top social

Rabu, 04 Mei 2016

Perang Sunyi; Perjalanan Panjang Narkoba Merusak Dunia


Ketika manusia termulia, Muhammad SAW datang ke negeri Yatsrib atau yang sekarang kita kenal sebagai Madinah al Munawaroh, penduduk negeri tersebut menggemari minuman keras (khamr) dan perjudian (maysir). Ketika itu belum ada tanda pelarangan kedua hal tersebut. Dalam sebuah riwayat dijelaskan ketika beberapa orang bertanya tentang khamr dan perjudian, turunlah ayat 219 surat al Baqarah yang menyatakan bahwa keduanya terdapat dosa besar dan manfaat. Namun, dosa yang terkandung lebih besar dari manfaatnya.
Selanjutnya tersebutlah sekelompok sahabat nabi yang diundang jamuan makan dirumah sahabat Abdurrahman bin Auf, pada perjamuan itu disuguhkan khamr. Pada saat tiba waktu sholat dan berjamaah, sahabat yang diajukan sebagai imam sholat telah salah membaca surat al Kafirun, dan merubahnya dengan bacaan yang secara arti harfiah sangatlah fatal, karena masih dalam pengaruh khamr. Maka, turunlah ayat 43 surat an Nisa, yang melarang penggunaan khamr hanya pada waktu mendekati sholat. Barulah pada surat al Maidah ayat 90-91 yang secara jelas menyatakan keharamannya. Bahkan menyebut keduanya sebagai perbuatan syetan, musuh abadi umat manusia.
Dalam beberapa riwayat menyebutkan, hal itu terjadi karena setelah mabuk khamr beberapa sahabat saling menghina dan tak jarang terjerumus pada perpecahan oleh sebab yang tak penting. Khamr merujuk pada minuman yang memabukkan. Namun, Umar bin Khattab menyebut bahwa segala yang memabukkan adalah khamr, segala yang menutup pikiran sehat. Dan maklumlah kita, pada saat itu tentu varian hal-hal yang memabukkan tidak sebanyak hari ini. Namun pada hakekatnya selalu sama. Khamr dalam segala bentuknya, adalah sesuatu yang menutup pikiran sehat, menyebabkan mabuk, ekstase, dan tentu merusak badan.
Dalam perkembangan zaman, kita mengenal narkotika dan beberapa jenis obat-obatan yang bisa kita identifikasi sebagai khamr. Obat bius dengan segala variannya, misalnya. Dalam dunia medis, obat bius, opium dan sejenisnya bisa menjadi piranti yang digunakan untuk mengobati beberapa penyakit. Banyak manfaat yang bisa diambil dari obat-obatan ini. Namun, penyalahgunaan obat-obatan ini, sudah menumbalkan korban yang tak kalah banyak.
Merunut sejarahnya, sebelum hadir berbagai macam varian narkotika seperti sekarang. Manusia mengenal opium atau candu, yang berasal dari pohon Papaver Somniverum. Diyakini sudah ditanam oleh masyarakat di Mesopotamia bagian bawah, sekitar 3400 tahun SM. Pada zaman ini, sudah digunakan sebagai obat dan narkotika. Mengikuti peradaban manusia yang terus berkembang, opium atau candu pun menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Tak kurang sejarah yang menceritakan bagaimana opium ini masuk ke beberapa negara-negara seantero jagat. China, misalnya. China atau Tiongkok mengenal opium jauh sebelum kedatangan Inggris di daratan China. Persebaran awalnya dicurigai dilakukan oleh pedagang Arab dan Turki pada kisaran abad ke-7 atau 8 Masehi. Awalnya hanya dipergunakan sebagai obat tidur. Pada abad ke 13 menurut Wiriaatmadja (2004) dalam “Sejarah Peradaban China” atau abad ke 15 menurut Taniputra (2009) dalam “History of China” menjelaskan bahwa masyarakat China atau Tionghoa mulai menggunakan candu secara umum.
Pada waktu itu candu dikenal sebagai “fu-shau-kao”, yang berarti obat kebahagian dan panjang umur. Hal ini merujuk pada ekstase dan efek yang dihasilkan. Peredaran candu makin merajalela, mengakibatkan kemerosotan fisik dan moral yang sangat luar biasa. Pelarangan demi pelarangan impor langsung yang dikeluarkan pihak kerajaan tak mampu mengatasi peredarannya yang semakin menggurita. Beberapa titah kaisar China yang dikeluarkan demi meredam peredaran candu tak kunjung membuahkan hasil positif. Sekitar 900 ton candu per tahunnya diyakini beredar pada tahun 1820-an.
