lah.[4]
Dalam perkembangannya, keterangan hukum yang tersedia dalam dua sumber utama hukum Islam tersebut tidak cukup mampu menjawab perubahan zaman, dan perlu dikembangkan kerangka pengambilan hukumnya. Sehingga para cerdik cendekia muslim pun pada akhirnya berupaya mengembangkan sebuah metodologi pengambilan hukum, dengan tetap mengacu pada sumber utama hukum Islam, yakni Al Qur’ân dan Al Hadith. Selanjutnya pengambilan hukum yang dilakukan memunculkan beberapa penafsiran hukum yang terkadang berbeda. Hukum-hukum itu kemudian terpolarisasi menjadi sekian kodifikasi yang disebut madhhab.
Sejatinya, kelahiran madhhab bukanlah hal yang aneh. Melainkan sebuah tuntutan zaman dan sejarah. Untuk itu, kita bisa mengatakan secara normatif bahwa cara penentuan utama hukum Islam adalah dari wahyu dan ijtihad. Yang lantas kemudian kita sebut sebagai dua ekspresi; shariah dan fiqih.[5] Sementara shariah adalah sesuatu yang sudah tercantum baku dalam sumber utama, dan fiqih adalah mengetahui hukum-hukum shar’iyyah dengan jalan ijthad.[6]
Merunut pendapat Harun Nasution, fase historis hukum Islam terdiri dari lima periode. Pertama, periode Rasulullah. Kedua, fase al khulafâ al rashidîn. Ketiga, fase dinasti Abbasiyah, atau periode mujtahidin klasik. Keempat, taqlid, juga disebut sebagai ketertutupan. Dan kelima, fase pembaharuan atau modern.[7]
Sedangkan catatan historis peta hukum Islam sampai pada munculnya madzhab digambarkan oleh Al Khaduri dalam enam fase. Pertama, fase masa hidup Rasulullah. Yang kesemua persoalan hukum dirujuk langsung pada Rasulullah, sebagai mas}âdir al tashri’. Kedua, masa sahabat senior (kibar al s}ahabah), masa ini adalah masa al khulafâ al rashidîn. Ketiga, masa sahabat junior (s}igor al s}ahabah). Keempat, fase fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Fase ini dimulai dari abad kedua hingga akhir abad ketiga hijriyah. Kelima, fase perdebatan fuqaha atas pelbagai hukum yang muncul. Ini terjadi pada awal abad keempat sampai dengan akhir dinasti Abbasiyah. Keenam, fase taqlîd. Yakni fase dimana hukum ditentukan dengan mengikuti pendapat para imam madhhab.[8]
Namun, ini tidak serta merta diamini oleh semua kaum muslim. Sebagian menolak konsep madhhabiyah ini dengan alasan bahwa hukum yang dimunculkan dari madhhab tersebut tidaklah otentik dan bahwa berhukum adalah sesuatu yang mudah. Golongan ini yang kemudian disebut sebagai golongan lâ madhhabiyah. Argumentasi yang dibangun oleh golongan ini, diantaranya adalah bahwa “pencetus” madhhab seperti Imam Shafi’I, Al Imam Al Mâlikiy dan lainnya, bukanlah orang-orang ma’s}um sehingga ada kemungkinan pendapatnya tergelincir pada kesalahan. Mereka mensinyalir madhhab ini menyaingi madhhab Rasulullah dalam beragama dan terlebih ini adalah bid’ah dalam beragama.
Yang paling terkenal dalam sejarah tentu tulisan Muhammad Sultan al Ma’s}umi Al Khojandi al-Makky, seorang pengajar di Masjidil Haram yang melarang umat Islam untuk mengikuti salah satu madhhab secara terus menerus karena itu bid’ah dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.[9] Buku ini pula yang memantik Dr. Said Romad}on Al Bu>thi mengarang kitab yang cukup fenomenal dalam menjawab tuduhan Al Khojandi berjudul, “Al Lâ Madhhabiyatu Akht}oru Bid’atin Tuhadidu Al Shari’ata al Islamiyah”, yang diterjemahkan menjadi, “Bebas Madzhab, Membahayakan Syariat Islam” yang merupakan rujukan primer artikel ini.
