top social

Minggu, 31 Januari 2016

Remote Control; Media dan Perang Rating

== Awal Februari 2016==


Hasil gambar untuk remote controlDimalam dimana hujan sedang mengguyur deras, bersantai didepan televisi dengan ditemani camilan dan teh hangat adalah nikmat Tuhan  yang sukar dihitung. Ditemani acara yang menarik, tentu malam akan menjadi kian meria h, apalagi kini televisi kadang bisa menjadi sumber berita yang luar biasa, menjadi bahan lelucon yang konyol, dan bahkan kadang bisa menjadi semacam bioskop mini yang murah meriah dan bisa dinikmati dirumah.

Bukan seperti zaman dahulu, hari ini televisi juga dilengkapi dengan remote control. Alat kecil yang merubah budaya menonton televisi, menjadi sangat berbeda dengan menonton televisi zaman dahulu. Masih lekat diingatan, dahulu ketika kecil sebelum televisi mewabah seperti hari ini. Televisi hanya bisa saya saksikan ditetangga jauh, yang bahkan hanya salah satu dari tiga televisi didesa saya. Menonton televisi juga berarti sangat mahal. Terkadang kami harus kecewa dengan kenyataan, bahwa televisi sedang tidak dinyalakan oleh si empunya. Karena alasan tertentu. Atau televisi tidak bisa dinyalakan karena accu sedang kehabisan daya dan harus di charge ulang. Maklum, aliran listrik belum masuk ke desa kami.

Perubahan budaya menonton televisi yang saya maksud, dahulu untuk memindah channel televisi seseorang harus berpindah tempat duduk, harus berdiri dan mendekati perangkat televisi. Namun remote control merubah semua itu, orang hanya butuh memencet tombol tertentu untuk memindah ke channel yang dikehendaki. Menonton televisi menjadi sangat menyenangkan dan sangat menarik. Bagi generasi yang lahir setelah remote control ditemukan, mungkin akan sulit membedakan bagaimana kedua cara menonton televisi ini sangat berbeda.

Perubahan cara menonton televisi ini bukan tanpa efek, bagi industri pertelevisian ini berarti bahwa kuasa penonton menjadi semakin semakin luar biasa. Acara yang tidak menarik tidak akan mendapatkan rating dan market share yang bagus. Itu artinya kiamat bagi televisi bersangkutan, karena sponsor dan berarti pendapat televisi akan sangat terganggu bahkan bisa menyebabkan kolaps. Tidak menutup kemungkinan acara itu yang kolaps, atau bahkan sampai televisinya yang kolaps.

 Dengan kenyataan seperti itu, banyak perubahan yang digunakan televisi untuk meningkatkan rating dan market share setiap acaranya. Terutama pada acara-acara primetime, dimana semua bekerja keras untuk mendapatkan rating tertinggi. Tapi bukan itu masalah yang dirisaukan dari tulisan ini, perubahan itu juga mengancam beberapa hal penting dalam kehidupan kita. Lihatlah bagaimana sekarang pelecehan dan kekerasan seksual, serta kekerasan dan budaya hedonisme menyebar dalam urat nadi generasi bangsa kita akibat persaingan penaikan rating yang tak sehat.

Televisi acap abai terhadap etika sosial sampai etika agama. Bukan hanya itu, industri ini pun abai terhadap hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pencerahan dan tontonan yang sehat. Yang ada dalam target dan pikiran pelaku industri ini seringkali hanya rating saja. Bagaimana tidak?, pada primetime dan waktu-waktu dimana anak-anak sedang menonton, tayangan yang tidak mendidik sering dipertontonkan. Kita akan melihat bagaimana absurdnya televisi menerjemahkan etika dalam setiap tontonan yang disuguhkannya. Adegan ciuman harus diblur, belahan dada perempuan pun diperlakukan sama. Ceceran darah dan adegan seronok bernasib sama.

