top social

Rabu, 17 Mei 2017

Menebar Dakwah Dengan Hoax



Perkembangan Fitnah; Dahulu dan Sekarang

Hasil gambar untuk hoaxSejak kecil kita diperkenalkan, bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Pembunuhan, walaupun haram dan keji hanya akan mengantarkan kematian sekali dan menyakiti seseorang sekali saja. Sedangkan fitnah, akan “membunuh” orang berkali-kali, menimbulkan efek yang tidak sedikit, menimbulkan koban yang tidak sedikit, membuat kekacauan sosial, politik, ekonomi, menyakiti beberapa orang berkali-kali, dan menciptakan distabilitas yang berbahaya bagi kehidupan umum. Dalam masa dahulu, fitnah disebarkan dengan cara konvensional, hingga sangat mudah dilacak asalnya, dihentikan penyebarannya, dan mudah diredam. Dalam dunia yang serba canggih seperti hari ini, fitnah disebarkan dengan sedemikian canggih, massif dan liar. Sulit melacak kebenarannya, sulit dideteksi penyebarnya dan sulit dihentikan serta diredam. 
Dalam dunia modern, berita tidak benar yang disebarkan melalui media sosial biasa disebut hoax. Hoax (dibaca; houx) adalah berita bohong, berita buatan yang tidak benar, atau acap diucapkan untuk menggambarkan berita yang tidak jelas sumber dan jluntrungannya. Hoax pertama kali digunakan warga daring atau biasa disebut netizen di Amerika Serikat.
Kata ini pertama kali muncul dari sebuah film berjudul “The Hoax”. Film besutan Lasse Hallstrom, merupakan film drama Amerika tahun 2006. Penulis skenario film ini adalah William Wheeler mengadaptasi dari buku berjudul sama yang ditulis oleh Clifford Irving. Buku ini tak lain adalah biografi pribadi Irving, yang dibantu tulis oleh Howard Hughes. Sekian kejadian, dan tulisan Irving yang ada dalam buku itu, kemudian banyak dihilangkan dalam proses pembuatan film. Hingga pada satu titik, Irving mengundurkan diri dari penasehat teknis pembuatan film itu. Karena merasa terlalu banyak plot film yang melenceng dari buku aslinya. Irving minta namanya dihapus dari kredit film tersebut. Hingga pada akhirnya film itu dianggap mengandung banyak kebohongan. Dan akhirnya film yang dibintangi Richard Gere itu dianggap sebagai referensi kata hoax. Kata yang menggambarkan berita bohong, penuh kepalsuan dan ketidak benaran.

Hoax; Dari Hadist Nabi Sampai Kamus Cambridge
Dalam kamus daring Cambridge, hoax diartikan sebagai, ”a plan to deceive someone, such as telling the police there is a bomb somewhere when there is not one, or a trick”. Sebuah rencana menipu seseorang, seperti mengatakan kepada polisi bahwa ada bom disuatu tempat padahal tidak ada, atau trik. Dalam wikipedia, hoax adalah sebuah dusta yang sengaja diciptakan untuk dianggap sebagai kebenaran. “A hoax is a deliberately fabricated falsehood made to masquerade as the truth.”

Dalam dunia agama manapun, apalagi agama termulia kita Islam, kebohongan adalah sebuah hal yang tak bisa diterima dengan alasan apapun. Apalagi jika mengandung fitnah. Panutan kita, nabi agung nan mulia Muhammad SAW, bahkan sejak remaja dikenal sebagai Al Amiin, seseorang yang menjunjung tinggi kebenaran dan amanah dalam setiap langkah dan ucapnya. Mungkin dibelahan Eropa hal semacam tipuan untuk sekedar gurauan dan candaan mempunyai tempat khusus. Hal ini bisa kita lacak dengan adanya budaya April Fools' Day atau yang dikenal dengan April Mop. Sebuah event yang “menghalalkan” untuk menipu seseorang sebagai bahan candaan dan agar mempunyai efek kejutan yang menyenangkan. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April, sesuai namanya.

Namun dalam Islam, Rasulullah SAW sendiri bahkan memberikan peringatan kepada kita, agar tidak berdusta hatta dalam keadaan bercanda. Ini mungkin perbedaan penting dalam budaya Islam yang begitu mementingkan etika, moral dan asketisme. Dibanding denga dunia Eropa yang sekuler, liberal dan pemuja kebebasan. Yang lebih mementingkan kesenangan, keduniawian dan materialistik itu.

Hadits tentang larangan dan peringatan untuk tidak berdusta dalam keadaan bercanda sekalipun ini bertebaran dengan banyak sanad. Dalam riwayat Imam Ahmad, beliau menyebutkan hadist
لاَ يُؤْمِنُ الْعَبْدُ الإِيمَانَ كُلَّهُ حَتَّى يَتْرُكَ الْكَذِبَ فِى الْمُزَاحَةِ وَيَتْرُكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ صَادِقاً

(“Seseorang tidak dikatakan beriman seluruhnya sampai ia meninggalkan dusta saat bercanda dan ia meninggalkan debat walau itu benar.” HR. Ahmad 2: 352)


Dalam hadist lain, diriwayatkan oleh Imam Thobroni , bahwa nabi bersabda, Aku juga bercanda namun aku tetap berkata yang benar.” HR. Thobroni dalam Al Kabir 12: 391.

إِنِّي لأَمْزَحُ , وَلا أَقُولُ إِلا حَقًّا

Bahkan Nabi SAW tidak segan mengancam bagi mereka yang bercanda dan membuat lelucon berlebihan dengan berbohong,
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 3315)


Kebohongan; Fitnah dan April Mop
Dalam dunia barat, kebohongan ditoleransi dalam waktu-waktu tertentu. Ini sudah menjadi tradisi dan budaya sejak lama. April Mop, misalnya. April Mop atau April Fool’s Day sendiri mempunyai banyak versi sejarah asal muasal. Setidaknya ada tiga versi yang seringkali disuguhkan.

Pertama, tradisi ini sebagaimana salah satu versi yang paling dipercaya benar sebagai asal mula dari April Mop adalah berawal pada tahun 1582, ketika rakyat Perancis merayakan tahun baru pada awal bulan April atau akhir bulan Maret. Pada masa itu setiap tahun hanya terdiri dari 10 bulan. Sehingga perayaan tahun baru diselenggarakan pada 25 Maret dan berpuncak pada 1 April, masa itu yang berkuasa adalah Charles IX. Pada masa kepemimpinan raja Charles IX itulah, kemudian diubah oleh Paus Gregory XIII mengadopsi Kalender Gregorian, sistem kalender yang kita gunakan sekarang ini dimana tahun baru akan jatuh pada tanggal 1 Januari setiap tahunnya. Rakyat Perancis menolak gagasan ini, sehingga mereka tetap melakukan perayaan pada tanggal 1 April.

Kebiasaan bangsa Perancis ini kemudia menjadi bahan tertawaan dan candaan bangsa lain. Korban dari candaan palsu April Fool’s Day dikenal juga sebagai “Poisson d’Avril” atau ikan April, istilah ini diambil dari pergerakan matahari yang meninggalkan zodiak Pisces (zodiak Pisces berlambang ikan dan berada di kisaran tanggal 20 Februari – 20 Maret)

Kedua, asal muasal tradisi April Mop juga datang dari Spanyol. Spanyol pada mulanya menggelar April Mop pada tanggal 28 Desember yang disebut Dia de los Santos Inocentes. Yang berarti hari anak tak bersalah”. Hingga suatu ketika pemerintahan Spanyol mengeluarkan undang-undang baru bahwa tanggal 28 desember 1978 dimundurkan sehari agar tidak dijadikan bahan tertawan publik. Pernyataan berbeda diungkap Joseph Boskin, profesor dari Boston University. Dalam teorinya, Boskin mengatakan, tradisi April Mop digagas para pelawak Kerajaan Romawi pada masa Raja Constantin I pada abad ketiga hingga keempat Masehi. 

