Literasi,
adalah kemampuan membaca dan menulis. Begitu kira-kira mudahnya memahami apa
itu literasi. Menulis, erat kaitannya dengan membaca. Tanpa bacaan yang cukup,
kemampuan menulis hanya akan menjadi
jauh panggang dari api. Budaya literasi adalah budaya adiluhung manusia. Budaya
ini mengikuti, menyebabkan, mencetak dan mencatat bagaimana perkembangan
peradaban dan kebudayaan manusia. Jika kita bersepakat, selain bahasa ujar,
tulisannlah yang membuat pesatnya perkembangan kebudayaan dan peradaban
manusia.
Dalam tulisan,
terkandung beberapa penanda yang memang bisa berimplikasi perbedaan penafsiran.
Itulah kenapa bahasa tulisan, sering memicu konflik penafsiran. Namun senyatanya,
bahasa ujar pun tak luput dari kesalahan serupa. Masalahnya adalah, banyak dari
manusia yang mengembangkan bahasa ujar seumur hidupnya, ia terus berbicara,
namun tak pernah menulis.
Apa akibatnya?.
Akibatnya jelas ada dan signifikan. Sebuah pemikiran, ide, hanya mungkin awet,
lestari dan terus ditafsirkan, baik dengan salah atau benar, ketika ide itu
mampu dibaca pada kemudian hari. Dan bahasa ujar, tak mungkin dibaca di
kemudian hari oleh generasi berikutnya, kecuali ia tertulis. Inilah keunggulan
dan signifikansi tulisan, dan pentingnya mengembangkan budaya literasi.
Terutama bagi pendakwah, pelajar Islam, santri dan tentu para kyai-kyai, baik
kyai muda maupun kyai sepuh. Tanpa
tulisan tak mungkin dikenali ide dan pemikiran, bahkan takkan bisa diingat
dalam sejarah.
Berapa
banyak peradaban yang sanggup dibaca, ditafsiri dan diteliti karena
catatan-catatan mereka. Baik dalam bentuk prasasti, babad, piagam dan lainnya.
Lebih jauh, peradaban-peradaban itu, mampu mengatakan dan menampilkan kehebatan
mereka, berkat apa yang mereka tulis. Karib kita dengar, bahwa sejarah selalu
ditulis oleh pemenang. Dan sebenar-benarnya pemenang adalah, mereka yang mau
menulis sejarahnya.
Maka, jika
pesantren, pendakwah, santri dan pelajar Islam tidak segera menulis, tak usah
ragu jika sejarah tentang keunggulan mereka akan hilang ditelan arus zaman.
Bukan pula tidak mungkin pesantren akan dianggap abu peradaban, karena tak
mampu “mengisahkan” bagaimana tingginya budaya pesantren. Budaya menulis yang
lemah harus segera diatasi, problem literasi yang ada di pesantren, harus
segera diurai, dan kemalasan santri untuk menulis, harus segera dilawan dengan
perjuangan nyata.
Menanamkan
budaya literasi di kalangan santri, adalah pekerjaan rumah yang harus segera
digarap pesantren. Memang tidak mudah, namun juga bukan berarti tidak mungkin.
Diawali dengan membentuk klub-klub penulisan, sekolah-sekolah penulis dan
kelas-kelas jurnalistik, maka sedikit banyak para santri akan tergugah untuk
segera memperbaiki kondisi mereka di bidang literasi.
Menengok
masa lalu, kita akan mendapati bagaimana sarjana-sarjana Islam mampu menjadi
penulis yang handal, sehingga hari ini kita dapat menikmati berbagai karya
mereka. Ulama-ulama nusantara sudah memberi contoh yang nyata pula. Jika melihat
para ahli hadits dari generasi awal, sampai para ahli hukum Islam atau fuqoha’
mereka telah memberi contoh nyata bahwa menulis adalah aktifitas yang harus
dilakukan dengan segenap jiwa. Menulis dan membaca adalah sebuah aktifitas yang
lekat dengan keseharian mereka.