Dengan kemajuan teknologi informasi, terutama media sosial, golongan ini pun bermetamorfosa dalam gerakannya. Seruan kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith kerap muncul melalui media social. Bahkan tak jarang dengan memakai dalil satu dua ayat atau satu dua hadith, kelompok ini berani menentang hukum yang sudah ditetapkan oleh para ulama. Hal sedemikian, dilakukan karena mereka meyakini bahwa beragama hendaknya merujuk langsung pada dua sumber pokok tersebut. Dan selebihnya adalah bid’ah dan sesat. Namun itu tidak lantas diserta dengan perkembangan konseptualisasi gerakan. Sehingga ajakan itu menjadi hanya sebuah ajakan retoris.
Praktek slogan “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith”, nyatanya lemah secara epistemologis dan praksis. Tidak memakai madzhab sama sekali dalam berislam hari ini, hampir dipastikan tidak mungkin dicapai. Menafsirkan Al Qur’ân  dan Al Hadith tanpa melalui transmisi keilmuan yang shahih, hampir dipastikan hanya akan menuju pada “pengaburan” teks sesuai dengan keinginan dan kepentingan penafsir. Hingga akan terjadi kekacauan hukum dan tidak ajegnya praktek keagamaan.
Gambaran Umum Al Lâ Madzhabiyah
Perkembangan dunia teknologi informasi, terutama media sosial telah menciptakan warna baru dalam pemahaman keagamaan. Beberapa bersifat positif dan membangun, sedangkan beberapa lainnya justru negatif dan destruktif. Kemunculan sekelompok orang dengan faham takfiri, misalnya. Dengan berbekal satu dua ayat, atau satu dua hadist mereka dengan mudah menyalahkan orang lain.
Kelompok ini dalam masa lampau bisa disamakan dengan golongan khawarij. Golongan yang muncul paska konflik Ali-Muawiyah. Golongan ini juga mempunyai slogan khas yang sampai kini pun terus digaungkan, “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith”. Disamping mudahnya menyalahkan penafsiran liyan.
Seruan ini didengungkan terutama untuk menyerang kelompok lain yang dianggap mempraktekkan bid’ah. Sekilas lalu ujaran ini memang akan dianggap benar, dalam konteks berislam. Namun nyatanya gagal secara epistemologis maupun aksiologisnya. Menafsirkan Al Qur’ân  dan Al Hadith, tanpa metodologi yang jelas dan transmisi keilmuan yang shahih, jelas merupakan upaya “mengebiri” ajaran Islam. Gerakan lâ madzhabiyah sebenarnya adalah gerakan purifikasi Islam yang selalu muncul pada setiap zaman dengan beberapa ciri khasnya. Dan belakangan menggejala kembali, melalui media sosial.
