Beberapa hari ini, media sosial seakan diistirahatkan
dari hal-hal “berat” yang mencekam. Pembicaraan dengan tensi tinggi tentang
berapa harga yang pantas untuk sebatang rokok, dwi kewarganegaraan dan kaitannya
dengan nasionalisme, remisi koruptor, atau koruptor baru yang tertangkap
tangan, sampai soal artis-artis yang terlibat skandal narkoba dan prostitusi. Isu-isu
itu seakan sepakat untuk menepi dan memberi jalan ketenaran pada Mukidi.
Yah, Mukidi adalah tokoh rekaan yang belakangan menjadi
viral di media-media sosial sampai media-media arus utama. Mengobati kejenuhan
kita atas ketegangan-ketegangan hidup, termasuk dalam hidup berbangsa dan
bermasyarakat.
Membaca Mukidi, seakan kita diingatkan akan kisah-kisah
Abu Nawas atau Abu Nuwas. Tokoh Sufi yang digambarkan hidup dengan santai tanpa
beban, namun kritis dan banyak akal. Walau terkadang menjengkelkan.
Abu Nawas dan Mukidi bisa dibilang setali tiga uang,
bukan, setali dua uang. Bukankah hanya Mukidi dan Abu Nawas saja sudah cukup merepotkan?. Saya tidak
mau menambah satu lagi, karena tentu lebih menyulitkan. Abu Nawas dan Mukidi
menggambarkan sosok yang sama. Bersahaja, suka mempermainkan hidup, humoris, jenaka,
kritis. Dan tentu, tetap terkadang menjengkelkan. Maka tak salah, terkadang
orang menerjemahkan, cerita Mukidi adalah cerita recycle dari cerita serupa dari Abu Nawas dan sejenisnya, seperti
Nasrudin Koja, misalnya. Atau mereka memang entitas yang sama sebenarnya.
Ditengah hingar bingar pemberitaan “berat” yang
menjadikan beban kehidupan semakin berat. Mukidi kadang jadi semacam oase yang
menyejukkan. Lihatlah bagaimana beratnya kita hidup dalam bernegara yang pernah
mengklaim beradab. Soal kenaikan cukai rokok yang membuat ketar-ketir para
perokok, misalnya. Jika kita telusuri, ternyata merupakan hasil survey dari
sebuah kampus negeri di Jakarta. Penelitian yang dipresentasikan dalam sebuah
acara berbahasa Inggris itu, merupakan sebuah penelitian yang memuat, bahwa
jumlah perokok akan terjun bebas atau turun dengan signifikan, manakala harga
rokok dinaikkan dengan signifikan beberapa kali lipat.
Hasil penelitian itu kemudian diunggah dalam laman berita
online yang “kurang cermat” dengan embel-embel keputusan pemerintah. Kengerian pun
dimulai. Secara viral, situs-situs berita online kemudian melakukan pensaduran
isu dengan penambahan tentunya, yang semakin menghebohkan. Tak kurang
media-media besar pun tak mau kehilangan kesempatan pembagian kue. Tanpa pemberitaan
yang jelas, tanpa peduli klaritas, tanpa klarifikasi, berita tentang hal itu
mendesak sampai pelosok negeri.
Semakin ngeri, ketika gambar-gambar palsu tentang harga
baru rokok diunggah seakan-akan dari supermarket dan minimarket. Masyarakat heboh.
Politisi tak kurang heboh, perang urat syaraf untuk isu yang tak jelas
kebenarannya menjadi sedemikian parah.
Para politisi pendukung “baru” pemerintah, seakan tak
mau kesempatan mencari muka. Mereka dengan tegas menyatakan mendukung “wacana”
kenaikan harga rokok oleh pemerintah.
Politisi yang mengklaim diri sebagai oposisi tak kalah
heboh. Merasa mendapatkan “senjata” untuk menyerang pemerintah, dengan sangat
bersemangat mereka menolak kenaikan harga rokok. Dengan bermacam dalih
tentunya. Mulai dari kepedulian kepada petani tembakau, sampai pada pembelaan
atas kretek sebagai budaya bangsa. Kaum (aktifis?) pro-rokok dan kontra-rokok
tak kalah semangatnya.
Beberapa politisi mengambil isu ini sebagai kesempatan,
walaupun mengaku sebagai pendukung pemerintah, mereka mengecam wacana ini. Demi
rakyat, begitu kira-kira bunyi statemen mereka. Disinilah otak waras kita
seakan dipaksa terus bekerja dalam kepenatan.Padahal tanpa isu mereka, mereka tak pernah mau tahu kesejahteraan petani tembakau dan buruh pabrik rokok.
Beberapa hal menjadi pertanyaan tak berujung. Bagaimana
mungkin kantor-kantor berita tenar dan arus utama itu, dengan mudah
menyingkirkan logika dan etika jurnalistik. Tanpa konfirmasi dan tidak menjaga kebenaran
berita. Kenaikan harga rokok, tidak ubahnya dimainkan sebagai isu murahan bak
infotainment para selebriti yang kerap settingan
dan tak penting itu. Lalu kemana kita menyandarkan sumber kebenaran?. Politisi?.
Politisi pun tak kalah lincahnya “menggoreng” isu. Tapa
ba bi bu dan tanpa malu, mereka langsung menanggapi berita itu dengan sigap,
tanpa konfirmasi.
Dalam isu ini, kita dibuat terperangah. Bagaimana tabiat
media-media arus utama kita lebih memilih berpihak pada oplah atau tiras media
mereka. Tanpa melihat efek dan kebenaran. Alih-alih mengkonfirmasi. Mereka hanya
berfikir keuntungan semata. Politisi kita pun, tergagap-gagap. Mereka seakan
kurang “asupan” informasi. Lalu kemana kita berharap?.
Ditengah hiruk pikuk ini muncullah sosok Mukidi yang
lugu itu. Walaupun beberapa merupakan cerita recycle, namun setidaknya Mukidi mengajari kita satu hal. Masa bodoh
dengan isu, semuanya pasti lucu. Dunia hanya kelucuan-kelucuan yang
tersembunyi. Lucu punya media hanya pandai memainkan isu murahan, dan lucu
punya politisi yang tak lebih cerdas dari Mukidi. Mukidi kemudian menjadi
viral, diadaptasi dalam bentuk meme, dikembangkan dengan pelbagai cerita sesuai
kebutuhan tanpa takut terkena pelanggaran hak cipta.
Selain itu, Mukidi
mengajari kita satu hal penting dalam hidup. Untuk menjadi waras tak harus seserius seperti lagak
para media arus utama atau seperti politisi yang berdasi itu. Menjadi waras kadang
cukup menjadi Mukidi. Yang tak perlu sampai berpening-pening untuk merasakan
bahwa dunia adalah panggung sandiwara.