Maka, pada tahun 1938 China menjatuhkan hukuman mati bagi para penyelundup candu lokal. Pasokan candu ini tak lain datang dari kerajaan Inggris yang pada awalnya datang untuk membeli segala kebutuhan ke negeri China. Menyadari perdagangan yang tidak seimbang, Inggris harus selalu membeli barang dari China seperti teh, sutera dan rempah dengan memakai mata uang perak. Ditambah dengan revolusi industri di Inggris yang jelas menambah pola konsumsi masyarakat Inggris. Inggris harus menguras cadangan devisanya untuk melakukan perdagangan dengan China. Maka, Inggris mulai melirik untuk memperdagangkan candu kepada masyarakat China.
Tersebutlah Lin Zexu, seseorang yang ditugasi oleh kaisar China untuk menekan peredaran candu. Agresifitas dan kecerdasan Lin, disertai peraturan yang ketat, ditentang oleh para pedagang Inggris yang diketuai oleh Kapten Charles Elliot. Lin yang mengepung gudang candu Inggris, mampu menekan Inggris untuk menyerahkan sekitar 22.291 peti candu yang merupakan asset kerajaan Inggris dan menghancurkannya dengan gas beracun yang selanjutnya ditenggelamkan ke laut. Ini pemicu terjadinya perang candu pertama (1839-1842) yang terkenal dalam sejarah.
Kerajaan Inggris murka dan menghendaki agar Dinasti Qing atau Manchu agar mengganti kerugian akibat penghancuran candu milik Inggris. Pemerintah Qing yang tak menggubris, malah menangkap beberapa warga Inggris yang ketahuan berdagang candu. Setelah peperangan selama kurang lebih tiga tahun, Qing menyerah dan harus maju di perundingan yang menghasilkan beberapa kesepakatan berat sebelah. Lima pelabuhan yakni Kanton, Amoy, Foochow, Ningpo dan Shanghai dibuka bagi perdagangan bebas bagi asing, dan Inggris berhak membuka konsul di kelima pelabuhan tersebut. Wakil-wakil perdagangan Inggris juga harus dipandang sama rata dengan pejabat China. Termasuk dalam perjanjian itu adalah penyerahan Hongkong kepada Inggris dan pembayaran ganti rugi pemerintah China kepada Inggris.
Walaupun perjanjian yang terkenal dengan traktat Nanking telah dibuat pada 29 Agustus 1842. Namun keruncingan masalah tak berhenti. Inggris yang mendapati bahwa pelabuhan Amoy dan Ningpo tak sesuai ekspektasi dalam perdagangan, menghendaki penukaran dengan pelabuhan lain. Selain itu Inggris juga menghendaki dibukanya akses yang lebih besar dari sebelumnya, termasuk akses beberapa pelabuhan yang tak tercantum pada perjanjian. Inggris terus saja mempersoalkan candu yang sudah dihancurkan China. Padahal senyatanya data perdagangan candu dari Inggris melebihi komoditas lainnya. Tercatat 33.000 peti pada tahun 1843, 46.000 peti pada 1848 dan 52.929 peti candu diperdagangkan pada 1850. Perdagangan candu yang merajalela juga menjadi beban bagi ekonomi China. Penduduk yang menjadi pemadat tak lagi produktif, moralitas dan mental penduduk terancam, ekonomi negara karut marut dan diambang kehancuran.
Kerajaan China jelas tidak senang dengan kenyataan ini. Maka perjanjian Nanking sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Letupan insiden-insiden pemantik kerusuhan terus saja terjadi. Masalah bertambah pelik dan rumit, manakala misonaris Perancis August Chapdelaine dihukum mati. Inggris dan Perancis akhirnya melakukan serangan yang dikenal dengan perang candu kedua (1856-1860).
Opium juga mulai terkenal didunia barat, termasuk di Amerika. Gambaran bahwa para cowboy yang beristirahat di bar, setelah perjalanan panjang melintasi gurun dengan kuda kesayangan, adalah gambaran yang hampir tak nyata. Kebanyakan mereka malah tertelungkup dengan mengigau dirumah-rumah candu yang banyak tersebar. Mereka kebanyakan sedang mabuk candu dengan ditemani wanita penghibur dirumah candu, dibandingkan istirahat di bar. Walaupun kecanduan alkohol tetap menempati posisi pertama, dan candu diyakini mampu mengobati kecanduan alkohol tersebut.
