top social

Jumat, 17 Maret 2017

Mengenal Leluhur Agung Rasulullah

Equility before the law. Kesetaraan harus ada sebelum penegakan hukum, begitu kiranya yang dimaksud dalam kalimat yang sangat terkenal dalam filsafat hukum ini. Kesetaraan dimaksud bahwa setiap individu harus sama kedudukannya dimata hukum, sebelum hukum ditegakkan. Inilah yang dimaksud sebagai keadilan hukum. Jauh sebelum kalimat ini terkenal, seorang dari Jazirah Arab, penguasa kota suci Mekah dan Madinah, yang menjadi tonggak awal keterkenalan semenanjung Arab yang dulu dikenal terbelakang, sudah mengatakan, “Seandainya Fatimah Putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya,”. Itulah Muhammad bin Abdullah, sang penguasa kala itu, mengajarkan bagaimana kesetaraan hukum harus diperlakukan. Sehingga ia mencontohkan, andai puterinya sendiri mencuri, maka tanpa ragu ia akan menerapkan hukuman yang berlaku, yakni pemotongan tanggan.

Hasil gambar untuk sholawatSiapa sebenarnya Muhammad bin Abdullah ini?. Bagaimana mungkin seorang yang hidup pada masa dimana keadilan, konsep kesetaraan hukum adalah hal langka, masa yang lebih dikenal sebagai zaman barbar begini, dengan mudah mendekati dan menerapkan konsep kesetaraan hukum?. Penelusuran tentang ketegasan hukum, biasanya merujuk pada Hammurabi, sang Akkadia, raja keenam dari kerajaan Babilonia pertama. Yang dikenal karena membuat peraturan tegas yang dituangkan dalam piagam Hammurabi. Kesetaraan hukum juga kita baca dalam sejarah di bumi Nusantara dengan ikon Ratu Shima dari kerajaan Kalingga. Kesetaraan dan ketegasan hukum masa Ratu Shima diakui kala itu.
Tapi Muhammad bin Abdullah tentu lebih istimewa, karena yang dirubahnya adalah masyarakat barbar, masyarakat yang jauh dari etika dan kepatutan. Kita tentu bisa membayangkan, masyarakat yang ketika anaknya lahir perempuan akan langsung dikubur hidup-hidup karena dianggap aib dan beban, diajari soal kesetaraan hukum. Kita tentu harus bertanya, siapa dibalik perubahan mental yang sedemikian dahsyat, bagaimana cara perubahan itu dilakukan, dan instrumen apa yang digunakan?. Mempelajari sejarah perubahan yang dahsyat ini, bukan hanya kita akan berdecak kagum, namun juga akan sadar, bahwa jikalaulah Muhammad bin Abdullah bukan utusan penguasa bumi Yang Maha Perkasa, bukan manusia agung yang secara khusus diutus, tidaklah mungkin dapat merubah peradaban dengan sedemikian hebatnya.

Nasab Nabi Muhammad Saw dan Keadaan Jazirah Arab
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, nama sebenarnya adalah Syaibah, anak dari Hasyim yang nama sebenarnya adalah Amrun, anak dari Abdul Manaf yang nama sebenarnya adalah Mughiroh, anak dari Qushoi yang nama sebenarnya adalah Zaid, anak dari Kilab bin Murrah bin Kaab bin Luay bin Gholib, anak dari Fihr yang sering dijuluki Quraisy dan darinyalah nama Bani Quraisy disandarkan. Fihr dijuluki Quraisy dari kata Qursyun, karena merupakan pedagang yang kaya dan berhasil, serta mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Fihr merupakan anak dari Malik bin Nadhir atau Qois bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah atau Amir bin Ilyas bin Mudlor bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari ini pula Nabi Muhammad Saw sering dinisbatkan.
Adnan adalah keturunan langsung dari Nabi Ismail putera dari yang mulia Nabi Ibrahim As. Para sejarawan bersepakat atas hal ini, bahwa Adnan adalah keturunan nabi Ismail bin Ibrahim As. Maka Nabi Muhammad Saw. adalah bangsa Arab Adnaniyah atau Arab al Musta’ribah. Para sejarawan membagi bangsa Arab menjadi tiga golongan. Satu golongan telah punah, dan dua golongan yang ada sampai saat ini. Pertama, al Arab al Baidah, yakni Arab kuno yang telah punah. Mereka diantaranya adalah kaum ‘Aad, Tsamud, Kan’an, Madyan, Tashem, Jadis dll. Mereka ini Arab kuno yang sering diceritakan dalam al Qur’an.
