== Awal Februari 2016==
Bukan seperti zaman dahulu, hari ini televisi juga dilengkapi dengan remote control. Alat kecil yang merubah budaya menonton televisi, menjadi sangat berbeda dengan menonton televisi zaman dahulu. Masih lekat diingatan, dahulu ketika kecil sebelum televisi mewabah seperti hari ini. Televisi hanya bisa saya saksikan ditetangga jauh, yang bahkan hanya salah satu dari tiga televisi didesa saya. Menonton televisi juga berarti sangat mahal. Terkadang kami harus kecewa dengan kenyataan, bahwa televisi sedang tidak dinyalakan oleh si empunya. Karena alasan tertentu. Atau televisi tidak bisa dinyalakan karena accu sedang kehabisan daya dan harus di charge ulang. Maklum, aliran listrik belum masuk ke desa kami.
Perubahan budaya menonton televisi yang saya maksud, dahulu untuk memindah channel televisi seseorang harus berpindah tempat duduk, harus berdiri dan mendekati perangkat televisi. Namun remote control merubah semua itu, orang hanya butuh memencet tombol tertentu untuk memindah ke channel yang dikehendaki. Menonton televisi menjadi sangat menyenangkan dan sangat menarik. Bagi generasi yang lahir setelah remote control ditemukan, mungkin akan sulit membedakan bagaimana kedua cara menonton televisi ini sangat berbeda.
Perubahan cara menonton televisi ini bukan tanpa efek, bagi industri pertelevisian ini berarti bahwa kuasa penonton menjadi semakin semakin luar biasa. Acara yang tidak menarik tidak akan mendapatkan rating dan market share yang bagus. Itu artinya kiamat bagi televisi bersangkutan, karena sponsor dan berarti pendapat televisi akan sangat terganggu bahkan bisa menyebabkan kolaps. Tidak menutup kemungkinan acara itu yang kolaps, atau bahkan sampai televisinya yang kolaps.
Dengan kenyataan seperti itu, banyak perubahan yang digunakan televisi untuk meningkatkan rating dan market share setiap acaranya. Terutama pada acara-acara primetime, dimana semua bekerja keras untuk mendapatkan rating tertinggi. Tapi bukan itu masalah yang dirisaukan dari tulisan ini, perubahan itu juga mengancam beberapa hal penting dalam kehidupan kita. Lihatlah bagaimana sekarang pelecehan dan kekerasan seksual, serta kekerasan dan budaya hedonisme menyebar dalam urat nadi generasi bangsa kita akibat persaingan penaikan rating yang tak sehat.
Televisi acap abai terhadap etika sosial sampai etika agama. Bukan hanya itu, industri ini pun abai terhadap hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pencerahan dan tontonan yang sehat. Yang ada dalam target dan pikiran pelaku industri ini seringkali hanya rating saja. Bagaimana tidak?, pada primetime dan waktu-waktu dimana anak-anak sedang menonton, tayangan yang tidak mendidik sering dipertontonkan. Kita akan melihat bagaimana absurdnya televisi menerjemahkan etika dalam setiap tontonan yang disuguhkannya. Adegan ciuman harus diblur, belahan dada perempuan pun diperlakukan sama. Ceceran darah dan adegan seronok bernasib sama.
Tapi upaya itu sama sekali tidak membantu apa-apa senyatanya. Belahan dada yang diblur pada bagian sensitif itu, atau ceceran darah tidak menghapus sama sekali tayangan-tayangan tidak bermoral yang sarkastik dan mengandung pembelajaran pada kekerasan. Tawuran dan perkelahian, belum lagi bagaimana kelicikan demi kelicikan dan intrik ditampilkan secara vulgar. Walaupun nyatanya plot cerita tayangan sangat mudah ditebak. Kita akan mudah membaca ketika aktor antagonis harusnya kepergok aktor protagonis, tiba-tiba ada kendaraan lewat. Atau malah tidak jadi ketemu karena salah satu dari mereka harus berbelok arah dipertigaan rumah sakit, misalnya.
Kita akan melihat bagaimana industri pertelevisian kita mengambil alih segala macam interpretasi realitas dan menyesatkan kita sebagai konsumen kepada lorong intrepretasi yang gelap, sesat dan tak berujung. Masalahnya kemudian penonton jarang sekali sadar akan hal ini. Penonton dengan segala kebiasaan konsumerismenya yang malas untuk mengungkap segalanya, dan bahkan sering menikmati begitu saja pembodohan yang sedemikian massif.