Mulanya, pelawak-pelawak kerajaan ini mengajukan petisi yang ditujukan kepada Contanstin I agar mereka diangkat menjadi raja walau hanya untuk sehari saja. Tak disangka, Constantin I menyetujui petisi itu dan mengangkat salah satu perwakilan pelawak bernama Jeter untuk menjadi Raja Sehari pada 1 April. Saat berkuasa sehari itulah, Jeter meresmikan tanggal 1 April sebagai hari kemustahilan.

Ketiga, dalam versi ini dikatakan perayaan April Mop adalah hari dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib yang dilakukan dengan cara-cara menipu dan membohongi. Pada saat itu, tentara salib merayakan April Mop dengan cara melegalkan menipu dan membohongi kaum muslim yang ada di Granada. Kala itu, umat muslim yang kalah perang ditipu dan dibohongi dengan cara licik. Pasukan salib mengatakan bahwa warga Spanyol muslim akan dibebaskan dan dikeluarkan dengan menggunakan kapal. Tetapi selayaknya tradisi April Mop mereka, semua itu hanyalah kebohongan belaka. Ini merupakan strategi tentara salib untuk menipu masyarakat Spanyol. Kala kaum muslim Spanyol masuk dan berada dalam kapal, mereka justru dibunuh dengan sadis oleh tentara Salib. Peristiwa kejam itu menurut versi sejarah ini, terjadi pada tanggal 1 April.

Lebih Kejam Dari Membunuh
Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan (Q.S. Al Baqoroh; 217). Pernyataan tersebut tentu tidak mengada-ada, apalagi jika melihat bahwa kalimat itu berada dalam kitab suci kita, Al Qur’an. Fitnah tentu mempunyai implikasi lebih hebat dari pembunuhan. Fitnah bisa melumpuhkan seseorang bahkan sebelum ia dilukai dan dibunuh. Mempunyai efek domino yang lebih luas bagi seseorang, dalam kehormatan, ekonomi dan sosial. fitnah juga perbuatan keji yang dapat membuat distabilitas sosial, memicu kerusuhan yang berdampak luar biasa. 

Fitnah, pada dasarnya bermakna cobaan dan ujian, الابتلاء، والامتحان , berasal dari ucapan فتنتُ الفضة والذهب, yang berarti, “Saya menguji perak dan emas”. Maka tak heran, jika fitnah dapat menjadi ujian dan cobaan bagi mereka yang terkena fitnah. Dalam maqayisul lughah,
الفاء والتاء والنون أصل صحيح يدل على الابتلاء والاختبار” ( مقاييس اللغة 4/ 47(
“Huruf fa’, ta’ dan nun adalah asal yang jelas yang menunjukkan cobaan dan ujian.” (maqayisul lughoh, 4/47)
Dalam Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menukil pendapat Ibnu Arabi tentang kata fitnah,
الفتنة الاختبار، والفتنة المحنة، والفتنة : المال، والفتنة الأولاد، والفتنة الكفر، والفتنة اختلاف الناس بالآراء والفتنة الإحراق بالنار
“fitnah adalah cobaan, fitnah adalah ujian, fitnah adalah; harta, dan fitnah adalah anak-anak, fitnah adalah kufur, fitnah adalah perselisihan pendapat manusia dalam berpendapat, fitnah juga berarti pembakaran dengan api”

Beberapa pihak menganggap bahwa perkataan yang tak benar terhadap orang lain sebagai hal sepele, namun tidaklah berlaku demikian. Banyak sendi kehidupan yang dapat hancur, dari informasi yang salah, tidak valid dan benar seperti itu. Fitnah dapat melukai psikologis beberapa orang sekaligus, fitnah yang dikenakan kepada seorang ayah misalnya, dapat juga merugikan istri sampai anak cucunya kelak. Hal demikian tentu bertentangan dengan maksud diturunkannya agama, sebagai kedamaian. Tentu kita akan dibuat terheran dengan kaum yang mengaku beragama, namun seringkali secara serampangan menebar fitnah disana-sini. Maka tak pelak, bahwa firman Allah fitnah lebih kejam dari pembunuhan adalah benar adanya. Karena kerugian yang ditimbulkan jelas lebih massif.

Bohong dan Dusta Menurut Islam
Kebohongan adalah perbuatan yang berdekatan dengan fitnah. Fitnah selalu bohong adanya, kalaupun ada unsur kebenaran, jelas itu tak lebih besar dari prosentase kebohongan dan madhorotnya. 

Kebohongan dalam Islam, bukanlah hal yang mudah ditoleransi, “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl [16]: 105). Dari ayat ini secara harfiah jelas, bagaimana penolakan Islam terhadap kebohongan.
Perintah berkata benar pun jelas adanya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. [At-Taubah/9:119]

Bersama dengan orang-orang yang berkata benar, akan membuat kita terbiasa untuk berkata benar. Karena ancaman atas perbuatan bohong, tidaklah ringan. Dan pada hari kiamat kamu akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri?. (Q.S. Az Zumar; 60)
Orang yang berkata dusta, dalam ayat ini dianggap sebagai kesombongan. Karena mereka telah mengetahui bahwa kebohongan adalah dilarang, namun melawan perintah itu, dan jelaslah ini adalah perbuatan sombong.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”
Dari sabda Rasulullah SAW ini jelas, bahwa berkata benar dan baik, serta berkata kotor dan dusta adalah pilihan.

Hoax Pertama dan Terbesar Dalam Sejarah Kaum Muslim
Hoax atau berita bohong bukan tidak pernah terjadi pada zaman nabi agung Muhammad SAW. tak tanggung-tanggung, korban dari berita hoax ini adalah seorang yang mulia dan agung, perempuan cerdas nan cantik, ummul mukminin sayyidatina Aisyah. Istri kesayangan Rasulullah SAW yang kerap dipanggil beliau dengan panggilan kesayangan, khumairoh. Karena wajahnya yang putih bening dan cenderung kemerah-merahan. Istri yang cerdas, dan dari beliau Aisyah RA kita mendapati pelajaran tentang sifat, sikap dan kehidupan Nabi SAW, bahkan dirahan yang sangat privat. Kecerdasan beliau memang tak bisa diragukan. Dan manusia semulia inipun, tak luput dari fitnah dan berita hoax, yang bahkan sampai membuat Rasulullah SAW sedih.
Cerita bermula, kala Rasulullah hendak berangkat menuju peperangan. Sebagaimana kebiasaan Rasulullah, setiap dalam perjalanan selalu mengundi diantara istri beliau, sesiapa yang akan mendampingi beliau dalam perjalanan. Undian kala itu jatuh pada Aisyah. Yah, nama sayyidah Aisyah yang muncul dan artinya berhak mendampingi Nabi SAW dalam perjalanan perang ketika itu.