Purifikasi Islam juga merujuk pada Ibnu Taimiyah pada abad ke 12 Masehi. Lima abad kemudian gerakan Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahâb. Walaupun sebenarnya, Abdul Wahâb kurang tepat disebut sebagai mujaddid dalam Islam. Karena senyatanya, Abdul Wahâb hanya meneruskan apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah. Namun, perannya yang sangat besar dalam penyebaran ajaran Ibnu Taimiyah, sehingga pada akhirnya dikenal sebagai faham sendiri bernama Wahabi di Arab Saudi hingga saat ini.[10]
Karena “merasa” menyandarkan pendapat fiqihnya pada dua sumber utama, maka ciri khas fiqih kelompok ini cenderung keras, pasti, kesimpulannya tidak bisa digugat dan penetapannya tegas. Mereka menolak sama sekali untuk setia pada madzhab hukum tertentu dengan menyatakan bahwa seorang muslim tak punya alasan kuat untuk mentaati salah satu madzhab.[11]
Kelompok ini biasa disebut sebagai kelompok skripturalis. Karena keyakinan dan concern mereka yang teramat besar pada teks. Kelompok ini, merasa tidak perlu terlibat dalam kegiatan intelektual untuk mengadaptasikan pesan-pesan Rasulullah dalam kondisi sosial terkini. Mereka merasa bahwa pesan teks dalam Al Qur’ân  dan Al Hadith sudah teramat jelas. Sehingga hanya perlu penerapan dalam kehidupan nyata.[12]
Puritanisme Islam yang berkembang pada akhir abad ke 20, menjadi lebih radikal. Sebagian pihak mengatakan bahwa abad ke 15 Hijriyah atau abad ke 20 Masehi sebagai era kebangkitan Islam. Namun yang terjadi sebenarnya adalah awal dari radikalisme dalam Islam dalam bentuk baru. Di Iran ditandai dengan munculnya gerakan para agamawan yang dipimpin para ulama Syi’ah yang berhasil menggulingkan dinasti Pahlevi. Sedang di Mesir ditandai dengan berdirinya Ikhwân al Muslimîn  oleh Hassan Al Banna (1906-1949). Organisasi ini kemudian menyebar ke lebih dari 70 negara, tidak hanya di wilayah Timur Tengah.[13] Gerakan Ikhwân kemudian menjadi lebih radikal pada tahun 70-an ketika mengalami persentuhan dengan pemikiran Sayyid Quthb dan Abu Al A’la Al Maududi.[14]
Diantara penyebab menyeruaknya radikalisme Islam adalah kegagalan nasionalisme sekuler yang disebut tak mampu mengakomodasi kepentingan para agamawan. Kaum radikal ini tak menolak perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan  sebagai perkembangan modernitas. Mereka hanya menolak ideologi dibaliknya, sekularisme dan meterialisme.[15]
Maka guna menghancurkan sekularisme dan materialisme yang diasumsikan sebagai kejahiliyahan modern itu, diperlukan perang, jihad guna menguasai kekuasaan duniawi tersebut. Jihad harus dilakukan secara komprehensif. Kalaupun dianggap perlu maka digunakan kekerasan. Kewajiban jihad juga diserta dengan imbalan, mati syahid. Sebuah “seni kematian terindah” dalam term Islam.[16]
Menurut Imadadun Rahmat, gerakan ini memiliki beberapa prinsip. Pertama, al dîn wa dawlah. Penegakan agama dan negara harus dilakukan sekaligus. Bagi kalangan ini, hukum Islam bersifat inheren. Maka tak ada pemisahan Islam dan negara. Kedua, Al Qur’ân  dan Al Hadith sebagai fondasi Islam harus diikuti secara total. Untuk itu kaum muslim harus kembali pada kedua sumber hukum itu. Tentu dengan mengandaikan titik ideal zaman Nabi Muhammad.
Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Ini dilakukan dalam hal pemurnian ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Juga menolak sistem ekonomi barat yang penuh dengan riba. Keempat, kedaulatan dan berhukum berdasarkan shari’ah. Bagi kalangan ini, tujuan Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi. Hal ini hanya dapat dicapai, jika negara menerapkan tatanan negara Islam, Niz}am Islami, dimana shari’ah menjadi hukum tertinggi. Dan kelima, jihad. Sebagai upaya menegakkan negara Islam. Jihad merupakan perang suci, untuk menghalau penghalang tegaknya negara Islam.[17]

Kelemahan Espitemologis Al La Madzhabiyah
Sesungguhnya tak ada golongan Islam manapun yang menolak tentang penting dan utamanya Al Qur’ân  maupun Al Hadith. Tapi perbedaan terjadi tentang bagaimana tafsiran Al Qur’ân  pada masa kini. Perdebatan tentang boleh tidaknya ta’wil, misalnya, sampai hari ini juga tetap menjadi perdebatan tersendiri. Sehingga memunculkan perdebatan dalam bidang teologi, aqîdah. Maka yang membolehkan ta’wil¸menolak antropomorfisme yang dilakukan kaum mujassimah atau mushabihah. Pun begitu dalam penentuan hukum.
