top social

Jumat, 29 Desember 2017

Peran Pesantren Dalam Merawat Budaya Literasi

Literasi, adalah kemampuan membaca dan menulis. Begitu kira-kira mudahnya memahami apa itu literasi. Menulis, erat kaitannya dengan membaca. Tanpa bacaan yang cukup, kemampuan menulis  hanya akan menjadi jauh panggang dari api. Budaya literasi adalah budaya adiluhung manusia. Budaya ini mengikuti, menyebabkan, mencetak dan mencatat bagaimana perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia. Jika kita bersepakat, selain bahasa ujar, tulisannlah yang membuat pesatnya perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia.

Dalam tulisan, terkandung beberapa penanda yang memang bisa berimplikasi perbedaan penafsiran. Itulah kenapa bahasa tulisan, sering memicu konflik penafsiran. Namun senyatanya, bahasa ujar pun tak luput dari kesalahan serupa. Masalahnya adalah, banyak dari manusia yang mengembangkan bahasa ujar seumur hidupnya, ia terus berbicara, namun tak pernah menulis.

Apa akibatnya?. Akibatnya jelas ada dan signifikan. Sebuah pemikiran, ide, hanya mungkin awet, lestari dan terus ditafsirkan, baik dengan salah atau benar, ketika ide itu mampu dibaca pada kemudian hari. Dan bahasa ujar, tak mungkin dibaca di kemudian hari oleh generasi berikutnya, kecuali ia tertulis. Inilah keunggulan dan signifikansi tulisan, dan pentingnya mengembangkan budaya literasi. Terutama bagi pendakwah, pelajar Islam, santri dan tentu para kyai-kyai, baik kyai muda maupun kyai sepuh. Tanpa tulisan tak mungkin dikenali ide dan pemikiran, bahkan takkan bisa diingat dalam sejarah.

Berapa banyak peradaban yang sanggup dibaca, ditafsiri dan diteliti karena catatan-catatan mereka. Baik dalam bentuk prasasti, babad, piagam dan lainnya. Lebih jauh, peradaban-peradaban itu, mampu mengatakan dan menampilkan kehebatan mereka, berkat apa yang mereka tulis. Karib kita dengar, bahwa sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Dan sebenar-benarnya pemenang adalah, mereka yang mau menulis sejarahnya.

Maka, jika pesantren, pendakwah, santri dan pelajar Islam tidak segera menulis, tak usah ragu jika sejarah tentang keunggulan mereka akan hilang ditelan arus zaman. Bukan pula tidak mungkin pesantren akan dianggap abu peradaban, karena tak mampu “mengisahkan” bagaimana tingginya budaya pesantren. Budaya menulis yang lemah harus segera diatasi, problem literasi yang ada di pesantren, harus segera diurai, dan kemalasan santri untuk menulis, harus segera dilawan dengan perjuangan nyata.

Menanamkan budaya literasi di kalangan santri, adalah pekerjaan rumah yang harus segera digarap pesantren. Memang tidak mudah, namun juga bukan berarti tidak mungkin. Diawali dengan membentuk klub-klub penulisan, sekolah-sekolah penulis dan kelas-kelas jurnalistik, maka sedikit banyak para santri akan tergugah untuk segera memperbaiki kondisi mereka di bidang literasi.

Menengok masa lalu, kita akan mendapati bagaimana sarjana-sarjana Islam mampu menjadi penulis yang handal, sehingga hari ini kita dapat menikmati berbagai karya mereka. Ulama-ulama nusantara sudah memberi contoh yang nyata pula. Jika melihat para ahli hadits dari generasi awal, sampai para ahli hukum Islam atau fuqoha’ mereka telah memberi contoh nyata bahwa menulis adalah aktifitas yang harus dilakukan dengan segenap jiwa. Menulis dan membaca adalah sebuah aktifitas yang lekat dengan keseharian mereka.

Para ulama-ulama generasi awal inilah yang “menyelamatkan” ajaran Islam dengan cara membukukan hadits, atau mengulas berbagai hukum Islam dalam karya-karya monumental mereka. Catat saja Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii sampai Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka adalah orang-orang yang bukan hanya peduli, namun mencurahkan segala daya upaya, kemampuan dan waktunya untuk menulis dan menjabarkan berbagai macam hukum, sudut pandang dan ajaran-ajaran Islam. Kemudian juga harus mengingati bagaimana Imam Bukhari, Imam Muslim dan beberapa ahli hadits lainnya menghabiskan waktunya dengan meneliti, membaca, mencari dan membukukan hadits.

Jauh setelah itu, kemudian muncul ulama-ulama yang juga menekuni budaya literasi, semisal Ibnu Hajar al Asqolaniy yang memberi komentar atas kitab Shohih Bukhori karya Imam Bukhori dalam karyanya Fathul Bari. Atau bagaimana kemudian Imam Nawawi menjadi ulama besar denga menyusun kembali, mengkoreksi dan meneliti kembali hukum-hukum Islam dalam madzhab Syafii. Tentu ulama-ulama lain pun tak sedikit jumlahnya. Namun mereka juga dikenal, sampai hari ini berkat budaya literasi yang mereka tekuni.

Ibnu Hajar al Asqolani misalnya, mempunyai karya yang tidak sedikit. Ahli hadits yang bernama asli Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar ini mempunyai banyak karya yang bisa kita nikmati sampai sekarang. Mulai dari kitab Fathul Bari, yang memberi komentar atas kitab Shohih Bukhori. Atau Bulughul Marom yang akrab di telinga kita. Ibnu Hajar al Asqolani, begitu beliau dikenal karena kakek moyangnya berasal dari Ashkelon, wilayah Palestina. Menurut imam as Sakhawi, murid utama dari Ibnu Hajar, Ibnu Hajar mempunyai karya tak kurang 270 buah kitab.

Diantara kitab yang bisa kita nikmati selain Bulughul Marom dan Fathul Bari, ada ad Durar al Kaminah, Tahdzib al Tahdzib, al Ishabah fii Tamyiz al Shahabah, Nukhbatul Fikr, al Isti’dad liyaumil Mi’ad. Dikenal sebagai seorang ahli hadits yang sangat besar pengaruhnya, karya Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari diyakini sebagai kitab komentar (syarh) dan penjelas atas Shohih Bukhori yang paling otoritatif dan paling baik dan detail yang pernah dikarang. Dan kita tentu sadar bagaimana penghargaan harus diberikan kepada beliau atas susah payahnya beliau membuat sekian kitab, yang dapat kita ambil manfaatnya hingga hari ini. Dan inilah salah satu kelebihan budaya literasi.

Ada juga ulama besar, yang diyakini merupakan seorang ulama besar paling otoritatif dalam madzhab Syafii. Beliau adalah Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. Lahir di Nawa dekat dengan Damaskus, menjadikan dua tempat itu dinisbatkan pada penamaan beliau. Karangan beliau pun tak sedikit dan sering dikaji di pesantren-pesantren hingga hari ini.

Sebut saja kitab al Arba’in al Nawawi, kumpulan 42 hadits yang sering dikaji di pesantren. Riyadhus Sholihin, al Minhaj, yang merupakan kitab komentar (syarh) atas Shohih Muslim. Kitab lain seperti Minhajut Tholibin, Roudhotuth Tholibin, al Adzkar, Bustanul Arifin, at Tibyan, dan tentu al Majmu’ Syarh Muhadzab adalah karya-karya beliau yang tak kalah fenomenal. Karangan-karangan ini, bukan saja menjadikan nama beliau harum, namun senyatanya adalah upaya yang riil dalam menegakkan agama Islam. Beliau telah bersusah payah, menghabiskan waktu dan pikiran untuk mewariskan kepada kita, karya-karya yang menjadikan kita bisa memahami agama ini dengan lebih baik.

Atau yang kita kenal dekat dan sering disebut, Imam Syafi’i. Seorang imam madzhab yang terkenal dan paling banyak dianut di Indonesia. Imam yang masih tergolong dalam Bani Muthallib ini bernama asli, Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi. Lahir pada tahun 767 Masehi atau 150 Hijriyah. Beliau adalah murid dari seorang imam besar pula, Imam Malik. Beliau juga berguru pada murid-murid Imam Abu Hanifah di Irak. Imam Syafii lahir pada tahu dimana Imam Abu Hanifah wafat.

Karya Imam Syafii yang berjudul Ar Risalah, merupakan awal mula munculnya ilmu ushul fiqih di tahun-tahun berikutnya. Ada pula Al Umm, yang memuat pendapat-pendapatnya kemudian. Sementara disisi lain, guru tercintanya Imam Malik misalnya, yang bernama asli Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani, juga seorang yang produktif. Pencetus madzhab Maliki itu mempunyai kitab hadits yang hebat, Al Muwattho’.

Imam Malik berguru pada banyak tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Saking hebatnya Imam Malik, tidak jarang ulama yang semasa dan sebaya beliau, mengambil hadits dan meriwayatkan dari beliau. Seperti, Sufyan al Tsauri, Qutaibah Abi Mush’ab, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’d dan lainnya. Murid-muridnya sangat banyak, Ibnu Mubarok, Al Qaththan, dan tentu Ibnu Idris atau kita kenal sebagai Imam Syafii, dan banyak murid-murid beliau yang menjadi ulama luar biasa. Namun, Imam Maliki mewariskan al Muwaththa’ hasil karya beliau yang abadi hingga kini.

Masalah bukan berkurang, seiring perkembangan zaman, masalah keagamaan pun demikian. Persoalan yang sudah diselesaikan pada masa lampau, bisa jadi menemui perubahan pada masa kini, hingga harus dijawab dengan kaidah kekinian. Hal itulah kenapa budaya literasi harus dikembangkan, karena umat Islam butuh jawaban atas persoalan yang melilit mereka di hari ini dan kemudian. Banyak persoalan mutakhir yang harus disikapi oleh santri, kyai dan terutama pesantren.

Ulama nusantara juga bukan tidak memulai. Dari nusantara, beberapa tahun silam, sudah dikenal banyak nama ulama nusantara yang mewarnai dunia literasi, bahkan di tingkat dunia keislaman internasional. Sebut saja KH. Mahfudz Termas, KH. Nawawi Banten dan sebagainya. Karangan mereka bukan hanya dikaji oleh orang Indonesia, bahkan beberapa dikaji di universitas-universitas di luar negeri.

