top social

Jumat, 29 Desember 2017

Peran Pesantren Dalam Merawat Budaya Literasi

Literasi, adalah kemampuan membaca dan menulis. Begitu kira-kira mudahnya memahami apa itu literasi. Menulis, erat kaitannya dengan membaca. Tanpa bacaan yang cukup, kemampuan menulis  hanya akan menjadi jauh panggang dari api. Budaya literasi adalah budaya adiluhung manusia. Budaya ini mengikuti, menyebabkan, mencetak dan mencatat bagaimana perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia. Jika kita bersepakat, selain bahasa ujar, tulisannlah yang membuat pesatnya perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia.

Dalam tulisan, terkandung beberapa penanda yang memang bisa berimplikasi perbedaan penafsiran. Itulah kenapa bahasa tulisan, sering memicu konflik penafsiran. Namun senyatanya, bahasa ujar pun tak luput dari kesalahan serupa. Masalahnya adalah, banyak dari manusia yang mengembangkan bahasa ujar seumur hidupnya, ia terus berbicara, namun tak pernah menulis.

Apa akibatnya?. Akibatnya jelas ada dan signifikan. Sebuah pemikiran, ide, hanya mungkin awet, lestari dan terus ditafsirkan, baik dengan salah atau benar, ketika ide itu mampu dibaca pada kemudian hari. Dan bahasa ujar, tak mungkin dibaca di kemudian hari oleh generasi berikutnya, kecuali ia tertulis. Inilah keunggulan dan signifikansi tulisan, dan pentingnya mengembangkan budaya literasi. Terutama bagi pendakwah, pelajar Islam, santri dan tentu para kyai-kyai, baik kyai muda maupun kyai sepuh. Tanpa tulisan tak mungkin dikenali ide dan pemikiran, bahkan takkan bisa diingat dalam sejarah.

Berapa banyak peradaban yang sanggup dibaca, ditafsiri dan diteliti karena catatan-catatan mereka. Baik dalam bentuk prasasti, babad, piagam dan lainnya. Lebih jauh, peradaban-peradaban itu, mampu mengatakan dan menampilkan kehebatan mereka, berkat apa yang mereka tulis. Karib kita dengar, bahwa sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Dan sebenar-benarnya pemenang adalah, mereka yang mau menulis sejarahnya.

Maka, jika pesantren, pendakwah, santri dan pelajar Islam tidak segera menulis, tak usah ragu jika sejarah tentang keunggulan mereka akan hilang ditelan arus zaman. Bukan pula tidak mungkin pesantren akan dianggap abu peradaban, karena tak mampu “mengisahkan” bagaimana tingginya budaya pesantren. Budaya menulis yang lemah harus segera diatasi, problem literasi yang ada di pesantren, harus segera diurai, dan kemalasan santri untuk menulis, harus segera dilawan dengan perjuangan nyata.

Menanamkan budaya literasi di kalangan santri, adalah pekerjaan rumah yang harus segera digarap pesantren. Memang tidak mudah, namun juga bukan berarti tidak mungkin. Diawali dengan membentuk klub-klub penulisan, sekolah-sekolah penulis dan kelas-kelas jurnalistik, maka sedikit banyak para santri akan tergugah untuk segera memperbaiki kondisi mereka di bidang literasi.

Menengok masa lalu, kita akan mendapati bagaimana sarjana-sarjana Islam mampu menjadi penulis yang handal, sehingga hari ini kita dapat menikmati berbagai karya mereka. Ulama-ulama nusantara sudah memberi contoh yang nyata pula. Jika melihat para ahli hadits dari generasi awal, sampai para ahli hukum Islam atau fuqoha’ mereka telah memberi contoh nyata bahwa menulis adalah aktifitas yang harus dilakukan dengan segenap jiwa. Menulis dan membaca adalah sebuah aktifitas yang lekat dengan keseharian mereka.

Para ulama-ulama generasi awal inilah yang “menyelamatkan” ajaran Islam dengan cara membukukan hadits, atau mengulas berbagai hukum Islam dalam karya-karya monumental mereka. Catat saja Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii sampai Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka adalah orang-orang yang bukan hanya peduli, namun mencurahkan segala daya upaya, kemampuan dan waktunya untuk menulis dan menjabarkan berbagai macam hukum, sudut pandang dan ajaran-ajaran Islam. Kemudian juga harus mengingati bagaimana Imam Bukhari, Imam Muslim dan beberapa ahli hadits lainnya menghabiskan waktunya dengan meneliti, membaca, mencari dan membukukan hadits.