Morfin kemudian ditemukan, mulanya dikembangkan sebagai obat penghilang rasa sakit sekitar tahun 1805-1810. Sempat dikatakan sebagai obat ajaib, karena kemampuannya menghilangkan rasa sakit paska operasi atau luka parah. Karena kemampuannya menghilangkan rasa sakit dan timbulnya euphoria seperti orang bermimpi itulah, Dr. F.W. A Serturner, seorang ahli obat menamainya morfin. Seperti Morpheus, dewa mimpi dalam mitologi Yunani kuno.
Selama perang saudara yang melanda Amerika, penggunaan morfin menjadi semakin massif. Bisa ditebak hasil akhirnya, prajurit dari pasukan Amerika utara maupun konfederasi berubah menjadi pecandu. Sekitar sepuluh ribu lebih prajurit yang menjadi pecandu morfin. Pendek kata terjadi epidemik yang sedemikian menggila. Hanya dalam kurun 10 tahun sejak morfin memasuki Amerika, dia telah menjadi masalah yang tak diperhitungkan sebelumnya.
Tahun 1874, Jerman menemukan obat yang diklaim dapat mengurangi kecanduan morfin. Obat terbaru tersebut adalah heroin, sesuai merek yang beredar di Jerman kala itu. Karena dirasa lebih aman, banyak pecandu morfin beralih ke heroin. Heroin sempat dijual bebas, bahkan kepada anak-anak. Heroin, morfin dan derivasi opium menjadi obat bebas. Sampai pada 1920, kongres Amerika Serikat menemukan bahaya dari obat-obatan tersebut dan menetapkan Undang-Undang Obat Terlarang. Namun terbitnya undang-undang tersebut terlambat, mengingat besarnya sebaran pecandu di negeri tersebut yang bertahan hingga kini.
Pada tahun 1923 badan obat Amerika (FDA) melarang penjualan bahan narkotika terutama heroin dengan bebas. Bahkan presiden Richard Nixon mengobarkan perang melawan heroin dengan mengajak kerjasama antar beberapa negara. Amerika bahkan bersedia membantu mengangkat kesejahteraan Turki dengan menyumbang 35 juta dollar pertahun, agar Turki mau menghancurkan ladang opiumnya dan menggantinya dengan tanaman lain. Pemerintah Amerika bahkan mengirimkan bantuan herbisida untuk menghancurkan opium di Turki.
Di Indonesia dikenal istilah narkoba yang merupakan akronim dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya. Narkotika yaitu zat yang berasal dari tanaman maupun bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menurunkan kesadaran, hilangnya kesadaran, rasa nyeri dan menyebabkan ketergantungan. Sedangkan psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif dan menyebabkan perubahan khas pada perilaku aktivitas mental maupun perilaku. Bahan adiktif lain yang dimaksud dalam narkoba adalah bahan lain bukan narkotika maupun psikotropika, namun dapat menimbulkan ketergantungan
Selain narkoba, penyakit masyarakat lain yang cukup menggurita di negara ini adalah minuman beralkohol. Yakni, minuman yang mengandung etanol yang diproses melalui hasil pertanian seperti tuak, maupun secara sintetis yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi destilasi maupun fermentasi tanpa destilasi, maupun yang diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan etanol atau dengan cara pengenceran minuman yang megandung etanol.
Dalam pemikiran sederhana kita, masyarakat Indonesia mungkin sudah begitu akrab dengan minuman tradisional seperti tuak, arak dan minuman keras lainnya. Namun bagaimana dengan narkotika?.
Dalam beberapa tulisan sejarah mengenai ini, kerap ditemukan pernyataan bahwa bangsa Indonesia mengenal jauh opium sebelum kedatangan Belanda pada abad ke 17. Diyakini persebaran opium dimulai dari pedagang-pedagang China dan para kelas atas (ningrat) di Jawa. Jamak berlaku pada pesta-pesta kaum kelas atas yang menyuguhkan opium sebagai hidangan penambah corak keningratan. Bukan pula tak mungkin, larangan mo limo, yang diajarkan oleh Sunan Drajat dalam ajarannya, termasuk mo madat (tidak memakai candu), adalah upaya counter attack sang Sunan terhadap kebiasaan yang sedemikian ini.
