top social

Rabu, 31 Agustus 2016

Mukidi dan Penatnya Kewarasan Kita



Hasil gambar untuk mukidiBeberapa hari ini, media sosial seakan diistirahatkan dari hal-hal “berat” yang mencekam. Pembicaraan dengan tensi tinggi tentang berapa harga yang pantas untuk sebatang rokok, dwi kewarganegaraan dan kaitannya dengan nasionalisme, remisi koruptor, atau koruptor baru yang tertangkap tangan, sampai soal artis-artis yang terlibat skandal narkoba dan prostitusi. Isu-isu itu seakan sepakat untuk menepi dan memberi jalan ketenaran pada Mukidi.
Yah, Mukidi adalah tokoh rekaan yang belakangan menjadi viral di media-media sosial sampai media-media arus utama. Mengobati kejenuhan kita atas ketegangan-ketegangan hidup, termasuk dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat.
Membaca Mukidi, seakan kita diingatkan akan kisah-kisah Abu Nawas atau Abu Nuwas. Tokoh Sufi yang digambarkan hidup dengan santai tanpa beban, namun kritis dan banyak akal. Walau terkadang menjengkelkan.
Abu Nawas dan Mukidi bisa dibilang setali tiga uang, bukan, setali dua uang. Bukankah hanya Mukidi dan Abu Nawas saja sudah cukup merepotkan?. Saya tidak mau menambah satu lagi, karena tentu lebih menyulitkan. Abu Nawas dan Mukidi menggambarkan sosok yang sama. Bersahaja, suka mempermainkan hidup, humoris, jenaka, kritis. Dan tentu, tetap terkadang menjengkelkan. Maka tak salah, terkadang orang menerjemahkan, cerita Mukidi adalah cerita recycle dari cerita serupa dari Abu Nawas dan sejenisnya, seperti Nasrudin Koja, misalnya. Atau mereka memang entitas yang sama sebenarnya.
Ditengah hingar bingar pemberitaan “berat” yang menjadikan beban kehidupan semakin berat. Mukidi kadang jadi semacam oase yang menyejukkan. Lihatlah bagaimana beratnya kita hidup dalam bernegara yang pernah mengklaim beradab. Soal kenaikan cukai rokok yang membuat ketar-ketir para perokok, misalnya. Jika kita telusuri, ternyata merupakan hasil survey dari sebuah kampus negeri di Jakarta. Penelitian yang dipresentasikan dalam sebuah acara berbahasa Inggris itu, merupakan sebuah penelitian yang memuat, bahwa jumlah perokok akan terjun bebas atau turun dengan signifikan, manakala harga rokok dinaikkan dengan signifikan beberapa kali lipat.
Hasil penelitian itu kemudian diunggah dalam laman berita online yang “kurang cermat” dengan embel-embel keputusan pemerintah. Kengerian pun dimulai. Secara viral, situs-situs berita online kemudian melakukan pensaduran isu dengan penambahan tentunya, yang semakin menghebohkan. Tak kurang media-media besar pun tak mau kehilangan kesempatan pembagian kue. Tanpa pemberitaan yang jelas, tanpa peduli klaritas, tanpa klarifikasi, berita tentang hal itu mendesak sampai pelosok negeri.
Semakin ngeri, ketika gambar-gambar palsu tentang harga baru rokok diunggah seakan-akan dari supermarket dan minimarket. Masyarakat heboh. Politisi tak kurang heboh, perang urat syaraf untuk isu yang tak jelas kebenarannya menjadi sedemikian parah.
Para politisi pendukung “baru” pemerintah, seakan tak mau kesempatan mencari muka. Mereka dengan tegas menyatakan mendukung “wacana” kenaikan harga rokok oleh pemerintah.
Hasil gambar untuk mukidiPolitisi yang mengklaim diri sebagai oposisi tak kalah heboh. Merasa mendapatkan “senjata” untuk menyerang pemerintah, dengan sangat bersemangat mereka menolak kenaikan harga rokok. Dengan bermacam dalih tentunya. Mulai dari kepedulian kepada petani tembakau, sampai pada pembelaan atas kretek sebagai budaya bangsa. Kaum (aktifis?) pro-rokok dan kontra-rokok tak kalah semangatnya.
Beberapa politisi mengambil isu ini sebagai kesempatan, walaupun mengaku sebagai pendukung pemerintah, mereka mengecam wacana ini. Demi rakyat, begitu kira-kira bunyi statemen mereka. Disinilah otak waras kita seakan dipaksa terus bekerja dalam kepenatan.Padahal tanpa isu mereka, mereka tak pernah mau tahu kesejahteraan petani tembakau dan buruh pabrik rokok.