Jauh setelah itu, kemudian muncul ulama-ulama yang juga menekuni budaya literasi, semisal Ibnu Hajar al Asqolaniy yang memberi komentar atas kitab Shohih Bukhori karya Imam Bukhori dalam karyanya Fathul Bari. Atau bagaimana kemudian Imam Nawawi menjadi ulama besar denga menyusun kembali, mengkoreksi dan meneliti kembali hukum-hukum Islam dalam madzhab Syafii. Tentu ulama-ulama lain pun tak sedikit jumlahnya. Namun mereka juga dikenal, sampai hari ini berkat budaya literasi yang mereka tekuni.

Ibnu Hajar al Asqolani misalnya, mempunyai karya yang tidak sedikit. Ahli hadits yang bernama asli Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar ini mempunyai banyak karya yang bisa kita nikmati sampai sekarang. Mulai dari kitab Fathul Bari, yang memberi komentar atas kitab Shohih Bukhori. Atau Bulughul Marom yang akrab di telinga kita. Ibnu Hajar al Asqolani, begitu beliau dikenal karena kakek moyangnya berasal dari Ashkelon, wilayah Palestina. Menurut imam as Sakhawi, murid utama dari Ibnu Hajar, Ibnu Hajar mempunyai karya tak kurang 270 buah kitab.

Diantara kitab yang bisa kita nikmati selain Bulughul Marom dan Fathul Bari, ada ad Durar al Kaminah, Tahdzib al Tahdzib, al Ishabah fii Tamyiz al Shahabah, Nukhbatul Fikr, al Isti’dad liyaumil Mi’ad. Dikenal sebagai seorang ahli hadits yang sangat besar pengaruhnya, karya Ibnu Hajar, yakni Fathul Bari diyakini sebagai kitab komentar (syarh) dan penjelas atas Shohih Bukhori yang paling otoritatif dan paling baik dan detail yang pernah dikarang. Dan kita tentu sadar bagaimana penghargaan harus diberikan kepada beliau atas susah payahnya beliau membuat sekian kitab, yang dapat kita ambil manfaatnya hingga hari ini. Dan inilah salah satu kelebihan budaya literasi.

Ada juga ulama besar, yang diyakini merupakan seorang ulama besar paling otoritatif dalam madzhab Syafii. Beliau adalah Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. Lahir di Nawa dekat dengan Damaskus, menjadikan dua tempat itu dinisbatkan pada penamaan beliau. Karangan beliau pun tak sedikit dan sering dikaji di pesantren-pesantren hingga hari ini.

Sebut saja kitab al Arba’in al Nawawi, kumpulan 42 hadits yang sering dikaji di pesantren. Riyadhus Sholihin, al Minhaj, yang merupakan kitab komentar (syarh) atas Shohih Muslim. Kitab lain seperti Minhajut Tholibin, Roudhotuth Tholibin, al Adzkar, Bustanul Arifin, at Tibyan, dan tentu al Majmu’ Syarh Muhadzab adalah karya-karya beliau yang tak kalah fenomenal. Karangan-karangan ini, bukan saja menjadikan nama beliau harum, namun senyatanya adalah upaya yang riil dalam menegakkan agama Islam. Beliau telah bersusah payah, menghabiskan waktu dan pikiran untuk mewariskan kepada kita, karya-karya yang menjadikan kita bisa memahami agama ini dengan lebih baik.

Atau yang kita kenal dekat dan sering disebut, Imam Syafi’i. Seorang imam madzhab yang terkenal dan paling banyak dianut di Indonesia. Imam yang masih tergolong dalam Bani Muthallib ini bernama asli, Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muththalibi al-Qurasyi. Lahir pada tahun 767 Masehi atau 150 Hijriyah. Beliau adalah murid dari seorang imam besar pula, Imam Malik. Beliau juga berguru pada murid-murid Imam Abu Hanifah di Irak. Imam Syafii lahir pada tahu dimana Imam Abu Hanifah wafat.