Perang itu adalah perang yang terjadi pada kurun waktu tahun ke 5 Hijiryah, tepatnya pada bulan Sya’ban. Kaum muslimin sedang berperang dengan Bani Mustaliq didaerah Muraisi’. Bani Mustaliq yang merupakan bagian dari suku Khuza’ah sedang bersepakat menyusun kekuatan guna membunuh Nabi SAW dipimpin oleh komandan mereka Al Haris bin Abi Dirar. Berita ini diperolah Nabi dari seorang badui. Ketika mereka sedang asyik dengan persiapan itu dan lengah, Nabi bermaksud menyerang mereka. Pasukan Muhajirin dipimpin oleh Abu Bakar, sedangkan pasukan Anshor dimpin Sa’ad bin Ubadah. Ketika sampai di pangkalan air bernama Muraisi, Bani Mustaliq terkepung, beberapa kabilah yang akan membela mereka sudah lari tunggang langgang lebih dulu. Sehingga Bani Mustaliq menyerah dan menjadi tawanan.
Diantara tawanan itu adalah Juwairiyah binti Al Haris bin Abi Dirar, putri sang pemimpin Bani Mustaliq. Beliau selain anak tokoh Bani Mustaliq, tapi juga seorang yang cantik dan manis. Ketika itu ia mengajukan pembebasan diri kepada penawannya. Namun demi mengetahui bahwa Juwairiyah adalah anak tokoh penting Bani Mustaliq, maka penebusannya diberikan dengan harga yang amat mahal. Karena si penawan tahu, bahwa si ayah akan menebus berapapun demi putrinya.

Ketika mengetahui itu, Juwairiyah menghadap pada Nabi SAW dan meminta solusi. “Ya Rasulullah, saya Juwairiyah bin Al Harist bin Dirar, pemimpin masayarakat Mustaliq,” katana kepada Nabi SAW. “seperti anda sudah tahu bahwa saya terkena musibah, saya telah mengajukan penawaran pembebasan diri saya. Saya datang kemari ingin mendapatkan bantuan anda terkait pembebasan saya, lanjutnya. “Maukah anda menerima penawaran yang lebih baik, anda saya bebaskan dan saya nikahi,” begitu jawab Rasulullah. Dan karena pernikahan Rasulullah SAW dengan ummu mukminin Juwairiyah, maka semua tawana Bani Mustaliq dibebaskan.

Fitnah besar pada masa itu, atau yang sering disebut sebagai haditsul ifki dapat terjadi karena pada waktu peperangan, pada barisan kaum muslimin juga terdapat kaum muanafiqin yang sebenarnya enggan untuk berperang dan mereka mengikuti perang tak lebih karena mereka anggap kekuatan Bani Mustaliq tentu tak akan pernah menang, dan berharap pada pembagian harta rampasan perang.

Sayyidah Aisyah RA, menceritakan awal peristiwa itu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan undian di antara kami didalam suatu peperangan yang beliau ikuti (ghazwah). Ternyata namaku-lah yang keluar. Aku berangkat bersama Rasulullah SAW. Saat itu terjadi sesudah ayat tentang hijab diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu yang dipasang di atas punggung unta) lalu beriringan jalan bersama Rasulullah SAW hingga kembali dari perang tersebut.

Pada saat telah usai peperangan, rombongan kaum muslimin pun kembali ke kota Madinah. Dalam perjalanan pulang itu, ketika rombongan sudah mendekati Madinah, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk istirahat. Pada waktu itu sayyidah Aisyah menghendaki untuk menunaikan hajat. Sehingga beliau keluar dari tandu atau sekedup tempat istirahat beliau.
Seusai menunaikan hajatnya, sayyidah Aisyah menyadari bahwa kalung yang beliau kenakan telah jatuh pada waktu beliau menunaikan hajat. Kalung Marjan Zhifar yang biasa beliau kenakan putus, ketika beliau sedang menunaikan hajatnya. Wanita pada zaman itu, memanglah tidak terlalu berat. Karena mereka hanya makan sedikit, tidak banyak lemak dan daging, sehingga ringan saja. Maka mereka tidak akan curiga jika sekedup atau tandu yang membawa perempuan, sedemikian ringan. Mereka mengira bahwa sayyidah Aisyah masih didalam tandu. 

Saat itulah, Rasulullah memerintahkan rombongan untuk berangkat. Tanpa disadari bahwa sayyidah Aisyah tertinggal, pembawa sekedup dan untanya pun ikut berangkat. Mereka beranggapan bahwa sayyidah Aisyah masih dalam tandu diatas unta itu. 

Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha diriwayatkan pernah mengatakan, Kala itu perempuan-perempuan rerata ringan, tidak berat, dan tidak banyak daging. Mereka tak banyak makan. Maka, mereka tak curiga dengan tandu yang ringan kala mereka mengangkat dan membawanya. Ketika itu, usiaku masih sangat belia. Mereka membawa unta tempat tanduku dan berjalan. Aku pun menemukan kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas aku datang ke tempat mereka. Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan menjawab. Lalu aku bermaksud ke tempat tadi di waktu aku berhenti. Aku menganggap mereka akan merasa kehilangan diriku lalu akan kembali lagi untuk mencariku.”

Ditengah jalan yang gelap, dalam kondisi yang demikian itu rasa kantuk menghinggapi sayyidah Aisyah. Dalam keadaan kantuk itu, Aisyah tertidur beberapa saat. Sampai mendengar sebuah langkah mendekat. Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sullami adz-Dzakwani, yang tertidur dan tertinggal dari rombongan sambil susah payah sampai ditempat tersebut. Demi mengetahui bahwa sosok yang tergeletak ditengah padang pasir itu adalah Aisyah, istri Rasulullah, Shafwan mengucap istirja’. “Innalillahi wa inna ilaihi rjiun, isti Rasulullah Aisyah berada disini.”

Pekikan istirja’ Shafwan terdengar oleh Aisyah. Shafwan mengenali Aisyah, karena dahulu pernah bertemu ketika belum turun ayat hijab. Aisyah pun terbangun dan segera menutupi wajahnya dengan jilbab. Dengan sigap, Shafwan membawa untanya mendekati Aisyah, agar Aisyah bisa segera menaiki untanya. Maka Shafwan segera menuntun untanya dengan cekatan dan langkah cepat, agar dapat segera sampai di Madinah. 

Aisyah dan Shafwan sampai di Madinah ketika keadaan sudah siang disaksikan oleh banyak orang. Wajah Shafwan tampak santai, begitupun Aisyah, tampak senang karena sampai rumah dengan selamat ketika semalam sudah hampir terkena bahaya. Keduanya tak menyadari bahaya dari peristiwa itu. Shafwan mengantar Aisyah sampai didepan rangkaian rumah istri-istri Rasulullah SAW. banyak orang yang juga menganggap hal itu wajar adanya. Apalagi kedatangan mereka juga hampir bersamaan dengan rombongan pasukan yang datang lebih dahulu.

Peristiwa terlambatnya Aisyah yang datang bersama Shafwan, sosok pemuda tampan yang gagah tentu tak luput dari pantauan kaum munafik yang sebelumnya sudah mencari cara memporak porandakan barisan kaum muslimin. Terutama itu datang dari gembong kaum munafiq di Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul. 