Beberapa hal menjadi pertanyaan tak berujung. Bagaimana mungkin kantor-kantor berita tenar dan arus utama itu, dengan mudah menyingkirkan logika dan etika jurnalistik. Tanpa konfirmasi dan tidak menjaga kebenaran berita. Kenaikan harga rokok, tidak ubahnya dimainkan sebagai isu murahan bak infotainment para selebriti yang kerap settingan dan tak penting itu. Lalu kemana kita menyandarkan sumber kebenaran?. Politisi?.
Politisi pun tak kalah lincahnya “menggoreng” isu. Tapa ba bi bu dan tanpa malu, mereka langsung menanggapi berita itu dengan sigap, tanpa konfirmasi.
Dalam isu ini, kita dibuat terperangah. Bagaimana tabiat media-media arus utama kita lebih memilih berpihak pada oplah atau tiras media mereka. Tanpa melihat efek dan kebenaran. Alih-alih mengkonfirmasi. Mereka hanya berfikir keuntungan semata. Politisi kita pun, tergagap-gagap. Mereka seakan kurang “asupan” informasi. Lalu kemana kita berharap?.
Ditengah hiruk pikuk ini muncullah sosok Mukidi yang lugu itu. Walaupun beberapa merupakan cerita recycle, namun setidaknya Mukidi mengajari kita satu hal. Masa bodoh dengan isu, semuanya pasti lucu. Dunia hanya kelucuan-kelucuan yang tersembunyi. Lucu punya media hanya pandai memainkan isu murahan, dan lucu punya politisi yang tak lebih cerdas dari Mukidi. Mukidi kemudian menjadi viral, diadaptasi dalam bentuk meme, dikembangkan dengan pelbagai cerita sesuai kebutuhan tanpa takut terkena pelanggaran hak cipta.
Selain itu, Mukidi mengajari kita satu hal penting dalam hidup. Untuk menjadi waras tak harus seserius seperti lagak para media arus utama atau seperti politisi yang berdasi itu. Menjadi waras kadang cukup menjadi Mukidi. Yang tak perlu sampai berpening-pening untuk merasakan bahwa dunia adalah panggung sandiwara.

Kamis, 25 Agustus 2016

Rakyat Adalah Kita

Hasil gambar untuk pemimpin yang adilSuatu ketika, datang seorang laki-laki sambil berkata kepada sayyidina Ali, Sang Pintu Ilmu yang juga menantu dan keponakan terkasih manusia mulia Nabi Muhammad SAW. Saat itu Imam Ali menjabat sebagai presiden, pemimpin umat muslim, khalifah. Laki-laki itu berkata, “Hai Ali, kenapa pemerintahanmu tidak bisa setenteram, seaman dan senyaman pemerintahan Abu Bakar dan yang lainnya?”. Memanglah zaman pemerintahan Imam Ali, penuh gejolak, zaman malaise, meminjam istilah Soekarno. Zaman ini penuh dengan intrik dan pemberontakan. Paling terkenal tentu perang Jamal. Perang antara sayyidatina Aisyah yang notabene isteri Rasulullah, dengan Imam Ali, khalifah yang juga menantu Rasulullah. Perang ini dalam beberapa literature sejarah diinisiasi diantaranya oleh sahabat Thalhah dan Zubair, yang menyodorkan kepada Sayyidah Aisyah. Dan tentu karena Aisyah pulalah perang ini terjadi, magnetnya tentu Sayyidah Aisyah, tanpa Aisyah belum tentu perang ini terlaksana, begitu pandangan beberapa sejarawan.
Kembali pada pertanyaan lelaki itu, Imam Ali menjawab, “Iya, berbeda. Karena pada saat Abu Bakar menjabat khalifah, orang-orang seperti akulah yang menjadi rakyatnya. Sedangkan ketika aku menjabat khalifah, orang-orang sepertimulah yang menjadi rakyatku”. Jawaban ini tegas, lugas dan tentu penuh sindiran berarti bagi kita yang selalu berteriak demi dan atas nama rakyat dipanggung orasi.