Karya Imam Syafii yang berjudul Ar Risalah, merupakan awal mula munculnya ilmu ushul fiqih di tahun-tahun berikutnya. Ada pula Al Umm, yang memuat pendapat-pendapatnya kemudian. Sementara disisi lain, guru tercintanya Imam Malik misalnya, yang bernama asli Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani, juga seorang yang produktif. Pencetus madzhab Maliki itu mempunyai kitab hadits yang hebat, Al Muwattho’.

Imam Malik berguru pada banyak tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Saking hebatnya Imam Malik, tidak jarang ulama yang semasa dan sebaya beliau, mengambil hadits dan meriwayatkan dari beliau. Seperti, Sufyan al Tsauri, Qutaibah Abi Mush’ab, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’d dan lainnya. Murid-muridnya sangat banyak, Ibnu Mubarok, Al Qaththan, dan tentu Ibnu Idris atau kita kenal sebagai Imam Syafii, dan banyak murid-murid beliau yang menjadi ulama luar biasa. Namun, Imam Maliki mewariskan al Muwaththa’ hasil karya beliau yang abadi hingga kini.

Masalah bukan berkurang, seiring perkembangan zaman, masalah keagamaan pun demikian. Persoalan yang sudah diselesaikan pada masa lampau, bisa jadi menemui perubahan pada masa kini, hingga harus dijawab dengan kaidah kekinian. Hal itulah kenapa budaya literasi harus dikembangkan, karena umat Islam butuh jawaban atas persoalan yang melilit mereka di hari ini dan kemudian. Banyak persoalan mutakhir yang harus disikapi oleh santri, kyai dan terutama pesantren.

Ulama nusantara juga bukan tidak memulai. Dari nusantara, beberapa tahun silam, sudah dikenal banyak nama ulama nusantara yang mewarnai dunia literasi, bahkan di tingkat dunia keislaman internasional. Sebut saja KH. Mahfudz Termas, KH. Nawawi Banten dan sebagainya. Karangan mereka bukan hanya dikaji oleh orang Indonesia, bahkan beberapa dikaji di universitas-universitas di luar negeri.

Al-Imam al-'Allamah al-Faqih al-Ushuli al-Muhaddits al-Muqri Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmasi al-Jawi al-Makki asy-Syafi'i, atau lebih dikenal sebagai Syaikh Mahfudz Termas merupakan seorang ulama yang terpandang. Lahir di Termas pada tahun 1868. Merupakan murid dari Syaikh Abu Bakar Syatha. Diantara guru-gurunya adalah Kyai Sholeh Darat dari Semarang dan beberapa ulama terkenal di masanya.

Murid-murid beliau diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari yang kelak mendirikan Nahdlatul Ulama. KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri as Samfuri, Umar Bajunaid, Muhammad Baqir al Jawi, Syaikh Ihsan Jampes, KH. Ma’shum Jampes, adalah beberapa deretan murid-murid beliau yang terkenal. Namun keberhasilan beliau dalam mendidik murid-muridnya juga tak menjadikan beliau lupa akan budaya menulis. Budaya yang mampu menjaga pemikiran-pemikiran beliau berkibar hingga hari ini.

Deretan kitab karangan beliau bisa disebutkan, misalnya Is'aful Mathali' bi syarhi al-Badru al-Lami' Nazhmu Jam'u al-Jawami, Insyirah al-Fu`ad fi Qira`ati al-Imam Hamzah Riwayatai Khalaf wa Khallad, Al-Badru al-Munir fi Qira`ati al-Imam Ibnu Katsir, Bughyatu al-Adzkiya fi al-Bahtsi 'an Karamati al-Auliya Radhiyallahu 'Anhum, Ta'mimu al-Manafi' bi Qira`ati al-Imam Nafi, Tanwiru ash-Shadr fi Qira`ati al-Imam Abi 'Amr, Tahyi`atu al-Fikar bi Syarhi Alfiyati as-Siyar, Tsulatsiyat al-Bukhari, Al-Khal'ah al-Fikriyyah Syarh al-Minhah al-Khairiyyah, As-Saqayah al-Mardhiyyah fi Asami Kutub Ashabina asy-Syafi'iyyah.