Tapi upaya itu sama sekali tidak membantu apa-apa senyatanya. Belahan dada yang diblur pada bagian sensitif itu, atau ceceran darah tidak menghapus sama sekali tayangan-tayangan tidak bermoral yang sarkastik dan mengandung pembelajaran pada kekerasan. Tawuran dan perkelahian, belum lagi bagaimana kelicikan demi kelicikan dan intrik ditampilkan secara vulgar. Walaupun nyatanya plot cerita tayangan sangat mudah ditebak. Kita akan mudah membaca ketika aktor antagonis harusnya kepergok aktor protagonis, tiba-tiba ada kendaraan lewat. Atau malah tidak jadi ketemu karena salah satu dari mereka harus berbelok arah dipertigaan rumah sakit, misalnya.

Kita akan melihat bagaimana industri pertelevisian kita mengambil alih segala macam interpretasi realitas dan menyesatkan kita sebagai konsumen kepada lorong intrepretasi yang gelap, sesat dan tak berujung. Masalahnya kemudian penonton jarang sekali sadar akan hal ini. Penonton dengan segala kebiasaan konsumerismenya yang malas untuk mengungkap segalanya, dan bahkan sering menikmati begitu saja pembodohan yang sedemikian massif.

Hasil gambar untuk remote controlMasalah tidak selesai sampai disana, industri televisi yang dikuasai oleh politisi nan kapitalistik menjadikan televisi hanya media sektarian dan memunculkan pemberitaan yang bukan hanya tidak obyektif, namun juga membingungkan dan menimbulkan keresahan-keresahan publik. Berita yang pada zaman dahulu dijadikan referensi menentukan sikap hari ini malah menjadi semacam “pembimbang” alih-alih pertimbangan. Bayangkan saja, untuk satu kejadian yang sama, dua stasiun televisi bisa memberikan berita dengan data yang sama sekali berbeda. Akurasi berita menjadi nomer kesekian, dan pada akhirnya berita dimunculkan untuk menarik sensasi belaka. Sulit membedakan antara berita sesungguhnya dengan advertorial atau infotainment. Pada gilirannya bahkan mereka bersaing mengundang pendapat dari para ahli yang pemikiran dan sudut pandangnya menguntungkan bagi kelompok mereka.

Kapitalisme dalam dunia pertevisian dewasa ini, memang sulit dihindari. Namun hal ini juga sadar atau tidak didukung oleh penonton yang berwatak konsumerisme akut. Kita lihat saja bagaimana trend yang dikembangkan televisi bahkan mematikan nalar generasi kita. Dari bagaimana budaya negeri ginseng Korea didatangkan menyusul hari ini budaya India dan Turki menjadi kekinian. Anak-anak negeri bahkan hari ini lebih nyaman dengan budaya Korea, India dan Turki. Daripada bangga dengan budaya dan kekayaan negeri sendiri. Anak-anak sedang dijauhkan dari rahim budayanya sendiri, dibuat berkaca pada cermin tetangga daripada melihat dan mensyukuri kekayaan rumah sendiri. Ini juga tak akan selesai sampai disini. Karena nyatanya cara terbaik menjajah sebuah negeri adalah menghilangkan sama sekali identitas budaya negeri itu. Yang artinya hilangnya simbol budaya , hilangnya perekat sosial, dan akhirnya secara tak sadar terjajah.

Inilah budaya remote control, yang kemudian berusaha meremote kebudayaan kita. Arah tujuan negeri ini akan segera diremote oleh pihak luar sesukanya, dan kita akan segera menjadi pembebek yang baik.


Allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammadin…
Wallahul mustaan..


Senin, 25 Januari 2016

Jalan Berkelok Pemberdayaan; Melihat Kemiskinan Dalam Segala Aspek

Banyak sudah dikemukakan definisi tentang pemberdayaan masyarakat. Definisi-definisi itu kemudian mengarus kepada sebuah cita-cita ideal tentang bagaimana masyarakat, mampu berdikari, mandiri dan mempunyai kekuatan (empowerment) untuk mengakses sumber-sumber daya yang memungkinkan untuk memandirikan dirinya. Pemberdayaan selalu merujuk pada pengetahuan di satu sisi, dan kesadaran tindakan di sisi lain.

