Perkembangan Fitnah; Dahulu dan Sekarang
Sejak kecil kita diperkenalkan, bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
Pembunuhan, walaupun haram dan keji hanya akan mengantarkan kematian sekali dan
menyakiti seseorang sekali saja. Sedangkan fitnah, akan “membunuh” orang
berkali-kali, menimbulkan efek yang tidak sedikit, menimbulkan koban yang tidak
sedikit, membuat kekacauan sosial, politik, ekonomi, menyakiti beberapa orang
berkali-kali, dan menciptakan distabilitas yang berbahaya bagi kehidupan umum.
Dalam masa dahulu, fitnah disebarkan dengan cara konvensional, hingga sangat
mudah dilacak asalnya, dihentikan penyebarannya, dan mudah diredam. Dalam dunia
yang serba canggih seperti hari ini, fitnah disebarkan dengan sedemikian canggih,
massif dan liar. Sulit melacak kebenarannya, sulit dideteksi penyebarnya dan
sulit dihentikan serta diredam.
Dalam dunia modern, berita tidak benar yang disebarkan melalui media sosial
biasa disebut hoax. Hoax (dibaca; houx) adalah berita bohong, berita
buatan yang tidak benar, atau acap diucapkan untuk menggambarkan berita yang
tidak jelas sumber dan jluntrungannya. Hoax pertama kali digunakan warga
daring atau biasa disebut netizen di Amerika Serikat.
Kata ini pertama kali muncul dari sebuah film berjudul “The Hoax”. Film
besutan Lasse Hallstrom, merupakan film drama Amerika tahun 2006. Penulis skenario
film ini adalah William Wheeler mengadaptasi dari buku berjudul sama yang
ditulis oleh Clifford Irving. Buku ini tak lain adalah biografi pribadi Irving,
yang dibantu tulis oleh Howard Hughes. Sekian kejadian, dan tulisan Irving yang
ada dalam buku itu, kemudian banyak dihilangkan dalam proses pembuatan film.
Hingga pada satu titik, Irving mengundurkan diri dari penasehat teknis
pembuatan film itu. Karena merasa terlalu banyak plot film yang melenceng dari
buku aslinya. Irving minta namanya dihapus dari kredit film tersebut. Hingga
pada akhirnya film itu dianggap mengandung banyak kebohongan. Dan akhirnya film
yang dibintangi Richard Gere itu dianggap sebagai referensi kata hoax. Kata yang
menggambarkan berita bohong, penuh kepalsuan dan ketidak benaran.
Hoax; Dari Hadist Nabi Sampai Kamus Cambridge
Dalam kamus daring Cambridge, hoax diartikan sebagai, ”a plan to deceive
someone, such as telling the police there is a bomb somewhere when there is not
one, or a trick”. Sebuah rencana menipu seseorang, seperti mengatakan
kepada polisi bahwa ada bom disuatu tempat padahal tidak ada, atau trik. Dalam
wikipedia, hoax adalah sebuah dusta yang sengaja diciptakan untuk dianggap
sebagai kebenaran. “A hoax is a deliberately fabricated falsehood made to
masquerade as the truth.”
Dalam dunia agama manapun, apalagi agama termulia kita Islam, kebohongan
adalah sebuah hal yang tak bisa diterima dengan alasan apapun. Apalagi jika
mengandung fitnah. Panutan kita, nabi agung nan mulia Muhammad SAW, bahkan
sejak remaja dikenal sebagai Al Amiin, seseorang yang menjunjung
tinggi kebenaran dan amanah dalam setiap langkah dan ucapnya. Mungkin dibelahan
Eropa hal semacam tipuan untuk sekedar gurauan dan candaan mempunyai tempat
khusus. Hal ini bisa kita lacak dengan adanya budaya April Fools' Day atau
yang dikenal dengan April Mop. Sebuah event yang “menghalalkan” untuk menipu
seseorang sebagai bahan candaan dan agar mempunyai efek kejutan yang
menyenangkan. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April, sesuai namanya.
Namun dalam Islam, Rasulullah SAW sendiri bahkan memberikan peringatan
kepada kita, agar tidak berdusta hatta dalam keadaan bercanda. Ini
mungkin perbedaan penting dalam budaya Islam yang begitu mementingkan etika,
moral dan asketisme. Dibanding denga dunia Eropa yang sekuler, liberal dan
pemuja kebebasan. Yang lebih mementingkan kesenangan, keduniawian dan
materialistik itu.
Hadits tentang larangan dan peringatan untuk tidak berdusta dalam keadaan
bercanda sekalipun ini bertebaran dengan banyak sanad. Dalam riwayat Imam
Ahmad, beliau menyebutkan hadist
لاَ يُؤْمِنُ
الْعَبْدُ الإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ فِى الْمُزَاحَةِ
وَيَتْرُكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقاً
(“Seseorang
tidak dikatakan beriman seluruhnya sampai ia meninggalkan dusta saat bercanda
dan ia meninggalkan debat walau itu benar.” HR. Ahmad 2: 352)
Dalam hadist lain, diriwayatkan oleh Imam Thobroni , bahwa nabi bersabda, “Aku juga bercanda namun
aku tetap berkata yang benar.” HR. Thobroni dalam Al
Kabir 12: 391.
إِنِّي لأَمْزَحُ , وَلا أَقُولُ إِلا حَقًّا
Bahkan Nabi SAW tidak segan mengancam bagi mereka yang bercanda dan membuat
lelucon berlebihan dengan berbohong,
وَيْلٌ لِلَّذِى
يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah
bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum
tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi
no. 3315)
Kebohongan; Fitnah dan April Mop
Dalam dunia barat, kebohongan ditoleransi dalam waktu-waktu tertentu. Ini
sudah menjadi tradisi dan budaya sejak lama. April Mop, misalnya. April Mop
atau April Fool’s Day sendiri mempunyai banyak versi sejarah asal muasal. Setidaknya ada tiga
versi yang seringkali disuguhkan.
Pertama, tradisi ini sebagaimana salah satu versi yang
paling dipercaya benar sebagai asal mula dari April Mop adalah berawal pada
tahun 1582, ketika
rakyat Perancis merayakan tahun baru pada awal bulan April atau akhir bulan
Maret. Pada masa itu setiap tahun hanya terdiri dari 10 bulan. Sehingga perayaan
tahun baru diselenggarakan pada 25 Maret dan berpuncak pada 1 April, masa itu
yang berkuasa adalah Charles IX. Pada masa kepemimpinan raja Charles IX itulah,
kemudian
diubah oleh Paus
Gregory XIII mengadopsi Kalender Gregorian, sistem
kalender yang kita gunakan sekarang ini dimana tahun baru akan jatuh pada tanggal
1 Januari setiap tahunnya. Rakyat Perancis menolak gagasan ini, sehingga mereka
tetap melakukan perayaan pada tanggal 1 April.
Kebiasaan
bangsa Perancis ini kemudia menjadi bahan tertawaan dan candaan bangsa lain.
Korban dari candaan palsu April Fool’s Day dikenal juga sebagai “Poisson d’Avril” atau
ikan April, istilah
ini diambil dari pergerakan matahari yang meninggalkan zodiak Pisces (zodiak
Pisces berlambang ikan dan berada di kisaran tanggal 20 Februari – 20 Maret).
Kedua,
asal
muasal tradisi April
Mop juga datang dari Spanyol. Spanyol pada mulanya menggelar April Mop pada tanggal
28 Desember yang disebut Dia de los Santos Inocentes. Yang berarti “hari anak tak bersalah”. Hingga suatu ketika pemerintahan Spanyol
mengeluarkan undang-undang baru bahwa
tanggal 28 desember 1978 dimundurkan sehari agar tidak dijadikan bahan tertawan
publik. Pernyataan berbeda diungkap
Joseph Boskin, profesor dari Boston University. Dalam teorinya, Boskin mengatakan, tradisi April Mop digagas para
pelawak Kerajaan Romawi pada masa Raja Constantin I pada abad ketiga hingga keempat Masehi.