Bagi kaum yang menolak bermadzhab, madzhab tidak diperlukan karena Al Qur’ân  cukup terang dan jelas. Sehingga hanya membutuhkan Al Qur’ân , kitab-kitab Hadith seperti Al Muwatt}o, S}ahih Bukhari dan Muslim, Sunan Abu Dawu>d, Jami’ Turmudzi dan Nasa’i.[18] Begitu setidaknya yang dikemukakan oleh Syaikh Al Khojandi seperti yang dikutip oleh Dr. Romad}on Al Buthi dalam kitabnya.
Menolak madzhab dengan memerintahkan semua orang merujuk pada Al Qur’ân  dan Al Hadith secara langsung merupakan “kecelakaan” berfikir dalam kehidupan beragama. Kenyataan bahwa tidak semua orang dapat memahami bahasa Arab dengan kaidah-kaidah kesusasteraannya adalah penolakan terhadap realitas yang ada. Apalagi kemudian usaha menafsirkan Al Qur’ân  dan Al Hadith harus dilakukan dalam ranah hukum. Maka tidak akan dicapai sebuah penafsiran yang memadai dan shahih.
Kita lihat misalnya, beberapa syarat untuk menjadi penafsir Al Qur’ân  yang didedahkan oleh Manna> Khalil Al Qat}t}an sangat sulit dicapai awam. Pertama, Sahnya aqidah. Ini merupakan syarat agar penafsiran yang dilakukan tetap dalam koridor yang benar. Kedua, meninggalkan hawa nafsu. Agar tidak memperturutkan hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh golongan Qodariyah, Syiah Rafidhâh, Mu’tazilah, dan beberapa golongan lain yang yang menyimpang. Ketiga, hendaknya kali pertama menafsirkan Al Qur’ân  dengan Al Qur’ân . Yakni melakukan penafsiran suatu ayat Al Qur’ân  dengan ayat lainnya dalam Al Qur’ân . Keempat, menafsirkan Al Qur’ân  dengan Al Sunnah. Karena Al Sunnah merupakan penjelas paling utama dan paling bisa diterima. Dan memang demikianlah harusnya kedudukan Al Sunnah.
Kelima, jika tidak menemukan pada keduanya. Maka penafsiran dilakukan dengan perkataan para sahabat nabi. Karena sahabat adalah golongan yang paling tahu tentang maksud turunnya Al Qur’ân . Keenam, jika tidak juga ditemukan. Maka harus merujuk pada pendapat para tabi’in. Seperti, Mujahid bin Jabar, Sa’id bin Jabir, Ikrimah budak Ibnu ‘Abbas, Atho’ bin Abi Robah, Hasan Al Bas}ri dan lainnya. Karena mereka mendapatkan tafsir itu dari para sahabat, yang berarti mendapatkan tafsir yang shahih.
Ketujuh, menguasai ilmu kesusastraan Arab. Karena Al Qur’ân  turun dengan bahasa Arab. Mau tidak mau, penguasaan bahasa Arab menjadi penting. Mengetahui cabang ilmu Nahwu, S}orf, tiga cabang ilmu Bala>ghoh, yaitu Ma’ani, Baya>n dan Badi’. Kedelapan, mengetahui ilmu yang mendasar tentang Al Qur’ân , seperti ilmu Qirâat, ilmu Tauhid, sehingga mampu melakukan ta’wil yang tepat ketika mena’wili sifat-sifat Allah. Mengetahui ilmu Tafsir, seperti Asbab al Nuzûl, Naskh Mansukh dan sejenisnya. Dan kesembilan, mendalamnya pemahaman atau kecerdasan yang memungkinkannya menafsir Al Qur’a>n. [19]