Kedua, yakni al Arab al ‘Aribah, yakni Arab asli yang merupakan keturunan dari Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan. Karena itu mereka acap disebut sebagai Arab Qahthaniyah. Mereka berasal dari Arab bagian selatan, seringkali disebutkan berasal dari Yaman. Yang paling terkenal dalam sejarah Arab ‘Aribah adalah kerajaan Saba, yang berdiri 8 abad sebelum masehi. Ibu kotanya adalah Ma’rib, yang berada 3900 kaki diatas permukaan laut. Tidak jauh dari ibu kota, dibangunlah sebuah bendungan besar yang terkenal, yakni bendungan Ma’rib, atau Saddul Ma’rib. Beberapa sejarawan menduga, karena pecahnya bendungan Ma’rib atau Ma’arib itulah selanjutnya beberapa suku di Yaman menyebar ke seluruh penjuru jazirah Arab. Karena pertanian yang sebelumnya menggantungkan irigasi dari bendungan itu telah sulit dilakukan. Sehingga kehidupan beberapa suku kemudian menjadi nomaden, atau sering disebut sebagai suku Badui atau kaum Badawa. Karena suku-suku itu harus mencari lembah subur yang memungkinkan terjadinya kehidupan. Selanjutnya pasca kerajaan Saba adalah kerajaan Himyari. Sebuah kerajaan penerus kerajaan Saba.
Ketiga, Arab Musta’ribah, sering disebut sebagai Arab tak asli (non-origin). Karena mereka keturunan Adnan, maka acap disebut sebagai Arab Adnaniyah. Alasan mereka disebut sebagai musta’ribah atau musta’robah, yang berarti ter-arab-kan adalah bahwa nenek moyang mereka, Ismail dan Ibrahim bukanlah orang Arab, melainkan dari Irak yang kemudian bermigrasi ke Arab, ke Mekah tepatnya. Sehingga dianggap sebagai Arab yang belajar Arab dari orang-orang Arab asli. Karena Nabi Ismail As. yang bermigrasi ke Mekah itu lantas menikah dengan orang Arab setempatdan berketurunan. Kebanyakan ulama bersepakat, siapapun yang bernasab kepada Hasyim adalah ahlul bait, kecuali Syiah yang berpendapat bahwa ahlul bait hanya gelar yang dapat diperoleh dengan nasab sayyidina Hasan dan Husein.
Beberapa pihak menyuguhkan dalil atas larangan mengetengahkan nasab Nabi Muhammad Saw selepas dari nasab Adnan ini. Karena diragukan kebenarannya. Sementara pihak lain mengetengahkan bahwa Adnan adalah anak dari Udad bin Hamaisa’ bin Salaman bin Awash bin Bawash bin Qomwal bin Ubay bin Awam bin Nasyid bin Hiza bin Buldas bin Yadlav bin Thabakh bin Jahim bin Nahisy bin Makho bin ‘Aidl bin ‘Abqor bin Ubaid bin Addi’a bin Hamdan bin Sanbar bin Yatsroba bin Yahzan bin Yalhan bin Ar’awa bin Aidl bin Disyan bin ‘Aishor bin Afnad bin Ayham bin Maqshor bin Nahits bin Zarah bin Sama bin Maza bin ‘Audloh bin ‘Arom bin Qoidar bin Ismail bin Ibrahim As. Walaupun nasab ini diperselisihkan namun tidak diragukan bahwa Nabi Muhammad Saw memang mempunyai nasab agung, yang sampai pada bapak agama samawi yang berciri hanif dan tauhid, Ibrahim As.
Nasab agung ini juga dinyatakan langsung Nabi Agung Muhammad Saw, bahwa salah satunya dari Ibnu Sa’ad bahwa nasab beliau berasal dari pernikahan yang sah bukan melalui jalan sifah. Sifah berarti zina. Artinya Nabi Muhammad Saw, dilahirkan dari nasab keluarga yang melakukan pernikahan yang sah, sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, bahwa pernikahan zaman dahulu juga ada yang benar dan ada yang salah. Yang benar, seperti yang kita temui sekarang adalah yang ditemukan saksi, akad, wali dan mahar. Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah memilih Ismail dari anak-anak keturunan Ibrahim. Dan memilih Kinanah dari anak-anak keturunan Ismail. Lalu Allah memilih Quraisy dari anak-anak keturunan Kinanah. Kemudian memilih Hasyim dari anak-anak keturunan Quraisy. Dan memilihku dari anak keturunan Hasyim.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Bersih dan tingginya kedudukan nasab bagi dakwah nabi Muhammad Saw, sangat penting artinya pada masa dan budaya disekitaran jazirah Arab ketika itu. Seperti halnya hal itu penting artinya bagi nabi-nabi sebelumnya, Nabi Syuaib misalnya. Dalam al Qur’an surat Huud ayat 91 diceritakan hal ini, ketika masyarakatnya mengatakan, kalau bukan karena keluarga besarmu wahai Syuaib, kami akan melemparmu dengan batu.” Hal ini pula yang terjadi pada Nabi Agung Muhammad Saw. kaum kuffar acap harus berfikir ribuan kali ketika hendak menyakiti Rasulullah Saw. dikarenakan kedudukan Bani Quraisy, Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, yang begitu mulia dan berkuasa, keluarga penjaga rumah suci. Yang berarti keluarga penguasa Mekah.