Hasil gambar untuk pemimpin yang adilSejarah mencatat, ketika sayyidina Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, presiden, pemimpin kaum muslim sepeninggal Rasulullah, Imam Ali tak lantas berbaiat kepada Abu Bakar, banyak sejarawan menduga-duga, menganalisis dan meraba-raba alas an Ali. Namun acap juga lepas dari pengamatan sejarah, ketika kabar sahabat Abu Bakar diangkat menjadi khalifah sampai ditelinga Abu Sufyan, yang juga senasab dengan Rasulullah dan Imam Ali, Abu Sufyan mendatangi Ali dan menawarkan untuk merebut kekuasaan dari Abu Bakar. Alas an Abu Sufyan, bahwa Ali-lah yang lebih berhak, Ali adalah keponakan Rasulullah, sahabat terdekat, orang yang menggantikan Rasulullah dalam pembaringan ketika Rasulullah harus meninggalkan kediaman untuk berhijrah. Ali adalah Sang Pintu Ilmu, sahabat rasulullah paling cerdas, orang yang zuhud, wirai. Dan terpenting dari itu semua, sesuai tradisi arab yang kerap membanggakan keturunan, Ali adalah Bani Hasyim, keturunan dari klan Quraisy yang agung dan paling berkuasa. Dan Quraisy, terutama Bani Hasyim adalah keturunan mulia, maka taka da yang lebih pantas dari Ali. Begitu setidaknya pendapat Abu Sufyan.
Saat itu, Abu Sufyan menawarkan bantuan bukan dengan basa-basi. Abu Sufyan menawarkan bantuan finansial, infrastruktur, termasuk kuda dan peralatan perang dan tentu pasukan.
Tawaran ini disambut dengan keras oleh imam Ali. Bahkan tak segan, dalam beberapa riwayat menyebutkan, imam Ali menyambut tawaran itu dengan menyebut Abu Sufyan sebagai aduwwallah (musuh Allah). Ali mengatakan, “Hai musuh Allah, dulu kau memusuhi nabi-Nya, dan sekarang kau hendak menghancurkan umatnya dengan adu domba”. Begitu keras jawaban Ali atas tawaran tersebut. Bahkan beberapa sejarawan menyebut, karena tawaran itu pula yang mendorong imam Ali untuk mempertimbangkan baiat kepada Abu Bakar. Dan setelah wafatnya Sayyidah Fathimah, istri sang kekasih hati yang juga puteri terkasih Rasulullah, imam Ali berbaiat kepada Abu Bakar. Sebagian sejarawan mempertimbangkan, karena menjaga dan menghormati sang istri-lah yang menghalangi imam Ali berbaiat kepada sahabat Abu Bakar as Shidiq.
Demikian sejarah mencatat bagaimana perkataan agung dari imam besar umat, sayyidina Ali. Begitulah pandangannya tentang bagaimana rakyat.
Kekinian, fatwa itu bisa kita rasakan. Bagaimana sejatinya peran rakyat juga begitu pentingnya. Bukan hanya dalam rangka untuk menegakkan keadilan, namun juga untuk memperbaiki tatanan. Tatanan ternyata tidak hanya butuh terhadap pemimpin yang baik, namun juga rakyat yang baik.
Hasil gambar untuk pemimpin yang adilSejarah mencatat, bagaimana imam-imam besar, alih-alih memberontak dan mencibir, mereka justeru mengingatkan kesalahan dan ketak adilah penguasa dengan jantan dan gagah berani. Imam Abu Hanifah, misalnya. Memilih mengingatkan penguasa dengan keras, walau akhirnya harus meringkuk dipenjara. Begitupula imam Malik. Para imam ini, alih-alih menggunakan pengaruhnya untuk membuat gerakan makar, mereka memilih mengingatkan dengan baik, mendebat dengan baik (wajadilhum billati hiya ahsan). Bukan hanya baik, tapi dengan cara terbaik. Mereka memilih dipenjara daripada menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi pengikutnya berbuat makar. Bagi mereka menasehi pemimpin dan berbuat makar adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.
Itu mungkin yang dicontohkan almarhum, almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid. Sang presiden nyentrik, yang rela meninggalkan kekuasaan daripada terjadi bentrok berdarah. Dengan celana kolornya, seakan Gus Dur, begitu dia karib dipanggil, mengejek kita-kita yang sering mati-matian mempertahankan sesuatu yang tak dibawa mati.
Tapi, para imam itu, bukanlah penakut, bukan pula sosok yang apatis. Tercatat imam Malik menulis Muwatho’ dalam penjara karena kerasnya kritik terhadap penguasa ketika itu. Ulama-ulama zaman dahulu begitu lugasnya melakukan kritik, namun jarang melakukan makar, fitnah dan ujaran kebencian lainnya. Walaupun mereka kerap mengucap kata keras, kritik pedas terhadap penguasa. Kritik mereka didasarkan pada rasa saying terhadap bukan hanya rakyat, namun juga penguasa. Kritik keras itu dilandasi kesadaran, bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, dan mengingatkan atas amanah itu adalah kewajiban. Bukan hal lain.