Syarat-syarat penafsir, yang ditetapkan oleh Imam Jalaludin Al Suyut}i dan Al Itqa>n seperti dikutp oleh Quraish Shihab adalah sebagai berikut. Pertama, mengetahui Ilmu Bahasa Arab dengan mengetahui bagian yang mushtarak. Kedua, menguasai ilmu Nahwu, karena perubahan makna dimungkinkan akibat berubahnya I’rab. Ketiga, ilmu s}orf, karena perbedaan bentuk dapat merubah makna. Keempat, pengetahuan tentang ishtiqaq atau akar kata. Karena menentukan makna kata. Kelima, mengetahui ilmu Al Ma’a>niy. Keenam, mengetahui ilmu Al Bayan. Ketujuh, mengetahui ilmu Al Badi’. Kedelapan, mengetahui ilmu Al Qirâ’at. Kesembilan, mengetahui ilmu Ushûl al Di>n. Kesepuluh, mengetahui Ushûl al Fiqh. Kesebelas, mengetahui Asbab Al Nuzûl. Kedua belas, mengetahui Naskh dan Mansukh. Ketiga belas, mengetahui Fiqh atau hukum Islam. Keempat belas, mengetahui Hadith-hadith nabi yang berkenaan dengan penafsiran. Kelima belas, mempunyai Ilmu al Mauhiba>h. yakni potensi besar yang dianugerahkan Allah kepadanya, sehingga berpotensi menjadi mufassir. Diantaranya adalah sahnya aqidah yang dianut. [20]
Pun sebagai teks, Al Qur’ân  jelas tidak muncul dari ruang hampa. Dan karena inilah, Nashr Hamid Abu Zayd, menyebut bahwa Al Qur’ân  adalah muntaj Al Thaqafi, hal yang sering difahami dengan salah dari ungkapan Nashr Hamid. Bahwa makna yang dikandung oleh pernyataan itu adalah, Al Qur’ân  adalah bentuk sebuah respon atas budaya, tradisi dan tatanan hukum, sosial dan lain-lain.[21] Untuk itu Asbab al Nuzûl, adalah salah satu yang harus dikuasai oleh seseorang yang hendak menafsirkan Al Qur’ân . Walaupun dalam kaidah dinyatakan, Al Ibrah bi umu>m al lafz la> bi al khus}us al sabab.
Namun, jumhur ulama seperti Al Wah}h}idi>, yang mengatakan tidak mungkin menafsirkan Al Qur’ân  tanpa memperhatikan cerita dan keterangan tafsirnya. Ibnu Taimiyah, Ibnu Daqiq juga mengatakan hal yang sama tentang ketidak mungkinan menafsirkan Al Qur’ân  tanpa asbab al nuzûl.[22]
Melihat kenyataan sedemikian, sangatlah tidak dimungkinkan seorang awam untuk langsung mengetahui arti dan hukum dari Al Qur’ân  tanpa pengetahuan yang mumpuni. Dan dalam hal ini, sudah dipastikan bahwa “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith” hanyalah slogan yang tak punya konsep operasional.
Permasalah itu akan mudah kita tangkap dalam memahami maksud surat Al Mâidah ayat 6, misalnya:
Ya> Ayyuha Al Ladhina A>manu> Idha Qumtum ila> al S}olati fa Ghsilu> Wuju>hakum wa Aydiyakum ila> al Marafiqi wa Msah>u bi Ruu>sikum…
Ayat yang menjelaskan tentang keharusan wud}u sebelum menunaikan s}olat ini jika difahami secara letterlijk oleh orang awam, akan menyebabkan kerancauan hukum. Lafaz} “qumtum”, menunjukkan fi’il mad}i, yang berarti lampau. Maka, kalau ditafsirkan secara kebahasaan an sich, kewajiban wud}u adalah setelah s}olat. Permasalahan ini baru dari pemahaman satu kata awal.