Beberapa pihak yang juga ikut memanaskan suasana adalah Mistah bin Usasah, Hassan bin Sabit dan Hamnah binti Jahsy. Mistah bin Usasah sebenarnya masih merupakan kerabat masih ada hubungan kerabat dengan Abu Bakar Radliyallahu anhu, ayahanda dari sayyidah Aisyah. Dan karena Mistah adalah seorang yang miskin, maka nafkahnya ditanggung oleh Abu Bakar RA. sedangkan Hamnah binti Jahsy tak lain adalah saudara dari istri Nabi Muhammad SAW, Zainab binti Jahsy. Dalam hal ini, Abdullah bin Ubay bin Salul secara cerdik hanya menjadi “api”, dia bertindak cerdik dengan tidak secara terang-terangan menyerang dan menggembor-gemborkan berita tentang Aisyah. Dia hanya menjadi sponsor dari fitnah keji itu.

Ketika berita bohong perselingkuhan Aisyah sampai pada telinga mulia Nabi SAW, tak pelak membuat gundah hati Rasulullah. Sementara Aisyah yang sejak datang dari perang dengan Bani Mustaliq itu terbaring lemas ditempat tidur karena hampir sebulan setelah perjalanan itu beliau mendadak sakit.
Aisyah RA menceritakan peristiwa itu, “Kemudian sampailah kami di Madinah. Ketika telah sampai di Madinah aku menderita sakit selama sebulan. Sedangkan ramai orang-orang menyebarluaskan ucapan para pendusta itu. Aku pun tak tahu hal tersebut sama sekali. Yang membuatku penasaran, adalah bahwa sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah SAW yang biasanya sering aku lihat beliau ketika aku sakit. Beliau hanya sekali masuk, lalu mengucap salam dan berkata, Bagaimana dirimu?”. Itulah yang membuatku penasaran, namun aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum aku keluar rumah.”

Aisyah tentu heran dengan perilaku suaminya, yang biasanya lemah lembut, murah senyum dan baik perangainya. Tiba-tiba menjadi kaku tak seperti biasanya. Tapi secara manusiawi, dapatlah kita maklumi perasaan Rasulullah sebagai manusia. Yang tentu mempunyai perasaan cemburu, apalagi ramailah isu itu dan berkembang luar biasa liar. Namun tak ada seseorang pun yang berkenan dan berani memberitahukan hal itu kepada Aisyah.
Sampai suatu saat dalam sebuah riwayat, Aisyah bertemu dengan Ummu Mistah, ibu dari Mistah. Ibunda Mistah adalah puteri dari Abi Ruhm bin Abdul Muththalib bin Abdi Manaf yang berarti masih merupakan keturunan Banu Hasyim. Sedangkan dari jalur ibu, ibunda dari Ummu Mistah adalah putri dari Shakhr bin Amr, bibi dari Abu Bakar As Shidiq RA. Ketika itu Ummu Mistah terpeleset oleh pakaian wol yang ia kenakan. Dan tiba-tiba mengucap, “celakalah Mistah.” Aisyah kemudian mengingatkan Ummu Mistah untuk menarik ucapannya karena Mistah adalah sahabat yang mengikuti perang Badar. Artinya beliau adalah seseorang yang beriman dan terhormat. Ummu Mistah menjawab, “Tidakkah engkau dengar apa yang sudah dikatakannya belakangan ini?”. Dan Ummu Mistah pun menceritakan, bagaimana Mistah menyebarkan berita bohong tentang perselingkuhan Aisyah. Mendengar itu, Aisyah bertambah sakit.
Karena Aisyah telah berhasil mengetahui sebab musabab perubahan rona wajah dan perlakuan Rasulullah, maka ia meminta izin kepada Rasulullah untuk berpindah kerumah ibundanya. Dengan alasan agar ibundanya bisa merawatnya. Rasulullah mengizinkan. Berbagai macam hal berkecamuk dibenak Rasulullah, begitu pula dibenak Aisyah. Dan keadaan Aisyah bukan bertambah baik, kepedihan hatinya, pikiran berat yang menggelayuti dirinya, telah menjadikan beban hidupnya bertambah dan akhirnya penyakitnya semakin bertambah parah.
Tak kurang dari Aisyah, Rasulullah SAW pun menderita dengan dengan berita-berita bohong tentang istri tercintanya Aisyah. Suatu kali, didepan banyak orang beliau berkhutbah, “Saudara-saudara, kenapa banyak orang yang mengganggu saya mengenai keluarga saya?. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya mengenai diri saya, padahal yang saya ketahui mereka orang baik-baik. Mereka mengatakan sesuatu yang ditujukan pada seseorang (Shafwan), yang saya ketahui, demi Allah, dia orang baik-baik, tak pernah ia datang ke salah satu rumahku,hanya jika hanya bersama saya.”
Usaid bin Hudair kemudian berkata, “Rasulullah, kalau mereka itu dari saudara-saudara kami kalangan Aus, biarlah kami selesaikan, dan kalau mereka dari saudara-saudara golongan Khazraj, perintahkanlah juga kepada kami. Sungguh patut leher mereka dipenggal.”
Bukan tanpa akibat, ucapan itu ditangkap oleh sahabat Sa’ad bin Ubadah sebagai upaya untuk memprovokasi untuk memojokkan suku Khazraj, karena beberapa pihak penuduh berasal dari suku Khazraj. Sampai terjadilah perdebatan sengit dan hampir-hampir terjadi pertumpahan darah. Padahal kala itu, Rasulullah masihlah berada diatas mimbarnya. Maka Rasulullah segera mengambi tindakan dengan mendamaikan orang yang ramai berseteru. Beberapa riwayat menceritakan yang berdiri pertama adalah Saad bin Muadz, dijawab oleh Sa’ad bin Ubadah, ketika itu Usaid bin Hudair membela Sa’ad bin Mu’adz yang masih saudara sepupu dan satu kabilah dengannya. Terjadi demikian, karena kebanyakan yang menebar berita itu adalah dari kabilah Khazraj, kabilah Sa’ad bin Ubadah. Sedangkan Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudair dari kabilah Aus. Saat ini fanatisme golongan, keluarga dan kabilah, belumlah sepenuhnya hilang. Sehingga masalah seperti ini, masihlah sangat rentan.
Mendengar kejadian itu, Aisyah bertambah sakit dan tertekan. Rasulullah demikian adanya, beliau bertambah kalut. Sementara wahyu juga tak kunjung turun hingga kira-kira satu atau dua bulan.
Aisyah pun mengeluh kepada orang tuanya. Sang ibu mencoba menenangkan hati putrinya, Wahai putriku! Jangan terlalu gundah. Demi Allah, seorang perempuan cantik yang dicintai oleh suaminya sementara ia mempunyai banyak madu melainkan para madu tersebut sering menyebut-nyebut aibnya.
Dalam hal ini, dua sahabat dekatnya, yakni kemenakannya Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid. Dalam hal ini, Usamah menolak dengan tegas tuduhan kepada Aisyah dengan mengutarakan kebaikan dan kesucian Aisyah serta istri-istri baginda Rasulullah. Sedangkan sahabat Ali bin Abi Thalib karomallah wajhah, menjawab, “Wahai Rasulullah! Allah tidak akan memberikan kesempitan kepadamu. Perempuan selain Aisyah masih banyak. Jika engkau bertanya kepada seorang budak perempuan (pembantu Aisyah), pasti ia akan berkata jujur kepadamu.” Maka dipanggillah pembantu Aisyah yang bernama Barirah. Didepan banyak orang itu, pembantu Aisyah membela Aisyah dan bersaksi bahwa dia tidak melihat apapun pada diri Aisyah melainkan kebaikan dan kesucian.
Dalam situasi yang tak menentu, Rasulullah menemui Aisyah dirumah orang tuanya ketika sayyidah Aisyah sedang menangis. Memanglah kejadian itu telah menyebabkan Aisyah menangis setiap hari, bahkan beberapa orang menyangka Aisyah akan meninggal karena setiap hari menangis tanpa henti. Rasulullah Muhammad lantas berkata kepada Aisyah, “Amma ba’du, hai Aisyah! Sungguh, telah sampai kepadaku isu demikian dan demikian mengenai dirimu. Jika engkau memang bersih dari tuduhan tersebut, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membebaskanmu. Dan jika engkau melakukan dosa, maka memohonlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya seorang hamba yang mau mengakui dosanya dan bertaubat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat-Nya.”
Kedua orang tua Aisyah yang mendengar ucapan Rasulullah terdiam. Sementara Aisyah berharap pembelaan terhadap dirinya dari orang tuanya. Aisyah menunggu jawaban orang tuanya, dan ketika mereka tidak menjawab, Aisyah bertambah gunda. “Wahai orang tuaku, kenapa kalian tidak menjawab?”, pinta Aisyah. “Sungguh kami tidak tahu harus menjawab apa”, kata kedua orangtuanya.
“Demi Allah, samasekali saya tidak akan bertobat kepada Allah seperti yang anda sebutkan tadi. Saya tahu, kalau saya mengiyakan apa yang dikatakan orang, sedangkan Allah tahu saya tidak berdosa. Berarti saya akan mengatakan sesuatu yang tidak ada. Tetapi kalaupun aku membantah, kalian tidak akan percaya”, Jawab Aisyah dan kemudian diam sejenak. “Saya hanya dapat berkata berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah Nabiyullah Yusuf, Maka hanya sabar yang baik itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18).
Sejenak suasana menjadi sangat kaku, dingin dan hening. Semua berfikir dengan caranya masing-masing. Tiba-tiba Nabi Muhammad SAW bergetar, dan bercucuran keringat dingin. Beginilah terkadang keadaan ketika beliau menerima wahyu. Sementara dibenak orang tua Aisyah, mereka khawatir, jangan-jangan wahyu itu mengupas tentang Aisyah dan membenarkan telah terjadi aib perselingkuhan. Sedangkan bagi Aisyah, ia merasa benar dan sangat yakin bahwa dirinya akan terbebas, sehingga merasa tenang. Dan Rasulullah SAW berkata kepada Aisyah, “Gembirakanlah dirimu wahai Aisyah, Allah telah membebaskanmu dari segala tuduhan .” wahyu yang turun adalah Surat An Nuur ayat 11-26.
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar” (An Nur Ayat 11)
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohon itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (An Nur ayat 12)
“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” (An Nur ayat 13)
“Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.” (An Nur ayat 14)

“Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal Dia pada sisi Allah adalah besar.” (An Nur ayat 15)
“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar." (An Nur ayat 16)
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (An Nur ayat 17)
“Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An Nur ayat 18)
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (An Nur ayat 19)
“Dan Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). (An Nur ayat 20)

“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (An Nur ayat 21)
Demi mengetahui, bahwa wahyu telah membenarkan puterinya. Abu Bakar tersulut amarahnya atas ulah kaum munafik yang telah tega menyebarkan berita buruk atas diri putrinya. Maka Abu Bakar RA bersumpah tidak akan lagi memberikan nafkah kepada Mistah bin Usasah, yang penghidupan dan nafkahnya selama ini ditanggung oleh Abu Bakar RA. maka turun pula ayat selanjutnya,
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nur ayat 22)

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah[1033] lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (An Nur ayat 23)

“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An Nur ayat 24)

“Dihari itu, Allah akan memberi mereka Balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya). (An Nur ayat 25)

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” (An Nur ayat 26)
Maka Abu Bakar RA berkata, Baiklah. Demi Allah, sungguh aku suka bila Allah mengampuniku. Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Kemudian ia berkata, Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya.

Pada saat itu pula turun ketentuan hukuman bagi mereka yang menuduh secara membabi buta kepada perempuan yang baik-baik.
“Dan mereka yang menuduh terhadap perempuan baik-baik, dan tak dapat mendatangkan empat saksi (untuk memperkuat tuduhannya), maka deralah ia dengan delapan puluh kali pukulan, dan sekali-kali janganlah terima kesaksiannya. Dan mereka itu (penuduh) adalah orang-orang fasik.” (An Nur ayat 4)

Demi menjalankan ini, maka Mistah bin Usasah, Hassan bin Sabit dan Hamnah binti Jahsy masing-masing mendapatkan hukuman didera dengan delapan puluh kali pukulan.  Mengenai Hamnah inti Jahsy, yang merupakan saudara Zainab binti Jahsy. Sayyidah Zainab pernah ditanya oleh Rasulullah mengenai tuduhan kepada Aisyah ini. Beliau berkata, Wahai Zainab, pendapat kamu (mengenai tuduhan terhadap Aisyah? Sayyidah Zainab menjawab, “Duhai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu (Aisyah) hanyalah seorang yang baik.” Mengenai kesaksian sayyidah Zainab ini, sayyidah Aisyah RA mengatakan, “Dialah (Zainab) diantara istri-istri Nabi SAW yang menyaingiku dalam hal kecantikan, tetapi Allah SWT melindunginya dengan sifat wara’. Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti Jahsy  bertentangan dengannya.”
Maka jelaslah sudah duduk masalahnya, bahwa itu tak lebih dari berita bohong yang segaja dibuat untuk menghina, membuat goyah dan membingunkan keadaan kaum muslimin. Nabi dan Aisyah kembali hidup tenang dan berdampingan kembali dengan mesra.

Bagaimana Semua Itu Terjadi? Bagaimana Shafwan Tertinggal?
Shafwan bin Al Mu’aththal adalah sahabat nabi yang tampan, tegap, namun juga berperangai baik dan sholeh. Beliau tak pernah memasuki rumah Nabi SAW, kecuali jika beliau Nabi SAW sedang berada didalamnya. Beliau adalah orang mukmin yang sangat taat pada perintah Allah SWT. namun tentu bukan tanpa kekurangan, sebagai manusia. Shafwan adalah seorang yang susah bangun jika sudah tertidur. Maka dalam setiap perjalanan beliau selalu ditempatkan dibarisan belakang, selain karena kebiasaannya itu. Juga untuk menjaga jika ada rombongan tertinggal.
Sehubungan dengan Shafwan ini, marilah kita ikuti kisah tentang Shafwan, yang diadukan oleh istrinya sebagaimana diriwayatkan. Suatu ketika istri Shafwan datang kepada Nabi SAW untuk mengadukan Shafwan suaminya.
“Wahai Rasulullah, suamiku, Shafwan bin Al Mu’aththal memukulku jika aku mengerjakan shalat, dan membatalkan puasaku jika aku berpuasa, serta ia tidak mengerjakan shalat subuh hingga terbit matahari,” kata isteri Shafwan.
Ketika itu Shafwan berada di sisi Rasulullah. Beliau bertanya tentang apa yang dikatakan isterinya. “Wahai Rasulullah,” kata Shafwan menjawab. “Adapun ucapannya: ‘Ia memukulku ketika aku shalat’, karena ia membaca dua surat, padahal aku melarangnya. ”Rasulullah bersabda, “Seandainya satu surat saja, sudah cukup bagi manusia.”
“Adapun ucapannya: ‘Membatalkan puasaku,’ itu karena ia terus berpuasa padahal aku seorang pemuda dan aku tidak dapat menahan (syahwatku).” Rasulullah lalu bersabda, “Seorang perempuan tidak boleh berpuasa (sunnah) kecuali dengan izin suaminya.”
“Adapun  ucapannya bahwa aku tidak mengerjakan shalat hingga matahari terbit, karena kami adalah keluarga yang telah diketahui mengenai hal itu, yang nyaris kami tidak bangun hingga matahari terbit.” Beliau bersabda, “Jika engkau sudah bangun, maka shalatlah!”
Shafwan dengan segala kekurangannya adalah sahabat mulia Nabi SAW. yang selalu berusaha untuk mengikuti perintah Allah SWT, termasuk ketika ada seruan berperang. Dan tentu niatnya yang mulia tidak akan surut hanya dengan fitnah dan omongan yang tak benar. Maka sudahlah dapat kita simpulkan bagaimana Shafwan tertinggal dari rombongannya, karena memang beliau mempunyai kekurangan dalam hal bangun tidur, dan memang ditugaskan untuk menyisir dibelakang kalau ada pasukan yang ketinggalan.