Kitab lain karangan beliau adalah Inayatu al-Muftaqir fima yata'allaqu bi Sayyidina al-Khidir 'Alaihis Salam, Ghaniyatu ath-Thalabah bi Syarhi Nazhmi ath-Thayyibah fi al-Qira'at al-'Asyriyyah, Fathul Khabir bi Syari Miftah as-Siyar, Al-Fawa`id at-Tarmasiyyah fi Asanid al-Qira`at al-'Asyriyyah, Kifayatu al-Mustafid fima 'Alaa min al-Asani, Al-Minhah al-Khairiyyah fi Arba'in Haditsan min Ahaditsi Khairi al-Bariyyah, Manhaj Dzawi an-Nazhar fi Syarhi Manzhumati 'ilmi al-Atsar, Mauhibatu Dzi al-Fadhl Hasyiyah 'ala Syarh Mukhtashar Bafadhal, Nail al-Ma`mul bi Hasyiyati Ghayatu al-Wushul fi 'ilmi al-Ushul.

Sebuah pencapaian yang luar biasa. Segala fan ilmu agama, berusaha beliau dedahkan dalam berbagai karangan beliau. Bukan hanya itu, kegemaran menulis itu juga menjadi sebuah teladan yang kelak diikuti oleh para murid-muridnya. Banyak murid beliau yang akhirnya produktif menulis. Semisal KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan lainnya.

Ulama nusantara yang juga diakui secara internasional karya dan kemampuannya adalah Syaikh Nawawi al Bantani. Syaikh Nawawi, secara nasab bersambung pada Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Kyai Umar, ayahanda beliau adalah keturunan dari ulama bangsawan besar. Silsilah beliau juga bersambung pada Maulana Hasanuddin atau Sultan Hasanuddin, raja pertama Kesultanan Banten. Jika dirunut, Kyai Nawawi Banten masih merupakanketurunan kedua belas dari Sunan Gunung Jati.

Semula Kyai Nawawi belajar pada ayahandanya, KH. Umar bin Arabi. Setelah cukup dewasa, beliau menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu di tanah Hijaz. Guru-gurunya ketika itu diantaranya Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Nahrawi. Kemudian beliau pulang ke tanah air.

Ketika itu, situasi politik yang dibawah kolonialisme Belanda tidak menguntungkan beliau. Sebagai seorang pemuda dan ulama, beliau turut serta menggalang kekuatan melawan kolonialisme. Namun, pada saat yang sama perlawanan Pangeran Diponegoro padam, akibat tertangkapnya sang pemimpin. Kyai Nawawi yang melihat keadaan sedang tidak menguntungkan berniat meninggalkan tanah air, untuk kembali ke tanah hijaz. Ini karena beliau telah terindikasi sebagai penyokong gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro.

Di tanah hijaz, beliau kembali menekuni dunia keilmuan. Adalah Syaikh Muhammad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni, Syaikh Abdul Hamid al Dagastani, yang merupakan guru-guru beliau yang merupakan ulama-ulama yang luar biasa. Syaikh Muhammad Khatib Sambas, merupakan pembimbing spiritual utama beliau. Syaikh Khatib yang merupakan seorang ulama terkemuka yang berhasil menggabungkan tarekat Qadiriyyah dan Naqsyabandiyah, memberikan Kyai Nawawi ijazah yang kelak diturunkan pada murid-muridnya, seperti Kyai Mahfudz Termas dan Kyai Hasyim Asy’ari, seorang kyai yang kelak mempunyai organisasi terbesar di dunia.

Murid Kyai Nawawi pun menjadi kyai-kyai pilih tanding. Diantaranya adalah Kyai Kholil Bangkalan, Kyai Hasyim Asy’ari, KH. Asyhari Bawean, Kyai Asnawi Banten, atau KH. Dawud dari Perak Malaysia. Mereka menjadi kyai-kyai besar yang kelak menyebarkan pemikiran-pemikiran gurunya, Kyai Nawawi, ke seluruh antero alam. Karena disamping Kyai Nawawi Banten mengajar di Masjidil Haram, Kyai Nawawi juga mengarang banyak kitab.