Al-Imam al-'Allamah al-Faqih al-Ushuli al-Muhaddits al-Muqri Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmasi al-Jawi al-Makki asy-Syafi'i, atau lebih dikenal sebagai Syaikh Mahfudz Termas merupakan seorang ulama yang terpandang. Lahir di Termas pada tahun 1868. Merupakan murid dari Syaikh Abu Bakar Syatha. Diantara guru-gurunya adalah Kyai Sholeh Darat dari Semarang dan beberapa ulama terkenal di masanya.

Murid-murid beliau diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari yang kelak mendirikan Nahdlatul Ulama. KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri as Samfuri, Umar Bajunaid, Muhammad Baqir al Jawi, Syaikh Ihsan Jampes, KH. Ma’shum Jampes, adalah beberapa deretan murid-murid beliau yang terkenal. Namun keberhasilan beliau dalam mendidik murid-muridnya juga tak menjadikan beliau lupa akan budaya menulis. Budaya yang mampu menjaga pemikiran-pemikiran beliau berkibar hingga hari ini.

Deretan kitab karangan beliau bisa disebutkan, misalnya Is'aful Mathali' bi syarhi al-Badru al-Lami' Nazhmu Jam'u al-Jawami, Insyirah al-Fu`ad fi Qira`ati al-Imam Hamzah Riwayatai Khalaf wa Khallad, Al-Badru al-Munir fi Qira`ati al-Imam Ibnu Katsir, Bughyatu al-Adzkiya fi al-Bahtsi 'an Karamati al-Auliya Radhiyallahu 'Anhum, Ta'mimu al-Manafi' bi Qira`ati al-Imam Nafi, Tanwiru ash-Shadr fi Qira`ati al-Imam Abi 'Amr, Tahyi`atu al-Fikar bi Syarhi Alfiyati as-Siyar, Tsulatsiyat al-Bukhari, Al-Khal'ah al-Fikriyyah Syarh al-Minhah al-Khairiyyah, As-Saqayah al-Mardhiyyah fi Asami Kutub Ashabina asy-Syafi'iyyah.

Kitab lain karangan beliau adalah Inayatu al-Muftaqir fima yata'allaqu bi Sayyidina al-Khidir 'Alaihis Salam, Ghaniyatu ath-Thalabah bi Syarhi Nazhmi ath-Thayyibah fi al-Qira'at al-'Asyriyyah, Fathul Khabir bi Syari Miftah as-Siyar, Al-Fawa`id at-Tarmasiyyah fi Asanid al-Qira`at al-'Asyriyyah, Kifayatu al-Mustafid fima 'Alaa min al-Asani, Al-Minhah al-Khairiyyah fi Arba'in Haditsan min Ahaditsi Khairi al-Bariyyah, Manhaj Dzawi an-Nazhar fi Syarhi Manzhumati 'ilmi al-Atsar, Mauhibatu Dzi al-Fadhl Hasyiyah 'ala Syarh Mukhtashar Bafadhal, Nail al-Ma`mul bi Hasyiyati Ghayatu al-Wushul fi 'ilmi al-Ushul.

Sebuah pencapaian yang luar biasa. Segala fan ilmu agama, berusaha beliau dedahkan dalam berbagai karangan beliau. Bukan hanya itu, kegemaran menulis itu juga menjadi sebuah teladan yang kelak diikuti oleh para murid-muridnya. Banyak murid beliau yang akhirnya produktif menulis. Semisal KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan lainnya.

Ulama nusantara yang juga diakui secara internasional karya dan kemampuannya adalah Syaikh Nawawi al Bantani. Syaikh Nawawi, secara nasab bersambung pada Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Kyai Umar, ayahanda beliau adalah keturunan dari ulama bangsawan besar. Silsilah beliau juga bersambung pada Maulana Hasanuddin atau Sultan Hasanuddin, raja pertama Kesultanan Banten. Jika dirunut, Kyai Nawawi Banten masih merupakanketurunan kedua belas dari Sunan Gunung Jati.

Semula Kyai Nawawi belajar pada ayahandanya, KH. Umar bin Arabi. Setelah cukup dewasa, beliau menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di tanah Hijaz. Guru-gurunya ketika itu diantaranya Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Nahrawi. Kemudian beliau pulang ke tanah air.

Ketika itu, situasi politik yang dibawah kolonialisme Belanda tidak menguntungkan beliau. Sebagai seorang pemuda dan ulama, beliau turut serta menggalang kekuatan melawan kolonialisme. Namun, pada saat yang sama perlawanan Pangeran Diponegoro padam, akibat tertangkapnya sang pemimpin. Kyai Nawawi yang melihat keadaan sedang tidak menguntungkan berniat meninggalkan tanah air, untuk kembali ke tanah hijaz. Ini karena beliau telah terindikasi sebagai penyokong gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro.

Di tanah hijaz, beliau kembali menekuni dunia keilmuan. Adalah Syaikh Muhammad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni, Syaikh Abdul Hamid al Dagastani, yang merupakan guru-guru beliau yang merupakan ulama-ulama yang luar biasa. Syaikh Muhammad Khatib Sambas, merupakan pembimbing spiritual utama beliau. Syaikh Khatib yang merupakan seorang ulama terkemuka yang berhasil menggabungkan tarekat Qadiriyyah dan Naqsyabandiyah, memberikan Kyai Nawawi ijazah yang kelak diturunkan pada murid-muridnya, seperti Kyai Mahfudz Termas dan Kyai Hasyim Asy’ari, seorang kyai yang kelak mempunyai organisasi terbesar di dunia.

Murid Kyai Nawawi pun menjadi kyai-kyai pilih tanding. Diantaranya adalah Kyai Kholil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, KH. Asyhari Bawean, Kyai Asnawi Banten, atau KH. Dawud dari Perak Malaysia. Mereka menjadi kyai-kyai besar yang kelak menyebarkan pemikiran-pemikiran gurunya, Kyai Nawawi, ke seluruh antero alam. Karena disamping Kyai Nawawi Banten mengajar di Masjidil Haram, Kyai Nawawi juga mengarang banyak kitab.

Dalam fikih, Kyai Nawawi mengarang kitab-kitab al Aqdul Tsamin, Fathul Mujib, Kasyifatus Saja, Nihayatuz Zain, Sullam al Munajah, serta Uqudul Lujain. Dalam bidang Tauhdi, beliau mengarang kitab bahjatul Wasail, Fathul Majid, Nurud Dholam, Qami’ut Thugyan, Qathrul Gaits. Sedangkan dalam ilmu tasawwuf, karya beliau diantaranya adalah Fathus Shomad, Maroqiyul Ubudiyah, Misbahud Dholam, dan sebagainya.

Dalam ilmu hadits karya beliau adalah Tahqihul Qoul, sementara dalam sejarah ada madarijus Su’ud, Targhibul Musytaqin, , Bughyatul Awwam. Dalam kaidah bahasa Arab, beliau juga menulis Fathul Ghafir, al Fushus al Yaquthiyah, Lubabul Bayan, al Riyadhul Qauliyah. Begitu banyaknya karya beliau, menjadikan kita melek, bagaimana namanya sangat dihormati hingga kini. Kaum pesantren juga mafhum, bahwaw setiap memulai mengkaji kitab-kitab karangan seseorang, kaum pesantren selalu memulai dengan mengirimkan hadiah fatihah. Kita tentu akan sadar, berapa banyak hadiah fatihah yang beliau dapat dalam sehari. Atau berapa banyak orang yang hidupnya berubah karena diterangi ilmu dari karya-karya beliau Kyai Nawawi.


Diantara ulama nusantara, juga terdapat nama yang selalu disebut dengan mulia. Hadhrotus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Seperti guru-gurunya, Kyai Hasyim, begitu beliau kerap dipanggil adalah seorang ulama yang luar biasa. Selain sebagai ulama, yang mengajar di pesantren, Kyai Hasyim juga merupakan sosok ulama pejuang. Gelar pahlawan nasional pun disematkan atas jasa-jasanya. Tanpa beliau, takkan ada peristiwa heroik 10 Nopember 1945. Seruan dari resolusi jihad, yang merupakan hasil iktiyar dan ijtihad Kyai Hasyim-lah yang menyulut peristiwa besar yang bermakna bagi kelestarian kemerdekaan bangsa Indonesia tersebut.

Kyai Hasyim, adalah kakek dari presiden Indonesia keempat, KH. Abdurrahman Wahid. Kyai yang fenomenal, karena kecakapan dan tradisi keilmuannya yang luar biasa inilah, beliau digelari Hadhrotus Syaikh, sebagai gelar kehormatan atas prestasi akademiknya. Kawan akrab dari Muhammad Darwisy, atau kelak lebih dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah ini juga seorang penulis handal. Beberapa tulisannya kerap menjadi bantahan telak dan menjadi penjelasan yang memuaskan bagi lawan maupun kawan debatnya. Kemampuannya yang sangat luar biasa dalam pemahaman hadits, disertai ijazah dan sanad keilmuan yang diakui, menjadikan banyak kyai-kyai sepuh sekalipun kerap mengambil ilmu dan sanad dalam pengajian yang diampunya.

Karya-karya beliau cenderung menghujam, langsung kepada pokok pembahasan dan dengan dalil yang tak terbantahkan. Diantara kitab karangan beliau adalah, Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah, Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin, kitab ini bercerita tentang keutamaan dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Kitab lainnya adalah, Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi yang menjelaskan etika-etika akademik antara pengajar dan siswa.

Kitab beliau yang lain adalah Al-Tibyan, fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan, kemudian Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Kitab ini adalah penjelasan yang paling otoritatif tentang apa dan bagaimana Nahdlatul Ulama itu. Selain itu, Qanun Asasi, begitu kitab ini sering disebut adalah kitab yang menjadi rujukan dan pegangan para aktifis NU dikemudian hari. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah adalah kitab beliau menegaskan tentang penting dan perlunya berislam dengan merujuk pada madzhab-madzhab yang mu’tabar. Mawaidz, adalah buku pegangan bagi pelaku dakwah di masyarakat. Buku ini bahkan pernah diterjemahkan Buya Hamka untuk majalah Panji Masyarakat.

Tidak berhenti disana, kitab Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Adalah kitab yang berisi 40 hadits sebagai penjelas dan dasar gerak Nahdlatul Ulama. Sedangkan Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini mengetengahkan hal-hal penting dalam penyelenggaraaan perayaan maulid. Suatu tradisi yang menjadi tengara warga Nahdliyyin.