Para
ulama-ulama generasi awal inilah yang “menyelamatkan” ajaran Islam dengan cara
membukukan hadits, atau mengulas berbagai hukum Islam dalam karya-karya
monumental mereka. Catat saja Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii sampai
Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka adalah orang-orang yang bukan hanya peduli, namun
mencurahkan segala daya upaya, kemampuan dan waktunya untuk menulis dan
menjabarkan berbagai macam hukum, sudut pandang dan ajaran-ajaran Islam.
Kemudian juga harus mengingati bagaimana Imam Bukhari, Imam Muslim dan beberapa
ahli hadits lainnya menghabiskan waktunya dengan meneliti, membaca, mencari dan
membukukan hadits.
Jauh
setelah itu, kemudian muncul ulama-ulama yang juga menekuni budaya literasi,
semisal Ibnu Hajar al Asqolaniy yang memberi komentar atas kitab Shohih Bukhori
karya Imam Bukhori dalam karyanya Fathul Bari. Atau bagaimana kemudian Imam
Nawawi menjadi ulama besar denga menyusun kembali, mengkoreksi dan meneliti
kembali hukum-hukum Islam dalam madzhab Syafii. Tentu ulama-ulama lain pun tak
sedikit jumlahnya. Namun mereka juga dikenal, sampai hari ini berkat budaya
literasi yang mereka tekuni.
Ibnu Hajar
al Asqolani misalnya, mempunyai karya yang tidak sedikit. Ahli hadits yang
bernama asli Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin
Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar ini mempunyai banyak
karya yang bisa kita nikmati sampai sekarang. Mulai dari kitab Fathul Bari,
yang memberi komentar atas kitab Shohih Bukhori. Atau Bulughul Marom yang akrab
di telinga kita. Ibnu Hajar al Asqolani, begitu beliau dikenal karena kakek
moyangnya berasal dari Ashkelon, wilayah Palestina. Menurut imam as Sakhawi,
murid utama dari Ibnu Hajar, Ibnu Hajar mempunyai karya tak kurang 270 buah
kitab.
Diantara kitab yang bisa kita nikmati
selain Bulughul Marom dan Fathul Bari, ada ad Durar al Kaminah, Tahdzib al
Tahdzib, al Ishabah fii Tamyiz al Shahabah, Nukhbatul Fikr, al Isti’dad
liyaumil Mi’ad. Dikenal sebagai seorang ahli hadits yang sangat besar
pengaruhnya, karya Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari diyakini sebagai kitab
komentar (syarh) dan penjelas atas
Shohih Bukhori yang paling otoritatif dan paling baik dan detail yang pernah
dikarang. Dan kita tentu sadar bagaimana penghargaan harus diberikan kepada
beliau atas susah payahnya beliau membuat sekian kitab, yang dapat kita ambil
manfaatnya hingga hari ini. Dan inilah salah satu kelebihan budaya literasi.
Ada juga ulama besar, yang diyakini
merupakan seorang ulama besar paling otoritatif dalam madzhab Syafii. Beliau
adalah Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria
Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. Lahir di Nawa dekat dengan
Damaskus, menjadikan dua tempat itu dinisbatkan pada penamaan beliau. Karangan
beliau pun tak sedikit dan sering dikaji di pesantren-pesantren hingga hari
ini.
Sebut saja kitab al Arba’in al Nawawi,
kumpulan 42 hadits yang sering dikaji di pesantren. Riyadhus Sholihin, al
Minhaj, yang merupakan kitab komentar (syarh)
atas Shohih Muslim. Kitab lain seperti Minhajut Tholibin, Roudhotuth Tholibin,
al Adzkar, Bustanul Arifin, at Tibyan, dan tentu al Majmu’ Syarh Muhadzab
adalah karya-karya beliau yang tak kalah fenomenal. Karangan-karangan ini,
bukan saja menjadikan nama beliau harum, namun senyatanya adalah upaya yang
riil dalam menegakkan agama Islam. Beliau telah bersusah payah, menghabiskan
waktu dan pikiran untuk mewariskan kepada kita, karya-karya yang menjadikan
kita bisa memahami agama ini dengan lebih baik.