Hasil gambar untuk anak miskin terlantar
Pengetahuan, sebagai modal utama tentu merupakan hal yang mutlak diperlukan sebagai sarana untuk mengembangkan diri. Baik secara kolektif maupun secara individu. Disamping itu, kesadaran diperlukan agar pemberdayaan bisa berjalan dengan baik. Yakni menyingkirkan bias-bias yang manipulative serta sebagai dorongan untuk melakukan perubahan. Dua modal besar ini, kemudian menjadi pilar utama untuk melakukan pemberdayaan.

Mengingat bahwa pemberdayaan adalah menumbuhkan pengetahuan berbasis kesadaran diri. Maka, pemberdayaan sejatinya adalah transformasi nilai-nilai yang dilakukan dengan sadar dan menjadikan masyarakat sebagai subyek bukan obyek. hal ini merujuk dari bagaimana seringkali pemberdayaan di definisikan.

Seperti yang di definisikan oleh Jim Ife (Community Development: Creating Community Alternatives Vision Analysis & Practise. Sydney: Addison Wesley Longman Australia Pty Ltd , 1995), Providing people with the resources, opportunities, knowledge and skills to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and affect the life of their community.  Yakni, bahwa pemberdayaan adalah menyiapkan kepada masyarakat berupa sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa depan mereka, serta berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Dalam mendefinisikan pemberdayaan, senyatanya kita selalu mengandaikan partisipasi. Karena partisipasi dalam upaya pemberdayaan merupakan suatu pertanda bahwa kemandirian dan pemberdayaan itu tidak bersifat artifisial. Dalam artian jelas, bahwa kemandirian masyarakat tidak dibuat semata-mata demi kepentingan suatu proyek pemberdayaan semata.

Kemiskinan, mungkin suatu keadaan yang menjadi momok di semua negara berkembang. Namun bak perang dalam arti sesungguhnya, memerangi kemiskinan dalam dunia nyata tidak bisa dilakukan dengan serampangan tanpa strategi dan konsep yang jelas. Memerangi kemiskinan juga membutuhkan kesiapan di semua lini. Mulai dari perencanaan yang matang, target yang jelas, tujuan yang gamblang. Pengorganisasian yang juga harus matang, dengan mekanisme control yang jelas. Termasuk pelaksana di lapangan, yang mampu mengejawantahkan konsep itu dengan jelas.

Kemiskinan nyatanya tidak bisa hanya diperangi dalam menumbuhkan kemapanan ekonomi, ada factor politik, social budaya bahkan doktrin religi yang kadang dipahami secara menyimpang dan menyebabkan kemiskinan. Factor-faktor ini dengan jelas berkelindan dalam kemiskinan dan menyebabkan kemiskinan tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi kehidupan. Ada banyak sisi-sisi yang harus dipahami, diluruskan dan dirubah secara simultan dan kontinyu. Kemiskinan juga bukan hal yang statis, kemiskinan selalu berubah pada setiap locus dan tempus-nya, berbeda pada setiap lokasi dan waktu yang berbeda pula. Pola kemiskinan pada satu lokasi belum tentu indicator tepat pada lokasi yang berbeda.

Untuk itu penanganan kemiskinan juga harus bersifat unik, mengedepankan pendekatan kelokalan dan pola kelola yang akomodatif pada kearifan-kearifan local. Penanganan kemiskinan harus melihat kemiskinan lebih dalam, bukan sekedar kemiskinan pada kulit luarnya. Sebagai contoh, kategori kemiskinan dengan pendekatan tempat tinggal belaka jelas bukan pendekatan yang arif. Ada hal lain yang perlu didekati yakni pendapatan per kapita. Namun pendekatan pendapatan per kapita pun belum tentu arif jika digeneralisasi pada semua lokasi. Karena pada satu lokasi jelas berbeda kebutuhan hidup, apalagi jika menilik pada daya beli masyarakat sekitar. Itu pun belum melihat secara dalam tentang bagaimana kemiskinan yang bersumber dari sulitnya akses pada sumber daya alam.
Hasil gambar untuk orang tua miskin