Murid sekaligus teman dan penerus kepemimpinan Kyai Hasyim di Nahdlatul Ulama adalah KH. Wahab Hasbullah, atau Kyai Wahab. Kyai satu ini terbilang nyentrik, ahli debat, ahli politik, namun pemahaman keagamaannya juga komplit. Tak jarang beliau melayani debat, diskusi bahkan dalam tulisan-tulisan di media massa. Dalam beberapa waktu, bahkan beliau berdebat sengit dalam tulisan dengan orang-orang yang berseberangan dengan Nahdlatul Ulama. Baik itu Masyumi, yang kerap menggerogoti dan mem-bully tradisi-tradisi dan jalan politik NU, sampai kaum komunis yang tergabung maupun yang tak tergabung dalam PKI.

Di hari-hari akhir, kitab juga bisa melihat beberapa kyai, ulama yang akrab dengan dunia literasi. Sebut saja Kyai Abu Fadhol, asal Senori. Seorang kyai yang “hanya” mengenyam pendidikan agama di nusantara, tanpa pernah ke tanah hijaz ini pun, secara keilmuan diakui luar biasa. Kyai Abu Fadhol, mempunyai beberapa karya yang bahkan dipelajari hingga sekarang. Beliau mengarang kitab-kitab berbahasa Arab dengan sangat sempurna. Ayahandanya Kyai Abdus Syakur, adalah kawan karib dari Kyai Hasyim Asy’ari. Beliau adalah satu diantara murid kyai tersohor ketika itu, Kyai Faqih Maskumambang. Kyai Faqih sendiri adalah seorang ulama yang mengarang kitab al Nushush al Islamiyah fii Raddi ‘ala Madzhab al Wahabiyah. Sebuah kitab yang mengupas habis kesalahan pikir kaum Wahabi.

Kyai Fadhol Senori, sebutan akrab beliau merupakan salah satu kyai, ulama yang produktif dalam menulis. Kitab Ahla Musamarah fi Hikayat Auliya’ ‘Asyrah karangan beliau, sering menjadi rujukan dalam mempelajari sejarah masuknya Islam di Indonesia. Kitab ini menceritakan tentang sembilan wali, atau karib disebut sebagai Walisongo plus satu wali lainnya, yakni Syaikh Siti Jenar. Kitab lain Kifayatut Thullab, adalah kitab yang merangkum kaidah jurisprdensi islam atau dikenal sebagai ilmu ushul fiqh. Kitab ini menghimpun intisari kaidah jurisprudensi dari kitab karangan Syaikhul Islam Jalaluddin as Suyuthi yang berjudul, al Asybah wa Nadhoir.

Sebagai ulama ahlussunnah wal jama’ah terkemuka di Indonesia, Kyai Abu Fadhol juga turut menyumbang pemikiran tatkala beberapa tradisi peribadatan yang ada di Indonesia diusik. Tarawih, misalnya. Beberapa orang yang datang kemudian kerap menyebut tarawih 20 rakaat yang dikerjakan oleh para ahlussunnah wal jamaah di Indonesia sebagai amalan yang salah dan bid’ah. Maka beliau menyusun kitab Kasyfut Tabarih fii Sholatit Tarawih.

Ulama-ulama lain yang produktif di Indonesia diantaranya juga adalah Kyai Sholeh Darat, Kyai Bisri Musthofa. Nama terakhir adalah ayahanda dari Kyai Musthofa Bisri yang sangat produktif, kitab karangannya sangatlah banyak. Diantaranya adalah Tafsir al Ibriz, sebuah karya monumental. Tafsir al Qur’an 30 juz dalam bahasa Jawa. Putra beliau, Kyai Musthofa Bisri adalah seorang kyai yang amatlah terkenal. Gus Mus, begitu panggilannya justru dikenal sebagai sastrawan, budayawan, selain sebagai sosok kyai yang nyentrik.

Karangan Gus Mus pun tidak sedikit jumlahnya, selain lukisan dan puisi-puisi beliau. Dasar-dasar Islam, Ensklopedi Ijma' yang merupakan sebuah terjemah yang dikerjakan keroyokan dengan Kyai Sahal Mahfudz. Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia. Kimiya-us Sa'aadah, merupakan kitab terjemahan dari kitab berjudul sama karangan dari al Imam al Ghozali. Syair Asmaul Husna sebuah syair dalam bahasa Jawa. Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, Tadarus, Antalogi Puisi, Mutiara-mutiara Benjol , Rubaiyat Angin dan Rumput, Pahlawan dan Tikus.

Sebuah buku juga ditulis tentang Kyai Hasyim Asy’ari, Mahakiai Hasyim Asy'ari. Kitab ini bisa jadi sangat “manusiawi” karena Kyai Bisri Musthofa ayahanda beliau berkawan akrab dengan Kyai Hasyim Asy’ari. Metode Tasawuf Al-Ghazali, Saleh Ritual Saleh Sosial, Pesan Islam Sehari-hari , serta sebagai kyai beliau juga menulis Fikih Keseharian  yang diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang.

Kyai lain, semisal Kyai Sahal Mahfudz juga tak kalah produktif. Kyai yang sempat memegang jabatan tertinggi di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini kealimannya diakui oleh ulama nusantara bahkan dunia. Karyanya , Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayatil Wushul merupakan kitab penjelas atas kitab Ghayatul Wushul, yang kitab ini sendiri merupakan komentar atas kitab Lubbul Ushul. Dua kitab ini, baik Lubbul Ushul maupun Ghayatul Wushul adalah kitab karangan Syaikh Zakariya al Anshori. Merupakan kitab jurisprudensi Islam atau ushul fiqh. Kitab ats-Tsamarat al-Hajayniyah  yang mempermudah pelajar Islam dalam memahami beberapa istilah dalam kutubut turats, kitab-kitab babon dalam beberapa fan ilmu keislaman.

Ada juga kitab al-Fawa’id al-Najibah yang menjadi syarah atau komentar atas kitab karangan beliau sendiri yakni, al-Faraid al-Ajibah fi Bayan I’rab al-Kalimat al-Gharibah. Kitab orisinil karangan beliau ini berkaitan dalam tata bahasa dan gramatikal bahasa Arab. Kitab al-Bayanul Malma’ an Alfadhil Luma’, karya beliau yang merupakan komentar atas al Luma’, karya Abu Ishaq Ibrahim al-Syairazi.

Kitab karangan beliau lainnya adalah Wadajayn ‘inda Munadharat Ulama Hajayn fi Ru’yatil Mabi’ bi-Zujajil ‘Aynayn. Membahas tentang perdebatan ulama atas keabsahan penglihatan menggunakan kacamata atas barang dagangan. Adapula kitab Faydlul Hija ala Nayl al-Raja syarh dari Safinatun Naja, kitab Anwarul Bashair syarh atas al Asybah wa Nadhoir. Dan beberapa kumpulan artikel serta karangan berbahasa Indonesia dan Jawa pegon.

Begitu pentingnya tradisi literasi bagi santri. Contoh dan ceritera diatas hanya sebuah pengungkit semangat, bahwa selayaknya santri pandai menulis dan gemar membaca. Karena dengan meluasnya Islam, berkembangnya teknologi, tak pelak banyak kaum muslim yang butuh mendapatkan asupan pengetahuan keagamaan dari sumber yang paling otoritatif, yakni pesantren.

Jika saja kaum pesantren, santri, kyai dan para pejuang pesantren sudah abai terhadap budaya literasi, maka suatu saat orang harus belajar dari sumber yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini, tentu tidak diinginkan, karena dengan demikian, bisa saja Islam berkembang menuju arah yang salah. Radikalisme, kemiskinan, komunisme, liberalisme, kapitalisme, tentu tak bisa diimbangi hanya dengan berkacak pinggang. Karena mereka tentu tak menyerang dengan senjata lagi. Mereka menyerang melalui pemikiran, dan cara tepat untuk melawannya adalah dengan pemikiran. Cara paling tepat mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah, Islam yang benar, yang otoritatif hari ini, hanya dengan menguasai media. Bagaiaman kita bisa menguasai media, jika membaca dan menulis saja kita tak biasa?.

Wallahu A’lam.





Pernah dimuat dalam majalah Al Fikrah, edisi September 2017. 
Gambar ilustrasi, taken from: http://saraung.com/membayangkan-gerakan-literasi-di-pangkep/

Jumat, 22 September 2017

Ngaji Online; Jejak Digital Para Santri

Ngaji Online, adalah sebuah pengajian yang ditangkan secara langsung melalui media-media sosial yang sedang kekinian. Ngaji online sedang marak-maraknya pada bulan Ramadhan tahun ini, dimana beberapa pesantren dan lembaga mengadakan dan menyiarkan secara langsung pengajian yang rutin ada di pesantren dan lembaga-lembaga tersebut. Tak kurang NUtizen misalnya menyiarkan pengajian-pengajian dari beberapa kyai terkemuka, atau cendekiawan muda NU, Ulil Abshar Abdallah, serta beberapa tokoh NU terkemuka seperti KH. Musthofa Bisri mengadakan pengajian secara online. Hal yang jarang ditemui di tahun-tahun lalu. Sepertinya ini adalah bentuk jawaban atas beberapa pengajian online yang kerap “menyerang” amaliyah dan sistem serta keyakinan kaum pesantren, kalau tidak dibilang sebagai bentuk kesadaran.

Kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran tentang penting penggunaan teknologi dalam berdakwah. Karena teknologi, terutama teknologi informasi dipercaya lebih efektif dalam melakukan diseminasi atau sebaran informasi ke publik, serta lebih cepat dan mudah diakses. Kesadaran ini tidak didapati pada tahun-tahun sebelumnya. Kaum pesantren, sebelumnya bertindak pasif dan cenderung hanya bersikap “defensif”, itu pun dengan kesederhanaan dan keterbatasan mereka. Paling jauh, fitnah atau “serangan” terhadap mereka hanya akan direspon melalui mimbar khutbah atau podium pengajian di jamaah masing-masing. Mereka seakan tidak mau peduli dan acuh ketika terus-terusan menjadi bahan serangan dan di­-bully­ habis-habisan. Namun sepertinya “kesabaran” dan kesadaran datang jua. Kaum pesantren akahirnya menyadari, bahwa diam dan membiarkan diri mereka menjadi objek serangan jahat dan hoax, pun menambah panjang daftar masalah bangsa. Terutama masalah berkembangnya faham radikal, ekstrem yang berpontensi menjadi teror dan duri bagi kerukunan dan pluralitas bangsa.