Mulanya,
pelawak-pelawak
kerajaan ini mengajukan petisi yang ditujukan kepada Contanstin I
agar mereka diangkat menjadi raja walau hanya untuk sehari saja. Tak
disangka, Constantin I menyetujui
petisi itu
dan mengangkat salah satu perwakilan pelawak bernama Jeter untuk menjadi Raja Sehari pada 1
April. Saat berkuasa sehari itulah,
Jeter meresmikan tanggal 1 April sebagai hari kemustahilan.
Ketiga,
dalam
versi ini dikatakan perayaan April Mop
adalah hari dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib yang
dilakukan dengan
cara-cara menipu dan membohongi.
Pada
saat itu,
tentara salib merayakan April Mop dengan cara melegalkan menipu dan
membohongi kaum muslim yang ada di Granada. Kala itu, umat muslim yang kalah
perang ditipu dan dibohongi dengan cara licik. Pasukan salib mengatakan bahwa
warga Spanyol muslim akan
dibebaskan dan dikeluarkan dengan menggunakan
kapal. Tetapi selayaknya tradisi April Mop mereka, semua itu hanyalah kebohongan belaka. Ini merupakan strategi tentara salib untuk
menipu masyarakat Spanyol. Kala kaum muslim Spanyol
masuk dan berada dalam
kapal, mereka justru dibunuh
dengan
sadis oleh
tentara Salib. Peristiwa kejam
itu menurut versi sejarah ini, terjadi
pada tanggal 1 April.
Lebih Kejam Dari Membunuh
Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan (Q.S. Al
Baqoroh; 217). Pernyataan tersebut tentu tidak mengada-ada, apalagi jika
melihat bahwa kalimat itu berada dalam kitab suci kita, Al Qur’an. Fitnah tentu
mempunyai implikasi lebih hebat dari pembunuhan. Fitnah bisa melumpuhkan
seseorang bahkan sebelum ia dilukai dan dibunuh. Mempunyai efek domino yang
lebih luas bagi seseorang, dalam kehormatan, ekonomi dan sosial. fitnah juga
perbuatan keji yang dapat membuat distabilitas sosial, memicu kerusuhan yang berdampak
luar biasa.
Fitnah, pada dasarnya bermakna cobaan dan ujian, الابتلاء، والامتحان , berasal dari ucapan فتنتُ الفضة والذهب, yang berarti,
“Saya menguji perak dan emas”. Maka tak heran, jika fitnah dapat menjadi ujian
dan cobaan bagi mereka yang terkena fitnah. Dalam maqayisul lughah,
“الفاء والتاء والنون أصل صحيح يدل على الابتلاء والاختبار” ( مقاييس
اللغة 4/ 47(
“Huruf fa’, ta’ dan nun adalah asal yang jelas yang
menunjukkan cobaan dan ujian.” (maqayisul lughoh, 4/47)
Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menukil pendapat Ibnu Arabi
tentang kata fitnah,
“الفتنة
الاختبار، والفتنة المحنة، والفتنة : المال، والفتنة الأولاد، والفتنة الكفر،
والفتنة اختلاف الناس بالآراء والفتنة الإحراق بالنار
“fitnah adalah cobaan, fitnah adalah ujian, fitnah
adalah; harta, dan fitnah adalah anak-anak, fitnah adalah kufur, fitnah adalah
perselisihan pendapat manusia dalam berpendapat, fitnah juga berarti pembakaran
dengan api”
Beberapa pihak menganggap bahwa perkataan yang tak benar
terhadap orang lain sebagai hal sepele, namun tidaklah berlaku demikian. Banyak
sendi kehidupan yang dapat hancur, dari informasi yang salah, tidak valid dan
benar seperti itu. Fitnah dapat melukai psikologis beberapa orang sekaligus,
fitnah yang dikenakan kepada seorang ayah misalnya, dapat juga merugikan istri
sampai anak cucunya kelak. Hal demikian tentu bertentangan dengan maksud
diturunkannya agama, sebagai kedamaian. Tentu kita akan dibuat terheran dengan
kaum yang mengaku beragama, namun seringkali secara serampangan menebar fitnah disana-sini.
Maka tak pelak, bahwa firman Allah fitnah lebih kejam dari pembunuhan adalah
benar adanya. Karena kerugian yang ditimbulkan jelas lebih massif.
Bohong dan Dusta Menurut Islam
Kebohongan adalah perbuatan yang berdekatan dengan fitnah. Fitnah selalu
bohong adanya, kalaupun ada unsur kebenaran, jelas itu tak lebih besar dari
prosentase kebohongan dan madhorotnya.
Kebohongan dalam Islam, bukanlah hal yang mudah ditoleransi, “Sesungguhnya
yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl
[16]: 105). Dari ayat ini secara harfiah jelas, bagaimana penolakan Islam
terhadap kebohongan.
Perintah berkata benar pun jelas adanya,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar”.
[At-Taubah/9:119]
Bersama dengan orang-orang yang berkata benar, akan membuat kita terbiasa
untuk berkata benar. Karena ancaman atas perbuatan bohong, tidaklah ringan. “Dan pada hari kiamat kamu
akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam.
Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang
menyombongkan diri?.
(Q.S.
Az Zumar; 60)
Orang yang berkata dusta, dalam ayat ini dianggap sebagai kesombongan.
Karena mereka telah mengetahui bahwa kebohongan adalah dilarang, namun melawan
perintah itu, dan jelaslah ini adalah perbuatan sombong.
عَنْ عَبْدِ اللهِ
بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى
الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ،
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ،
وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Dari
‘Abdullah bin
Mas’ud
Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran
membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan
apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat
di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta,
karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan
seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih
kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”
Dari sabda Rasulullah SAW ini jelas, bahwa berkata benar dan baik, serta
berkata kotor dan dusta adalah pilihan.
Hoax Pertama dan Terbesar Dalam Sejarah Kaum Muslim
Hoax atau berita bohong bukan tidak pernah terjadi pada zaman nabi agung
Muhammad SAW. tak tanggung-tanggung, korban dari berita hoax ini adalah seorang
yang mulia dan agung, perempuan cerdas nan cantik, ummul mukminin sayyidatina
Aisyah. Istri kesayangan Rasulullah SAW yang kerap dipanggil beliau dengan
panggilan kesayangan, khumairoh. Karena wajahnya yang putih bening dan
cenderung kemerah-merahan. Istri yang cerdas, dan dari beliau Aisyah RA kita
mendapati pelajaran tentang sifat, sikap dan kehidupan Nabi SAW, bahkan dirahan
yang sangat privat. Kecerdasan beliau memang tak bisa diragukan. Dan manusia
semulia inipun, tak luput dari fitnah dan berita hoax, yang bahkan sampai
membuat Rasulullah SAW sedih.
Cerita bermula, kala Rasulullah hendak berangkat menuju peperangan.
Sebagaimana kebiasaan Rasulullah, setiap dalam perjalanan selalu mengundi
diantara istri beliau, sesiapa yang akan mendampingi beliau dalam perjalanan.
Undian kala itu jatuh pada Aisyah. Yah, nama sayyidah Aisyah yang muncul dan
artinya berhak mendampingi Nabi SAW dalam perjalanan perang ketika itu.