Penyebaran opium di wilayah Indonesia waktu itu terutama di Jawa sedemikian massif, kecuali di Banten dan Priangan. Dua wilayah paling akhir tersentuh peredaran candu, karena Belanda melarang peredaran candu di dua wilayah ini. Pada awal abad ke 19 di sekitaran alun-alun Semarang, biasa terlihat pondok-pondok candu yang bertebaran. Pondok berdinding bambu dan beratap daun nyiur kerap ditemui menjajakan opium atau candu kepada siapapun yang datang. Pondok biasanya menyediakan beberapa bilik khusus untuk menikmati candu. Penikmat candu menikmati candu dengan cara tradisional, memakai pipa panjang yang kerap disebut bedutan. Semuanya sah. Hal serupa acap ditemukan diseluruh penjuru Jawa pada tahun 1800 hingga seratus tahun kemudian.
Kedatangan VOC dari Belanda yang bersaing dengan Portugis dan Inggris dalam perdagangan juga menambah semarak peredaran candu di Jawa.  Persaingan perdagangan candu antara Inggris dan Belanda yang kemudian dimenangkan Belanda, ditandai dengan perjanjian dagang VOC dengan kerajaan Mataram pada tahun 1677. Raja Amangkurat II memberikan hak monopoli perdagangan opium kepada Belanda atau VOC.  Setahun dari perjanjian itu, kerajaan Cirebon pun melakukan perjanjian serupa dengan VOC. Setiap tahun tidak kurang dari 56 ton opium masuk ke tanah Jawa secara resmi. Sedangkan yang dijual dengan cara ilegal, kemungkinan dua kali lipat dari ini.
Pada tahun 1800 peredaran opium diwilayah pesisir utara Jawa sudah menjamur. Mulai dari Batavia, sampai wilayah Tuban, Gresik, dan Surabaya. Di pedalaman Jawa pun peredaran opium tak kalah massif. Di kerajaan Surakarta dan Yogyakarta saja terdapat tidak kurang 372 tempat penjualan opium. Pasar opium paling terkenal dan ramai berada dikawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bandar opium di Surakarta, karesidenan Kediri dan Madiun merupakan daerah penyetor pajak opium tertinggi pada abad ke 19 sampai abad ke 20.  Hal sama juga terjadi diwilayah Yogyakarta dan karesidenan Kedu. Disusul daerah pesisir seperti Rembang, Tuban, Besuki, Pasuruan, Probolinggo, Madura dan pedalaman Ponorogo.
Paku Buwono IV yang berkuasa pada tahun 1788-1820, sadar akan bahaya yang mengancam akibat peredaran candu yang massif ini pun mengeluarkan peringatan. Melalui karya tembang berjudul Wulang Reh, yang berisi tentang pitutur perilaku, sang raja mengingatkan rakyatnya untuk tidak terjerumus pada candu.
Pada saat itu, hartawan China di Indonesia juga terbiasa mengkonsumsi candu. Mereka menggunakan candu pada tempat-tempat yang eksklusif. Sedangkan pada tahun 1830, Belanda membentuk bandar-bandar resmi opium. Mereka bertugas mengedarkan opium di pedalaman Jawa. Penunjukan bandar dilakukan secara lelang di pendapa, diikuti Bupati, pejabat kolonial Belanda, dan pedagang China. Pertaruhan di arena lelang seringkali disebut sebagai perang antar raja. Karena semua pihak beradu gengsi, dan tentu bagi Belanda akan mendapat kucuran pajak yang tingi dari perdagangan opium.
Pemenang lelang akan mendapatkan privilege dan kewibawaan serta tentu berhak mendirikan pabrik pengolahan opium diwilayah yang dimenangkannya. Yang bahannya harus dibeli dari pemerintah kolonial Belanda. Jumlah angka yang dilelangkan terkadang sangatlah fantastis. Pajak Bandar opium di kawasan Semarang pada 1881 saja mencapai 26 juta Gulden. Dari jumlah pajak ini, pemerintah Belanda sudah mampu membayar seluruh gaji pegawainya di Hindia Belanda.
Jalur distribusi sampai pondok-pondok candu pun dikuasai oleh bandar. Pondok dan toko opium hanya boleh menjual opium dari bandar resmi. Namun tak luput, peredaran opium gelap pun menjamur. Diyakini tak kurang dari 3000 pondok candu berdiri ilegal, bahkan hingga dipelosok-pelosok desa. Jabatan sebagai bandar, bukanlah jabatan sepele ketika itu. Persaingan menjadi bandar besar seringkali dimainkan dengan segala cara, termasuk cara-cara culas. Persaingan ini juga membuat peredaran opium ilegal di pasar gelap semakin marak. Bandar yang ingin menghancurkan saingannya, biasanya membanjiri kawasan saingannya dengan opium ilegal. Agar perolehan pajak penjualan saingan tidak mencapai target. Polisi kolonial dan mata-mata bandar berusaha meredam peredaran opium ilegal dengan menangkapi orang yang terlibat. Namun, hanya bandar kelas teri yang terjamah. Pemain-pemain besar tetap aman.