Atau yang kita kenal dekat dan sering
disebut, Imam Syafi’i. Seorang imam madzhab yang terkenal dan paling banyak
dianut di Indonesia. Imam yang masih tergolong dalam Bani Muthallib ini bernama
asli, Abu Abdullah Muhammad bin Idris
asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi. Lahir pada tahun 767 Masehi atau 150
Hijriyah. Beliau adalah murid dari seorang imam besar pula, Imam Malik. Beliau
juga berguru pada murid-murid Imam Abu Hanifah di Irak. Imam Syafii lahir pada
tahu dimana Imam Abu Hanifah wafat.
Karya Imam
Syafii yang berjudul Ar Risalah, merupakan awal mula munculnya ilmu ushul fiqih
di tahun-tahun berikutnya. Ada pula Al Umm, yang memuat pendapat-pendapatnya
kemudian. Sementara disisi lain, guru tercintanya Imam Malik misalnya, yang
bernama asli Malik bin Anas
bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani,
juga seorang yang produktif. Pencetus madzhab Maliki itu mempunyai kitab hadits
yang hebat, Al Muwattho’.
Imam Malik
berguru pada banyak tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Saking hebatnya Imam Malik,
tidak jarang ulama yang semasa dan sebaya beliau, mengambil hadits dan
meriwayatkan dari beliau. Seperti, Sufyan al Tsauri, Qutaibah Abi Mush’ab,
Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’d dan lainnya. Murid-muridnya sangat banyak,
Ibnu Mubarok, Al Qaththan, dan tentu Ibnu Idris atau kita kenal sebagai Imam
Syafii, dan banyak murid-murid beliau yang menjadi ulama luar biasa. Namun,
Imam Maliki mewariskan al Muwaththa’ hasil karya beliau yang abadi hingga kini.
Masalah bukan berkurang,
seiring perkembangan zaman, masalah keagamaan pun demikian. Persoalan yang
sudah diselesaikan pada masa lampau, bisa jadi menemui perubahan pada masa
kini, hingga harus dijawab dengan kaidah kekinian. Hal itulah kenapa budaya
literasi harus dikembangkan, karena umat Islam butuh jawaban atas persoalan
yang melilit mereka di hari ini dan kemudian. Banyak persoalan mutakhir yang
harus disikapi oleh santri, kyai dan terutama pesantren.
Ulama nusantara
juga bukan tidak memulai. Dari nusantara, beberapa tahun silam, sudah dikenal banyak
nama ulama nusantara yang mewarnai dunia literasi, bahkan di tingkat dunia
keislaman internasional. Sebut saja KH. Mahfudz Termas, KH. Nawawi Banten dan
sebagainya. Karangan mereka bukan hanya dikaji oleh orang Indonesia, bahkan
beberapa dikaji di universitas-universitas di luar negeri.
Al-Imam al-'Allamah al-Faqih al-Ushuli
al-Muhaddits al-Muqri Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmasi
al-Jawi al-Makki asy-Syafi'i, atau lebih dikenal sebagai Syaikh Mahfudz Termas
merupakan seorang ulama yang terpandang. Lahir di Termas pada tahun 1868.
Merupakan murid dari Syaikh Abu Bakar Syatha. Diantara guru-gurunya adalah Kyai
Sholeh Darat dari Semarang dan beberapa ulama terkenal di masanya.