Mengenal Ayah dan Kakek Nabi Saw; Dari Abdullah Sampai Hasyim
Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahanda Nabi Agung Muhammad Saw, adalah manusia agung yang menurunkan putra manusia teragung yang pernah ada. Beliau menikahi sayyidah Aminah, ibunda Rasulullah pada usia 25 tahun. Tidak lama setelah itu pula beliau meninggal di Yatsrib, nama kota Madinah kuno, ketika hendak berangkat berdagang. Usia Rasulullah Saw. ketika itu baru dua atau tiga bulan dikandungan bunda tercinta. Abdullah, bak Ismail putra Ibrahim. Pernah hampir dikurbankan oleh ayahandanya Abdul Muthalib demi ketaatan kepada Allah Swt.
Suatu kali Abdul Muthalib yang menjadi penjaga rumah suci merasa kuwalahan, karena hanya mempunyai anak yang sedikit, disamping itu sebagaimana tradisi Arab ketika itu banyaknya anak merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Penjaga rumah suci atau ka’bah pada saat itu, harus menyediakan kebutuhan pengunjung dan peziarah rumah suci yang datang dari jauh. Mulai dari minuman dan kebutuhan lain. Merasa kuwalahan, Abdul Muthalib bernadzar, jika saja dikaruniai sepuluh anak laki-laki maka salah satunya setelah dewasa akan dikorbankan didepan patung Hubal dikawasan rumah suci atau ka’bah. Dan terpenuhilah keinginan Abdul Muthalib, lahirlah sepuluh anak laki-laki.
Guna memenuhi nadzarnya, Abdul Muthalib seperti kebanyakan orang zaman itu, menghadap ke juru ramal untuk mengundi sesiapa anaknya yang harus dikorbankan. Setelah beberapa kali diundi dengan panah didepan berhala Hubal, yang keluar selalu nama Abdullah, putra bungsu terkasih. Melihat yang harus dikorbankan adalah Abdullah, putra yang paling cerdas, seluruh bani Quraisy bersepakat untuk membatalkan pengorbanan kepada Hubal itu. Dan agar diganti dengan pengorbanan dalam bentuk lain. Walaupun semua orang sepakat, namun Abdul Muthalib merasa bahwa pengorbanan tetap harus dilakukan.
Setelah perundingan yang alot, Abdul Muthalib untuk membawa permasalahan itu kepada seorang dukun didaerah Yatsrib yang sudah biasa menyelesaikan masalah seperti itu. Sang dukun memberi saran untuk menyediakan sepuluh unta sebagai tebusan dan mengundinya dengan nama Abdullah, jika masih muncul nama Abdullah maka kurban unta harus ditambah sampai yang muncul adalah nama unta. Ketika unta sudah mencapai seratus ekor, keluarlah nama unta. Guna memantapkan, Abdul Muthalib mengulangi undian sampai tiga kali, dan selalu nama unta yang keluar. Disembelihlah seratus unta sebagai tebusan atas diri Abdullah.
Sedangkan Abdul Muthalib bin Hasyim bernama asli Syaibah. Ia masih seorang anak kecil ketika ditinggalkan oleh ayahnya, Hasyim. Sampai saat ini berusia 14 tahun, sang paman Muthalib berhasil membujuk sang ibunda untuk membawa pemuda Syaibah ke Mekah. Sebenarnya sang ibunda tak rela melepas putranya, namun Salma binti Amr yang merupakan tokoh dari suku Khazraj tahu betul bahwa sang anak mempunyai tanggung jawab menggantikan kedudukan almarhum ayahnya, baik didalam masyarakat maupun dalam hal mengurus rumah Tuhan.
Ketika Muthalib mengajak Syaibah memasuki kota Mekah, ramai orang mengira Muthalib datang membawa budaknya, sehingga mereka memanggilnya Abdul Muthalib yang berarti budak Muthalib. Muthalib pun akhirnya menjelaskan bahwa yang bersamanya bukanlah budak, tapi tak lain Syaibah putra dari Hasyim, pemimpin mereka sebelumnya. Mereka pun menjadi malu, mengetahui kedudukan Syaibah yang begitu tinggi dan mulia dikalangan mereka. Namun julukan Abdul Muthalib kadung menyebar, sehingga Syaibah lebih dikenal dengan nama Abdul Muthalib.
Setelah cukup dewasa Abdul Muthalib mengambil tanggung jawab yang merupakan warisan turun temurun sejak nenek moyangnya, yakni menjaga ka’bah sebagai rumah Tuhan. Abdul Muthalib mempunyai usia yang relatif panjang, sehingga sempat menemui sang cucu yang agung Muhammad Saw. Jasa Abdul Muthalib kepada pembentukan pribdi Rasulullah tidaklah sedikit, beliau adalah kakek yang setia melindungi dengan segenap kasih sayang. Namun bukan hanya itu, jasa Abdul Muthalib kepada kota Mekah pun tidak bisa dipandang remeh. Masa itu, untuk menyediakan air minum bagi para peziarah Rumah Suci, didatangkanlah air dari jauh yang tentu menguras tenaga. Kaum Quraisy juga masih mengingat dengan jelas tentang sumur Zamzam, yang telah ditimbun oleh Mudad bin Amr dari Kabilah Jurhum. Namun mereka sama sekali tak tergerak untuk mencari dan menggali kembali.