Tio Siong Mo, bandar Solo yang wilayahnya dibanjiri opium ilegal asal Semarang, menjadikan Tio bangkrut. Kotraknya dicabut pada 1854, dan dipenjarakan karena gagal memenuhi pendapatan pajak yang disepakati. Opium gelap ini diproduksi dan diedarkan oleh Be Biauw Tjoan, yang menurut parlemen Belanda terlalu dianak emaskan pemerintahan kolonial. Walaupun akhirnya terungkap, Be Biauw Tjoan terlibat dalam peredaran gelap opium sepuluh tahun kemudian. Pangkat sebagai mayor de Chinesen pun dicopot.
Tidak berhenti, Be Biauw Tjoan tetap bermain dibisnis candu. Saudagar candu kaya raya ini sudah kadung “sakti”. Bahkan kemudian diangkat kembali menjadi mayor hingga mati. Pangkat-pangkat ini sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan pangkat kemiliteran. Memang, bandar-bandar candu rata-rata merangkap sebagai opsir China antek kolonial. Walau mereka hanya memimpin komunitas China. Pangkat yang disematkan mulai luitenant (letnan), kapitein (kapten), sampai mayoor (mayor).  Kedudukan Bandar biasanya diperoleh secara turun temurun oleh opsir China.
Bandar terbesar terakhir adalah Oei Tiong Ham, anak dari Oei Tjie Sien yang tiba di Semarang pada 1858. Pada umur 20 tahun, Oei Tiong Ham diangkat menjadi letnan China. Pada 1880 ketika kebanyakan bandar gulung tikar, keluarga Oei justru masuk dalam bisnis candu, dengan membeli lima wilayah bandar yang menguasai Semarang, Solo, Yogyakarta, Rembang dan Surabaya. Dalam menjalankan bisnis candu ini, keluarga Oei Tiong Ham memperoleh laba yang tidak sedikit. Diprediksi tak kurang dari 18 juta gulden dihasilkan keluarga ini dari bisnis candu. Jumlah yang tak sedikit ketika itu, merunut situasi ekonomi zaman kolonial.
Pada 1893 Oei Tiong Ham meggabungkan kongsinya dengan Kian Gwan, membentuk Handel Maatschappij Kian Gwan. Kongsi yang bergerak dibidang perdagangan gula, pelayaran dan perbankan. Kongsi ini menguasai perdagangan gula di Jawa, memiliki lima pabrik gula di Jawa Timur, mendominasi bisnis opium di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hingga Bandar-bandar opium yang dikendalikan orang China dibubarkan oleh pemerintahan kolonial belanda pada 1902.
Melihat sejarah panjang candu, opium, morfin sampai heroin dan sejenisnya, selalu berkelindan dengan perang, kekerasan, keserakahan dan kehancuran. China, imperium besar yang cukup maju, pada awalnya menutup perdagangan dengan asing, karena merasa sudah mampu memenuhi kebutuhan negaranya sendiri, harus bertekuk lutut dengan Inggris dan mengalami pahitnya penjajahan. Ini tidak bukan dikarenakan kemerosotan moral, etika dan mental pejabat dan rakyatnya. Pejabat Manchu ketika itu, rela melakukan praktek penyelewengan, korupsi, kolusi hingga menjadi pelindung bandar-bandar candu karena pengaruh candu yang menyebabkan ketergantungan dan kemerosotan moral.
Amerika pun pernah dilanda masalah besar terkait morfin dan heroin. Indonesia apalagi. Hingga hari ini, narkotika dan sejenisnya yang kita kenal dengan istilah narkoba, menjadi musuh yang mengintai tanpa bisa diprediksi. Persebarannya yang kian massif menyisakan ketakutan tak bertepi akan nasib generasi harapan bangsa.