Lantas Siapa Abdullah bin Ubay bin Salul?
Membincang Abdullah bin Ubay bin Salul, kita adakan mengadakan pelacakan sejarah yang panjang tentang bagaimana umat muslim bukan hanya harus bersiap menghadapi gempuran dari pihak kafir Quraisy yang selalu ingin meruntuhkan bangunan masyarakat Islam yang disusun oleh Nabi. Namun juga gempuran kaum munafik, yang berada dan hidup bersama Nabi dan kaum muslimin dibalik tembok Madinah. Diantara kaum munafik yang berperan besar, banyak pengikut dan mempunyai pengarus serta kekuasaan adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Abdullah bin Ubay, sangat dekat dengan Yahudi Madinah. Dalam beberapa peristiwa, Abdulah bin Ubay juga tercatat merugikan kaum muslimin. Seperti tindakannya yang meminta secara paksa, agar Nabi memaafkan Banu Qunaiqa. Ketika golongan Yahudi ini merusak perjanjian perdamaian dengan Nabi dan menantang kaum muslimin, dengan cara membunuh seorang laki-laki muslim yang berusaha membela seorang perempuan muslimah yang hedak dipermalukan oleh kaum Yahudi. Abdullah bin Ubay pula yang hendak meringankan hukuman Yahudi Banu Qunaiqa yang hendak diusir dari Madinah oleh Nabi karena melanggar perjanjian, ketika itu Abdullah bin Ubay hendak membatalkan hukuman itu, agar Banu Qunaiqa tetap diperbolehkan tinggal di Madinah. Ini terjadi karena Abdullah bin Ubay dekat dengan kaum Yahudi ini.
Abdullah bin Ubay pula yang ketika perang Uhud lebih memilih pulang dengan kaum Yahudi yang ditolak Nabi untuk ikut berperang melawan kaum kafir Quraisy. Ketika itu Abdullah Ubay bin Salul membawa sepasukan kaum Yahudi sekutunya untuk membantu Nabi. Tapi demi melihat ada hal lain yang membahayakan, maka nabi menolak pasukan itu. Dan Abdullah bin Ubay kembali pulang mengikuti pasukan Yahudi.
Abdullah bin Ubay bin Salul pula yang mencoba memprovokasi agar Banu Nadhir melawan ketika Nabi mengusir mereka akibat berbuat salah dengan melanggar perjanjian damai antara mereka dengan Nabi SAW. Bahkan pada saat itu Abdullah bin Ubay bin Salul menjanjikan kepada Banu Nadhir bantuan dari pihaknya. Juga menjanjikan untuk membantu Banu Nadhir dengan cara memobilisasi kabilah-kabilah Arab yang siap untuk membantu kaum Yahudi Banu Nadhir dalam menghadapi pengusiran oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin ketika itu. Pengusiran kepada Banu Nadhir itu dipicu karena Banu Nadhir berusaha untuk mengkhianati klausul-klausul perjanjian damai antara kaum Islam yang diwakili oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Yahudi Banu Nadir, dengan cara berusaha menyusun siasat untuk membunuh Rasulullah SAW.
Dalam peristiwa haditsul ifki, yang menimpa Aisyah diatas sebenarnya juga patut disinggung peran Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika perang melawan Bani Mustaliq itu usai, terjadi gesekan dan keributan kecil antara orang sewaan Umar bin Khattab yang bertugas menuntun unta dengan salah seorang dari suku Khazraj. Gesekan itu terjadi ketika rombongan umat Islam sedang beristirahat. Ketika terjadi perkelahian kecil, orang Umar meminta tolong dengan berteriak, “Saudaraku Muhajirin!”. Sedangkan seorang dari Khazraj mengatakan, “Saudaraku Anshor”. Dan ketegangan ini dimanfaat oleh Abdulah bin Ubay dengan mengobarkan rasa permusuhan antara Anshor dan Muhajirin. Dengan mengatakan bahwa Anshor telah berbuat kesalahan dengan memperbolehkan para Muhajirin hidup di Madinah dan semakin banyak jumlahnya. Menaku-nakuti bahwa kaum Muhajirin akan menginvasi Madinah dan mengusir penduduk Madinah suatu saat.
Pembicaraan Abdullah bin Salul ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka Umar bin Khattab pun murka, Umar meminta kepada Rasulullah agar memerintahkan Bilal membunuh Abdullah bin Ubay. “Umar, bagaimana jik sampai orang mengatakan, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri?.” Maka sebuah solusi ditetapkan, saat itu juga rombongan diperintahkan untuk segera bergegas melanjutkan perjalanan. Diperintahkannya agar kaum muslimin segera berangkat diwaktu yang tak biasa itu. Abdullah bin Ubay yang mendengar itu meminta maaf kepada Rasulullah, dan mengatakan bahwa ia tak pernah mengatakan apa yang diisukan oleh orang banyak itu. Bahkan Abdullah bin Ubay bersumpah atas nama Allah.
Tanpa menghiraukan Abdullah bin Ubay, Rasulullah memimpin rombongan untuk menerukan rombongan. Dan karena rombongan yang berangkat dalam waktu yang tidak biasa dan tergesa-gesa itulah Aisyah akhirnya tertinggal. Perjalanan itu dilakukan sepanjang hari hingga sore dan sepanjang malam sampai esok harinya dan pertengahan hari kedua baru sampai. Dalam keadaan yang begitu lelah, hingga ketika mereka sampai mereka sangat letih, lelah dan langsung tertidur ketika baru meletakkan badannya. Hingga mereka lupa akan perkataan Abdullah bin Ubay dan menguaplah provokasi Abdullah bin Ubay.
Sikap pemaafan Abdullah bin Ubay bin Salul oleh Rasulullah ini juga pernah menjadi bahan diskusi antara Rasulullah dan Umar ketika membahas tentang masa depan kaum muslimin. Bagi Umar sebenarnya, Abdullah bin Ubay lebih baik dibunuh. Sedangkan Nabi SAW memilih untuk memaafkannya, walau tahu akan kemunafikan Abdullah bin Ubay. Setelah peristiwa itu juga, suku dan kabilahnya sering mengingatkan Abdullah bin Ubay untuk selalu menyulut api dengan sikap memusuhi Rasulullah dari belakang. Golongannya memperingatkan bahwa itu adalah sikap yang tidak bijak dan memperingatkan akan keselamatannya.
Pada saat provokasi dilakukan, datanglah wahyu yakni Qur’an surat Al Munafiqun ayat 7-8. Mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.
Maka sontak, banyak orang mengira bahwa ayat itu datang untuk Abdullah bin Ubay, dan pasti bin Ubay akan dibunuh. Mendengar itu, Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul yang merupakan anak Abdullah bin Ubay bin Salul mendatangi Rasulullah. Anak Abdullah bin Ubay itu adalah seorang mukmin yang taat. Abdullah bin Abdullah bin Ubay meminta jika memang ayahnya harus dibunuh, maka tugas itu hendaknya dibebankan kepada dirinya sendiri untuk membunuh ayahnya, bukan orang lain. “Kalau sampai orang lain yang membunuhnya, maka saya tak akan dapat menahan diri membiarkan orang lain membunuh ayah saya bebas. Tentu saya akan bunuh dia, dan berarti saya akan membunuh orang yang beriman yang telah membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka”, demikianlah keluhnya kepada Rasulullah.
Tentu remuk redamlah perasaan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul. Berkecamuklah dadanya. Antara keimanan yang demikian kokoh, dengan perasaan sayang seorang anak kepada ayahnya. Bagaimana seoranga anak meminta agar tugas membunuh ayahnya dibebankan kepadanya, jikalaulah bukan karena iman yang kuat tentu tak akan terjadi.
Dan jawaban Rasulullah terhadap permintaan itu, adalah air yang menyejukkan jiwa. “Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya dengan baik-baik, selama dia masih bersama kita.”