Kesadaran lain yang muncul kemudian adalah bahwa dakwah, sudah harus menggunakan media yang mudah diakses dan efektif. Dakwah, yang berarti ajakan, harus berada pada “frekuensi” yang sama dengan objek yang dituju. Kesamaan frekuensi itu tentu mengandung banyak makna. Mulai dari kesamaan frekuensi bahasa, bahasa yang bisa dan mudah difahami oleh kebanyakan obyek dakwah. Termasuk kesamaan dan kesesuaian tema, pokok pembahasan yang dibicarakan dengan objek dakwah. Tema dan pokok pembahasan yang berbeda harus diberikan pada objek yang berbeda pula. Dan selanjutnya adalah kesamaan “frekuensi” dalam saluran atau media dakwah. Jika sekarang yang banyak diakses adalah dunia media sosial, maka disanalah dakwah harus banyak dikembangkan. Kalau tidak, bisa dipastikan dakwah tidak akan tepat sasaran dan efektif.

Meruyaknya sosial media, seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, Path dan lain sebagainya, memang harus diantisipasi oleh dunia pesantren. Karena kemudahan akses pada sosial media, telah dimanfaatkan dengan sangat maksimal oleh beberapa golongan yang kerap menyerang amaliyah kaum pesantren, kyai dan pesantren itu sendiri. Mungkin bagi sebagian pihak pesantren, ini tidak menggugah sama sekali. Bagi kelompok ini, perjuangan mereka dalam segala aspek kehidupan, memang tidak untuk menangguk pujian, sanjungan. Perjuangan kaum pesantren, bagi kelompok ini, lebih dari sanjungan dan pujian makhluk, karena tujuan utama mereka adalah, mengabdi pada kemanusiaan, selain tentu pengabdian dan penghambaan mereka kepasa Sang Pencipta.

Adalah kaum muda pesantren, yang nampak resah dengan fenomena ini. Bukan tanpa alasan, kaum muda ini memahami apa yang terjadi pada generasinya, generasi millenial. Generasi millenial yang kerap menjadi sasaran utama berita-berita bohong, hoax dan berita yang memojokkan ajaran, kyai dan pesantren itu sendiri, kerap tak memperoleh asupan informasi yang berimbang. Dan pada akhirnya mereka dengan gegabah, melakukan justifikasi, penghakiman pada ajaran pesantren, kyai dan pesantren itu sendiri sebagai sarang bid’ah, khurafat dan ajaran-ajaran yang salah, misalnya. Maka, pesantren butuh dan penting untuk mengklarifikasi, bukan demi nama baik saja, atau sekedar pujian dan sanjungan. Ini terlebih pada upaya yang jauh lebih mulia, yakni mendasarkan pemahamanan keagamaan yang lebih moderat, lebih benar dan jauh dari hujatan dan cacian bagi generasi muda, generasi millenial.

Kaum muda millenial yang akrab dengan sosial media, manakala terus disuguhi dengan berita hoax, berita bohong dan informasi yang salah tentang Islam, terutama tentang amalam, kyai dan pesantren itu sendiri. Maka, bisa dipastikan pemahamannya tentang Islam akan cenderung radikal, keras dan ekstrem, dan tentu ini akan menjadi masalah kemasyarakatan, dan tentu masalah kebangsaan kemudian. Oleh karena itu, pesantren, bagi kaum muda pesantren, harus lebih progressif dalam berdakwah. Pilihannya, tentu diantaranya memperbanyak berdakwah di lingkup yang banyak sebaran anak muda, media sosial. Kaum muda ini pun kemudian tidak tinggal diam dan terus bergerak untuk menguasai atau setidaknya mewarnai berita dan konten di jejaring media sosial.

Pada Ramadhan beberapa waktu yang lalu, semangat anak muda itu sudah lebih memperlihatkan hasil dari tahun sebelumnya.  Pengajian dari beberapa gus dan kyai terkenal sudah membanjiri medan digital tanah air. Jika pada waktu sebelumnya masyarakat bingung mencari referensi dan pengajian yang cocok, yang santun dan penuh rahmat. Kini, masyarakat mulai bingung pengajian mana yang “ditelan” duluan. Tapi jelas ini merupakan kemajuan, dan lebih baik. Karena konten negatif, bukan hanya soal pornografi dan pornoaksi, namun juga konten “pengajian” yang keras, cenderung radikal, mudah menyalahkan, tuding sana-sini, menjadi semacam keprihatinan tersendiri.

Perayaan besar “turun gunungnya” para gus dan kyai didunia daring tersebut tentu saja menggembirakan. Pertama kali, kyai sepuh yang paling dekat dengan dunia digital, tentu KH. Musthofa Bisri atau karib disebut Gus Mus. Beliau sudah mengawali dengan memberi teladan, berupa seringnya beliau mengunggah status sampai video dan foto dengan caption yang bukan saja islami, namun juga menyejukkan dan menuntun kita yang kerap tersesat di belantara dunia nyata dan maya.

Gus Mus memang sudah lebih dikenal sebagai kyai yang paling “online”, tentu tidak luput dari latar belakang beliau yang juga budayawan yang mempunyai pergaulan lintas batas. Namun, tentu Gus Mus saja tidak cukup. Sedangkan konten negatif yang selalu memojokkan nilai, amaliyah kaum pesantren bak sapuan ombak, sedemikian besar dan massifnya. Menyadari itu, banyak kaum muda pesantren yang tergerak. Diantaranya adalah pimpinan media NU Online, Savic Ali, yang kemudian bersama kawan-kawannya, Hamzah Sahal diantaranya, membentuk Nutizen. Nutizen ini bahkan mempunyai nilai lebih, karena mudah diakses dan diunduh di gawai (handphone) berbasis Android dan IoS. Ini tentu lebih muda diakses dan akrab bagi generasi millenial. Nutizen, merupakan aplikasi yang mudah diunduh oleh para pengguna handphone.

Di Nutizen pula, bisa kita dapati pengajian-pengajian dengan berbagai macam varian. Mulai dari yang seperti tanya jawab, diskusi, atau seperti yang biasa dilakukan kaum pesantren dengan mengaji kitab kuning. Sampai pada yang bersifat ceramah, seperti ceramah seorang muballigh dan kyai kondang, KH. Anwar Zahid. Kyai Anwar Zahid, cukup terkenal dengan gaya ceramah yang ceplas-ceplos, mudah difahami dan humoris. Ini tentu menjadi oase bagi kaum muslim, yang ingin belajar Islam, namun tak kehilangan sisi “kemanusiaan”-nya, ditengah dakwah-dakwah model keras yang mengajarkan permusuhan, caci maki dan celaan.

Tentu kita boleh berbangga, kaum pesantren boleh sedikit bernafas lega. Namun tentu masih sangat kurang, dan jauh dari ideal. Jika saja dibandingkan, antara akun dan gerakan penyebar Islam nan damai, santun dan penuh rahmat, dengan akun dan gerakan Islam yang penuh amarah, caci maki, bahkan acap mem-bid’ah-kan ajaran, keyakinan dan amaliyah kaum pesantren. Untuk itu kaum pesantren juga harus segera bangkit. Diam tentu bukan cara yang bijak dan tidak selamanya diam adalah emas.

Pada bulan Ramadhan 2017, muncullah beberapa kyai dan gus (julukan untuk putra kyai), yang mengaji secara daring, online. Ada yang menyiarkannya secara langsung atau live adapula yang merekam dan mengunggahnya kemudian. Lebih menarik, karena kajian kitabnya, pun sangat variatif. Seorang kyai asal Jogjakarta, misalnya, mengkaji kitab karangan Jalaluddin Rumi dan kitab karangan Ibnu Arabi. Ini merupakan hal yang tak lumrah. Jika biasanya yang dikaji adalah kitab-kitab sufi pun, kitab  karangan Jalaluddin Rumi jarang jadi pilihan. Jika biasanya di pesantren, kitab tasawwuf yang banyak dipelajari, adalah kitab-kitab karangan Imam al Ghozali, seperti Minhajul Abidin atau magnum opus-nya, Ihya Ulumuddin. Tentu hal ini menjadi menarik, seorang kyai pesantren mbalah kitab karangan Ar Rumi dan Ibnu Arabi. Ibnu Arabi, misalnya terkenal dengan konsep Wihdatul Wujud. Tidak sedikit ulama yang menjatuhkan vonis sesat dan kafir padanya. Ulama kelahiran Andalusiyah, Spanyol ini merupakan seorang sufi falsafi yang terkenal. Ibnu Arabi di Indonesia mempengaruhi pemikiran Hamzah Fansuri, Syamsuddin as Sumatrani, dan Abdus Shomad al Falimbani.

Keberanian Kyai Kuswaidi Syafiie, mem-balah (istilah untuk membaca dan mengajarkan kitab didepan para santri dalam dunia pesantren.red) kitab karangan ar Rumi dan Ibnu Arabi, tentu tidak serta merta harus kita curigai sebagai sebuah hal yang melenceng dari adat dan berpotensi “menyesatkan”, namun harus kita apresiasi sebagai bentuk lompatan dan kreatifitas serta inovasi. Pengkajian kitab yang tak biasa ini, selain menarik kaum muda yang sedang gandrung dengan berbagai macam “penggunaan logika”, juga merupakan benteng untuk menangkal pemikiran-pemikiran yang rasionalistis an sich, yang sering justru menyesatkan pikiran kaum muda. Kenapa demikian?. Ketika kyai mengkaji kitab-kitab yang dapat memenuhi hausnya kaum muda pada penggunaan rasionalitas, seperti yang kerap dihadapi kaum muda. Namun selain membaca dan menjelaskan, kyai juga dapat secara langsung membatasi dan mengetengahkan kritik atas pemikiran-pemikiran yang dianggap keluar dari koridor akidah dan syariah. Dengan begitu, ketika santri lulus, dan bergaul diluar, baik dalam rangka meneruskan pendidikan, di perguruan tinggi misalnya, akan dapat membentengi diri dan akidahnya. Dengan penjelasan dari kyai secara langsung, santri tidak akan gagap, ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikiran baru yang berkembang didunia luar, yang penuh dinamika dan dapat mencederai akidah.

Namun, tidak semua kyai dan gus mengambil cara itu. Adapula yang memilih cara mengkaji kitab seperti biasanya, dengan menguatkan penjelasannya sesuai perkembangan zaman. Langkah ini diambil, tentu dengan keyakinan, walau dengan mengkaji kitab pesantren seperti biasanya, namun dengan penjelasan dan sudut pandang berbeda akan juga memberikan pemahaman dan sudut pandang yang berbeda. Di lain pihak, dengan mengkaji kitab-kitab khas pesantren, justru santri akan bertambah percaya diri dengan keyakinan, sistem dan pesantren itu sendiri. Selain tentu akan bertambah kuatnya keimanan dan akidah santri. Hal itu, seperti yang dilakukan oleh seorang gus, Ulil Abshar Abdalla.