Murid-murid beliau diantaranya adalah KH. Hasyim
Asy’ari yang kelak mendirikan Nahdlatul Ulama. KH. Wahab Hasbullah, Syaikh
Tubagus Ahmad Bakri as Samfuri, Umar Bajunaid, Muhammad Baqir al Jawi, Syaikh
Ihsan Jampes, KH. Ma’shum Jampes, adalah beberapa deretan murid-murid beliau
yang terkenal. Namun keberhasilan beliau dalam mendidik murid-muridnya juga tak
menjadikan beliau lupa akan budaya menulis. Budaya yang mampu menjaga
pemikiran-pemikiran beliau berkibar hingga hari ini.
Deretan kitab karangan beliau bisa disebutkan,
misalnya Is'aful Mathali' bi syarhi al-Badru al-Lami' Nazhmu Jam'u al-Jawami, Insyirah al-Fu`ad fi Qira`ati al-Imam Hamzah
Riwayatai Khalaf wa Khallad, Al-Badru al-Munir fi Qira`ati al-Imam Ibnu Katsir,
Bughyatu al-Adzkiya fi al-Bahtsi 'an Karamati al-Auliya Radhiyallahu 'Anhum,
Ta'mimu al-Manafi' bi Qira`ati al-Imam Nafi, Tanwiru ash-Shadr fi Qira`ati
al-Imam Abi 'Amr, Tahyi`atu al-Fikar bi Syarhi Alfiyati as-Siyar, Tsulatsiyat
al-Bukhari, Al-Khal'ah al-Fikriyyah Syarh al-Minhah al-Khairiyyah, As-Saqayah
al-Mardhiyyah fi Asami Kutub Ashabina asy-Syafi'iyyah.
Kitab lain
karangan beliau adalah Inayatu al-Muftaqir fima yata'allaqu bi Sayyidina
al-Khidir 'Alaihis Salam, Ghaniyatu ath-Thalabah bi Syarhi Nazhmi ath-Thayyibah
fi al-Qira'at al-'Asyriyyah, Fathul Khabir bi Syari Miftah as-Siyar, Al-Fawa`id
at-Tarmasiyyah fi Asanid al-Qira`at al-'Asyriyyah, Kifayatu al-Mustafid fima
'Alaa min al-Asani, Al-Minhah al-Khairiyyah fi Arba'in Haditsan min Ahaditsi
Khairi al-Bariyyah, Manhaj Dzawi an-Nazhar fi Syarhi Manzhumati 'ilmi al-Atsar,
Mauhibatu Dzi al-Fadhl Hasyiyah 'ala Syarh Mukhtashar Bafadhal, Nail al-Ma`mul
bi Hasyiyati Ghayatu al-Wushul fi 'ilmi al-Ushul.
Sebuah
pencapaian yang luar biasa. Segala fan ilmu agama, berusaha beliau dedahkan
dalam berbagai karangan beliau. Bukan hanya itu, kegemaran menulis itu juga
menjadi sebuah teladan yang kelak diikuti oleh para murid-muridnya. Banyak
murid beliau yang akhirnya produktif menulis. Semisal KH. Hasyim Asy’ari, KH.
Wahab Hasbullah dan lainnya.
Ulama
nusantara yang juga diakui secara internasional karya dan kemampuannya adalah
Syaikh Nawawi al Bantani. Syaikh Nawawi, secara nasab bersambung pada Syarif
Hidayatullah, atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Kyai Umar, ayahanda
beliau adalah keturunan dari ulama bangsawan besar. Silsilah beliau juga
bersambung pada Maulana Hasanuddin atau Sultan Hasanuddin, raja pertama
Kesultanan Banten. Jika dirunut, Kyai Nawawi Banten masih merupakanketurunan
kedua belas dari Sunan Gunung Jati.
Semula Kyai
Nawawi belajar pada ayahandanya, KH. Umar bin Arabi. Setelah cukup dewasa,
beliau menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di tanah Hijaz. Guru-gurunya
ketika itu diantaranya Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh
Nahrawi. Kemudian beliau pulang ke tanah air.