Sedangkan dalam kalimat, “wa Msah>u bi Ruu>sikum..”, terdapat huruf “ba’”, yang dalam kaidah bahasa Arab disebut sebagai huruf ja>r, dan mempunyai beberapa faidah, disebutkan dalam kitab Syarh Ibnu Aqîl, demikian;
Bi al Ba’ Ista’in, wa ‘addi, ‘awwid}, al S}iqi  wa Mithla “ma’”, wa “min”, wa “’an” biha> int}iqi
“Bahwa huruf ba’ itu mempunyai makna isti’anah, seperti: aku menulis dengan (bi) pena. Dan untuk ta’diyah, seperti: aku pergi dengan (bi) zaid. Dan untuk faidah ta’wid} (pengganti), seperti: aku membeli kuda dengan (bi) seribu dinar. Dan untuk faidah ilshoq, seperti: aku berjalan dan bertemu dengan (bi) zaid. Atau mengandung makna “ma’a”, atau “min”, atau “’an”, dan kadang-kadang huruf “ba’”, juga untuk “mus}ohabah”, seperti: fa sabih} “bi” h}amdi rabbika.”[23]
Maka sangatlah sulit untuk menentukan hukum langsung dari Al Qur’ân . Jikalau huruf jâr “ba’” pada kalimat tersebut dianggap berfaidah ta’diyah, maka upaya mengusap sebagian kecil rambut saja sudahlah sah dalam wud}u. Tetapi jika berfaidah ilsoq, maka haruslah seluruh bagian kepala terbasuh.
Hal demikian tidak akan terjadi manakala kita mengikuti madzhab. Karena perbedaan itu dibahas orang masing-masing imam. Imam shafi’I, misalnya menganggap huruf “ba’” dalam ayat itu berfungsi “muta’adiy”, sedangkan imam Al Malik, mengatakan “ba’” itu berfaidah ils}oq.
Demikianlah diantara kesulitan berhukum langsung kepada Al Qur’ân  dan Al Hadith, jika dilakukan oleh para awam, belum lagi dengan berbagai perangkat. Misalnya harus mengaitkan lafaz} Al Qur’ân  dengan Al Hadith, mengingat bagaimana hadith harus diperiksa otentisitasnya. Dari mulai sanad, matan dan riwayatnya. Dan tentu ini merupakan pekerjaan besar yang tak mungkin dilakukan oleh awam. Maka jelaslah, bahwa senyatanya secara ontologis, epistemologis, sampai tingkatan aksiologis, faham bebas madzhab atau lâ madhhabiyah jelas sangatlah lemah dan sulit dioperasionalkan.
Berislam dan Bermadzhab; Pendapat Ulama Nusantara
Madzhab adalah cara paling benar dan paling mungkin dalam kehidupan berislam. Karena nyata, faham bebas madzhab tidak mampu memberikan jawaban dan gambaran tentang bagaimana berislam tanpa madzhab dalam kurun waktu ini. Kita jelas tidak mungkin berdakwah dengan faham bebas madzhab, karena itu artinya kita akan menyerahkan urusan agama kepada siapapun yang tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan hukum Islam.
Ketidak mungkinan berislam tanpa bermadzhab ini sudah diungkapkan jauh hari oleh ulama Nusantara. Diantaranya oleh Kh. Muhammad Faqih Maskumambang (1857-1937). Dalam sebuah kitabnya Kiai Faqih mendedahkan syarat menjadi mujtahid mutlak. Pertama, mengetahui perbedaan tingkatan dan karakteristik setiap dalil dalam Al Qur’ân  maupun al Hadith, seperti kategori ‘am dan khas, mut}laq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, naskh dan mansukh, serta hal lainnya.