Perang itu adalah perang yang terjadi pada kurun waktu tahun ke 5 Hijiryah,
tepatnya pada bulan Sya’ban. Kaum muslimin sedang berperang dengan Bani
Mustaliq didaerah Muraisi’. Bani Mustaliq yang merupakan bagian dari suku
Khuza’ah sedang bersepakat menyusun kekuatan guna membunuh Nabi SAW dipimpin
oleh komandan mereka Al Haris bin Abi Dirar. Berita ini diperolah Nabi dari
seorang badui. Ketika mereka sedang asyik dengan persiapan itu dan lengah, Nabi
bermaksud menyerang mereka. Pasukan Muhajirin dipimpin oleh Abu Bakar,
sedangkan pasukan Anshor dimpin Sa’ad bin Ubadah. Ketika sampai di pangkalan
air bernama Muraisi, Bani Mustaliq terkepung, beberapa kabilah yang akan
membela mereka sudah lari tunggang langgang lebih dulu. Sehingga Bani Mustaliq
menyerah dan menjadi tawanan.
Diantara tawanan itu adalah Juwairiyah binti Al Haris bin Abi Dirar, putri
sang pemimpin Bani Mustaliq. Beliau selain anak tokoh Bani Mustaliq, tapi juga
seorang yang cantik dan manis. Ketika itu ia mengajukan pembebasan diri kepada
penawannya. Namun demi mengetahui bahwa Juwairiyah adalah anak tokoh penting
Bani Mustaliq, maka penebusannya diberikan dengan harga yang amat mahal. Karena
si penawan tahu, bahwa si ayah akan menebus berapapun demi putrinya.
Ketika mengetahui itu, Juwairiyah menghadap pada Nabi SAW dan meminta
solusi. “Ya Rasulullah, saya Juwairiyah bin Al Harist bin Dirar, pemimpin
masayarakat Mustaliq,” katana kepada Nabi SAW. “seperti anda sudah tahu bahwa
saya terkena musibah, saya telah mengajukan penawaran pembebasan diri saya.
Saya datang kemari ingin mendapatkan bantuan anda terkait pembebasan saya,
lanjutnya. “Maukah anda menerima penawaran yang lebih baik, anda saya bebaskan
dan saya nikahi,” begitu jawab Rasulullah. Dan karena pernikahan Rasulullah SAW
dengan ummu mukminin Juwairiyah, maka semua tawana Bani Mustaliq dibebaskan.
Fitnah besar pada masa itu, atau yang sering disebut sebagai haditsul
ifki dapat terjadi karena pada waktu peperangan, pada barisan kaum muslimin
juga terdapat kaum muanafiqin yang sebenarnya enggan untuk berperang dan mereka
mengikuti perang tak lebih karena mereka anggap kekuatan Bani Mustaliq tentu
tak akan pernah menang, dan berharap pada pembagian harta rampasan perang.
Sayyidah Aisyah RA, menceritakan awal peristiwa itu, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan undian di antara kami didalam suatu peperangan yang beliau
ikuti (ghazwah).
Ternyata namaku-lah yang keluar. Aku berangkat bersama Rasulullah SAW. Saat itu terjadi sesudah ayat tentang
hijab diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu yang dipasang di atas punggung unta) lalu beriringan
jalan
bersama Rasulullah SAW hingga
kembali dari perang tersebut.
Pada saat telah usai peperangan, rombongan kaum muslimin pun kembali ke
kota Madinah. Dalam perjalanan pulang itu, ketika rombongan sudah mendekati
Madinah, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk istirahat. Pada waktu itu
sayyidah Aisyah menghendaki untuk menunaikan hajat. Sehingga beliau keluar dari
tandu atau sekedup tempat istirahat beliau.
Seusai menunaikan hajatnya, sayyidah Aisyah menyadari bahwa kalung yang
beliau kenakan telah jatuh pada waktu beliau menunaikan hajat. Kalung Marjan
Zhifar yang biasa beliau kenakan putus, ketika beliau sedang menunaikan
hajatnya. Wanita pada zaman itu, memanglah tidak terlalu berat. Karena mereka
hanya makan sedikit, tidak banyak lemak dan daging, sehingga ringan saja. Maka
mereka tidak akan curiga jika sekedup atau tandu yang membawa perempuan,
sedemikian ringan. Mereka mengira bahwa sayyidah Aisyah masih didalam tandu.
Saat itulah, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berangkat. Tanpa
disadari bahwa sayyidah Aisyah tertinggal, pembawa sekedup dan untanya pun ikut
berangkat. Mereka beranggapan bahwa sayyidah Aisyah masih dalam tandu diatas
unta itu.
Sayyidah
Aisyah radhiyallahu ‘anha diriwayatkan pernah mengatakan, “Kala itu perempuan-perempuan
rerata
ringan, tidak berat, dan tidak banyak daging. Mereka tak banyak makan. Maka, mereka tak curiga dengan tandu yang ringan kala mereka mengangkat dan
membawanya. Ketika itu, usiaku masih sangat belia. Mereka membawa unta tempat tanduku dan berjalan. Aku pun
menemukan kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas aku datang ke tempat
mereka. Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan menjawab.
Lalu aku bermaksud ke tempat tadi di waktu aku berhenti. Aku menganggap mereka akan merasa
kehilangan diriku lalu akan kembali lagi untuk mencariku.”
Ditengah jalan yang gelap, dalam kondisi yang demikian itu rasa kantuk
menghinggapi sayyidah Aisyah. Dalam keadaan kantuk itu, Aisyah tertidur
beberapa saat. Sampai mendengar sebuah langkah mendekat. Shafwan bin al-Mu’aththal
as-Sullami adz-Dzakwani, yang tertidur dan tertinggal dari rombongan sambil
susah payah sampai ditempat tersebut. Demi mengetahui bahwa sosok yang
tergeletak ditengah padang pasir itu adalah Aisyah, istri Rasulullah, Shafwan
mengucap istirja’. “Innalillahi wa inna ilaihi rjiun, isti Rasulullah
Aisyah berada disini.”
Pekikan istirja’ Shafwan terdengar oleh Aisyah. Shafwan mengenali Aisyah,
karena dahulu pernah bertemu ketika belum turun ayat hijab. Aisyah pun
terbangun dan segera menutupi wajahnya dengan jilbab. Dengan sigap, Shafwan
membawa untanya mendekati Aisyah, agar Aisyah bisa segera menaiki untanya. Maka
Shafwan segera menuntun untanya dengan cekatan dan langkah cepat, agar dapat
segera sampai di Madinah.
Aisyah dan Shafwan sampai di Madinah ketika keadaan sudah siang disaksikan
oleh banyak orang. Wajah Shafwan tampak santai, begitupun Aisyah, tampak senang
karena sampai rumah dengan selamat ketika semalam sudah hampir terkena bahaya.
Keduanya tak menyadari bahaya dari peristiwa itu. Shafwan mengantar Aisyah
sampai didepan rangkaian rumah istri-istri Rasulullah SAW. banyak orang yang
juga menganggap hal itu wajar adanya. Apalagi kedatangan mereka juga hampir
bersamaan dengan rombongan pasukan yang datang lebih dahulu.
Peristiwa terlambatnya Aisyah yang datang bersama Shafwan, sosok pemuda
tampan yang gagah tentu tak luput dari pantauan kaum munafik yang sebelumnya
sudah mencari cara memporak porandakan barisan kaum muslimin. Terutama itu datang
dari gembong kaum munafiq di Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul.
Beberapa pihak yang juga ikut memanaskan suasana adalah Mistah bin Usasah,
Hassan bin Sabit dan Hamnah binti Jahsy. Mistah bin Usasah sebenarnya masih
merupakan kerabat masih ada hubungan kerabat dengan Abu Bakar Radliyallahu
anhu, ayahanda dari sayyidah Aisyah. Dan karena Mistah adalah seorang yang
miskin, maka nafkahnya ditanggung oleh Abu Bakar RA. sedangkan Hamnah binti
Jahsy tak lain adalah saudara dari istri Nabi Muhammad SAW, Zainab binti Jahsy.