Ketika itu,
situasi politik yang dibawah kolonialisme Belanda tidak menguntungkan beliau.
Sebagai seorang pemuda dan ulama, beliau turut serta menggalang kekuatan
melawan kolonialisme. Namun, pada saat yang sama perlawanan Pangeran Diponegoro
padam, akibat tertangkapnya sang pemimpin. Kyai Nawawi yang melihat keadaan
sedang tidak menguntungkan berniat meninggalkan tanah air, untuk kembali ke
tanah hijaz. Ini karena beliau telah terindikasi sebagai penyokong gerakan
perlawanan Pangeran Diponegoro.
Di tanah
hijaz, beliau kembali menekuni dunia keilmuan. Adalah Syaikh Muhammad Khatib
Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni, Syaikh Abdul Hamid al
Dagastani, yang merupakan guru-guru beliau yang merupakan ulama-ulama yang luar
biasa. Syaikh Muhammad Khatib Sambas, merupakan pembimbing spiritual utama
beliau. Syaikh Khatib yang merupakan seorang ulama terkemuka yang berhasil
menggabungkan tarekat Qadiriyyah dan Naqsyabandiyah, memberikan Kyai Nawawi
ijazah yang kelak diturunkan pada murid-muridnya, seperti Kyai Mahfudz Termas
dan Kyai Hasyim Asy’ari, seorang kyai yang kelak mempunyai organisasi terbesar
di dunia.
Murid Kyai
Nawawi pun menjadi kyai-kyai pilih tanding. Diantaranya adalah Kyai Kholil
Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, KH. Asyhari Bawean, Kyai Asnawi Banten, atau
KH. Dawud dari Perak Malaysia. Mereka menjadi kyai-kyai besar yang kelak
menyebarkan pemikiran-pemikiran gurunya, Kyai Nawawi, ke seluruh antero alam.
Karena disamping Kyai Nawawi Banten mengajar di Masjidil Haram, Kyai Nawawi
juga mengarang banyak kitab.
Dalam fikih,
Kyai Nawawi mengarang kitab-kitab al Aqdul Tsamin, Fathul Mujib, Kasyifatus
Saja, Nihayatuz Zain, Sullam al Munajah, serta Uqudul Lujain. Dalam bidang
Tauhdi, beliau mengarang kitab bahjatul Wasail, Fathul Majid, Nurud Dholam,
Qami’ut Thugyan, Qathrul Gaits. Sedangkan dalam ilmu tasawwuf, karya beliau
diantaranya adalah Fathus Shomad, Maroqiyul Ubudiyah, Misbahud Dholam, dan
sebagainya.
Dalam ilmu
hadits karya beliau adalah Tahqihul Qoul, sementara dalam sejarah ada madarijus
Su’ud, Targhibul Musytaqin, , Bughyatul Awwam. Dalam kaidah bahasa Arab, beliau
juga menulis Fathul Ghafir, al Fushus al Yaquthiyah, Lubabul Bayan, al Riyadhul
Qauliyah. Begitu banyaknya karya beliau, menjadikan kita melek, bagaimana
namanya sangat dihormati hingga kini. Kaum pesantren juga mafhum, bahwaw setiap
memulai mengkaji kitab-kitab karangan seseorang, kaum pesantren selalu memulai
dengan mengirimkan hadiah fatihah. Kita tentu akan sadar, berapa banyak hadiah
fatihah yang beliau dapat dalam sehari. Atau berapa banyak orang yang hidupnya
berubah karena diterangi ilmu dari karya-karya beliau Kyai Nawawi.
Diantara
ulama nusantara, juga terdapat nama yang selalu disebut dengan mulia. Hadhrotus
Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Seperti guru-gurunya,
Kyai Hasyim, begitu beliau kerap dipanggil adalah seorang ulama yang luar
biasa. Selain sebagai ulama, yang mengajar di pesantren, Kyai Hasyim juga
merupakan sosok ulama pejuang. Gelar pahlawan nasional pun disematkan atas
jasa-jasanya. Tanpa beliau, takkan ada peristiwa heroik 10 Nopember 1945.