Hoax Sebagai Alat Dakwah?
Seiring berkembangnya media dakwah, tak sedikit pendakwah atau da’i menggunakan media dakwah baru yang dipandang efektif, efisien dan massif dalam berdakwah. Dalam berdakwah beberapa hal memang harus tersedia dengan benar. Pertama, da’i atau pendakwah. Pada sisi dakwa personality sangatlah penting. Kita tentu akan sulit mencerna dan memahami ajakan kebaikan, dari seseorang yang sulit untuk kita nilai sebagai orang baik. Maka persoalan personality, adalah kunci seorang da’i. Walaupun dalam perkembangannya, pada dunia digital, beberapa da’i lebih condong pada sisi entertainment dari sisi uswahnya. Seperti ustadz-ustadz selebritis yang hidupnya cenderung mendekati selebritasnya daripada sisi “ustadznya”. Bahkan beberapa ustadz itu belakangan harus berurusan dengan masalah hukum, karena melakukan penipuan, pelecehan seksual dan sebagainya.
Kedua, Mad’u atau objek dakwah. Objek dakwah juga penting kedudukannya. Karena dengan memahami objek dakwah lebih jauh, materi dakwah yang disampaikan akan lebih efektif. Dari keberagaman dan keunikan objek dakwah inilah kemudian, banyak para da’i yang berinovasi. Beberapa berhasil dan mendapatkan metode dakwah benar-benar efektif dan efisien. Dengan alasan yang sama, tidak sedikit yang terjerembab dan akhirnya lebih menimbang “selera pasar” dari tujuan awal dakwah, seperti yang diungkap pada persoalan pertama. Ketiga, tujuan dakwah. Tujuan dakwah layak dipahami secara mendalam dan dipikirkan secara kontinyu pada diri setiap da’i. Karena bukan tidak mungkin pada suatu titik tujuan dakwah itu telah berubah dan menjadi liar. Maka belajar dan merenungi tujuan dakwah, layak terus dilakukan para pendakwah.
Keempat, media dakwah. Media tak kalah pentingnya dengan isi dakwah itu sendiri. Bukankah thoriqoh (media) itu terkadang lebih penting dari substansi isi (madah). Lalu bagaimanakah pandangan kita tentang menggunakan hoax sebagai media dakwah?. Mencampur adukkan kebaikan dan keburukan tentu bukan kebaikan. Kebaikan mana yang harus dilakukan dengan cara berbuat keji. Jika hoax yang merupakan fitnah keji bisa digunakan untuk menyebarkan kebaikan, kenapa bukan Rasulullah yang kali pertama menggunakannya menyebarkan agama mulia ini, kenapa malah gembong munafikin Abdullah bin Ubay?.

Bom dan Hoax; Ghozwul Fikri dan Strategi Perang Bumi Hangus
Belakangan ini, beberapa pihak mengemukakan bahwa hoax dibutuhkan dalam mempertahankan Islam dari gempuran berbagai pihak. Pihak-pihak itu mengklaim bahwa dewasa ini Islam sedang digempur dalam sebuah perang pemikiran, ghozwul fikri, begitu mereka menyebutnya. Sehingga pantaslah, jika hoax sebagai bagian dari senjata untuk melawan yang digunakan untuk menyudutkan barisan Islam.
Peperangan dengan cara menghalalkan berbagai cara ini hanya berdasarkan pada hadits yang mengatakan bahwa perang adalah tipu daya. Peperangan termasuk menghalalkan tipu daya dalam strateginya. Mereka memilih mendekati hoax sebagai strategi, alih-alih sebagai fitnah yang keji.
Menjadikan hoax sebagai strategi, bukan tidak mempunyai akibat. Beberapa tokoh Islam ternama, termasuk beberapa ulama, kyai dan bahkan seseorang ahli tafsir ternama bisa saja menjadi sasaran berita bohong dan palsu. Hinaan dan cemoohan, bahkan caci maki seringkali muncul kepada para ulama dan tokoh muslim yang tidak sependapat dan memiliki perbedaan politik dengan pihak-pihak yang menghalalkan hoax sebagai senjata dalam “perang” mereka.
Sekarang mari kita perhatikan bagaimana persamaan logika maraknya bom bunuh diri yang serampangan dengan hoax yang sekarang juga menjamur. Kaum ekstrimis, yang sedang mengaku memperjuangkan agama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu dengan menggunakan kekerasan yang sama sekali jauh dari nilai-nilai agama yang sedang dibelanya. Bukan saja mereka merusak diwilayah-wilayah perang, daerah damai pun tak luput dari serangannya. Sebut saja bom-bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad namun dilakukan didaerah kaum muslim dan memakan kaum muslim. Mereka anggap itu adalah resiko perjuangan atau malah hukuman kepada mereka yang berbeda pendapat dan pandangan dengan penafsiran “kebenaran” versi mereka.
Sementara hoax tak jauh berbeda dengan itu. Setiap menghadapi orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka, golongan ini tidak segan menyerang orang lain. Tidak peduli mereka adalah golongan orang yang beriman bahkan golongan ulama. Bahwa hoax yang mereka buat, adalah tipu daya dalam memenangkan peperangan pemikiran itu, maka siapapun sah untuk diserang. Termasuk para kyai-kyai sepuh dan ulama-ulama besar. Tidak segan mereka menuduh tanpa segan dan tak berdasar, bahwa seorang kyai atau ulama adalah golongan ulama dunia, ulama su’, ulama yang tidak perlu ditaati. Bahkan tidak jarang mereka menyebut para ulama tersebut keluar dari Islam (takfir) atau menyandarkan ulama-ulama besar tersebut sebagai penganut ajaran-ajaran Islam sesat, Syi’ah misalnya.
Letak persamaan bom-bom bunuh diri dan hoax itu terdapat pada ciri dan modus yang hampir sama. Pertama, penetapan target yang serampangan. Yang tidak lagi membedakan mana negara aman yang harus dihargai keamanannya agar semua manusia bebas menjalankan ibadahnya, dan mana diantaranya yang merupakan darul harbi (daerah perang). Penetapan target yang serampangan ini, adalah akibat dari sikap ideologi mereka yang menghalalkan memusuhi dan menyakiti siapapun yang tak seideologi, tak sependapat dan tidak satu garis pandangan politik. Kelompok ini adalah kelompok yang dengan mudah melakukan klaim orang lain telah bid’ah dan kafir. Kaum takfiri ini selalu berusaha mencapai tujuan ideologinya dengan berbagai macam cara, menghalalkan berbagai macam cara dan tanpa peduli sesuai dengan kaidah dan ajaran Islam atau tidak.
Kedua, letak persamaan kedua adalah selalu menggiring opini bahwa yang dilakukannya adalah demi membela agama. Opini ini dikembangkan, untuk menarik simpati dan agar memiliki justifikasi serta legitimasi bahwa perbuatan mereka benar adanya. Ketiga, golongan ini, akan secara ofensif menyerang siapapun yang tidak sependapat dengan dirinya. Bagi mereka siapapun yang tidak sependapat adalah musuh, alih-alih berdiskusi dan menganggap perbedaan adalah rahmat. Bagi mereka penafsiran adalah tunggal dan kebenaran hanya milik mereka.