Narkoba berdasarkan efek yang ditimbulkan setidaknya terbagi menjadi empat. Pertama, halusinogen, yakni kemampuan zat ini untuk memunculkan halusinasi akan benda yang sebenarnya tidak ada. Dalam kategori ini misalnya, kokain dan LSD. Kedua, stimulan, yakni kemampuan zat ini menstimulasi pemakai untuk tenaga ekstra. Ketiga, yakni kemampuan menekan pusat serta mengurangi kemampuan funsional tubuh. Pemakai zat ini akan merasakan tenang atau tertidur. Diantaranya adalah putaw. Keempat, adiktif, yakni rasa ketergantungan yang tinggi, sehingga pemakai sulit untuk lepas dari zat-zat berbahaya ini. Ganja, putaw dan heroin mempunyai kemampuan ini.
Perkembangan dunia farmasi dan medis, juga diikuti perkembangan candu, opiat, opium, morfin, dan heroin serta sejenisnya. Perkembangannya bahkan sulit dikendalikan. Melihat agresifitas perkembangan ini, banyak negara melakukan proteksi. Indonesia misalnya, karena menganggap undang-undang obat-obatan terlarang peninggalan Belanda sudah tidak memadai, beberapa kali diusahakan perubahan undang-undang terkait narkoba. Semangat pemberantasan narkoba bahkan dibarengi dengan tindakan tegas menghukum mati para bandar narkoba. Tapi tetap saja, peredaran narkoba tak pernah sepi.
Di Indonesia dikenal Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) yang mengatur tentang narkotika pada era kolonial. Peraturan ini dihapus ketika terjadi pendudukan jepang. Merasa peraturan tersebut sudah tidak relevan diterbitkanlah UU No. 9 tahun 1976 tentang narkotika. Yang selanjutnya diperbaharui dengan UU 22 tahun 1997 masih tentang narkotika. Melihat pentingnya isu narkotika, dibentuklah Badan Narkotika Nasional (BNN) melalui Perpres 83 tahun 2007. Mengingat bahwa pemberantasan narkotika yang sudah menjadi kejahatan trans nasional, maka diterbitkanlah UU 35 tahun 2009. Sebagai upaya sistematis mencegah berkembangnya peredaran narkoba. Segala upaya dilakukan, demi terjaganya masa depan generasi bangsa yang kerap menjadi sasaran peredaran narkoba.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah keislaman bukannya diam. Lembaga ini dianggap mampu menjadi pilihan, manakala pendidikan moral menjadi satu-satunya benteng untuk tidak terjerumus menjadi pemadat. Pendidikan yang bukan hanya mengandalkan kemampuan logika dan retorika, namun mampu mendidik pelajarnya dengan etika, mental dan terutama moralitas yang baik diyakini merupakan satu-satunya pilihan yang tepat.
Tudingan beberapa pihak bahwa terjadi peredaran narkoba di pesantren-pesantren bisa dianggap terlalu hiperbolis. Walau tak menafikan, kemungkinan adanya. Hal ini berkaca pada kenyataan bahwa memang tak ada tempat bagi kesempurnaan didunia ini. Namun, pengungkapan tudingan dengan nada hiperbolis, tentu menciderai marwah dan harkat sistem pendidikan tertua di Indonesia ini. Terutama menciderai kenyataan akan besarnya kontribusi pesantren dalam menjaga dan mendidik generasi penerus bangsa dengan akhlak, etika dan mental yang mulia.
Tapi, setidaknya pesantren tetap akan menganggap itu sebagai kritik yang membangun. Bahwa kemajuan zaman tak bisa dinafikan. Kemungkinan demi kemungkinan tentu harus diantisipasi. Ajaran Islam jelas menjabarkan, bahwa khamr, sesuatu yang memabukkan adalah haram. Baik banyak atau sedikitnya, tetaplah haram. Dan tak semestinya, pelajar muslim, santri terjebak pada makanan, minuman yang jelas mu’tabar haramnya.
Namun lebih dari itu, pesantren harus juga ambil bagian dalam peperangan menghadapi narkoba. Pesantren tidak bisa menutup mata, bahwa kehadirannya ditengah-tengah masyarakat dibutuhkan. Demi mempertahankan supremasi etika, moral dan mental bangsa. Pesantren harus hadir, setidaknya sebagai setitik cahaya terang. Karena daripada mengutuki kegelapan, bukankah selayaknya kita menyalakan setitik sinar harapan?. Wallahul muafiq ila aqwamith thoriq, wa ilaLlah turjaul umur…


dimuat dalam majalah Al Fikrah sebagai editorial denga judul Narkoba Cara Mudah Meruntuhkan Bangsa.