Seruan dari resolusi jihad, yang merupakan hasil iktiyar dan ijtihad Kyai
Hasyim-lah yang menyulut peristiwa besar yang bermakna bagi kelestarian
kemerdekaan bangsa Indonesia tersebut.
Kyai Hasyim,
adalah kakek dari presiden Indonesia keempat, KH. Abdurrahman Wahid. Kyai yang
fenomenal, karena kecakapan dan tradisi keilmuannya yang luar biasa inilah,
beliau digelari Hadhrotus Syaikh, sebagai gelar kehormatan atas prestasi
akademiknya. Kawan akrab dari Muhammad Darwisy, atau kelak lebih dikenal dengan
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah ini juga seorang penulis handal.
Beberapa tulisannya kerap menjadi bantahan telak dan menjadi penjelasan yang
memuaskan bagi lawan maupun kawan debatnya. Kemampuannya yang sangat luar biasa
dalam pemahaman hadits, disertai ijazah dan sanad keilmuan yang diakui,
menjadikan banyak kyai-kyai sepuh sekalipun kerap mengambil ilmu dan sanad
dalam pengajian yang diampunya.
Karya-karya beliau cenderung menghujam, langsung kepada pokok pembahasan
dan dengan dalil yang tak terbantahkan. Diantara kitab karangan beliau adalah, Risalah
Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya
Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah, Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin,
kitab ini bercerita tentang keutamaan dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Kitab
lainnya adalah, Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi yang
menjelaskan etika-etika akademik antara pengajar dan siswa.
Kitab beliau yang lain adalah Al-Tibyan,
fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan, kemudian Muqaddimah
al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Kitab ini adalah penjelasan
yang paling otoritatif tentang apa dan bagaimana Nahdlatul Ulama itu. Selain
itu, Qanun Asasi, begitu kitab ini sering disebut adalah kitab yang menjadi
rujukan dan pegangan para aktifis NU dikemudian hari. Risalah fi Ta’kid
al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah adalah kitab beliau menegaskan
tentang penting dan perlunya berislam dengan merujuk pada madzhab-madzhab yang
mu’tabar. Mawaidz, adalah buku pegangan bagi pelaku dakwah di masyarakat. Buku
ini bahkan pernah diterjemahkan Buya Hamka untuk majalah Panji Masyarakat.
Tidak berhenti disana, kitab Arba’ina
Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Adalah kitab yang
berisi 40 hadits sebagai penjelas dan dasar gerak Nahdlatul Ulama. Sedangkan Al-Tanbihat
al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini mengetengahkan
hal-hal penting dalam penyelenggaraaan perayaan maulid. Suatu tradisi yang
menjadi tengara warga Nahdliyyin.
Murid sekaligus teman dan penerus
kepemimpinan Kyai Hasyim di Nahdlatul Ulama adalah KH. Wahab Hasbullah, atau
Kyai Wahab. Kyai satu ini terbilang nyentrik, ahli debat, ahli politik, namun
pemahaman keagamaannya juga komplit. Tak jarang beliau melayani debat, diskusi
bahkan dalam tulisan-tulisan di media massa. Dalam beberapa waktu, bahkan
beliau berdebat sengit dalam tulisan dengan orang-orang yang berseberangan
dengan Nahdlatul Ulama. Baik itu Masyumi, yang kerap menggerogoti dan mem-bully
tradisi-tradisi dan jalan politik NU, sampai kaum komunis yang tergabung maupun
yang tak tergabung dalam PKI.