Dalam fikih, Kyai Nawawi mengarang kitab-kitab al Aqdul Tsamin, Fathul Mujib, Kasyifatus Saja, Nihayatuz Zain, Sullam al Munajah, serta Uqudul Lujain. Dalam bidang Tauhdi, beliau mengarang kitab bahjatul Wasail, Fathul Majid, Nurud Dholam, Qami’ut Thugyan, Qathrul Gaits. Sedangkan dalam ilmu tasawwuf, karya beliau diantaranya adalah Fathus Shomad, Maroqiyul Ubudiyah, Misbahud Dholam, dan sebagainya.

Dalam ilmu hadits karya beliau adalah Tahqihul Qoul, sementara dalam sejarah ada madarijus Su’ud, Targhibul Musytaqin, , Bughyatul Awwam. Dalam kaidah bahasa Arab, beliau juga menulis Fathul Ghafir, al Fushus al Yaquthiyah, Lubabul Bayan, al Riyadhul Qauliyah. Begitu banyaknya karya beliau, menjadikan kita melek, bagaimana namanya sangat dihormati hingga kini. Kaum pesantren juga mafhum, bahwaw setiap memulai mengkaji kitab-kitab karangan seseorang, kaum pesantren selalu memulai dengan mengirimkan hadiah fatihah. Kita tentu akan sadar, berapa banyak hadiah fatihah yang beliau dapat dalam sehari. Atau berapa banyak orang yang hidupnya berubah karena diterangi ilmu dari karya-karya beliau Kyai Nawawi.


Diantara ulama nusantara, juga terdapat nama yang selalu disebut dengan mulia. Hadhrotus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Seperti guru-gurunya, Kyai Hasyim, begitu beliau kerap dipanggil adalah seorang ulama yang luar biasa. Selain sebagai ulama, yang mengajar di pesantren, Kyai Hasyim juga merupakan sosok ulama pejuang. Gelar pahlawan nasional pun disematkan atas jasa-jasanya. Tanpa beliau, takkan ada peristiwa heroik 10 Nopember 1945. Seruan dari resolusi jihad, yang merupakan hasil iktiyar dan ijtihad Kyai Hasyim-lah yang menyulut peristiwa besar yang bermakna bagi kelestarian kemerdekaan bangsa Indonesia tersebut.

Kyai Hasyim, adalah kakek dari presiden Indonesia keempat, KH. Abdurrahman Wahid. Kyai yang fenomenal, karena kecakapan dan tradisi keilmuannya yang luar biasa inilah, beliau digelari Hadhrotus Syaikh, sebagai gelar kehormatan atas prestasi akademiknya. Kawan akrab dari Muhammad Darwisy, atau kelak lebih dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah ini juga seorang penulis handal. Beberapa tulisannya kerap menjadi bantahan telak dan menjadi penjelasan yang memuaskan bagi lawan maupun kawan debatnya. Kemampuannya yang sangat luar biasa dalam pemahaman hadits, disertai ijazah dan sanad keilmuan yang diakui, menjadikan banyak kyai-kyai sepuh sekalipun kerap mengambil ilmu dan sanad dalam pengajian yang diampunya.

Karya-karya beliau cenderung menghujam, langsung kepada pokok pembahasan dan dengan dalil yang tak terbantahkan. Diantara kitab karangan beliau adalah, Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah, Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin, kitab ini bercerita tentang keutamaan dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Kitab lainnya adalah, Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi yang menjelaskan etika-etika akademik antara pengajar dan siswa.

Kitab beliau yang lain adalah Al-Tibyan, fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqoorib wal Ikhwan, kemudian Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Kitab ini adalah penjelasan yang paling otoritatif tentang apa dan bagaimana Nahdlatul Ulama itu. Selain itu, Qanun Asasi, begitu kitab ini sering disebut adalah kitab yang menjadi rujukan dan pegangan para aktifis NU dikemudian hari. Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah adalah kitab beliau menegaskan tentang penting dan perlunya berislam dengan merujuk pada madzhab-madzhab yang mu’tabar. Mawaidz, adalah buku pegangan bagi pelaku dakwah di masyarakat. Buku ini bahkan pernah diterjemahkan Buya Hamka untuk majalah Panji Masyarakat.

Tidak berhenti disana, kitab Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama. Adalah kitab yang berisi 40 hadits sebagai penjelas dan dasar gerak Nahdlatul Ulama. Sedangkan Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Kitab ini mengetengahkan hal-hal penting dalam penyelenggaraaan perayaan maulid. Suatu tradisi yang menjadi tengara warga Nahdliyyin.