Menantu Gus Mus ini mengkaji kitab Imam al Ghozali, namun dengan bahasa-bahasa dan penjelasan yang ilmiah dan kekinian. Karena penjelasan dan gaya bahasa yang cenderung “intelek” itu,  pengikut pengajian yang disiarkan langsung sepanjang bulan Ramadhan itu pun membludak. Tak sedikit kalangan akademisi, para doktor, professor bahkan dar luar negeri mengikuti kajian itu secara langsung. Peminatnya pun tak tanggung-tanggung, mencapai ribuan. Yang tak kalah mengagetkan adalah alasan Gus Ulil mengkaji kitab Ihya Ulumuddin, yakni untuk mengambil barokah (seeking blessing) pengarang kitab Ihya’ ini. Sesuatu yang sulit diprediksi, mengingat label liberal yang sempat disandang oleh beliau. Ini juga berarti bahwa, pengampuh-pengampuh pengajian online inipun, masih sangat kental dengan paradigma dan budaya pesantren, konsep barokah misalnya.

Kyai muda atau Gus lain yang melakukan siaran pengajian secara daring adalah Agus Abdul Ghofur Maimoen, atau Gus Ghofur. Gus Ghofur adalah putra dari kyai terkenal al allamah KH. Maimoen Zubair, pengasuh pondok pesantren Al Anwar, Sarang. Kyai Maimoen yang terkenal alim ini merupakan ulama yang sangat qualified dan acap menjadi rujukan para kyai-kyai Indonesia, bahkan dunia. Gus Ghofur pun demikian adanya, beliau adalah seorang doktor muda alumnus universitas tertua dunia di Mesir, Al Azhar University. Bukan hanya sekedar doktor, Gus Ghofur lulus dari Al Azhar dengan predikat summa cumlaude,sesuatu yang sulit dan jarang dicapai oleh orang non-Arab di Al Azhar. Dan pada Ramadhan tahun2017 Masehi beliau juga mengadakan pengajian daring. Sebuah hal yang bukan hanya menggembirakan, namun juga patut diapresiasi setinggi-tingginya.

Tak ketinggalan KH. Yusuf Chudlori, dari Tegalrejo, Magelang pun juga menyiarkan pengajian daring. Dan tentu ini memberikan warna yang menarik. Karena seperti kita ketahui, bahwa pada era ini banyak anak muda dan masyarakat luas yang menyandarkan kebutuhannya akan informasi pada mesin pencari daring, seperti google. Celakanya, jika kita mengakses google untuk mendapati keterangan tentang permasalahan agama, yang menjamur disana adalah keterangan dari situs maupun pengajian yang cenderung radikal, keras, rigid dan atau bercorak takfiri khas wahabi.

Hal ini tentu patut menjadi keprihatinan kita bersama, terutama kaum pesantren. Ini adalah tantangan sekaligus peluang. Tantangan dan peluang dakwah. Jika saja kita mengaca pada strategi dakwah walisongo yang berbasis pada kebudayaan, maka seharusnyalah dakwah kita berjalan dinamis. Termasuk diantaranya adalah masuk pada budaya kaum millenial, yakni dakwah di media sosial. Karena disamping secara psikologis kaum millenial adalah sosok-sosok yang masih labil, kaum millenial ini adalah generasi penerus perjuangan bangsa dan agama. Tentu tidak bisa kita bayangkan, jika generasi sedemikian telah dirasuki dan diracuni dengan Islam yang berwajah garang, keras dan mudah mengkafirkan sesama muslim.

Jika dakwah kaum pesantren selama ini berkisar dari satu madrasah ke madrasah, atau dari satuu mimbar khutbah ke mimbar yang lain. Tentu semua itu tetap patut dilestarikan. Dengan catatatan, bahwa kita juga harus mengayahi dan meng-cover medan dakwah yang lain yakni media sosial dan media daring. Jika di sebuah mimbar misalnya, kita bisa berbicara dengan seribu orang. Nyata bahwa di media sosial, kita bisa berdakwah dengan lebih luas. Bahkan mungkin lebih luas dari yang bisa kita perkirakan.


Semogalah, semakin banyak para kyai dan gus yang sadar dan mau berperan serta, berdakwah di media sosial. Agar media sosial kita, tak lagi dikuasai oleh kaum takfiri, kaum yang berdakwah dengan kekerasan dan makian serta celaan. 


Pernah diterbitkan dalam Majalah Al Fikrah sebagai editorial

Selasa, 12 September 2017

Masa Depan Aliran Bebas Madzhab: Kritik Terhadap Kejumudan Aliran Lâ Madhhabiyah

Masa Depan Aliran Bebas Madzhab: Kritik Terhadap Kejumudan Aliran Lâ Madhhabiyah
Muhammad Asrori (asrori_gresik24@yahoo.co.id)
081330338328
Universitas Islam Lamongan