Abdul Muthalib yang bertugas melayani tamu Rumah Suci ini, selalu berfikir keras akan pengadaan air dan terutama tentang Zamzam. Sehingga sampailah ia bermimpi seakan-akan diperintah untuk menggali kembali sumur yang diketemukan pertama kali dibawah kaki Ismail bin ibrahim, datuknya dulu. Demikian kuatnya desakan suara itu, hingga pada suatu ketika Abdul Muthalib bertekat untuk memulai penggalian, sesuai dengan petunjuk mimpinya. Hingga ditemukanlah Zamzam yang berada diantara dua berhala, yakni Isaf dan Nailah. Penggalian tersebut pad mulanya hanya dilakukan dengan anaknya Haris. Kaum Quraisy sama sekali tidak membantu dan peduli, sampai pada ditemukannya bersitan dan cipratan air disela-sela dua bonggol pelana emas dan beberapa pedang Mudad bin Amr.
Melihat itu, kaum Quraisy bermaksud ikut melakukan penggalian. Namun, Abdul Muthalib menolak. Dari beberapa perbincangan, termasuk tentang pembagian harta temuan didalam sumur Zamzam. Dan seperti kebiasaan zaman itu, diundilah dengan panah siapa yang berhak memiliki, Abdul Muthalib, Rumah Suci atau kaum Quraisy. Dari pengundian, nama kaum Quraisy tidak pernah keluar, maka pedang-pedang itu menjadi milik Abdul Muthalib dan oleh beliau dipasang dipintu Ka’bah yang agung. Sedangkan dua bonggol pelana emas, dijadikannya perhiasan di Ka’bah.
Abdul Muthalib adalah pemimpin Mekah ketika Abrahah dari Abisinia menyerang Mekah, bermaksud merobohkan Rumah Suci Ka’bah. Pada masa itu, melihat ketidak seimbangan kekuatan Abdul Muthalib memerintahkan evakuasi seluruh penduduk Mekah. Alih-alih melawan, Abdul Muthalib yang merasa kekuatan dan persenjataan yang tidak berimbang, lebih memilih untuk menyelamatkan rakyatnya. Ketimbang melawan dan kalah secara konyol. Setelah sebelumnya Zu Nafar, seorang bangsawan dari Yaman yang berusaha melakukan pemberontakan, kalah dan ditawan. Begitupun Nufail bin Habib al Khas’ami yang mengerahkan perlawanan dari suku Syahran dan Nahis pun mengalami nasib yang sama. Tapi Abrahah ternyata tetap tak berhasil menguasai dan menghancurkan Rumah Suci Ka’bah, dikarenakan penyakit cacar yang menghabisi pasukannya serta beberapa alasan lain yang diabadikan dalam al Qur’an surat Al Fiil.
Lantas siapa Hasyim bin Abdul Manaf, ayahanda Abdul Muthalib?. Dia adalah pemimpin Mekah yang begitu dipuja, diagungkan dan disayangi kaumnya. Karena Hasyim telah berhasil mengatasi kesulitan pangan dan kelaparan kaumnya, ketika ia memerintah. Pada saat Mekah dilanda sebuah musim kemarau yang berat, Hasyim datang dengan membawa makanan yang diperoleh dari hasil perdagangan yang beliau lakukan. Hasyim pula yang menentukan perdagangan pada musim sita’ dan shoif, musim dingin dan musim panas.
Musim dingin perdagangan dilakukan ke Yaman dan musim panas dilakukan perdagangan ke Suria. Hasyim dan saudara-saudaranya sesama putra Abdul Manaf pula, yang berhasil membuat perjanjian dengan beberapa kerajaan besar disekitarnya. Hasyim membuat perjanjian perlindungan perdagangan dengan Imperium Romawi dan Banu Gassan. Kerajaan Romawi mengizinkan kaum Quraisy berdagang diwilayah kekuasaan Romawi, termasuk Suriah. Saudaranya Abdus Syam membuat perjanjian dengan kerajaan Najasyi atau Negus. Sedangkan Naufal dan Muthalib membuat perjanjian dengan kerajaan Persia serta kerajaan Himyar di Yaman.