Hari ini, kita lihat bagaimana kita mudah menemukan kritik terhadap penguasa, yang bukan menyasar pada kebijakan. Namun seringkali mencibir, soal remeh temeh, bahkan soal penampilan dan fisik. Tidak selesai sampai disana, fitnah yang dalam bahasa kekiniannya disebut hoax juga kerap kita jumpa. Sehingga di dunia social media, misalnya, sulit membedakan antara berita yang benar dan sekedar hoax.
Masyarakat kita sepenuhnya kurang sadar, bahwa pemimpin adalah cermin rakyatnya. Diluar itu, bahwa fitnahan terhadap penguasa tentu besar efeknya. Semisal berita karangan tentang harga suatu barang yang dikabarkan akan dinaikkan oleh pemerintah atau penguasa. Jikalau berita itu sampai menyebar dan menimbulkan kepanikan karena barang tersebut merupakan kebutuhan dasar masyarakat, bisa jadi akan menimbulkan penimbunan, melonjaknya permintaan (demand) dan pada akhirnya menaikkan harga dan perdagangan liar.
Kita seakan lupa akan pentingnya menjadi rakyat yang baik, dann hanya menuntut pemimpin yang baik. Alih-alih memperbaiki kualitas diri untuk membangun diri dan lingkungan sekitar terdekat. Sebagian kita sibuk berkomentar atas dan kepada penguasa atau pemerintahnya. Atau lebih dari itu, sebagian dari kita terbiasa nyinyir dan sinis terhadap pemerintahnya.
Kebiasaan nyinyir ini, bahkan kadang menjadi kebiasaan (habit), yang kemudian menjadi lucu. Sebagian bahkan menjadikannya lahan pekerjaan, sebagai buzzer bayaran misalnya. Lucu, karena kemudian tidak aka nada yang positif dari sebuah hal. Ketika harga dinaikkan, akan disambut dengan nyinyir, tak pro rakyat. Ketika harga diturunkan, akan pula disambut dengan nyinyir yang anggap tak konsisten. Maka, pemerintahan model apapun, dihadapan rakyat seperti ini, jelas tak ideal, dan takkan pernah ideal. Celakanya, kadang orang seperti ini juga tak layak menjadi pemimpin, bahkan pada sekup pemerintahan terendah sekalipun. Secara guyon kita bisa mengatakan, bahwa komentator seperti ini, bak komentator bola, yang bahkan takkan bisa membuat gol ke gawang yang tak ada penjaganya. Ironis.
Lupa atas pentingnya menjadi rakyat yang baik itu ditambah dengan beberapa kalimat, yang seakan bijak namun menyesatkan. Seperti, seribu macan yang dipimpin kambing akan mengembik, seribu kambing yang dipimpin macan akan mengaum. Postulat seperti ini jelas mengganggu akal sehat dan menafikan bagaimana pentingnya peningkatan sumberdaya manusia masyarakat kebanyakan. Bagiamana mungkin seribu macan mau dipimpin kambing?. Jelaslah itu macan-macan bodoh nan ompong. Atau bagaimana seribu kambing merasa nyaman dipimpin macan, yang setiap saat siap menerkamnya. Dan kita menggantikan itu dengan bunyi-bunyian, semacam mengaum dan mengembik?. Rakyat-rakyat yang baik, adil, berpengetahuan luas dan bijak hanya akan memilih pemimpin yang baik. Dan sebaliknya. Jangan karena tak suka, kita menafikan proses berfikir dan ikhtiyar kebanyakan orang.
Hal tak kalah penting adalah bagaimana membangun ketaatan dan upaya untuk ditaati. Bagi penguasa, berbuat adil, bijak, berperikemanusiaan dan arif adalah wajib. Jika tidak yang ada hanya nirketaatan. Bagi rakyat, upaya untuk bersuara lantang menuntut keadilan, kebijaksanaan dan kebijakan yang pro rakyat adalah kewajiban dan hak sekaligus. Namun cara dan etika tetaplah penting, setidaknya bisa kita ucapkan, kun imaaman mutho’an, aw ma’muman muthi’an. Jadilah imam yang ditaati, atau makmum yang taat. Bukankah sholat jamaah mengajarkan itu, kita boleh mengingatkan imam yang salah, dengan cara yang terbaik.
Melihat karut marutnya dunia model seperti ini, kemudia kita harus mengingat pentingnya civic education. Pendidikan untuk menjadi warga Negara yang baik. Bukan hanya soal hafal sila persila dasar negara, namun juga etika bernegara, etika menjadi pemimpin dan rakyat. Tentu dengan mengacu pada jawaban Imam Ali diatas, kita bisa bermuhasabah, sangat penting mempunyai pemimpin yang baik dan adil. Namun juga penting menjadi rakyat yang adil dan beradab.
Allahu A’lam.