Murid sekaligus teman dan penerus kepemimpinan Kyai Hasyim di Nahdlatul Ulama adalah KH. Wahab Hasbullah, atau Kyai Wahab. Kyai satu ini terbilang nyentrik, ahli debat, ahli politik, namun pemahaman keagamaannya juga komplit. Tak jarang beliau melayani debat, diskusi bahkan dalam tulisan-tulisan di media massa. Dalam beberapa waktu, bahkan beliau berdebat sengit dalam tulisan dengan orang-orang yang berseberangan dengan Nahdlatul Ulama. Baik itu Masyumi, yang kerap menggerogoti dan mem-bully tradisi-tradisi dan jalan politik NU, sampai kaum komunis yang tergabung maupun yang tak tergabung dalam PKI.

Di hari-hari akhir, kitab juga bisa melihat beberapa kyai, ulama yang akrab dengan dunia literasi. Sebut saja Kyai Abu Fadhol, asal Senori. Seorang kyai yang “hanya” mengenyam pendidikan agama di nusantara, tanpa pernah ke tanah hijaz ini pun, secara keilmuan diakui luar biasa. Kyai Abu Fadhol, mempunyai beberapa karya yang bahkan dipelajari hingga sekarang. Beliau mengarang kitab-kitab berbahasa Arab dengan sangat sempurna. Ayahandanya Kyai Abdus Syakur, adalah kawan karib dari Kyai Hasyim Asy’ari. Beliau adalah satu diantara murid kyai tersohor ketika itu, Kyai Faqih Maskumambang. Kyai Faqih sendiri adalah seorang ulama yang mengarang kitab al Nushush al Islamiyah fii Raddi ‘ala Madzhab al Wahabiyah. Sebuah kitab yang mengupas habis kesalahan pikir kaum Wahabi.

Kyai Fadhol Senori, sebutan akrab beliau merupakan salah satu kyai, ulama yang produktif dalam menulis. Kitab Ahla Musamarah fi Hikayat Auliya’ ‘Asyrah karangan beliau, sering menjadi rujukan dalam mempelajari sejarah masuknya Islam di Indonesia. Kitab ini menceritakan tentang sembilan wali, atau karib disebut sebagai Walisongo plus satu wali lainnya, yakni Syaikh Siti Jenar. Kitab lain Kifayatut Thullab, adalah kitab yang merangkum kaidah jurisprdensi islam atau dikenal sebagai ilmu ushul fiqh. Kitab ini menghimpun intisari kaidah jurisprudensi dari kitab karangan Syaikhul Islam Jalaluddin as Suyuthi yang berjudul, al Asybah wa Nadhoir.

Sebagai ulama ahlussunnah wal jama’ah terkemuka di Indonesia, Kyai Abu Fadhol juga turut menyumbang pemikiran tatkala beberapa tradisi peribadatan yang ada di Indonesia diusik. Tarawih, misalnya. Beberapa orang yang datang kemudian kerap menyebut tarawih 20 rakaat yang dikerjakan oleh para ahlussunnah wal jamaah di Indonesia sebagai amalan yang salah dan bid’ah. Maka beliau menyusun kitab Kasyfut Tabarih fii Sholatit Tarawih.

Ulama-ulama lain yang produktif di Indonesia diantaranya juga adalah Kyai Sholeh Darat, Kyai Bisri Musthofa. Nama terakhir adalah ayahanda dari Kyai Musthofa Bisri yang sangat produktif, kitab karangannya sangatlah banyak. Diantaranya adalah Tafsir al Ibriz, sebuah karya monumental. Tafsir al Qur’an 30 juz dalam bahasa Jawa. Putra beliau, Kyai Musthofa Bisri adalah seorang kyai yang amatlah terkenal. Gus Mus, begitu panggilannya justru dikenal sebagai sastrawan, budayawan, selain sebagai sosok kyai yang nyentrik.

Karangan Gus Mus pun tidak sedikit jumlahnya, selain lukisan dan puisi-puisi beliau. Dasar-dasar Islam, Ensklopedi Ijma' yang merupakan sebuah terjemah yang dikerjakan keroyokan dengan Kyai Sahal Mahfudz. Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia. Kimiya-us Sa'aadah, merupakan kitab terjemahan dari kitab berjudul sama karangan dari al Imam al Ghozali. Syair Asmaul Husna sebuah syair dalam bahasa Jawa. Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem, Tadarus, Antalogi Puisi, Mutiara-mutiara Benjol , Rubaiyat Angin dan Rumput, Pahlawan dan Tikus.