Dalam hal ini, Abdullah bin Ubay bin Salul secara cerdik hanya menjadi “api”,
dia bertindak cerdik dengan tidak secara terang-terangan menyerang dan
menggembor-gemborkan berita tentang Aisyah. Dia hanya menjadi sponsor dari
fitnah keji itu.
Ketika berita bohong perselingkuhan Aisyah sampai pada telinga mulia Nabi
SAW, tak pelak membuat gundah hati Rasulullah. Sementara Aisyah yang sejak
datang dari perang dengan Bani Mustaliq itu terbaring lemas ditempat tidur
karena hampir sebulan setelah perjalanan itu beliau mendadak sakit.
Aisyah
RA menceritakan peristiwa itu, “Kemudian sampailah kami di Madinah. Ketika telah sampai di
Madinah aku menderita sakit
selama sebulan. Sedangkan ramai orang-orang
menyebarluaskan ucapan para pendusta itu. Aku pun tak
tahu hal tersebut sama sekali. Yang
membuatku penasaran, adalah bahwa
sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah SAW yang biasanya sering aku lihat beliau ketika
aku sakit. Beliau hanya sekali masuk,
lalu mengucap salam dan berkata, “Bagaimana
dirimu?”. Itulah yang membuatku
penasaran, namun
aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum aku keluar rumah.”
Aisyah tentu heran dengan perilaku suaminya, yang biasanya lemah lembut,
murah senyum dan baik perangainya. Tiba-tiba menjadi kaku tak seperti biasanya.
Tapi secara manusiawi, dapatlah kita maklumi perasaan Rasulullah sebagai
manusia. Yang tentu mempunyai perasaan cemburu, apalagi ramailah isu itu dan
berkembang luar biasa liar. Namun tak ada seseorang pun yang berkenan dan
berani memberitahukan hal itu kepada Aisyah.
Sampai
suatu saat dalam sebuah riwayat, Aisyah bertemu dengan Ummu Mistah, ibu dari
Mistah. Ibunda Mistah adalah puteri dari Abi Ruhm bin Abdul Muththalib bin Abdi
Manaf yang berarti masih merupakan keturunan Banu Hasyim. Sedangkan dari jalur
ibu, ibunda dari Ummu Mistah adalah putri dari Shakhr bin Amr, bibi dari Abu
Bakar As Shidiq RA. Ketika itu Ummu Mistah terpeleset oleh pakaian wol yang
ia kenakan. Dan tiba-tiba mengucap, “celakalah Mistah.” Aisyah kemudian
mengingatkan Ummu Mistah untuk menarik ucapannya karena Mistah adalah sahabat
yang mengikuti perang Badar. Artinya beliau adalah seseorang yang beriman dan
terhormat. Ummu Mistah menjawab, “Tidakkah engkau dengar apa yang sudah
dikatakannya belakangan ini?”. Dan Ummu Mistah pun menceritakan, bagaimana
Mistah menyebarkan berita bohong tentang perselingkuhan Aisyah. Mendengar itu,
Aisyah bertambah sakit.
Karena Aisyah telah berhasil mengetahui sebab musabab perubahan rona wajah
dan perlakuan Rasulullah, maka ia meminta izin kepada Rasulullah untuk
berpindah kerumah ibundanya. Dengan alasan agar ibundanya bisa merawatnya.
Rasulullah mengizinkan. Berbagai macam hal berkecamuk dibenak Rasulullah,
begitu pula dibenak Aisyah. Dan keadaan Aisyah bukan bertambah baik, kepedihan
hatinya, pikiran berat yang menggelayuti dirinya, telah menjadikan beban
hidupnya bertambah dan akhirnya penyakitnya semakin bertambah parah.
Tak kurang dari Aisyah, Rasulullah SAW pun menderita dengan dengan
berita-berita bohong tentang istri tercintanya Aisyah. Suatu kali, didepan
banyak orang beliau berkhutbah, “Saudara-saudara, kenapa banyak orang yang
mengganggu saya mengenai keluarga saya?. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya
mengenai diri saya, padahal yang saya ketahui mereka orang baik-baik. Mereka
mengatakan sesuatu yang ditujukan pada seseorang (Shafwan), yang saya ketahui,
demi Allah, dia orang baik-baik, tak pernah ia datang ke salah satu
rumahku,hanya jika hanya bersama saya.”
Usaid bin Hudair kemudian berkata, “Rasulullah, kalau mereka itu dari
saudara-saudara kami kalangan Aus, biarlah kami selesaikan, dan kalau mereka
dari saudara-saudara golongan Khazraj, perintahkanlah juga kepada kami. Sungguh
patut leher mereka dipenggal.”
Bukan tanpa akibat, ucapan itu ditangkap oleh sahabat Sa’ad bin Ubadah
sebagai upaya untuk memprovokasi untuk memojokkan suku Khazraj, karena beberapa
pihak penuduh berasal dari suku Khazraj. Sampai terjadilah perdebatan sengit
dan hampir-hampir terjadi pertumpahan darah. Padahal kala itu, Rasulullah
masihlah berada diatas mimbarnya. Maka Rasulullah segera mengambi tindakan
dengan mendamaikan orang yang ramai berseteru. Beberapa riwayat menceritakan
yang berdiri pertama adalah Saad bin Muadz, dijawab oleh Sa’ad bin Ubadah,
ketika itu Usaid bin Hudair membela Sa’ad bin Mu’adz yang masih saudara sepupu
dan satu kabilah dengannya. Terjadi demikian, karena kebanyakan yang menebar
berita itu adalah dari kabilah Khazraj, kabilah Sa’ad bin Ubadah. Sedangkan
Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudair dari kabilah Aus. Saat ini fanatisme
golongan, keluarga dan kabilah, belumlah sepenuhnya hilang. Sehingga masalah
seperti ini, masihlah sangat rentan.
Mendengar kejadian itu, Aisyah bertambah sakit dan tertekan. Rasulullah
demikian adanya, beliau bertambah kalut. Sementara wahyu juga tak kunjung turun
hingga kira-kira satu atau dua bulan.
Aisyah
pun mengeluh kepada orang tuanya. Sang ibu mencoba menenangkan hati putrinya, “Wahai putriku! Jangan terlalu
gundah. Demi
Allah, seorang perempuan cantik yang dicintai oleh suaminya sementara ia
mempunyai banyak madu melainkan para madu tersebut sering menyebut-nyebut
aibnya.”
Dalam hal ini, dua sahabat dekatnya, yakni kemenakannya Ali bin Abi Thalib
dan Usamah bin Zaid. Dalam hal ini, Usamah menolak dengan tegas tuduhan kepada
Aisyah dengan mengutarakan kebaikan dan kesucian Aisyah serta istri-istri
baginda Rasulullah. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib karomallah wajhah,
menjawab, “Wahai
Rasulullah! Allah tidak akan memberikan kesempitan kepadamu. Perempuan selain
Aisyah masih banyak. Jika engkau bertanya kepada seorang budak perempuan (pembantu
Aisyah),
pasti ia akan berkata jujur kepadamu.” Maka dipanggillah pembantu Aisyah yang bernama Barirah.
Didepan banyak orang itu, pembantu Aisyah membela Aisyah dan bersaksi bahwa dia
tidak melihat apapun pada diri Aisyah melainkan kebaikan dan kesucian.
Dalam situasi yang tak menentu, Rasulullah menemui Aisyah dirumah orang
tuanya ketika sayyidah Aisyah sedang menangis. Memanglah kejadian itu telah
menyebabkan Aisyah menangis setiap hari, bahkan beberapa orang menyangka Aisyah
akan meninggal karena setiap hari menangis tanpa henti. Rasulullah Muhammad
lantas berkata kepada Aisyah, “Amma ba’du, hai Aisyah! Sungguh, telah sampai
kepadaku isu demikian dan demikian mengenai dirimu. Jika engkau memang bersih
dari tuduhan tersebut, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
membebaskanmu. Dan jika engkau melakukan dosa, maka memohonlah ampun kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubatlah kepada-Nya, karena
sesungguhnya seorang hamba yang mau mengakui dosanya dan bertaubat, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat-Nya.”