Genealogi kemiskinan menurut Frances Fox Piven dan Richard A Cloward (Regulating the Poor: The Functions of Public Welfare, Vintage Books, 1993), meliputi tiga aspek besar. Pertama, kekurangan dan kelangkaan akan penyediaan pelayanan dasar. Meliputi pangan, kebutuhan konsumsi, sandang atau kebutuhan pakaian layak, tempat tinggal yang layak, serta akses atas layanan kesehatan yang memadai. Kedua, tidak dapat terpenuhinya kebutuhan social. Diantaranya akses terhadap partisipasi social, keterkucilan social, termasuk didalamnya akses informasi dan pendidikan yang bermutu. Ketiga, kurangnya penghasilan dan pendapatan yang memadai. Tentu dengan kaidan memadai berdasarkan lokasi masing-masing.

Melihat genealogi kemiskinan yang disebutkan itu. Upaya pemberantasan kemiskinan dengan hanya mengangkat aspek ekonomi saja, hanya akan menjadi hal yang keropos. Karena pada jangka panjang, akses atas informasi, pendidikan, kesehatan dan partisipasi social akan menjadi penyakit kronis. Maka, proyek-proyek social sudah harus mulai meilirik usaha-usaha nyata pemberdayaan melalui multiple approach. Pendekatan budaya misalnya.

Pendekatan budaya pada pemberdayaan masyarakat sangat penting. Mengingat banyak aspek budaya yang berbau “colonial”, masih hidup dan bercokol dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Seperti akses terbatas yang dimiliki oleh kaum perempuan pada pendidikan, karena budaya yang menyebabkan mereka sebagai masyarakat kelas dua, misalnya. Atau budaya lain, yang kadang menyebabkan kemiskinan selalu menjadi sulit untuk dientaskan.

Penanganan kemiskinan yang “kurang” serius dan berorientasi proyek, seringkali hanya menyuburkan kemiskinan itu sendiri. Penanganan ini acapkali serampangan, bersifat populis, dan hanya menangani masalah dari kulit luarnya, factor ekonomi. Padahal, dalam penanganan kemiskinan perubahan paradigm selalu menjadi hal penting. Pemberian uang tunai sebagai hibah secara erus menerus misalnya, hanya akan melestarikan kemiskinan itu sendiri. Berapa banyak kini, masyarakat kita merasa ketergantungan pada pemberian orang lain, alih-alih berusaha untuk mandiri. Mereka malah menjadi benalu. Dan jika ini semakin membudaya, maka pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat akan semakin jauh dan berkelok.
Hasil gambar untuk orang tua miskin
Pemberian uang tunai sebagai hibah, sebenarnya hanya solusi jangka pendek yang rentan akan masalah. Pembudayaan jiwa miskin dalam jangka panjang akan menjadikan masalah kemiskinan menjadi lebih sulit diatasi. Pemberian uang tunai sebagai hibah, kadang memang diperlukan, namun hanya sebagai solusi singkat bukan solusi yang efektif.

Pemberian pelatihan ketrampilan yang berbasis pada potensi lokal, namun berorientasi pada kebutuhan pasar, akan menjadi solusi jangka panjang yang efektif. Namun butuh pendampingan yang efektif. Sehingga selain mereka mengembangkan usaha melalui potensi lokal tersebut, mereka juga berubah menjadi pribadi yang disiplin, disiplin waktu, disipilin pada penggunaan keuangan, serta mempunyai motifasi untuk terus maju.
Persoalan lain adalah penambahan modal usaha dan pengenalan teknologi sederhana dan tepat guna. Persoalan modal usaha selalu terkendala pada usaha kecil yang jarang dilirik oleh bank, atau dalam artian tidak bankable. Pengenalan teknologi sederhana dan tepat guna juga menjadi penting, mengingat efektifitas dan efisiensi pada ranah produksi. Tapi lebih dari itu, motifasi, dorongan, pemberian kesempatan dan perubahan paradigma adalah hal mutlak untuk pemberdayaan. Maka, mimpi besar pemberdayaan adalah hal besar, yang harus dilakukan dengan konsep besar dan benar.

(Pernah dimuat di Majalah PNPM MP Kab, Sumenep Madura Jatim)