Masalah tidak selesai sampai disana, industri televisi yang dikuasai oleh politisi nan kapitalistik menjadikan televisi hanya media sektarian dan memunculkan pemberitaan yang bukan hanya tidak obyektif, namun juga membingungkan dan menimbulkan keresahan-keresahan publik. Berita yang pada zaman dahulu dijadikan referensi menentukan sikap hari ini malah menjadi semacam “pembimbang” alih-alih pertimbangan. Bayangkan saja, untuk satu kejadian yang sama, dua stasiun televisi bisa memberikan berita dengan data yang sama sekali berbeda. Akurasi berita menjadi nomer kesekian, dan pada akhirnya berita dimunculkan untuk menarik sensasi belaka. Sulit membedakan antara berita sesungguhnya dengan advertorial atau infotainment. Pada gilirannya bahkan mereka bersaing mengundang pendapat dari para ahli yang pemikiran dan sudut pandangnya menguntungkan bagi kelompok mereka.
Kapitalisme dalam dunia pertevisian dewasa ini, memang sulit dihindari. Namun hal ini juga sadar atau tidak didukung oleh penonton yang berwatak konsumerisme akut. Kita lihat saja bagaimana trend yang dikembangkan televisi bahkan mematikan nalar generasi kita. Dari bagaimana budaya negeri ginseng Korea didatangkan menyusul hari ini budaya India dan Turki menjadi kekinian. Anak-anak negeri bahkan hari ini lebih nyaman dengan budaya Korea, India dan Turki. Daripada bangga dengan budaya dan kekayaan negeri sendiri. Anak-anak sedang dijauhkan dari rahim budayanya sendiri, dibuat berkaca pada cermin tetangga daripada melihat dan mensyukuri kekayaan rumah sendiri. Ini juga tak akan selesai sampai disini. Karena nyatanya cara terbaik menjajah sebuah negeri adalah menghilangkan sama sekali identitas budaya negeri itu. Yang artinya hilangnya simbol budaya , hilangnya perekat sosial, dan akhirnya secara tak sadar terjajah.
Inilah budaya remote control, yang kemudian berusaha meremote kebudayaan kita. Arah tujuan negeri ini akan segera diremote oleh pihak luar sesukanya, dan kita akan segera menjadi pembebek yang baik.
Allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin…
Wallahul mustaan..
Dimalam dimana hujan sedang mengguyur deras, bersantai didepan televisi dengan ditemani camilan dan teh hangat adalah nikmat Tuhan yang sukar dihitung. Ditemani acara yang menarik, tentu malam akan menjadi kian meria h, apalagi kini televisi kadang bisa menjadi sumber berita yang luar biasa, menjadi bahan lelucon yang konyol, dan bahkan kadang bisa menjadi semacam bioskop mini yang murah meriah dan bisa dinikmati dirumah.
Bukan seperti zaman dahulu, hari ini televisi juga dilengkapi dengan remote control. Alat kecil yang merubah budaya menonton televisi, menjadi sangat berbeda dengan menonton televisi zaman dahulu. Masih lekat diingatan, dahulu ketika kecil sebelum televisi mewabah seperti hari ini. Televisi hanya bisa saya saksikan ditetangga jauh, yang bahkan hanya salah satu dari tiga televisi didesa saya. Menonton televisi juga berarti sangat mahal. Terkadang kami harus kecewa dengan kenyataan, bahwa televisi sedang tidak dinyalakan oleh si empunya. Karena alasan tertentu. Atau televisi tidak bisa dinyalakan karena accu sedang kehabisan daya dan harus di charge ulang. Maklum, aliran listrik belum masuk ke desa kami.
Perubahan budaya menonton televisi yang saya maksud, dahulu untuk memindah channel televisi seseorang harus berpindah tempat duduk, harus berdiri dan mendekati perangkat televisi. Namun remote control merubah semua itu, orang hanya butuh memencet tombol tertentu untuk memindah ke channel yang dikehendaki. Menonton televisi menjadi sangat menyenangkan dan sangat menarik. Bagi generasi yang lahir setelah remote control ditemukan, mungkin akan sulit membedakan bagaimana kedua cara menonton televisi ini sangat berbeda.
Perubahan cara menonton televisi ini bukan tanpa efek, bagi industri pertelevisian ini berarti bahwa kuasa penonton menjadi semakin semakin luar biasa. Acara yang tidak menarik tidak akan mendapatkan rating dan market share yang bagus. Itu artinya kiamat bagi televisi bersangkutan, karena sponsor dan berarti pendapat televisi akan sangat terganggu bahkan bisa menyebabkan kolaps. Tidak menutup kemungkinan acara itu yang kolaps, atau bahkan sampai televisinya yang kolaps.