Kedua
orang tua Aisyah yang mendengar ucapan Rasulullah terdiam. Sementara Aisyah
berharap pembelaan terhadap dirinya dari orang tuanya. Aisyah menunggu jawaban
orang tuanya, dan ketika mereka tidak menjawab, Aisyah bertambah gunda. “Wahai
orang tuaku, kenapa kalian tidak menjawab?”, pinta Aisyah. “Sungguh kami tidak
tahu harus menjawab apa”, kata kedua orangtuanya.
“Demi
Allah, samasekali saya tidak akan bertobat kepada Allah seperti yang anda
sebutkan tadi. Saya tahu, kalau saya mengiyakan apa yang dikatakan orang,
sedangkan Allah tahu saya tidak berdosa. Berarti saya akan mengatakan sesuatu
yang tidak ada. Tetapi kalaupun aku membantah, kalian tidak akan percaya”,
Jawab Aisyah dan kemudian diam sejenak. “Saya hanya dapat berkata berkata
seperti apa yang dikatakan oleh ayah Nabiyullah Yusuf, Maka hanya sabar yang
baik itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18).
Sejenak
suasana menjadi sangat kaku, dingin dan hening. Semua berfikir dengan caranya
masing-masing. Tiba-tiba Nabi Muhammad SAW bergetar, dan bercucuran keringat
dingin. Beginilah terkadang keadaan ketika beliau menerima wahyu. Sementara
dibenak orang tua Aisyah, mereka khawatir, jangan-jangan wahyu itu mengupas
tentang Aisyah dan membenarkan telah terjadi aib perselingkuhan. Sedangkan bagi
Aisyah, ia merasa
benar dan sangat yakin bahwa dirinya akan terbebas, sehingga merasa tenang. Dan
Rasulullah SAW berkata kepada Aisyah, “Gembirakanlah dirimu wahai Aisyah, Allah
telah membebaskanmu dari segala tuduhan .” wahyu yang turun adalah Surat An
Nuur ayat 11-26.
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang
dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” (An Nur Ayat
11)
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan
mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak)
berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (An Nur ayat
12)
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas
berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka
mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” (An Nur ayat
13)
“Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia
dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu
tentang berita bohong itu.” (An Nur ayat 14)
“Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.” (An Nur ayat 15)
“Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.” (An Nur ayat 15)
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu:
"Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau
(ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar." (An Nur ayat 16)
“Allah memperingatkan
kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika
kamu orang-orang yang beriman.” (An Nur ayat 17)
“Dan Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (An Nur ayat 18)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih
di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”
(An Nur ayat 19)
“Dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa
azab yang besar). (An Nur ayat 20)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (An Nur ayat 21)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (An Nur ayat 21)
Demi mengetahui, bahwa wahyu telah membenarkan puterinya. Abu Bakar
tersulut amarahnya atas ulah kaum munafik yang telah tega menyebarkan berita
buruk atas diri putrinya. Maka Abu Bakar RA bersumpah tidak akan lagi
memberikan nafkah kepada Mistah bin Usasah, yang penghidupan dan nafkahnya
selama ini ditanggung oleh Abu Bakar RA. maka turun pula ayat selanjutnya,
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum
kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan
Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin
bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nur ayat
22)
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah[1033] lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (An Nur ayat 23)
“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An Nur ayat 24)
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah[1033] lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (An Nur ayat 23)
“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An Nur ayat 24)
“Dihari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut
semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang
menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya). (An Nur ayat 25)
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (An Nur ayat 26)
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (An Nur ayat 26)
Maka Abu Bakar RA berkata,
“Baiklah. Demi Allah,
sungguh aku suka bila Allah mengampuniku.” Kemudian beliau kembali memberi
nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Kemudian ia berkata, “Aku tidak akan berhenti memberi
nafkah kepadanya untuk selamanya.”
Pada saat itu pula turun ketentuan hukuman bagi mereka yang menuduh secara
membabi buta kepada perempuan yang baik-baik.
“Dan mereka yang menuduh terhadap perempuan baik-baik, dan tak dapat
mendatangkan empat saksi (untuk memperkuat tuduhannya), maka deralah ia dengan
delapan puluh kali pukulan, dan sekali-kali janganlah terima kesaksiannya. Dan
mereka itu (penuduh) adalah orang-orang fasik.” (An Nur ayat 4)
Demi
menjalankan ini, maka Mistah bin Usasah, Hassan bin Sabit dan Hamnah binti
Jahsy masing-masing mendapatkan hukuman didera dengan delapan puluh kali
pukulan. Mengenai Hamnah inti Jahsy,
yang merupakan saudara Zainab binti Jahsy. Sayyidah Zainab pernah ditanya oleh
Rasulullah mengenai tuduhan kepada Aisyah ini. Beliau berkata, “Wahai Zainab, pendapat kamu
(mengenai tuduhan terhadap Aisyah?”
Sayyidah
Zainab
menjawab, “Duhai
Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku
tahu (Aisyah)
hanyalah seorang yang baik.” Mengenai
kesaksian sayyidah Zainab ini, sayyidah Aisyah RA mengatakan, “Dialah
(Zainab) diantara istri-istri Nabi SAW yang menyaingiku dalam hal
kecantikan, tetapi Allah SWT melindunginya dengan sifat wara’.
Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti Jahsy bertentangan dengannya.”
Maka jelaslah sudah duduk masalahnya, bahwa itu tak lebih dari berita
bohong yang segaja dibuat untuk menghina, membuat goyah dan membingunkan
keadaan kaum muslimin. Nabi dan Aisyah kembali hidup tenang dan berdampingan
kembali dengan mesra.
Bagaimana Semua Itu Terjadi? Bagaimana Shafwan
Tertinggal?
Shafwan bin Al Mu’aththal adalah sahabat nabi yang tampan, tegap, namun
juga berperangai baik dan sholeh. Beliau tak pernah memasuki rumah Nabi SAW,
kecuali jika beliau Nabi SAW sedang berada didalamnya. Beliau adalah orang
mukmin yang sangat taat pada perintah Allah SWT. namun tentu bukan tanpa
kekurangan, sebagai manusia. Shafwan adalah seorang yang susah bangun jika
sudah tertidur. Maka dalam setiap perjalanan beliau selalu ditempatkan dibarisan
belakang, selain karena kebiasaannya itu. Juga untuk menjaga jika ada rombongan
tertinggal.
Sehubungan dengan Shafwan ini, marilah kita ikuti kisah tentang Shafwan,
yang diadukan oleh istrinya sebagaimana diriwayatkan. Suatu ketika istri Shafwan datang
kepada Nabi SAW untuk mengadukan Shafwan suaminya.
“Wahai
Rasulullah, suamiku, Shafwan bin Al Mu’aththal memukulku jika aku mengerjakan
shalat, dan membatalkan puasaku jika aku berpuasa, serta ia tidak mengerjakan
shalat subuh hingga terbit matahari,” kata isteri Shafwan.
Ketika
itu Shafwan berada di sisi Rasulullah. Beliau bertanya tentang apa yang
dikatakan isterinya. “Wahai Rasulullah,” kata Shafwan menjawab. “Adapun
ucapannya: ‘Ia memukulku ketika aku shalat’, karena ia membaca dua surat,
padahal aku melarangnya. ”Rasulullah bersabda, “Seandainya satu surat saja,
sudah cukup bagi manusia.”
“Adapun ucapannya: ‘Membatalkan puasaku,’ itu karena ia terus berpuasa
padahal aku seorang pemuda dan aku tidak dapat menahan (syahwatku).” Rasulullah lalu bersabda,
“Seorang perempuan tidak boleh berpuasa (sunnah) kecuali
dengan izin suaminya.”