Abstract
Islam as a religion that the plenary should be shalih li kulli zamân wa makân. It means that Islam can be Adaptive and developing appropriate structure of era and place. However, as a religion, Islam is not a mere set of values, but also has some clear legal rules for the believer. And that in accordance with the rules of guidance locus and tempus, Islamic law need to evolve. So intellectuals, Muslim scholars also make the methodology of Islamic law jurisprudence, so that Islamic law is not stagnant, old-fashioned and stiff. So, Islam appeared several genre of law in Islam called Madhhab. Madhhab or madzhab is a codification of Islamic law which is generated by the priest mujtahid. However this is not necessarily approved by the Muslims entirely. Some of the Muslim, reject the madzhab because they think it is just bid'ah, and the efforts "rival" madzhab of islam actually, Rasulullah's madzhab. An invitation to return to the Al-Qur'an and Al-Hadith finnally called. This day the development is also massive through social media. Call to purify the religion of Islam, with direct reference to the Quran and Al Hadith. Unfortunately that development is not supported by conceptual development. Actually, solicitation and this genre is weak ontological, epistemological even in the realm of Axiological. Since seeing the spread of Islam and the condition of Muslims today, so is not possible to produce the law of the Quran and Al Hadith directly.
Keyword: Madzhab, epistemological, Quran, Al Hadith
Abstrak
Islam sebagai agama yang paripurna haruslah shalih li kulli zamân wa makân. Adaptif dan berkembang sesuai tatanan zaman dan tempatnya. Namun sebagai agama, Islam juga bukan kumpulan nilai belaka, namun juga mempunyai kaidah hukum yang jelas bagi penganutnya. Dan agar sesuai dengan kaidah tuntunan locus dan tempus itu, hukum Islam perlu berkembang. Maka cerdik cendekia, ulama muslim pun membuat metodologi jurisprudensi hukum Islam, agar hukum Islam tidak stagnan, jumud dan kaku. Maka, muncullah beberapa aliran hukum dalam Islam yang disebut Madhhab. Madhhab atau madzhab adalah sebuah kodifikasi hukum Islam yang dimulai oleh para imam mujtahid. Namun hal ini, tidak lantas disetujui oleh kaum muslim seluruhnya. Beberapa kaum muslim, menolak adanya madzhab karena menganggap itu hanyalah bid’ah, dan upaya “menyaingi” madzhab Islam sebenarnya, madzhab Rasulullah. Ajakan “kembali kepada Al Qur’ân dan Al Hadith” pun akhirnya digaungkan. Namun sebenarnya, ajakan dan aliran ini lemah secara ontologis, epistemologis bahkan dalam ranah aksiologis. Karena melihat sebaran Islam dan kondisi umat Islam hari ini, amat tidak mungkin menghasilkan hukum dari Al Qur’ân dan Al Hadith secara langsung.
Keyword: Madzhab, Epistemologis, Al Qur’ân, Al Hadith
Pendahuluan
Islam sebagai agama yang paripurna tidak hanya datang menyediakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Namun juga membawa risalah hukum yang wajib ditaati sesiapapun yang menganutnya. Risalah hukum itu mengatur ritual peribadatan, muamalah dan hal-hal keseharian kaum muslim.
Namun tak dapat dipungkiri, walaupun Al Qur’ân, misalnya adalah mukjizat Allah yang kekal, dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh ilmu pengetahuan.[1] Namun upaya untuk menjangkau maknanya dalam rangka penentuan hukum, tidak dapat dikatakan mudah. Walaupun dalam al-Qur’ân banyak perintah untuk merenungkan dan mentadaburi kandungan dan isi dalam Al Qur’ân, namun hasil penafsiran akan berbeda jika dilakukan tanpa ilmu yang memadai. Hal sedemikian, tentu berbahaya bagi kepastian hukum didalam Islam. Ibnu ‘Abbâs seperti dikutip oleh Dr. M. Quraish Shihab membagi penafsiran Al Qur’ân dalam empat tingkat. Pertama, yang dapat dimengerti oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasanya. Kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama. Dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2]
Diluar Al Qur’ân, sebagai sumber jurisprudensi sekaligus penjelas Al Qur’ân adalah Al Hadith Atau Al Sunnah. Yaitu segala ucapan, perbuatan, kelakuan, sifat, kebenaran yang dikatakan dari nabi.[3] Kedudukan Al Hadith sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdul Halim Mahmud yang dikutip oleh Quraish Shihab mempunyai dua fungsi. Pertama, bayân takkid. Yakni sekedar menguatkan dan menggaris bawahi isi Al Qur’ân. Kedua, bayân tafsir. Memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari Al Qur’ân. Hal ini menunjuk pada keterangan imam Al Sha@fi’I dalam kitab Al Risa@lah.[4]
Dalam perkembangannya, keterangan hukum yang tersedia dalam dua sumber utama hukum Islam tersebut tidak cukup mampu menjawab perubahan zaman, dan perlu dikembangkan kerangka pengambilan hukumnya. Sehingga para cerdik cendekia muslim pun pada akhirnya berupaya mengembangkan sebuah metodologi pengambilan hukum, dengan tetap mengacu pada sumber utama hukum Islam, yakni Al Qur’ân dan Al Hadith. Selanjutnya pengambilan hukum yang dilakukan memunculkan beberapa penafsiran hukum yang terkadang berbeda. Hukum-hukum itu kemudian terpolarisasi menjadi sekian kodifikasi yang disebut madhhab.
Sejatinya, kelahiran madhhab bukanlah hal yang aneh. Melainkan sebuah tuntutan zaman dan sejarah. Untuk itu, kita bisa mengatakan secara normatif bahwa cara penentuan utama hukum Islam adalah dari wahyu dan ijtihad. Yang lantas kemudian kita sebut sebagai dua ekspresi; shariah dan fiqih.[5] Sementara shariah adalah sesuatu yang sudah tercantum baku dalam sumber utama, dan fiqih adalah mengetahui hukum-hukum shar’iyyah dengan jalan ijthad.[6]
Merunut pendapat Harun Nasution, fase historis hukum Islam terdiri dari lima periode. Pertama, periode Rasulullah. Kedua, fase al khulafâ al rashidîn. Ketiga, fase dinasti Abbasiyah, atau periode mujtahidin klasik. Keempat, taqlid, juga disebut sebagai ketertutupan. Dan kelima, fase pembaharuan atau modern.[7]
Sedangkan catatan historis peta hukum Islam sampai pada munculnya madzhab digambarkan oleh Al Khaduri dalam enam fase. Pertama, fase masa hidup Rasulullah. Yang kesemua persoalan hukum dirujuk langsung pada Rasulullah, sebagai mas}âdir al tashri’. Kedua, masa sahabat senior (kibar al s}ahabah), masa ini adalah masa al khulafâ al rashidîn. Ketiga, masa sahabat junior (s}igor al s}ahabah). Keempat, fase fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Fase ini dimulai dari abad kedua hingga akhir abad ketiga hijriyah. Kelima, fase perdebatan fuqaha atas pelbagai hukum yang muncul. Ini terjadi pada awal abad keempat sampai dengan akhir dinasti Abbasiyah. Keenam, fase taqlîd. Yakni fase dimana hukum ditentukan dengan mengikuti pendapat para imam madhhab.[8]
Namun, ini tidak serta merta diamini oleh semua kaum muslim. Sebagian menolak konsep madhhabiyah ini dengan alasan bahwa hukum yang dimunculkan dari madhhab tersebut tidaklah otentik dan bahwa berhukum adalah sesuatu yang mudah. Golongan ini yang kemudian disebut sebagai golongan lâ madhhabiyah. Argumentasi yang dibangun oleh golongan ini, diantaranya adalah bahwa “pencetus” madhhab seperti Imam Shafi’I, Al Imam Al Mâlikiy dan lainnya, bukanlah orang-orang ma’s}um sehingga ada kemungkinan pendapatnya tergelincir pada kesalahan. Mereka mensinyalir madhhab ini menyaingi madhhab Rasulullah dalam beragama dan terlebih ini adalah bid’ah dalam beragama.
Yang paling terkenal dalam sejarah tentu tulisan Muhammad Sultan al Ma’s}umi Al Khojandi al-Makky, seorang pengajar di Masjidil Haram yang melarang umat Islam untuk mengikuti salah satu madhhab secara terus menerus karena itu bid’ah dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah.[9] Buku ini pula yang memantik Dr. Said Romad}on Al Bu>thi mengarang kitab yang cukup fenomenal dalam menjawab tuduhan Al Khojandi berjudul, “Al Lâ Madhhabiyatu Akht}oru Bid’atin Tuhadidu Al Shari’ata al Islamiyah”, yang diterjemahkan menjadi, “Bebas Madzhab, Membahayakan Syariat Islam” yang merupakan rujukan primer artikel ini.
Dengan kemajuan teknologi informasi, terutama media sosial, golongan ini pun bermetamorfosa dalam gerakannya. Seruan kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith kerap muncul melalui media social. Bahkan tak jarang dengan memakai dalil satu dua ayat atau satu dua hadith, kelompok ini berani menentang hukum yang sudah ditetapkan oleh para ulama. Hal sedemikian, dilakukan karena mereka meyakini bahwa beragama hendaknya merujuk langsung pada dua sumber pokok tersebut. Dan selebihnya adalah bid’ah dan sesat. Namun itu tidak lantas diserta dengan perkembangan konseptualisasi gerakan. Sehingga ajakan itu menjadi hanya sebuah ajakan retoris.
Praktek slogan “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith”, nyatanya lemah secara epistemologis dan praksis. Tidak memakai madzhab sama sekali dalam berislam hari ini, hampir dipastikan tidak mungkin dicapai. Menafsirkan Al Qur’ân  dan Al Hadith tanpa melalui transmisi keilmuan yang shahih, hampir dipastikan hanya akan menuju pada “pengaburan” teks sesuai dengan keinginan dan kepentingan penafsir. Hingga akan terjadi kekacauan hukum dan tidak ajegnya praktek keagamaan.
Gambaran Umum Al Lâ Madzhabiyah
Perkembangan dunia teknologi informasi, terutama media sosial telah menciptakan warna baru dalam pemahaman keagamaan. Beberapa bersifat positif dan membangun, sedangkan beberapa lainnya justru negatif dan destruktif. Kemunculan sekelompok orang dengan faham takfiri, misalnya. Dengan berbekal satu dua ayat, atau satu dua hadist mereka dengan mudah menyalahkan orang lain.
Kelompok ini dalam masa lampau bisa disamakan dengan golongan khawarij. Golongan yang muncul paska konflik Ali-Muawiyah. Golongan ini juga mempunyai slogan khas yang sampai kini pun terus digaungkan, “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith”. Disamping mudahnya menyalahkan penafsiran liyan.
Seruan ini didengungkan terutama untuk menyerang kelompok lain yang dianggap mempraktekkan bid’ah. Sekilas lalu ujaran ini memang akan dianggap benar, dalam konteks berislam. Namun nyatanya gagal secara epistemologis maupun aksiologisnya. Menafsirkan Al Qur’ân  dan Al Hadith, tanpa metodologi yang jelas dan transmisi keilmuan yang shahih, jelas merupakan upaya “mengebiri” ajaran Islam. Gerakan lâ madzhabiyah sebenarnya adalah gerakan purifikasi Islam yang selalu muncul pada setiap zaman dengan beberapa ciri khasnya. Dan belakangan menggejala kembali, melalui media sosial.
Purifikasi Islam juga merujuk pada Ibnu Taimiyah pada abad ke 12 Masehi. Lima abad kemudian gerakan Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahâb. Walaupun sebenarnya, Abdul Wahâb kurang tepat disebut sebagai mujaddid dalam Islam. Karena senyatanya, Abdul Wahâb hanya meneruskan apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah. Namun, perannya yang sangat besar dalam penyebaran ajaran Ibnu Taimiyah, sehingga pada akhirnya dikenal sebagai faham sendiri bernama Wahabi di Arab Saudi hingga saat ini.[10]
Karena “merasa” menyandarkan pendapat fiqihnya pada dua sumber utama, maka ciri khas fiqih kelompok ini cenderung keras, pasti, kesimpulannya tidak bisa digugat dan penetapannya tegas. Mereka menolak sama sekali untuk setia pada madzhab hukum tertentu dengan menyatakan bahwa seorang muslim tak punya alasan kuat untuk mentaati salah satu madzhab.[11]
Kelompok ini biasa disebut sebagai kelompok skripturalis. Karena keyakinan dan concern mereka yang teramat besar pada teks. Kelompok ini, merasa tidak perlu terlibat dalam kegiatan intelektual untuk mengadaptasikan pesan-pesan Rasulullah dalam kondisi sosial terkini. Mereka merasa bahwa pesan teks dalam Al Qur’ân  dan Al Hadith sudah teramat jelas. Sehingga hanya perlu penerapan dalam kehidupan nyata.[12]
Puritanisme Islam yang berkembang pada akhir abad ke 20, menjadi lebih radikal. Sebagian pihak mengatakan bahwa abad ke 15 Hijriyah atau abad ke 20 Masehi sebagai era kebangkitan Islam. Namun yang terjadi sebenarnya adalah awal dari radikalisme dalam Islam dalam bentuk baru. Di Iran ditandai dengan munculnya gerakan para agamawan yang dipimpin para ulama Syi’ah yang berhasil menggulingkan dinasti Pahlevi. Sedang di Mesir ditandai dengan berdirinya Ikhwân al Muslimîn  oleh Hassan Al Banna (1906-1949). Organisasi ini kemudian menyebar ke lebih dari 70 negara, tidak hanya di wilayah Timur Tengah.[13] Gerakan Ikhwân kemudian menjadi lebih radikal pada tahun 70-an ketika mengalami persentuhan dengan pemikiran Sayyid Quthb dan Abu Al A’la Al Maududi.[14]
Diantara penyebab menyeruaknya radikalisme Islam adalah kegagalan nasionalisme sekuler yang disebut tak mampu mengakomodasi kepentingan para agamawan. Kaum radikal ini tak menolak perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan  sebagai perkembangan modernitas. Mereka hanya menolak ideologi dibaliknya, sekularisme dan meterialisme.[15]
Maka guna menghancurkan sekularisme dan materialisme yang diasumsikan sebagai kejahiliyahan modern itu, diperlukan perang, jihad guna menguasai kekuasaan duniawi tersebut. Jihad harus dilakukan secara komprehensif. Kalaupun dianggap perlu maka digunakan kekerasan. Kewajiban jihad juga diserta dengan imbalan, mati syahid. Sebuah “seni kematian terindah” dalam term Islam.[16]
Menurut Imadadun Rahmat, gerakan ini memiliki beberapa prinsip. Pertama, al dîn wa dawlah. Penegakan agama dan negara harus dilakukan sekaligus. Bagi kalangan ini, hukum Islam bersifat inheren. Maka tak ada pemisahan Islam dan negara. Kedua, Al Qur’ân  dan Al Hadith sebagai fondasi Islam harus diikuti secara total. Untuk itu kaum muslim harus kembali pada kedua sumber hukum itu. Tentu dengan mengandaikan titik ideal zaman Nabi Muhammad.
Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Ini dilakukan dalam hal pemurnian ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Juga menolak sistem ekonomi barat yang penuh dengan riba. Keempat, kedaulatan dan berhukum berdasarkan shari’ah. Bagi kalangan ini, tujuan Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi. Hal ini hanya dapat dicapai, jika negara menerapkan tatanan negara Islam, Niz}am Islami, dimana shari’ah menjadi hukum tertinggi. Dan kelima, jihad. Sebagai upaya menegakkan negara Islam. Jihad merupakan perang suci, untuk menghalau penghalang tegaknya negara Islam.[17]