Di hari-hari akhir, kitab juga bisa
melihat beberapa kyai, ulama yang akrab dengan dunia literasi. Sebut saja Kyai
Abu Fadhol, asal Senori. Seorang kyai yang “hanya” mengenyam pendidikan agama
di nusantara, tanpa pernah ke tanah hijaz ini pun, secara keilmuan diakui luar
biasa. Kyai Abu Fadhol, mempunyai beberapa karya yang bahkan dipelajari hingga
sekarang. Beliau mengarang kitab-kitab berbahasa Arab dengan sangat sempurna.
Ayahandanya Kyai Abdus Syakur, adalah kawan karib dari Kyai Hasyim Asy’ari.
Beliau adalah satu diantara murid kyai tersohor ketika itu, Kyai Faqih
Maskumambang. Kyai Faqih sendiri adalah seorang ulama yang mengarang kitab al
Nushush al Islamiyah fii Raddi ‘ala Madzhab al Wahabiyah. Sebuah kitab yang
mengupas habis kesalahan pikir kaum Wahabi.
Kyai Fadhol Senori, sebutan akrab beliau
merupakan salah satu kyai, ulama yang produktif dalam menulis. Kitab Ahla Musamarah fi Hikayat Auliya’ ‘Asyrah karangan beliau, sering
menjadi rujukan dalam mempelajari sejarah masuknya Islam di Indonesia. Kitab
ini menceritakan tentang sembilan wali, atau karib disebut sebagai Walisongo
plus satu wali lainnya, yakni Syaikh Siti Jenar. Kitab lain Kifayatut Thullab, adalah
kitab yang merangkum kaidah jurisprdensi islam atau dikenal sebagai ilmu ushul
fiqh. Kitab ini menghimpun intisari kaidah jurisprudensi dari kitab karangan
Syaikhul Islam Jalaluddin as Suyuthi yang berjudul, al Asybah wa Nadhoir.
Sebagai ulama ahlussunnah wal jama’ah
terkemuka di Indonesia, Kyai Abu Fadhol juga turut menyumbang pemikiran tatkala
beberapa tradisi peribadatan yang ada di Indonesia diusik. Tarawih, misalnya.
Beberapa orang yang datang kemudian kerap menyebut tarawih 20 rakaat yang dikerjakan
oleh para ahlussunnah wal jamaah di Indonesia sebagai amalan yang salah dan
bid’ah. Maka beliau menyusun kitab Kasyfut Tabarih fii Sholatit Tarawih.
Ulama-ulama lain yang produktif di
Indonesia diantaranya juga adalah Kyai Sholeh Darat, Kyai Bisri Musthofa. Nama
terakhir adalah ayahanda dari Kyai Musthofa Bisri yang sangat produktif, kitab
karangannya sangatlah banyak. Diantaranya adalah Tafsir al Ibriz, sebuah karya
monumental. Tafsir al Qur’an 30 juz dalam bahasa Jawa. Putra beliau, Kyai
Musthofa Bisri adalah seorang kyai yang amatlah terkenal. Gus Mus, begitu
panggilannya justru dikenal sebagai sastrawan, budayawan, selain sebagai sosok
kyai yang nyentrik.
Karangan Gus Mus pun tidak sedikit
jumlahnya, selain lukisan dan puisi-puisi beliau. Dasar-dasar Islam, Ensklopedi
Ijma' yang merupakan sebuah terjemah yang dikerjakan keroyokan dengan
Kyai Sahal Mahfudz. Nyamuk-Nyamuk
Perkasa dan Awas, Manusia. Kimiya-us Sa'aadah, merupakan kitab
terjemahan dari kitab berjudul sama karangan dari al Imam al Ghozali. Syair Asmaul Husna sebuah syair
dalam bahasa Jawa. Ohoi, Kumpulan
Puisi Balsem, Tadarus, Antalogi
Puisi, Mutiara-mutiara Benjol ,
Rubaiyat Angin dan Rumput, Pahlawan dan Tikus.