“Adapun ucapannya bahwa aku tidak mengerjakan shalat hingga matahari
terbit, karena kami adalah keluarga yang telah diketahui mengenai hal itu, yang
nyaris kami tidak bangun hingga matahari terbit.” Beliau bersabda, “Jika engkau
sudah bangun, maka shalatlah!”
Shafwan dengan segala kekurangannya adalah sahabat mulia Nabi SAW. yang
selalu berusaha untuk mengikuti perintah Allah SWT, termasuk ketika ada seruan
berperang. Dan tentu niatnya yang mulia tidak akan surut hanya dengan fitnah
dan omongan yang tak benar. Maka sudahlah dapat kita simpulkan bagaimana Shafwan
tertinggal dari rombongannya, karena memang beliau mempunyai kekurangan dalam
hal bangun tidur, dan memang ditugaskan untuk menyisir dibelakang kalau ada
pasukan yang ketinggalan.
Lantas Siapa Abdullah bin Ubay bin Salul?
Membincang Abdullah bin Ubay bin Salul, kita adakan mengadakan pelacakan
sejarah yang panjang tentang bagaimana umat muslim bukan hanya harus bersiap
menghadapi gempuran dari pihak kafir Quraisy yang selalu ingin meruntuhkan
bangunan masyarakat Islam yang disusun oleh Nabi. Namun juga gempuran kaum
munafik, yang berada dan hidup bersama Nabi dan kaum muslimin dibalik tembok
Madinah. Diantara kaum munafik yang berperan besar, banyak pengikut dan
mempunyai pengarus serta kekuasaan adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Abdullah bin Ubay, sangat dekat dengan Yahudi Madinah. Dalam beberapa
peristiwa, Abdulah bin Ubay juga tercatat merugikan kaum muslimin. Seperti
tindakannya yang meminta secara paksa, agar Nabi memaafkan Banu Qunaiqa. Ketika
golongan Yahudi ini merusak perjanjian perdamaian dengan Nabi dan menantang
kaum muslimin, dengan cara membunuh seorang laki-laki muslim yang berusaha
membela seorang perempuan muslimah yang hedak dipermalukan oleh kaum Yahudi.
Abdullah bin Ubay pula yang hendak meringankan hukuman Yahudi Banu Qunaiqa yang
hendak diusir dari Madinah oleh Nabi karena melanggar perjanjian, ketika itu
Abdullah bin Ubay hendak membatalkan hukuman itu, agar Banu Qunaiqa tetap
diperbolehkan tinggal di Madinah. Ini terjadi karena Abdullah bin Ubay dekat
dengan kaum Yahudi ini.
Abdullah bin Ubay pula yang ketika perang Uhud lebih memilih pulang dengan
kaum Yahudi yang ditolak Nabi untuk ikut berperang melawan kaum kafir Quraisy. Ketika itu Abdullah Ubay
bin Salul membawa sepasukan kaum Yahudi sekutunya untuk membantu Nabi. Tapi
demi melihat ada hal lain yang membahayakan, maka nabi menolak pasukan itu. Dan
Abdullah bin Ubay kembali pulang mengikuti pasukan Yahudi.
Abdullah
bin Ubay bin Salul pula yang mencoba memprovokasi agar Banu Nadhir melawan
ketika Nabi mengusir mereka akibat berbuat salah dengan melanggar perjanjian
damai antara mereka dengan Nabi SAW. Bahkan pada saat itu Abdullah bin Ubay bin Salul
menjanjikan kepada Banu Nadhir bantuan dari pihaknya. Juga menjanjikan untuk
membantu Banu Nadhir dengan cara memobilisasi kabilah-kabilah Arab yang siap
untuk membantu kaum Yahudi Banu Nadhir dalam menghadapi pengusiran oleh Nabi
Muhammad SAW dan kaum muslimin ketika itu. Pengusiran kepada Banu Nadhir itu
dipicu karena Banu Nadhir berusaha untuk mengkhianati klausul-klausul
perjanjian damai antara kaum Islam yang diwakili oleh Nabi Muhammad SAW dan
kaum Yahudi Banu Nadir, dengan cara berusaha menyusun siasat untuk membunuh
Rasulullah SAW.
Dalam peristiwa haditsul ifki, yang menimpa Aisyah diatas sebenarnya
juga patut disinggung peran Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika perang melawan
Bani Mustaliq itu usai, terjadi gesekan dan keributan kecil antara orang sewaan
Umar bin Khattab yang bertugas menuntun unta dengan salah seorang dari suku
Khazraj. Gesekan itu terjadi ketika rombongan umat Islam sedang beristirahat. Ketika
terjadi perkelahian kecil, orang Umar meminta tolong dengan berteriak,
“Saudaraku Muhajirin!”. Sedangkan seorang dari Khazraj mengatakan, “Saudaraku
Anshor”. Dan ketegangan ini dimanfaat oleh Abdulah bin Ubay dengan mengobarkan
rasa permusuhan antara Anshor dan Muhajirin. Dengan mengatakan bahwa Anshor
telah berbuat kesalahan dengan memperbolehkan para Muhajirin hidup di Madinah
dan semakin banyak jumlahnya. Menaku-nakuti bahwa kaum Muhajirin akan
menginvasi Madinah dan mengusir penduduk Madinah suatu saat.
Pembicaraan Abdullah bin Salul ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka Umar
bin Khattab pun murka, Umar meminta kepada Rasulullah agar memerintahkan Bilal membunuh
Abdullah bin Ubay. “Umar, bagaimana jik sampai orang mengatakan, bahwa Muhammad
membunuh sahabat-sahabatnya sendiri?.” Maka sebuah solusi ditetapkan, saat itu
juga rombongan diperintahkan untuk segera bergegas melanjutkan perjalanan.
Diperintahkannya agar kaum muslimin segera berangkat diwaktu yang tak biasa
itu. Abdullah bin Ubay yang mendengar itu meminta maaf kepada Rasulullah, dan
mengatakan bahwa ia tak pernah mengatakan apa yang diisukan oleh orang banyak
itu. Bahkan Abdullah bin Ubay bersumpah atas nama Allah.
Tanpa menghiraukan Abdullah bin Ubay, Rasulullah memimpin rombongan untuk
menerukan rombongan. Dan karena rombongan yang berangkat dalam waktu yang tidak
biasa dan tergesa-gesa itulah Aisyah akhirnya tertinggal. Perjalanan itu
dilakukan sepanjang hari hingga sore dan sepanjang malam sampai esok harinya
dan pertengahan hari kedua baru sampai. Dalam keadaan yang begitu lelah, hingga
ketika mereka sampai mereka sangat letih, lelah dan langsung tertidur ketika
baru meletakkan badannya. Hingga mereka lupa akan perkataan Abdullah bin Ubay
dan menguaplah provokasi Abdullah bin Ubay.
Sikap pemaafan Abdullah bin Ubay bin Salul oleh Rasulullah ini juga pernah
menjadi bahan diskusi antara Rasulullah dan Umar ketika membahas tentang masa
depan kaum muslimin. Bagi Umar sebenarnya, Abdullah bin Ubay lebih baik
dibunuh. Sedangkan Nabi SAW memilih untuk memaafkannya, walau tahu akan
kemunafikan Abdullah bin Ubay. Setelah peristiwa itu juga, suku dan kabilahnya
sering mengingatkan Abdullah bin Ubay untuk selalu menyulut api dengan sikap
memusuhi Rasulullah dari belakang. Golongannya memperingatkan bahwa itu adalah
sikap yang tidak bijak dan memperingatkan akan keselamatannya.
Pada saat provokasi dilakukan, datanglah wahyu yakni Qur’an surat Al
Munafiqun ayat 7-8. Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang
Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang
(Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan
Rasulullah)." Padahal
kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik
itu tidak memahami. Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali
ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah
dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya
dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.