Mekah pada saat itu telah menjadi kekuatan yang besar, karena disokong oleh perjanjian dagang dengan kerajaan-kerajaan besar disekitarnya. Itu pula yang menyebabkan Mekah menjadi pusat perdagangan, utang piutang berjalan dengan cepat, riba menjalar dimana-mana. Tak ada yang berniat menyaingi kedudukan Hasyim dalam masyarakat Mekah, walaupun usia Hasyim berangsur mulai senja. Kecuali oleh Umayyah bin Abdus Syam, namun Umayyah tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengambil alih kekuasaan, sehingga ia tak berdaya. Apalagi Umayyah telah sepuluh tahun meninggalkan Mekah dan tinggal di Suriah. Menurut sejarah, kabilah Umayyah baru berhasil mengambil alih kekuasaan di Mekah, setelah Abu Thalib wafat.
Pada saat melakukan perjalanan ke Suriah dan melewati Yatsrib, beliau melihat sesosok wanita yang menyita perhatiannya. Beliaulah perempuan terpandang di Yatsrib, Salma binti Amr Annajariyah yang pada saat itu telah menjanda. Hasyim melamar perempuan cantik itu dengan syarat bahwa Salma harus diberikan kebebasannya. Salma juga mempertimbangkan kedudukan Hasyim yang tinggi diantara kaumnya, selain perangainya yang baik dan santun. Salma mengikuti suaminya ke kota Mekah, beberapa saat kemudian Salma kembali ke Yatsrib dan melahirkan seorang anak, Syaibah atau Abdul Muthalib kakek Rasulullah. Malang tak dapat ditolak, beberapa tahun kemudian, dalam sebuah perjalanan dagang musim panas ke Gaza, Hasyim wafat.
Hasyim mempunyai beberapa sembilan anak, mereka adalah adalah Syaibah atau Abdul Muthalib (kakek Rasulullah SAW), Asad (kakek Ali bin Abu Thalib dari pihak ibu), Abu Saifi, Nadla, Syifa, Khalida, Da’ifa, Ruqayyah dan Jannah. Sepeninggal Hasyim, kepemimpinan Mekah dipegang oleh  Muthalib. Sebenarnya Muthalib masih merupakan adik dari Abdus Syam, namun Muthalib sudah terlanjur mempunyai kedudukan yang tinggi dikaumnya, kemurahan hatinya dan kebiasaannya menenggang kepada sesama sudah kadung terkenal. Sehingga muthalib mendapat julukan “al Fayd”. Baik Hasyim atau Muthalib mewarisi sifat-sifat agung dari sang ayah, Abdul Manaf.

Keturunan Agung dan Besar; Dari Abdu Manaf Sampai “Qushay Sang Pemersatu Keturunan Nabi Ismail “
Abdul Manaf, nama aslinya adalah Mughirah. Anak-anak dari Abdul Manaf ini pada kemudian akan menjadi penghulu-penghulu dan pemimpin dari kaum Quraisy. Mereka adalah  Hasyim (penghulu Bani Hasyim) kakek dari Rasulullah Saw, Abdu Syams (penghulu Bani Abdu Syams) dari Abdus Syam menurunkan kabilah Umayyah, merupakan kabilah dari sahabat Utsman bin Affan. Muthalib (penghulu kabilah Muthalib), dari kabilah inilah kemudian hari melahirkan seorang ulama dan imam besar, Imam Syafi’i. Kabilah ini juga yang sama-sama membela Rasulullah SAW ketika beliau diboikot oleh kaum kuffar Quraisy dan Naufal (penghulu Bani Naufal).
Abdul Manaf merupakan anak dari Qushay, sedangkan Qushay adalah putra dari Kilab. Sayyid Kilab meninggal dunia ketika usia Qushay masih bayi. Ibu Qushay, Fatimah binti Sa’d bin Sahl kemudian menikah lagi dengan Rabiah bin Haram. Sejak kanak-kanak Qushay hanya mengenal Rabiah sebagai ayahnya. Namun, ketika menginjak remaja terjadilah perselisihan antara Qushay dengan beberapa orang dari kabilah Rabiah. Sehingga Qushay dihina dan dikatakan berada dalam perlindungan bani Rabiah, padahal bukan dari bani mereka. Qushay remaja kemudian mengadukan penghinaan ini kepada ibundanya. Sang ibunda kemudia mengatakan, “Ayahmu lebih mulia dari mereka, engkau anak Kilab bin Murrah, dan keluargamu di Mekah adalah penguasa Rumah Suci.” Mendengar itu, Qushay lantas pergi ke Mekah, berhijrah dan mencari keluarga ayahnya.
Karena Qushay adalah pemuda yang cekatan, pekerja keras dan sungguh-sungguh, maka segera saja ia mendapatkan simpati dari para penduduk Mekah. Apalagi setelah mereka tahu, bahwa pemuda itu adalah anak dari Murrah bin Kilab, penerus tahta pemegang kekuasaan atas Rumah Suci yang sah. Qushay sangat dibangga-banggakan oleh kaum Quraisy, tidak jarang ia dijadikan perlambang dan washilah atas kebesaran Quraisy. Karena Qushay juga terkenal pemberani.