Kedua, mengetahui ragam hadith seperti mutawatir, ah}ad, mut}tas}il, munqat}i’, marfu’ dan mursal. Ketiga, mengetahui cara mentarjih ketika ada dua dalil yang bertentangan (tanaqud}). Keempat, mengetahui ihwal periwayatan hadith, mana yang bisa dijadikan istidlal, dan mana yang tidak. Kelima, hukum yang dikeluarkan tidak menyalahi ijma’ ulama. Keenam, mengetahui naskh dan mansukh, mengetahui mana perintah dan larangan. Mengedepankan nash yang z}a>hir. Dan ketujuh, mengenal ketiga qiyas, yakni, qiyas al Aula, al Maawi dan Adwan.[24]
Solusi yang diberikan oleh KH. Muhammad Faqih adalah dengan mengikuti empat madzhab yang sudah jelas runutan sejarah dan otentisitasnya. Kiai Faqih mengetengahkan pendapat dari Sayyid Ba’alawi Al H}}adrami yang mengetengahkan pendapat dari Ibnu Shalah akan adanya ijma’ tentang tidak diperbolehkannya taklid kepada selain empat madzhab yang ada. Pendapat ini dikutip dari kitab Bughyah al Mustarsyidin fi> Talkhis Fatawa ba’d} al Aimah al Mutaakhirin.[25]
Dalam khutbah al iftitah} muktamar kedua jam’iyyah Nahd}atul ‘Ulama, Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari mendedahkan sebuah hadith dari sahabat Mughirah bin Sa’ab dengan mengetengahkan seluruh sanadnya hingga sampai pada Shuaib bin Abdu Al Rahman guru dari Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari. Bahwa Rasulullah bersabda, “Segolongan umatku akan terbantu dalam kebenaran, tidak akan membahayakan mereka, siapapun yang memusuhi mereka dan mereka akan menang terhadap musuh-musuh mereka sampai hari kiamat.”  Imam Bukhari mengatakan  bahwa golongan itu adalah “ahli ilmu.”
Dalam menafsirkan hadith ini, Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari mengatakan, bahwa golongan ahli ilmu dan yang akan selalu menang adalah mereka yang berpegang pada ajaran salaf shalih. Yakni, berpegang pada madzhab yang jelas. Dan jika berdalil sendiri dengan Al Qur’ân  dan Al Hadith dan meninggalkan madzhab. Maka, kalian (ahli ilmu) yang meninggalkan madzhab tidak lebih merupakan ahli bid’ah, penurut hawa nafsu dan menyelisihi mereka yang tercantum dalam hadith tersebut diatas.[26]
Kesimpulan
Dalam pembahasan yang jauh, nyata bahwa aliran bebas madzhab atau lâ madhhabiyah, adalah sebuah gerakan yang lemah secara ontologis. Slogan “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith”, jelas merupakan slogan yang hanya berisi kiasan semata. Bahkan dalam menafsirkan Al Qur’ân , kita akan dihadapkan pada persoalan Asbab al Nuzûl, yang pada kenyataannya juga berbeda-beda riwayat, dan “memaksa” kita untuk memilih, mengikuti madzhab tafsir seseorang imam.
Dan setelah itu, kita tetap saja tak bisa melahirkan hukum apapun tanpa mengikuti madzhab yang telah ada. Yang akan ada dan  mungkin, hanya kita menganut satu madzhab dengan konsisten atau berpindah-pindah madzhab dengan hanya mengutamakan nafsu belaka. Maka, secara ontologis, epistemologis dan aksiologis, bebas madzhab adalah sesuatu yang lemah, untuk tidak dikatakan tidak mungkin. Serta tidak berkembang, kecuali pada pola penyebaranya sahaja. Secara konseptual, aliran lâ madhhabiyah malah tidak berkembang  sama sekali.













































Daftar Pustaka

Al Buthi, Said Ramadlon, Bebas Madzhab Membahayakan Syariat Islam. Terj. H. Anas Thohir Sjamsudin Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981.
 Al H>}asani, As Sayyid Muhammad b. ‘Alawi Al Ma@liki@, Syarh Mand}u@matu Al Waraqat fi@ Us{ul Al Fiqhi, Surabaya: Haiah As Shofwah, tt, 11.
al Hamdaniy, Qad}I al Qud}at Bahauddin ‘Abdu Allah bin Aqi>l al Aqi>liy Al Mis}ri., Syarh ibnu Aqi>l, Vol. 3. Surabaya: Al Hidayah, tt.
 al Qat}t}an, Manna@’ Khalil, Mabâhits fi> Ulûm Al Qur’ân, Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973.
Ash’ari, Had}ratus Shaikh Hashim, Min al Mu’tamar ila al Mu’tamar. Tidak diterbitkan.
el Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi, 2005, 253.
 Hassan, A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, Bandung: Diponegoro, 1982.