Maka sontak, banyak orang mengira bahwa ayat itu datang untuk Abdullah bin
Ubay, dan pasti bin Ubay akan dibunuh. Mendengar itu, Abdullah bin Abdullah bin
Ubay bin Salul yang merupakan anak Abdullah bin Ubay bin Salul mendatangi
Rasulullah. Anak Abdullah bin Ubay itu adalah seorang mukmin yang taat. Abdullah
bin Abdullah bin Ubay meminta jika memang ayahnya harus dibunuh, maka tugas itu
hendaknya dibebankan kepada dirinya sendiri untuk membunuh ayahnya, bukan orang
lain. “Kalau sampai orang lain yang membunuhnya, maka saya tak akan dapat
menahan diri membiarkan orang lain membunuh ayah saya bebas. Tentu saya akan
bunuh dia, dan berarti saya akan membunuh orang yang beriman yang telah
membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka”, demikianlah keluhnya kepada
Rasulullah.
Tentu remuk redamlah perasaan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul.
Berkecamuklah dadanya. Antara keimanan yang demikian kokoh, dengan perasaan
sayang seorang anak kepada ayahnya. Bagaimana seoranga anak meminta agar tugas
membunuh ayahnya dibebankan kepadanya, jikalaulah bukan karena iman yang kuat
tentu tak akan terjadi.
Dan jawaban Rasulullah terhadap permintaan itu, adalah air yang menyejukkan
jiwa. “Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya,
harus menemaninya dengan baik-baik, selama dia masih bersama kita.”
Hoax Sebagai Alat Dakwah?
Seiring berkembangnya media dakwah, tak sedikit pendakwah atau da’i
menggunakan media dakwah baru yang dipandang efektif, efisien dan massif dalam
berdakwah. Dalam berdakwah beberapa hal memang harus tersedia dengan benar.
Pertama, da’i atau pendakwah. Pada sisi dakwa personality sangatlah
penting. Kita tentu akan sulit mencerna dan memahami ajakan kebaikan, dari
seseorang yang sulit untuk kita nilai sebagai orang baik. Maka persoalan personality,
adalah kunci seorang da’i. Walaupun dalam perkembangannya, pada dunia
digital, beberapa da’i lebih condong pada sisi entertainment dari sisi
uswahnya. Seperti ustadz-ustadz selebritis yang hidupnya cenderung mendekati
selebritasnya daripada sisi “ustadznya”. Bahkan beberapa ustadz itu belakangan
harus berurusan dengan masalah hukum, karena melakukan penipuan, pelecehan
seksual dan sebagainya.
Kedua, Mad’u atau objek dakwah. Objek dakwah juga penting kedudukannya.
Karena dengan memahami objek dakwah lebih jauh, materi dakwah yang disampaikan
akan lebih efektif. Dari keberagaman dan keunikan objek dakwah inilah kemudian,
banyak para da’i yang berinovasi. Beberapa berhasil dan mendapatkan metode
dakwah benar-benar efektif dan efisien. Dengan alasan yang sama, tidak sedikit
yang terjerembab dan akhirnya lebih menimbang “selera pasar” dari tujuan awal
dakwah, seperti yang diungkap pada persoalan pertama. Ketiga, tujuan dakwah.
Tujuan dakwah layak dipahami secara mendalam dan dipikirkan secara kontinyu
pada diri setiap da’i. Karena bukan tidak mungkin pada suatu titik tujuan
dakwah itu telah berubah dan menjadi liar. Maka belajar dan merenungi tujuan
dakwah, layak terus dilakukan para pendakwah.
Keempat, media dakwah. Media tak kalah pentingnya dengan isi dakwah itu
sendiri. Bukankah thoriqoh (media) itu terkadang lebih penting dari
substansi isi (madah). Lalu bagaimanakah pandangan kita tentang
menggunakan hoax sebagai media dakwah?. Mencampur adukkan kebaikan dan
keburukan tentu bukan kebaikan. Kebaikan mana yang harus dilakukan dengan cara
berbuat keji. Jika hoax yang merupakan fitnah keji bisa digunakan untuk
menyebarkan kebaikan, kenapa bukan Rasulullah yang kali pertama menggunakannya
menyebarkan agama mulia ini, kenapa malah gembong munafikin Abdullah bin Ubay?.
Bom dan Hoax; Ghozwul Fikri dan Strategi Perang Bumi
Hangus
Belakangan ini, beberapa pihak mengemukakan bahwa hoax dibutuhkan dalam
mempertahankan Islam dari gempuran berbagai pihak. Pihak-pihak itu mengklaim
bahwa dewasa ini Islam sedang digempur dalam sebuah perang pemikiran, ghozwul
fikri, begitu mereka menyebutnya. Sehingga pantaslah, jika hoax sebagai
bagian dari senjata untuk melawan yang digunakan untuk menyudutkan barisan
Islam.
Peperangan dengan cara menghalalkan berbagai cara ini hanya berdasarkan
pada hadits yang mengatakan bahwa perang adalah tipu daya. Peperangan termasuk
menghalalkan tipu daya dalam strateginya. Mereka memilih mendekati hoax sebagai
strategi, alih-alih sebagai fitnah yang keji.
Menjadikan hoax sebagai strategi, bukan tidak mempunyai akibat. Beberapa
tokoh Islam ternama, termasuk beberapa ulama, kyai dan bahkan seseorang ahli
tafsir ternama bisa saja menjadi sasaran berita bohong dan palsu. Hinaan dan
cemoohan, bahkan caci maki seringkali muncul kepada para ulama dan tokoh muslim
yang tidak sependapat dan memiliki perbedaan politik dengan pihak-pihak yang
menghalalkan hoax sebagai senjata dalam “perang” mereka.
Sekarang mari kita perhatikan bagaimana persamaan logika maraknya bom bunuh
diri yang serampangan dengan hoax yang sekarang juga menjamur. Kaum ekstrimis,
yang sedang mengaku memperjuangkan agama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Penyayang itu dengan menggunakan kekerasan yang sama sekali jauh dari
nilai-nilai agama yang sedang dibelanya. Bukan saja mereka merusak
diwilayah-wilayah perang, daerah damai pun tak luput dari serangannya. Sebut
saja bom-bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad namun dilakukan didaerah
kaum muslim dan memakan kaum muslim. Mereka anggap itu adalah resiko perjuangan
atau malah hukuman kepada mereka yang berbeda pendapat dan pandangan dengan
penafsiran “kebenaran” versi mereka.
Sementara hoax tak jauh berbeda dengan itu. Setiap menghadapi orang-orang
yang berbeda pandangan dengan mereka, golongan ini tidak segan menyerang orang
lain. Tidak peduli mereka adalah golongan orang yang beriman bahkan golongan
ulama. Bahwa hoax yang mereka buat, adalah tipu daya dalam memenangkan
peperangan pemikiran itu, maka siapapun sah untuk diserang. Termasuk para
kyai-kyai sepuh dan ulama-ulama besar. Tidak segan mereka menuduh tanpa segan
dan tak berdasar, bahwa seorang kyai atau ulama adalah golongan ulama dunia, ulama
su’, ulama yang tidak perlu ditaati. Bahkan tidak jarang mereka menyebut
para ulama tersebut keluar dari Islam (takfir) atau menyandarkan
ulama-ulama besar tersebut sebagai penganut ajaran-ajaran Islam sesat, Syi’ah
misalnya.
Letak persamaan bom-bom bunuh diri dan hoax itu terdapat pada ciri dan
modus yang hampir sama. Pertama, penetapan target yang serampangan. Yang tidak
lagi membedakan mana negara aman yang harus dihargai keamanannya agar semua
manusia bebas menjalankan ibadahnya, dan mana diantaranya yang merupakan darul
harbi (daerah perang). Penetapan target yang serampangan ini, adalah akibat
dari sikap ideologi mereka yang menghalalkan memusuhi dan menyakiti siapapun
yang tak seideologi, tak sependapat dan tidak satu garis pandangan politik.