Pada saat Qushay datang ke Mekah, penguasaan Ka’bah ketika itu dipegang oleh Hulail bin Hubsyiah. Seorang yang terpandang dari suku Khuzaah. Ketika Qushay datang melamar putrinya Hubba, Hulail menerimanya karena melihat sosok pemuda Qushay yang selain terpandang juga terlihat mengesankan. Setelah menikah, kekayaan Qushay bertambah banyak, karena perdagangannya semakin maju. Selain itu, Qushay juga mempunyai anak yang banyak. Makin terpandanglah kedudukan Qushay ditengah masyarakat Mekah.
Setelah Hulail bin Hubsyiah meninggal, ia berwasiat agar kunci Ka’bah kelak dikuasakan kepada putrinya, Hubba. Namun Hubba menolak tanggungjawab itu. Kunci Ka’bah akhirnya jatuh pada Abu Gibsyan, seseorang tokoh dari Bani Khuzaah. Hanya saja, Abu Gibsyan ini merupakan sosok pemabuk, sehingga ketika dalam kondisi mabuk, Abu Gibsyan menukar kunci Ka’bah dengan minuman keras kepada Qushay. Maka, penguasaan kunci Ka’bah jatuh pada Qushay. Tentu hal ini tidak menggembirakan bagi suku Khuzaah. Karena selain memang Qushay mempunyai nasab yang lebih tinggi dari mereka, Qushay merupakan sosok yang mempunyai dukungan kuat, terutama dari suku ayahnya, Quraisy. Terlebih Qushay adalah seorang sosok pedagang sukses yang tentu mudah berbuat apa saja untuk melakukan apapun dengan harta berlimpahnya.
Melihat dan mempertimbangkan ini, suku Khuzaah merasa keberatan dengan alasan keberatan jika kunci Ka’bah jatuh kepada orang selain mereka. Melihat gelagat yang tidak baik ini, segera saja Qushay meminta bantuan kepada suku ayahnya, suku Quraisy. Tanpa keberatan suku Quraisy menyanggupi untuk membantunya, selain karena mereka menganggap Qushay adalah bagian dari mereka, dan mereka sudah lama menginginkan penguasaan Rumah Suci kembali pada yang berhak, yakni Qushay dari kabilah Quraisy sendiri. Selain itu mereka menganggap bahwa memang sudah sepantasnyalah orang sebesar dan sekaya Qushay yang menguasai pengawasan Rumah Suci. Dengan dibantu suku Quraisy dan beberapa kabilah, mereka berhasil mengusir suku Khuzaah keluar dari Mekah.
Sebelum Qushay menguasai Mekah dan Rumah Sucinya Ka’bah, tidak ditemukan satupun bangunan disekitaran Rumah Suci. Mereka hanya mendekati Rumah Suci pada siang hari, dan akan kembali ke tempat terbuka pada malam harinya. Ini dikarenakan kabilah Khuzaah dan Jurhum tidak menginginkan ada bangunan disekitaran Ka’bah. Maka, pasca penguasaan Ka’bah dipegang oleh Qushay, beliau mengajak kaum Quraisy untuk membangun rumah dan bangunan lain disekitaran Ka’bah.
Diawali oleh Qushay sendiri yang  membangun Darun Nadwah, sebuah bangunan yang dibangun guna menjadi tempat bertemu dan bermusyawarah bagi pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushay. Ditempat ini mereka bermusyawarah perihal persoalan kehidupan bersama yang mereka hadapi. Selain itu, Darun Nadwah ini juga berfungsi sebagai balairung untuk upacara pernikahan bagi kaum mereka. Dengan perintah dari Qushay kaum Quraisy lalu membangun tempat-tempat tinggal disekitaran Ka’bah dengan menyisakan tempat cukup luas untuk thawaf bagi peziarah Rumah Suci. Dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat thawaf itu sendiri.
Diantara hal yang sering dibanggakan pada diri Qushay adalah kemampuannya mempersatukan 12 bangsa keturunan Nabi Ismail As. yang telah tersebar ke berbagai penjuru negeri. Maka beliau sering dijuluki sebagai “al mujammi” yang berarti pengumpul. Nama asli Qushay sendiri adalah Zaid. Beliau mempunyai empat orang anak, mereka adalah Abdu Daar (penghulu kabilah Bani Abdari), Abdu Uzza (menurunkan kabilah Al Asadi) kabilah ini adalah kabilah dari istri pertama Rasulullah, yang mulai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdu Uzza. Anak Qushay yang lain adalah Abdu Qushay dan Abdu Manaf (penghulu Bani Abdu Manaf). Anak yang terakhir inilah yang kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya.