Kelemahan Espitemologis Al La Madzhabiyah
Sesungguhnya tak ada golongan Islam manapun yang menolak tentang penting dan utamanya Al Qur’ân  maupun Al Hadith. Tapi perbedaan terjadi tentang bagaimana tafsiran Al Qur’ân  pada masa kini. Perdebatan tentang boleh tidaknya ta’wil, misalnya, sampai hari ini juga tetap menjadi perdebatan tersendiri. Sehingga memunculkan perdebatan dalam bidang teologi, aqîdah. Maka yang membolehkan ta’wil¸menolak antropomorfisme yang dilakukan kaum mujassimah atau mushabihah. Pun begitu dalam penentuan hukum.
Bagi kaum yang menolak bermadzhab, madzhab tidak diperlukan karena Al Qur’ân  cukup terang dan jelas. Sehingga hanya membutuhkan Al Qur’ân , kitab-kitab Hadith seperti Al Muwatt}o, S}ahih Bukhari dan Muslim, Sunan Abu Dawu>d, Jami’ Turmudzi dan Nasa’i.[18] Begitu setidaknya yang dikemukakan oleh Syaikh Al Khojandi seperti yang dikutip oleh Dr. Romad}on Al Buthi dalam kitabnya.
Menolak madzhab dengan memerintahkan semua orang merujuk pada Al Qur’ân  dan Al Hadith secara langsung merupakan “kecelakaan” berfikir dalam kehidupan beragama. Kenyataan bahwa tidak semua orang dapat memahami bahasa Arab dengan kaidah-kaidah kesusasteraannya adalah penolakan terhadap realitas yang ada. Apalagi kemudian usaha menafsirkan Al Qur’ân  dan Al Hadith harus dilakukan dalam ranah hukum. Maka tidak akan dicapai sebuah penafsiran yang memadai dan shahih.
Kita lihat misalnya, beberapa syarat untuk menjadi penafsir Al Qur’ân  yang didedahkan oleh Manna> Khalil Al Qat}t}an sangat sulit dicapai awam. Pertama, Sahnya aqidah. Ini merupakan syarat agar penafsiran yang dilakukan tetap dalam koridor yang benar. Kedua, meninggalkan hawa nafsu. Agar tidak memperturutkan hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh golongan Qodariyah, Syiah Rafidhâh, Mu’tazilah, dan beberapa golongan lain yang yang menyimpang. Ketiga, hendaknya kali pertama menafsirkan Al Qur’ân  dengan Al Qur’ân . Yakni melakukan penafsiran suatu ayat Al Qur’ân  dengan ayat lainnya dalam Al Qur’ân . Keempat, menafsirkan Al Qur’ân  dengan Al Sunnah. Karena Al Sunnah merupakan penjelas paling utama dan paling bisa diterima. Dan memang demikianlah harusnya kedudukan Al Sunnah.
Kelima, jika tidak menemukan pada keduanya. Maka penafsiran dilakukan dengan perkataan para sahabat nabi. Karena sahabat adalah golongan yang paling tahu tentang maksud turunnya Al Qur’ân . Keenam, jika tidak juga ditemukan. Maka harus merujuk pada pendapat para tabi’in. Seperti, Mujahid bin Jabar, Sa’id bin Jabir, Ikrimah budak Ibnu ‘Abbas, Atho’ bin Abi Robah, Hasan Al Bas}ri dan lainnya. Karena mereka mendapatkan tafsir itu dari para sahabat, yang berarti mendapatkan tafsir yang shahih.
Ketujuh, menguasai ilmu kesusastraan Arab. Karena Al Qur’ân  turun dengan bahasa Arab. Mau tidak mau, penguasaan bahasa Arab menjadi penting. Mengetahui cabang ilmu Nahwu, S}orf, tiga cabang ilmu Bala>ghoh, yaitu Ma’ani, Baya>n dan Badi’. Kedelapan, mengetahui ilmu yang mendasar tentang Al Qur’ân , seperti ilmu Qirâat, ilmu Tauhid, sehingga mampu melakukan ta’wil yang tepat ketika mena’wili sifat-sifat Allah. Mengetahui ilmu Tafsir, seperti Asbab al Nuzûl, Naskh Mansukh dan sejenisnya. Dan kesembilan, mendalamnya pemahaman atau kecerdasan yang memungkinkannya menafsir Al Qur’a>n. [19]
Syarat-syarat penafsir, yang ditetapkan oleh Imam Jalaludin Al Suyut}i dan Al Itqa>n seperti dikutp oleh Quraish Shihab adalah sebagai berikut. Pertama, mengetahui Ilmu Bahasa Arab dengan mengetahui bagian yang mushtarak. Kedua, menguasai ilmu Nahwu, karena perubahan makna dimungkinkan akibat berubahnya I’rab. Ketiga, ilmu s}orf, karena perbedaan bentuk dapat merubah makna. Keempat, pengetahuan tentang ishtiqaq atau akar kata. Karena menentukan makna kata. Kelima, mengetahui ilmu Al Ma’a>niy. Keenam, mengetahui ilmu Al Bayan. Ketujuh, mengetahui ilmu Al Badi’. Kedelapan, mengetahui ilmu Al Qirâ’at. Kesembilan, mengetahui ilmu Ushûl al Di>n. Kesepuluh, mengetahui Ushûl al Fiqh. Kesebelas, mengetahui Asbab Al Nuzûl. Kedua belas, mengetahui Naskh dan Mansukh. Ketiga belas, mengetahui Fiqh atau hukum Islam. Keempat belas, mengetahui Hadith-hadith nabi yang berkenaan dengan penafsiran. Kelima belas, mempunyai Ilmu al Mauhiba>h. yakni potensi besar yang dianugerahkan Allah kepadanya, sehingga berpotensi menjadi mufassir. Diantaranya adalah sahnya aqidah yang dianut. [20]
Pun sebagai teks, Al Qur’ân  jelas tidak muncul dari ruang hampa. Dan karena inilah, Nashr Hamid Abu Zayd, menyebut bahwa Al Qur’ân  adalah muntaj Al Thaqafi, hal yang sering difahami dengan salah dari ungkapan Nashr Hamid. Bahwa makna yang dikandung oleh pernyataan itu adalah, Al Qur’ân  adalah bentuk sebuah respon atas budaya, tradisi dan tatanan hukum, sosial dan lain-lain.[21] Untuk itu Asbab al Nuzûl, adalah salah satu yang harus dikuasai oleh seseorang yang hendak menafsirkan Al Qur’ân . Walaupun dalam kaidah dinyatakan, Al Ibrah bi umu>m al lafz la> bi al khus}us al sabab.
Namun, jumhur ulama seperti Al Wah}h}idi>, yang mengatakan tidak mungkin menafsirkan Al Qur’ân  tanpa memperhatikan cerita dan keterangan tafsirnya. Ibnu Taimiyah, Ibnu Daqiq juga mengatakan hal yang sama tentang ketidak mungkinan menafsirkan Al Qur’ân  tanpa asbab al nuzûl.[22]
Melihat kenyataan sedemikian, sangatlah tidak dimungkinkan seorang awam untuk langsung mengetahui arti dan hukum dari Al Qur’ân  tanpa pengetahuan yang mumpuni. Dan dalam hal ini, sudah dipastikan bahwa “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith” hanyalah slogan yang tak punya konsep operasional.
Permasalah itu akan mudah kita tangkap dalam memahami maksud surat Al Mâidah ayat 6, misalnya:
Ya> Ayyuha Al Ladhina A>manu> Idha Qumtum ila> al S}olati fa Ghsilu> Wuju>hakum wa Aydiyakum ila> al Marafiqi wa Msah>u bi Ruu>sikum…
Ayat yang menjelaskan tentang keharusan wud}u sebelum menunaikan s}olat ini jika difahami secara letterlijk oleh orang awam, akan menyebabkan kerancauan hukum. Lafaz} “qumtum”, menunjukkan fi’il mad}i, yang berarti lampau. Maka, kalau ditafsirkan secara kebahasaan an sich, kewajiban wud}u adalah setelah s}olat. Permasalahan ini baru dari pemahaman satu kata awal.
Sedangkan dalam kalimat, “wa Msah>u bi Ruu>sikum..”, terdapat huruf “ba’”, yang dalam kaidah bahasa Arab disebut sebagai huruf ja>r, dan mempunyai beberapa faidah, disebutkan dalam kitab Syarh Ibnu Aqîl, demikian;
Bi al Ba’ Ista’in, wa ‘addi, ‘awwid}, al S}iqi  wa Mithla “ma’”, wa “min”, wa “’an” biha> int}iqi
“Bahwa huruf ba’ itu mempunyai makna isti’anah, seperti: aku menulis dengan (bi) pena. Dan untuk ta’diyah, seperti: aku pergi dengan (bi) zaid. Dan untuk faidah ta’wid} (pengganti), seperti: aku membeli kuda dengan (bi) seribu dinar. Dan untuk faidah ilshoq, seperti: aku berjalan dan bertemu dengan (bi) zaid. Atau mengandung makna “ma’a”, atau “min”, atau “’an”, dan kadang-kadang huruf “ba’”, juga untuk “mus}ohabah”, seperti: fa sabih} “bi” h}amdi rabbika.”[23]
Maka sangatlah sulit untuk menentukan hukum langsung dari Al Qur’ân . Jikalau huruf jâr “ba’” pada kalimat tersebut dianggap berfaidah ta’diyah, maka upaya mengusap sebagian kecil rambut saja sudahlah sah dalam wud}u. Tetapi jika berfaidah ilsoq, maka haruslah seluruh bagian kepala terbasuh.
Hal demikian tidak akan terjadi manakala kita mengikuti madzhab. Karena perbedaan itu dibahas orang masing-masing imam. Imam shafi’I, misalnya menganggap huruf “ba’” dalam ayat itu berfungsi “muta’adiy”, sedangkan imam Al Malik, mengatakan “ba’” itu berfaidah ils}oq.
Demikianlah diantara kesulitan berhukum langsung kepada Al Qur’ân  dan Al Hadith, jika dilakukan oleh para awam, belum lagi dengan berbagai perangkat. Misalnya harus mengaitkan lafaz} Al Qur’ân  dengan Al Hadith, mengingat bagaimana hadith harus diperiksa otentisitasnya. Dari mulai sanad, matan dan riwayatnya. Dan tentu ini merupakan pekerjaan besar yang tak mungkin dilakukan oleh awam. Maka jelaslah, bahwa senyatanya secara ontologis, epistemologis, sampai tingkatan aksiologis, faham bebas madzhab atau lâ madhhabiyah jelas sangatlah lemah dan sulit dioperasionalkan.
Berislam dan Bermadzhab; Pendapat Ulama Nusantara
Madzhab adalah cara paling benar dan paling mungkin dalam kehidupan berislam. Karena nyata, faham bebas madzhab tidak mampu memberikan jawaban dan gambaran tentang bagaimana berislam tanpa madzhab dalam kurun waktu ini. Kita jelas tidak mungkin berdakwah dengan faham bebas madzhab, karena itu artinya kita akan menyerahkan urusan agama kepada siapapun yang tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan hukum Islam.
Ketidak mungkinan berislam tanpa bermadzhab ini sudah diungkapkan jauh hari oleh ulama Nusantara. Diantaranya oleh Kh. Muhammad Faqih Maskumambang (1857-1937). Dalam sebuah kitabnya Kiai Faqih mendedahkan syarat menjadi mujtahid mutlak. Pertama, mengetahui perbedaan tingkatan dan karakteristik setiap dalil dalam Al Qur’ân  maupun al Hadith, seperti kategori ‘am dan khas, mut}laq dan muqayyad, mujmal dan mubayyan, naskh dan mansukh, serta hal lainnya.
Kedua, mengetahui ragam hadith seperti mutawatir, ah}ad, mut}tas}il, munqat}i’, marfu’ dan mursal. Ketiga, mengetahui cara mentarjih ketika ada dua dalil yang bertentangan (tanaqud}). Keempat, mengetahui ihwal periwayatan hadith, mana yang bisa dijadikan istidlal, dan mana yang tidak. Kelima, hukum yang dikeluarkan tidak menyalahi ijma’ ulama. Keenam, mengetahui naskh dan mansukh, mengetahui mana perintah dan larangan. Mengedepankan nash yang z}a>hir. Dan ketujuh, mengenal ketiga qiyas, yakni, qiyas al Aula, al Maawi dan Adwan.[24]
Solusi yang diberikan oleh KH. Muhammad Faqih adalah dengan mengikuti empat madzhab yang sudah jelas runutan sejarah dan otentisitasnya. Kiai Faqih mengetengahkan pendapat dari Sayyid Ba’alawi Al H}}adrami yang mengetengahkan pendapat dari Ibnu Shalah akan adanya ijma’ tentang tidak diperbolehkannya taklid kepada selain empat madzhab yang ada. Pendapat ini dikutip dari kitab Bughyah al Mustarsyidin fi> Talkhis Fatawa ba’d} al Aimah al Mutaakhirin.[25]
Dalam khutbah al iftitah} muktamar kedua jam’iyyah Nahd}atul ‘Ulama, Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari mendedahkan sebuah hadith dari sahabat Mughirah bin Sa’ab dengan mengetengahkan seluruh sanadnya hingga sampai pada Shuaib bin Abdu Al Rahman guru dari Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari. Bahwa Rasulullah bersabda, “Segolongan umatku akan terbantu dalam kebenaran, tidak akan membahayakan mereka, siapapun yang memusuhi mereka dan mereka akan menang terhadap musuh-musuh mereka sampai hari kiamat.”  Imam Bukhari mengatakan  bahwa golongan itu adalah “ahli ilmu.”
Dalam menafsirkan hadith ini, Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari mengatakan, bahwa golongan ahli ilmu dan yang akan selalu menang adalah mereka yang berpegang pada ajaran salaf shalih. Yakni, berpegang pada madzhab yang jelas. Dan jika berdalil sendiri dengan Al Qur’ân  dan Al Hadith dan meninggalkan madzhab. Maka, kalian (ahli ilmu) yang meninggalkan madzhab tidak lebih merupakan ahli bid’ah, penurut hawa nafsu dan menyelisihi mereka yang tercantum dalam hadith tersebut diatas.[26]
Kesimpulan
Dalam pembahasan yang jauh, nyata bahwa aliran bebas madzhab atau lâ madhhabiyah, adalah sebuah gerakan yang lemah secara ontologis. Slogan “kembali pada Al Qur’ân  dan Al Hadith”, jelas merupakan slogan yang hanya berisi kiasan semata. Bahkan dalam menafsirkan Al Qur’ân , kita akan dihadapkan pada persoalan Asbab al Nuzûl, yang pada kenyataannya juga berbeda-beda riwayat, dan “memaksa” kita untuk memilih, mengikuti madzhab tafsir seseorang imam.
Dan setelah itu, kita tetap saja tak bisa melahirkan hukum apapun tanpa mengikuti madzhab yang telah ada. Yang akan ada dan  mungkin, hanya kita menganut satu madzhab dengan konsisten atau berpindah-pindah madzhab dengan hanya mengutamakan nafsu belaka. Maka, secara ontologis, epistemologis dan aksiologis, bebas madzhab adalah sesuatu yang lemah, untuk tidak dikatakan tidak mungkin. Serta tidak berkembang, kecuali pada pola penyebaranya sahaja. Secara konseptual, aliran lâ madhhabiyah malah tidak berkembang  sama sekali.













