Kelompok ini adalah kelompok yang dengan mudah melakukan klaim orang lain telah
bid’ah dan kafir. Kaum takfiri ini selalu berusaha mencapai tujuan ideologinya
dengan berbagai macam cara, menghalalkan berbagai macam cara dan tanpa peduli
sesuai dengan kaidah dan ajaran Islam atau tidak.
Kedua, letak persamaan kedua adalah selalu menggiring opini bahwa yang
dilakukannya adalah demi membela agama. Opini ini dikembangkan, untuk menarik simpati
dan agar memiliki justifikasi serta legitimasi bahwa perbuatan mereka benar
adanya. Ketiga, golongan ini, akan secara ofensif menyerang siapapun yang tidak
sependapat dengan dirinya. Bagi mereka siapapun yang tidak sependapat adalah
musuh, alih-alih berdiskusi dan menganggap perbedaan adalah rahmat. Bagi mereka
penafsiran adalah tunggal dan kebenaran hanya milik mereka.
Like dan Share; Cara Mudah Masuk Surga atau Neraka?
Dewasa ini muncullah beberapa berita bohong, berita buatan dan jadi-jadian
atau hoax yang menyatakan barangsiapa membagikan menyukai status pada media
sosial itu akan digaransi dengan surga. Sedemikian murah golongan ini menjual
surga dan menyelewengkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan tak jarang dibuatlah
kebohongan dengan dalih al Qur’an atau bahkan tak jarang sampai mencipta hadits
palsu. “Sesiapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka bersiaplah dirinya
menempati tempatnya di neraka”, padahal begitu sabda Rasulullah.
Saya khan cuma membagikan dan menyukai status dan unggahan orang lain? Apa
salah saya?. Ini adalah pertanyaan dasar. Bagaimana mungkin orang yang hanya
menyukai sebuah status atau unggahan seseorang atau membagikannya bersalah?.
Marilah kita ingat dengan nasib Mistah bin Usasah, Hassan bin Sabit dan Hamnah binti
Jahsy yang telah turut andil dalam menyebarkan berita hoax. Jika berita tersebut
tidak benar dan telah merugikan orang lain, maka Allah telah memutuskan hukum
yang adil bagi mereka. Maka, tidaklah kita sebagai umat Islam yang berdab takut
untuk berbuat keji?.
Negara Indonesia, hari ini juga terus dilanda hujan hoax
tak terkendali. Dimulai dari penciptaan hoax yang bertujuan untuk black
campaign terhadap calon tertentu. Namun pada akhirnya menjadi hal yang
massif berkembang, hingga menyentuh pada ranah penafsiran agama, menyerang personality,
dan termasuk untuk merisak (membully) produk-produk tertentu.
Untuk menanggulangi efek negatif dari persebaran berita
bohong dan sampah itu, pemerintah berinisiatif menerbitkan undang-undang
tentang informasi dan transaksi elektronik. "Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik," demikian ketentuan ayat 1
pasal 28 UU ITE. "Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA)," bunyi ayat 2 pasal 28 UU ITE.
Para
penyebar hoax juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam UU tersebut, ada dua pasal
yang bisa menjerat penyebar hoax yaitu pasal 14 dan pasal 15. “Barangsiapa, dengan
menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan
keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya
sepuluh tahun.” (pasal 14 ayat 1). “Barangsiapa menyiarkan suatu berita
atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan
rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu
adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.” (pasal 14
ayat 2). Sedangkan pada Pasal 15, “Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak
pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti
setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat
menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara
setinggi, tingginya dua tahun.”
Maka dengan ikut serta menyebarkan fitnah, menyebarkan berita bohong,
menyukai berita bohong yang pertanda kita ridho atas itu, surga atau neraka
yang sedang kita cari?
Islam Trans-Nasional dan Hoax
Yang tidak luput dari pemberitaan hoax adalah kondisi perpolitikan diluar
negeri, terutama di timur tengah yang notabene identik dengan Islam. Belakangan
ketika terjadi perpecahan politik yang memunculkan pertikaian politik dan
peperangan saudara berkelanjutan dibeberapa negara timur tengah. Muncullah
kelompok-kelompok baru yang biasa disebt sebagai organisasi Islam trans-nasional.
Mereka ini muncul dari kelompok-kelompok Islam yang beberapa diantaranya
mencoba untuk melakukan penetrasi ideologi kekerasan yang cenderung keras, suka
membid’ahkan dan golongan takfiri (suka mengkafirkan). Seperti
organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan organisasi luar negeri yang
menganut ideologi salafi atau wahabi. Salafi disini, jelas kata dan term yang
sama seperti yang difahami oleh kaum Islam mayoritas Indonesia yang menganut
Ahlussunnah wal Jamaah. Namun salafi dalam term ini adalah sekelompok orang
yang kerap membid’ahkan dan mengkafirkan amaliyah-amaliyah para penganut Islam
Ahlussunnah wal Jamaah.
Beberapa diantara organisasi ini juga menginginkan mendirikan khilafah
Islamiyah yang dalam konsep dan metodenya cenderung paradoksal. Organisasi ini
dalam menyebarkan ideologi khilafah islamiyah pun cenderung menggunakan
cara-cara menyamarkan tujuan mereka. Seperti mengajak anggota-anggota
organisasi lain yang sudah mapan untuk mengikuti kegiatan mereka dengan
“membungkus” acara yang menyerupai acara organisasi Ahlussunah wal Jamaah yang
mapan.
Maka dengan munculnya organisasi-organisasi trans-nasional ini, demi
membawa misi ideologi mereka, tak ayal kerap kita temukan beberapa berita
bohong yang sengaja diciptakan guna mendapatkan simpati dan sebagai jalan masuk
mempengaruhi pendapat publik. Terbaru adalah foto-foto hoax yang sengaja
disebarkan untuk menggambarkan kondisi Syuriah, Yaman, Sudan, Rohingya dan lain
sebagainya. Dengan dalih bahwa mereka paling peduli, paling terdepan membawa misi
kemanusiaan, bahkan tak jarang mereka menggalang dana dengan berita dan
foto-foto yang bohong.
Penutup
Maka sebagai renungan, marilah kita berfikir dan bertafakur. Dalam dunia
bermedia sosial ataupun dalam hidup sehari-hari kita. Dalam hidup sebagai
muslim yang setiap hari hidupnya harus berisi dakwah.
Renungkanlah!.
Jika kita sedang membawa berita gembira atas nama Allah Yang Maha Kuasa dan
Pengampun, jikalau kita membawa kebenaran dakwah Rasulullah yang demikian agung
akhlaknya dan sungguh mulia. Akankah kita melewati jalan hina bernama fitnah?
Akankah kita menggunakan berita bohong, kotor dan menjijikkan itu sebagai
medianya?.
Marilah berfikir bersama, dalam posisi berita bohong atas nama agama itu,
kita sedang memainkan perang siapa?. Sang Agung Muhammad bin Abdullah yang
dilanda kebingungan karena berita fitnah? Sayyidah Aisyah yang terkena geombang
besar fitnah padahal jelas kesuciannya? Ataukah kita sedang memainkan perang
sebagai Abdullah bin Ubay modern?
Saatnya memilih. Dan hidup itu pasti selalu tentang pilihan. Maka setiap
pilihan, pas ada pertanggungannya.
Wa ila Allah Turja al Umuur, Wallahu A’lam bis Showab.
(Pernah dimuat sebagai editorial dalam majalah Al Fikrah)
(Pernah dimuat sebagai editorial dalam majalah Al Fikrah)