Datuk-Datuk Mulia; Kilab “Pemilik Cahaya Muhammad” sampai Fihr “Sang Quraisy”
Kilab bin Murrah, ayahanda dari Qushay bukanlah sembarang orang. Beliau terkenal sebagai orang yang sering menangis karena rasa takutnya kepada Allah Azza wa Jalla. Selain itu, beliau terkenal sebagai orang yang lemah lembut dan santun, menyayangi sesama. Pada dirinyalah nampak keagungan Rasulullah. Darinya lahir dua anak yang sama-sama memiliki nur Muhammad Saw. Kedua anak beliau adalah Zuhrah dan Qushay. Zuhrah adalah penghulu kabilah Zuhri yang darinya lahir ibunda Rasulullah yang mulia, sayyidah Aminah binti Wahhab bin Abdu Manaf bin Zuhrah. Sedangkan dari sayyid Qushay, kita ketahui kemudian melahirkan nasab ayahanda Rasulullah, yakni sayyid Abdullah yang mulia. Pada saat pemerintahan Kilab inilah penguasaan terhadap Rumah Suci direbut oleh suku Khuzaah, sebelum akhirnya direbut kembali oleh anaknya, Qushay.
Murrah bin Kaab adalah ayah dari Kilab. Dia disebut-sebut sebagai pemilik cahaya Nur Muhammad. Murrah merupakan orang yang mulia, yang menganut agama tauhid, dan tak bosan-bosan mengajak kaumnya untuk kembali pada agama tauhid peninggalan datuknya, Nabi Ibrahim dan Nabiyullah Ismail As. Murrah bin Kaab mempunyai tiga orang anak yang menurunkan beberapa Kabilah. Anak pertama bernama Taim bin Murrah, yang keturunannya disebut Bani Taim, yang dari kabilah ini lahir sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq bin Abu Quhafah yang bernama asli Ustman bin Amir bin Amar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim.
Anak kedua dari Murrah bin Kaab bernama Yaqadzah bin Murrah. Dari Yaqadzah ini kemudian lahirlah seorang anak bernama Makhzum, yang menurunkan Bani Makhzum, sebuah kabilah besar yang kabilahnya terdiri dari orang-orang kaya di Mekah. Diantara keturunan Bani Makhzum ini adalah Ummul Mu’minin Hindun binti Umayyah bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, yang sering dikenal dengan nama Ummu Salamah. Anak ketiga Murrah bin Kaab bernama Kilab bin Murrah yang menurunkan banyak kabilah dan memiliki segala kemuliaan yang terhormat. Dari jalur ini lahir manusia termulia sepanjang masa, Muhammad Saw.
Sedangkan Kaab bin Luay adalah ayah dari Murrah bin Kaab. Kaab merupakan seorang ulama dan panglima dari kaumnya. Beliau dikenal sebagai penyusun strategi perang yang ulung dalam menghadapi musuh-musuh Allah Swt. Kaab bin Luay mempunyai tiga orang anak yang Hushaishah, Adi dan Murrah. Hushaishah mempunyai anak yang bernama Sahm yang melahirkan Bani Sahmi. Anak Kaab yang lain, yakni Adi menjadi penghulu dari Bani Adi. Dari Bani Adi ini lahirlah sahabat Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdu Uzza bin Abdullah bin Qurtsh bin Riyah bin Adi bin Kaab. Sedangkan anaknya yang lain, Murrah melahirkan datu-datuk Nabi Muhammad Saw.
Luay bin Ghalib dipanggil oleh kaumnya sebagai Lawwi. Ayah dari Kaab yang merupakan pemimpin yang dicintai oleh kaumnya. Ia merupakan orang yang ramah dan murah hati. Selalu menjamu dan memastikan pengunjung Rumah Suci dalam kesejahteraan. Memberikan tempat berteduh bagi pengunjung yang kehujanan dan kepanasan, memberi jamuan makanan dan minuman bagi mereka yang kelaparan dan kehausan, bagi orang-orang yang berhaji ke Baitullah. Luay bin Ghalib mempunyai empat orang anak, yakni Samah, Auf, Amir dan Kaab. Dari anaknya Amir bin Luay kemudian menurunkan  kabilah Amir bin Luay. Diantara keturunan yang berasal dari Bani Amir bin Luay adalah istri ketiga Rasulullah Saw,  yaitu Ummul Mu’minin Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdu Wudd bin Nashr bin Hisl bin Amir bin Luay. Dan dari Kaab lahirlah Murrah yang merupakan nasab Rasulullah Saw.
Ghalib bin Fihr merupakan orang yang mulia, mengikuti sifat pemurah dari ayahnya yang kaya, Ghalib bin Fihr menjadi  pemimpin yang disegani dan dihormati. Pada masanya, Mekah menjadi tempat yang nyaman bagi para peziarah dan orang yang berhaji. Baitullah juga terjaga dengan baik. Beliau mempunyai dua orang anak, Taim yang merupakan penghulu dari Bani Taim bin Ghalib bin Fihr. Dan Luay yang meneruskan kekuasaan Ghalib, pada jalur nasab inilah berasal Rasulullah Saw.