Sebuah buku juga ditulis tentang Kyai Hasyim Asy’ari, Mahakiai Hasyim Asy'ari. Kitab ini bisa jadi sangat “manusiawi” karena Kyai Bisri Musthofa ayahanda beliau berkawan akrab dengan Kyai Hasyim Asy’ari. Metode Tasawuf Al-Ghazali, Saleh Ritual Saleh Sosial, Pesan Islam Sehari-hari , serta sebagai kyai beliau juga menulis Fikih Keseharian  yang diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang.

Kyai lain, semisal Kyai Sahal Mahfudz juga tak kalah produktif. Kyai yang sempat memegang jabatan tertinggi di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini kealimannya diakui oleh ulama nusantara bahkan dunia. Karyanya , Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayatil Wushul merupakan kitab penjelas atas kitab Ghayatul Wushul, yang kitab ini sendiri merupakan komentar atas kitab Lubbul Ushul. Dua kitab ini, baik Lubbul Ushul maupun Ghayatul Wushul adalah kitab karangan Syaikh Zakariya al Anshori. Merupakan kitab jurisprudensi Islam atau ushul fiqh. Kitab ats-Tsamarat al-Hajayniyah  yang mempermudah pelajar Islam dalam memahami beberapa istilah dalam kutubut turats, kitab-kitab babon dalam beberapa fan ilmu keislaman.

Ada juga kitab al-Fawa’id al-Najibah yang menjadi syarah atau komentar atas kitab karangan beliau sendiri yakni, al-Faraid al-Ajibah fi Bayan I’rab al-Kalimat al-Gharibah. Kitab orisinil karangan beliau ini berkaitan dalam tata bahasa dan gramatikal bahasa Arab. Kitab al-Bayanul Malma’ an Alfadhil Luma’, karya beliau yang merupakan komentar atas al Luma’, karya Abu Ishaq Ibrahim al-Syairazi.

Kitab karangan beliau lainnya adalah Wadajayn ‘inda Munadharat Ulama Hajayn fi Ru’yatil Mabi’ bi-Zujajil ‘Aynayn. Membahas tentang perdebatan ulama atas keabsahan penglihatan menggunakan kacamata atas barang dagangan. Adapula kitab Faydlul Hija ala Nayl al-Raja syarh dari Safinatun Naja, kitab Anwarul Bashair syarh atas al Asybah wa Nadhoir. Dan beberapa kumpulan artikel serta karangan berbahasa Indonesia dan Jawa pegon.

Begitu pentingnya tradisi literasi bagi santri. Contoh dan ceritera diatas hanya sebuah pengungkit semangat, bahwa selayaknya santri pandai menulis dan gemar membaca. Karena dengan meluasnya Islam, berkembangnya teknologi, tak pelak banyak kaum muslim yang butuh mendapatkan asupan pengetahuan keagamaan dari sumber yang paling otoritatif, yakni pesantren.

Jika saja kaum pesantren, santri, kyai dan para pejuang pesantren sudah abai terhadap budaya literasi, maka suatu saat orang harus belajar dari sumber yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini, tentu tidak diinginkan, karena dengan demikian, bisa saja Islam berkembang menuju arah yang salah. Radikalisme, kemiskinan, komunisme, liberalisme, kapitalisme, tentu tak bisa diimbangi hanya dengan berkacak pinggang. Karena mereka tentu tak menyerang dengan senjata lagi. Mereka menyerang melalui pemikiran, dan cara tepat untuk melawannya adalah dengan pemikiran. Cara paling tepat mempertahankan akidah ahlussunnah wal jamaah, Islam yang benar, yang otoritatif hari ini, hanya dengan menguasai media. Bagaiaman kita bisa menguasai media, jika membaca dan menulis saja kita tak biasa?.

Wallahu A’lam.





Pernah dimuat dalam majalah Al Fikrah, edisi September 2017. 
Gambar ilustrasi, taken from: http://saraung.com/membayangkan-gerakan-literasi-di-pangkep/