Dengan kenyataan seperti itu, banyak perubahan yang digunakan televisi untuk meningkatkan rating dan market share setiap acaranya. Terutama pada acara-acara primetime, dimana semua bekerja keras untuk mendapatkan rating tertinggi. Tapi bukan itu masalah yang dirisaukan dari tulisan ini, perubahan itu juga mengancam beberapa hal penting dalam kehidupan kita. Lihatlah bagaimana sekarang pelecehan dan kekerasan seksual, serta kekerasan dan budaya hedonisme menyebar dalam urat nadi generasi bangsa kita akibat persaingan penaikan rating yang tak sehat.
Televisi acap abai terhadap etika sosial sampai etika agama. Bukan hanya itu, industri ini pun abai terhadap hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pencerahan dan tontonan yang sehat. Yang ada dalam target dan pikiran pelaku industri ini seringkali hanya rating saja. Bagaimana tidak?, pada primetime dan waktu-waktu dimana anak-anak sedang menonton, tayangan yang tidak mendidik sering dipertontonkan. Kita akan melihat bagaimana absurdnya televisi menerjemahkan etika dalam setiap tontonan yang disuguhkannya. Adegan ciuman harus diblur, belahan dada perempuan pun diperlakukan sama. Ceceran darah dan adegan seronok bernasib sama.
Tapi upaya itu sama sekali tidak membantu apa-apa senyatanya. Belahan dada yang diblur pada bagian sensitif itu, atau ceceran darah tidak menghapus sama sekali tayangan-tayangan tidak bermoral yang sarkastik dan mengandung pembelajaran pada kekerasan. Tawuran dan perkelahian, belum lagi bagaimana kelicikan demi kelicikan dan intrik ditampilkan secara vulgar. Walaupun nyatanya plot cerita tayangan sangat mudah ditebak. Kita akan mudah membaca ketika aktor antagonis harusnya kepergok aktor protagonis, tiba-tiba ada kendaraan lewat. Atau malah tidak jadi ketemu karena salah satu dari mereka harus berbelok arah dipertigaan rumah sakit, misalnya.
Kita akan melihat bagaimana industri pertelevisian kita mengambil alih segala macam interpretasi realitas dan menyesatkan kita sebagai konsumen kepada lorong intrepretasi yang gelap, sesat dan tak berujung. Masalahnya kemudian penonton jarang sekali sadar akan hal ini. Penonton dengan segala kebiasaan konsumerismenya yang malas untuk mengungkap segalanya, dan bahkan sering menikmati begitu saja pembodohan yang sedemikian massif.
Masalah tidak selesai sampai disana, industri televisi yang dikuasai oleh politisi nan kapitalistik menjadikan televisi hanya media sektarian dan memunculkan pemberitaan yang bukan hanya tidak obyektif, namun juga membingungkan dan menimbulkan keresahan-keresahan publik. Berita yang pada zaman dahulu dijadikan referensi menentukan sikap hari ini malah menjadi semacam “pembimbang” alih-alih pertimbangan. Bayangkan saja, untuk satu kejadian yang sama, dua stasiun televisi bisa memberikan berita dengan data yang sama sekali berbeda. Akurasi berita menjadi nomer kesekian, dan pada akhirnya berita dimunculkan untuk menarik sensasi belaka. Sulit membedakan antara berita sesungguhnya dengan advertorial atau infotainment. Pada gilirannya bahkan mereka bersaing mengundang pendapat dari para ahli yang pemikiran dan sudut pandangnya menguntungkan bagi kelompok mereka.
Kapitalisme dalam dunia pertevisian dewasa ini, memang sulit dihindari. Namun hal ini juga sadar atau tidak didukung oleh penonton yang berwatak konsumerisme akut. Kita lihat saja bagaimana trend yang dikembangkan televisi bahkan mematikan nalar generasi kita. Dari bagaimana budaya negeri ginseng Korea didatangkan menyusul hari ini budaya India dan Turki menjadi kekinian. Anak-anak negeri bahkan hari ini lebih nyaman dengan budaya Korea, India dan Turki. Daripada bangga dengan budaya dan kekayaan negeri sendiri. Anak-anak sedang dijauhkan dari rahim budayanya sendiri, dibuat berkaca pada cermin tetangga daripada melihat dan mensyukuri kekayaan rumah sendiri. Ini juga tak akan selesai sampai disini. Karena nyatanya cara terbaik menjajah sebuah negeri adalah menghilangkan sama sekali identitas budaya negeri itu. Yang artinya hilangnya simbol budaya , hilangnya perekat sosial, dan akhirnya secara tak sadar terjajah.
Inilah budaya remote control, yang kemudian berusaha meremote kebudayaan kita. Arah tujuan negeri ini akan segera diremote oleh pihak luar sesukanya, dan kita akan segera menjadi pembebek yang baik.
Allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin…
Wallahul mustaan..