Hunter, Shireen T., Politik Islam di Era Kebangkitan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Juergenmeyer, Mark, The New Cold War?, Religious Nationalism Confronts the Secular. State Berkeley: University of California Press, 1993.
Liddle, R. William, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward ed., Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Cet. I, Bandung: Mizan, 1999.
 M. Kholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah Jakarta: UI Press, 2011, 60.
Maskumambang, Muhammad Faqih, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At Tilimsani Terj. KH. Abdul Azis Mashuri Depok: Sahifa, 2015.
 Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979.
Qadafy, Mu’ammar Zayn., Buku Pintar Asbabun Nuzûl Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, Yogyakarta: In AzNa Books, 2015.
Rahmat, Imdadun, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005.
 Rakhmat, Jalaluddin, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas” dalam Al Chaidar ed., Islam, Fundamentalisme dan Ideologi Revolusi Jakarta: Madani Press, 2000.
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1996.
 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, M.Quraish, KaidahTafsir, Tangerang: Lentera hati, 2013.





[1] Manna@’ Khalil al Qat}t}an, Mabâhits fi> Ulûm Al Qur’ân, (Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973), 9.
[2] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 1999),77
[3] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtalah Hadits (Bandung: Diponegoro, 1982)
[4] Lih. Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan…,122.
[5] M. Kholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI Press, 2011), 60.
[6] As Sayyid Muhammad b. ‘Alawi Al Ma@liki@ Al H>}asani, Syarh Mand}u@matu Al Waraqat fi@ Us{ul Al Fiqhi (Surabaya: Haiah As Shofwah, tt), 11.
[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[8] Lih. Kholil Nafis, Teori Hukum…, 17-18
[9] D. Said Ramadlon Al Buthi, Bebas Madzhab Membahayakan Syariat Islam. Terj. H. Anas Thohir Sjamsudin (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), 55-59.
[10] Jalaluddin Rakhmat, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas” dalam Al Chaidar (ed.), Islam, Fundamentalisme dan Ideologi Revolusi (Jakarta: Madani Press, 2000), 16.
[11] Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi, 2005), 253.
[12] R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1999).
[13] Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), 28.
[14] Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi, 1996), xix
[15] Mark Juergenmeyer, The New Cold War?, Religious Nationalism Confronts the Secular State (Berkeley: University of California Press, 1993), 39.
[16] Shireen T. Hunter, Politik Islam di Era Kebangkitan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 15.
[17] Lih. Imdadun Rahmat, Arus Balik…, 154-155.
[18] Lih. Dr. Said Romad}on Al Buthi, Bebas Madzhab…, 42-43.
[19] Lih. Manna@’ Khalil al Qat}t}an, Maba>hits fi> …, 329-331.
[20] M.Quraish Shihab, KaidahTafsir, (Tangerang: Lentera hati, 2013), 395-396.
[21] Mu’ammar Zayn Qadafy, S.Th.I., M.Hum., Buku Pintar Asbabun Nuzûl Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, (Yogyakarta: In AzNa Books, 2015), x-xi.
[22] Muammar Zayn Qadafy, Buku Pintar Asbabun Nuzûl…, 5-6.
[23] Qad}I al Qud}at Bahauddin ‘Abdu Allah bin Aqi>l al Aqi>liy Al Mis}ri, al Hamdaniy, Syarh ibnu Aqi>l, Vol. 3. (Surabaya: Al Hidayah, tt), 22-23.
[24] KH. Muhammad Faqih Maskumambang, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At Tilimsani Terj. KH. Abdul Azis Mashuri (Depok: Sahifa, 2015), 55-56.
[25] Lih. KH. Muhammad Faqih Maskumambang, Menolak Wahabi…, 49-50.
[26] Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari, Min al Mu’tamar ila al Mu’tamar. (dokumen didapat dari perpustakaan keluarga ahli waris KH. Umar Burhan, asisten pribadi sekaligus pencatat khutbah/pidato KH. Hashim Ash’ari). Tidak dipublikasikan. Maksudnya adalah berarti tidak akan menjadi golongan sebagaimana disebutkan dalam hadith itu.