Like dan Share; Cara Mudah Masuk Surga atau Neraka?
Dewasa ini muncullah beberapa berita bohong, berita buatan dan jadi-jadian atau hoax yang menyatakan barangsiapa membagikan menyukai status pada media sosial itu akan digaransi dengan surga. Sedemikian murah golongan ini menjual surga dan menyelewengkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan tak jarang dibuatlah kebohongan dengan dalih al Qur’an atau bahkan tak jarang sampai mencipta hadits palsu. “Sesiapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka bersiaplah dirinya menempati tempatnya di neraka”, padahal begitu sabda Rasulullah.
Saya khan cuma membagikan dan menyukai status dan unggahan orang lain? Apa salah saya?. Ini adalah pertanyaan dasar. Bagaimana mungkin orang yang hanya menyukai sebuah status atau unggahan seseorang atau membagikannya bersalah?.
Marilah kita ingat dengan nasib Mistah bin Usasah, Hassan bin Sabit dan Hamnah binti Jahsy yang telah turut andil dalam menyebarkan berita hoax. Jika berita tersebut tidak benar dan telah merugikan orang lain, maka Allah telah memutuskan hukum yang adil bagi mereka. Maka, tidaklah kita sebagai umat Islam yang berdab takut untuk berbuat keji?.
Negara Indonesia, hari ini juga terus dilanda hujan hoax tak terkendali. Dimulai dari penciptaan hoax yang bertujuan untuk black campaign terhadap calon tertentu. Namun pada akhirnya menjadi hal yang massif berkembang, hingga menyentuh pada ranah penafsiran agama, menyerang personality, dan termasuk untuk merisak (membully) produk-produk tertentu.
Untuk menanggulangi efek negatif dari persebaran berita bohong dan sampah itu, pemerintah berinisiatif menerbitkan undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik. "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik," demikian ketentuan ayat 1 pasal 28 UU ITE.  "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)," bunyi ayat 2 pasal 28 UU ITE. 
Para penyebar hoax juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.  Dalam UU tersebut, ada dua pasal yang bisa menjerat penyebar hoax yaitu pasal 14 dan pasal 15.Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.” (pasal 14 ayat 1). “Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan la patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.” (pasal 14 ayat 2). Sedangkan pada Pasal 15, “Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi, tingginya dua tahun.”
Maka dengan ikut serta menyebarkan fitnah, menyebarkan berita bohong, menyukai berita bohong yang pertanda kita ridho atas itu, surga atau neraka yang sedang kita cari?

Islam Trans-Nasional dan Hoax
Yang tidak luput dari pemberitaan hoax adalah kondisi perpolitikan diluar negeri, terutama di timur tengah yang notabene identik dengan Islam. Belakangan ketika terjadi perpecahan politik yang memunculkan pertikaian politik dan peperangan saudara berkelanjutan dibeberapa negara timur tengah. Muncullah kelompok-kelompok baru yang biasa disebt sebagai organisasi Islam trans-nasional.
Mereka ini muncul dari kelompok-kelompok Islam yang beberapa diantaranya mencoba untuk melakukan penetrasi ideologi kekerasan yang cenderung keras, suka membid’ahkan dan golongan takfiri (suka mengkafirkan). Seperti organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan organisasi luar negeri yang menganut ideologi salafi atau wahabi. Salafi disini, jelas kata dan term yang sama seperti yang difahami oleh kaum Islam mayoritas Indonesia yang menganut Ahlussunnah wal Jamaah. Namun salafi dalam term ini adalah sekelompok orang yang kerap membid’ahkan dan mengkafirkan amaliyah-amaliyah para penganut Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Beberapa diantara organisasi ini juga menginginkan mendirikan khilafah Islamiyah yang dalam konsep dan metodenya cenderung paradoksal. Organisasi ini dalam menyebarkan ideologi khilafah islamiyah pun cenderung menggunakan cara-cara menyamarkan tujuan mereka. Seperti mengajak anggota-anggota organisasi lain yang sudah mapan untuk mengikuti kegiatan mereka dengan “membungkus” acara yang menyerupai acara organisasi Ahlussunah wal Jamaah yang mapan.
Maka dengan munculnya organisasi-organisasi trans-nasional ini, demi membawa misi ideologi mereka, tak ayal kerap kita temukan beberapa berita bohong yang sengaja diciptakan guna mendapatkan simpati dan sebagai jalan masuk mempengaruhi pendapat publik. Terbaru adalah foto-foto hoax yang sengaja disebarkan untuk menggambarkan kondisi Syuriah, Yaman, Sudan, Rohingya dan lain sebagainya. Dengan dalih bahwa mereka paling peduli, paling terdepan membawa misi kemanusiaan, bahkan tak jarang mereka menggalang dana dengan berita dan foto-foto yang bohong.
Penutup
Maka sebagai renungan, marilah kita berfikir dan bertafakur. Dalam dunia bermedia sosial ataupun dalam hidup sehari-hari kita. Dalam hidup sebagai muslim yang setiap hari hidupnya harus berisi dakwah.
Renungkanlah!.
Jika kita sedang membawa berita gembira atas nama Allah Yang Maha Kuasa dan Pengampun, jikalau kita membawa kebenaran dakwah Rasulullah yang demikian agung akhlaknya dan sungguh mulia. Akankah kita melewati jalan hina bernama fitnah? Akankah kita menggunakan berita bohong, kotor dan menjijikkan itu sebagai medianya?.
Marilah berfikir bersama, dalam posisi berita bohong atas nama agama itu, kita sedang memainkan perang siapa?. Sang Agung Muhammad bin Abdullah yang dilanda kebingungan karena berita fitnah? Sayyidah Aisyah yang terkena geombang besar fitnah padahal jelas kesuciannya? Ataukah kita sedang memainkan perang sebagai Abdullah bin Ubay modern?
Saatnya memilih. Dan hidup itu pasti selalu tentang pilihan. Maka setiap pilihan, pas ada pertanggungannya.
Wa ila Allah Turja al Umuur, Wallahu A’lam bis Showab. 


(Pernah dimuat sebagai editorial dalam majalah Al Fikrah)