Sebuah buku
juga ditulis tentang Kyai Hasyim Asy’ari, Mahakiai Hasyim Asy'ari. Kitab ini
bisa jadi sangat “manusiawi” karena Kyai Bisri Musthofa ayahanda beliau
berkawan akrab dengan Kyai Hasyim Asy’ari. Metode Tasawuf Al-Ghazali, Saleh Ritual Saleh Sosial, Pesan Islam Sehari-hari , serta sebagai kyai beliau juga menulis Fikih Keseharian
yang diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang.
Kyai lain, semisal Kyai Sahal Mahfudz
juga tak kalah produktif. Kyai yang sempat memegang jabatan tertinggi di
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini kealimannya diakui oleh ulama nusantara bahkan
dunia. Karyanya , Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayatil Wushul merupakan kitab penjelas atas
kitab Ghayatul Wushul, yang kitab ini sendiri merupakan komentar atas kitab
Lubbul Ushul. Dua kitab ini, baik Lubbul Ushul maupun Ghayatul Wushul adalah
kitab karangan Syaikh Zakariya al Anshori. Merupakan kitab jurisprudensi Islam
atau ushul fiqh. Kitab ats-Tsamarat al-Hajayniyah yang mempermudah
pelajar Islam dalam memahami beberapa istilah dalam kutubut turats, kitab-kitab
babon dalam beberapa fan ilmu keislaman.
Ada juga
kitab al-Fawa’id al-Najibah yang menjadi syarah atau komentar atas kitab
karangan beliau sendiri yakni, al-Faraid al-Ajibah fi Bayan I’rab
al-Kalimat al-Gharibah. Kitab orisinil karangan beliau ini berkaitan dalam tata
bahasa dan gramatikal bahasa Arab. Kitab al-Bayanul
Malma’ an Alfadhil Luma’, karya beliau yang merupakan komentar atas al Luma’,
karya Abu Ishaq Ibrahim al-Syairazi.
Kitab karangan beliau lainnya adalah Wadajayn ‘inda Munadharat
Ulama Hajayn fi Ru’yatil Mabi’ bi-Zujajil ‘Aynayn. Membahas tentang perdebatan
ulama atas keabsahan penglihatan menggunakan kacamata atas barang dagangan.
Adapula kitab Faydlul Hija ala Nayl al-Raja syarh dari Safinatun Naja, kitab
Anwarul Bashair syarh atas al Asybah wa Nadhoir. Dan beberapa kumpulan artikel
serta karangan berbahasa Indonesia dan Jawa pegon.
Begitu pentingnya tradisi literasi bagi
santri. Contoh dan ceritera diatas hanya sebuah pengungkit semangat, bahwa
selayaknya santri pandai menulis dan gemar membaca. Karena dengan meluasnya
Islam, berkembangnya teknologi, tak pelak banyak kaum muslim yang butuh
mendapatkan asupan pengetahuan keagamaan dari sumber yang paling otoritatif, yakni
pesantren.
Jika saja kaum pesantren, santri, kyai
dan para pejuang pesantren sudah abai terhadap budaya literasi, maka suatu saat
orang harus belajar dari sumber yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Hal
ini, tentu tidak diinginkan, karena dengan demikian, bisa saja Islam berkembang
menuju arah yang salah. Radikalisme, kemiskinan, komunisme, liberalisme, kapitalisme,
tentu tak bisa diimbangi hanya dengan berkacak pinggang. Karena mereka tentu
tak menyerang dengan senjata lagi. Mereka menyerang melalui pemikiran, dan cara
tepat untuk melawannya adalah dengan pemikiran. Cara paling tepat
mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah, Islam yang benar, yang otoritatif
hari ini, hanya dengan menguasai media. Bagaiaman kita bisa menguasai media,
jika membaca dan menulis saja kita tak biasa?.
Wallahu A’lam.
Pernah dimuat dalam majalah Al Fikrah, edisi September 2017.
Gambar ilustrasi, taken from: http://saraung.com/membayangkan-gerakan-literasi-di-pangkep/