Daftar Pustaka

Al Buthi, Said Ramadlon, Bebas Madzhab Membahayakan Syariat Islam. Terj. H. Anas Thohir Sjamsudin Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981.
 Al H>}asani, As Sayyid Muhammad b. ‘Alawi Al Ma@liki@, Syarh Mand}u@matu Al Waraqat fi@ Us{ul Al Fiqhi, Surabaya: Haiah As Shofwah, tt, 11.
al Hamdaniy, Qad}I al Qud}at Bahauddin ‘Abdu Allah bin Aqi>l al Aqi>liy Al Mis}ri., Syarh ibnu Aqi>l, Vol. 3. Surabaya: Al Hidayah, tt.
 al Qat}t}an, Manna@’ Khalil, Mabâhits fi> Ulûm Al Qur’ân, Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973.
Ash’ari, Had}ratus Shaikh Hashim, Min al Mu’tamar ila al Mu’tamar. Tidak diterbitkan.
el Fadl, Khaled M. Abou, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi, 2005, 253.
 Hassan, A. Qadir, Ilmu Mushtalah Hadits, Bandung: Diponegoro, 1982.
Hunter, Shireen T., Politik Islam di Era Kebangkitan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Juergenmeyer, Mark, The New Cold War?, Religious Nationalism Confronts the Secular. State Berkeley: University of California Press, 1993.
Liddle, R. William, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward ed., Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Cet. I, Bandung: Mizan, 1999.
 M. Kholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah Jakarta: UI Press, 2011, 60.
Maskumambang, Muhammad Faqih, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At Tilimsani Terj. KH. Abdul Azis Mashuri Depok: Sahifa, 2015.
 Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979.
Qadafy, Mu’ammar Zayn., Buku Pintar Asbabun Nuzûl Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, Yogyakarta: In AzNa Books, 2015.
Rahmat, Imdadun, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005.
 Rakhmat, Jalaluddin, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas” dalam Al Chaidar ed., Islam, Fundamentalisme dan Ideologi Revolusi Jakarta: Madani Press, 2000.
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1996.
 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, M.Quraish, KaidahTafsir, Tangerang: Lentera hati, 2013.





[1] Manna@’ Khalil al Qat}t}an, Mabâhits fi> Ulûm Al Qur’ân, (Surabaya: Al Hidayah. Cet. Ke-2, 1973), 9.
[2] Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an (Bandung: Mizan, 1999),77
[3] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtalah Hadits (Bandung: Diponegoro, 1982)
[4] Lih. Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan…,122.
[5] M. Kholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: UI Press, 2011), 60.
[6] As Sayyid Muhammad b. ‘Alawi Al Ma@liki@ Al H>}asani, Syarh Mand}u@matu Al Waraqat fi@ Us{ul Al Fiqhi (Surabaya: Haiah As Shofwah, tt), 11.
[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[8] Lih. Kholil Nafis, Teori Hukum…, 17-18
[9] D. Said Ramadlon Al Buthi, Bebas Madzhab Membahayakan Syariat Islam. Terj. H. Anas Thohir Sjamsudin (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), 55-59.
[10] Jalaluddin Rakhmat, “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas” dalam Al Chaidar (ed.), Islam, Fundamentalisme dan Ideologi Revolusi (Jakarta: Madani Press, 2000), 16.
[11] Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Jakarta: Serambi, 2005), 253.
[12] R. William Liddle, “Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia Masa Orde Baru”, dalam Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1999).
[13] Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), 28.
[14] Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi, 1996), xix
[15] Mark Juergenmeyer, The New Cold War?, Religious Nationalism Confronts the Secular State (Berkeley: University of California Press, 1993), 39.
[16] Shireen T. Hunter, Politik Islam di Era Kebangkitan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 15.
[17] Lih. Imdadun Rahmat, Arus Balik…, 154-155.
[18] Lih. Dr. Said Romad}on Al Buthi, Bebas Madzhab…, 42-43.
[19] Lih. Manna@’ Khalil al Qat}t}an, Maba>hits fi> …, 329-331.
[20] M.Quraish Shihab, KaidahTafsir, (Tangerang: Lentera hati, 2013), 395-396.
[21] Mu’ammar Zayn Qadafy, S.Th.I., M.Hum., Buku Pintar Asbabun Nuzûl Dari Mikro Hingga Makro; Sebuah Kajian Epistemologis, (Yogyakarta: In AzNa Books, 2015), x-xi.
[22] Muammar Zayn Qadafy, Buku Pintar Asbabun Nuzûl…, 5-6.
[23] Qad}I al Qud}at Bahauddin ‘Abdu Allah bin Aqi>l al Aqi>liy Al Mis}ri, al Hamdaniy, Syarh ibnu Aqi>l, Vol. 3. (Surabaya: Al Hidayah, tt), 22-23.
[24] KH. Muhammad Faqih Maskumambang, Menolak Wahabi: Membongkar Penyimpangan Sekte Wahabi: Dari Ibnu Taimiyah Hingga Abdul Qodir At Tilimsani Terj. KH. Abdul Azis Mashuri (Depok: Sahifa, 2015), 55-56.
[25] Lih. KH. Muhammad Faqih Maskumambang, Menolak Wahabi…, 49-50.
[26] Had}ratus Shaikh Hashim Ash’ari, Min al Mu’tamar ila al Mu’tamar. (dokumen didapat dari perpustakaan keluarga ahli waris KH. Umar Burhan, asisten pribadi sekaligus pencatat khutbah/pidato KH. Hashim Ash’ari). Tidak dipublikasikan. Maksudnya adalah berarti tidak akan menjadi golongan sebagaimana disebutkan dalam hadith itu.