Fihr bin Malik bin Nadhor, ayahanda dari Ghalib bin Fihr adalah pengusaha sukses dimasanya. Ia adalah saudagar besar yang menjadi kebanggaan kaumnya. Karena keberhasilannya dalam perniagannya. Ia merupakan sosok yang menjadi kebanggaan bagi kaum sesudahnya. Beliau pula yang penguasa Mekah yang menerapkan upaya pemerataan kesejahteraan sosial. Jika ada kafilah dari Mekah yang baru datang dari berdagang, maka Fihr meminta sebagian laba dari perdagangan kafilah tersebut untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Fihr dijuluki Quraisy, sehingga seluruh keturunan sesudahnya disebut sebagai kabilah atau suku Quraisy. Fihr mempunyai empat orang anak, Muharib, Asad, Harits yang menurunkan kabilah al Harits bin Fihr, serta Ghalib. Ghaliblah penerus kekuasaan Fihr atas Mekah dan Baitullah. Dan dari Ghalib bin Fihr inilah akan lahir Rasulullah Saw.

Keturunan Ibrahim dan Ismail Alaihimas Salam; Dari Malik sampai Adnan “Sang Cucu Ismail”.
Sementara Malik bin Nadhor, ayah dari Fihr adalah orang terpandang dizamannya. Walaupun ia hanya mempunyai seorang anak, yakni Fihr bin Malik bin Nadhor. Sang anak ini, mempunyai tekat yang demikian luar biasa kuat, untuk mengembalikan martabat kaumnya menjadi kaum yang terhormat dan terberkati, seperti janji Allah Swt. Sementara itu ayah dari Malik, Nadhor bin Kinanah adalah sebuah kebanggaan kaum Arab, dan karunia yang tak ternilai. Keberanian dan loyalitas serta integritasnya dalam menjaga Baitullah telah menjadikannya pahlawan bagi suku Arab. Malik bin Nadhor mempunyai dua orang anak, pertama adalah Yakhlud dan kedua adalah Malik. Keturunan Maliklah yang melahirkan suku Quraisy kemudian, namun keturunan Yakhlud tidak terlacak hari ini. Nadhor bin Kinanah dikenal sebagai pemuda yang bahkan sejak masa mudanya telah gemar beribadah.
Kinanah, ayah dari Nadhor adalah seorang terhormat. Mewarisi keagungan keturunan Ibrahim dan Ismail, rumahnya merupakan tempat berlindung bagi mereka yang membutuhkan. Pintunya selalu terbuka untuk siapapun yang butuh santunan dan terutama perlindungan. Keturunan dari Kinanah bin Khuzaimah ini acap dipanggil seebagai Bani Kinani. Bani Kinani adalah bani besar yang pada akhirnya terpecah menjadi puluhan bani dikemudian hari.
Kinanah mempunyai empat orang anak yaitu Abdu Manat, Malik, Milkan dan Nadhor. Abdu Manat bin Kinanah mempunyai anak bernama Bakr yang keturunannya disebut kabilah Bani Bakr bin Abdu Manat. Bakr bin Abdu Manat mempunyai seorang anak bernama Dhamrah, yang keturunannya disebut Bani Dhamrah. Kabilah ini adalah kabilah pertama kali diperangi oleh kaum Muslimin. Penerus Kinanah adalah anaknya, Nadhor. Nadhor adalah orang yang kelak menurunkan kabilah Quraisy.
Khuzaimah bin Mudrika, adalah pemimpin Mekah sebelum Kinanah. Ia adalah ayah Kinanah. Pada saat kepemimpinan Khuzaimah bin Mudrikah, Mekah sangatlah sejahtera dan terlindungi dari gangguan luar. Ia menuruni sifat mulia dan luhur serta ketinggian ilmu dari ayahnya Mudrika. Khuzaimah mempunyai empat orang anak, Al Huun, Asad, Asadah dan Kinanah. Dari keempatnya, hanya dua orang yang keturunannya tetap berada di Mekah. Yakni Kinanah yang menurunkan bani Quraisy yang terkenal dan kemudian menurunkan sayyid Abdullah, yang kemudian menurunkan manusia teragung Muhammad Saw. Sementara Asad, menurunkan salah satu wanita mulia, istri Rasulullah SAW, yaitu Ummul Mu’minin Zainab binti Jahsyi bin Riab bin Ya’mar bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanam bin Daudan bin Asad bin Khuzaimah.
Nama sebenarnya adalah Amir, namun ia lebih dikenal sebagai Mudrika. Ayah dari Khuzaimah. Mudrika adalah pemimpin, pemuka agama sekaligus hakim dalam masanya. Ia satu-satunya putra ayahnya Ilyas, yang menurunkan keturunan. Dari keturunannya muncul puluhan kabilah-kabilah besar. Mudrika mempunyai dua orang anak, Khuzaimah yang menurunkan Bani Kinani dan meneruskan estafet di Mekah. Dan anak pertamannya Hudzail, adalah penghulu Bani Hudzail. Bani Hudzail adalah bani yang sempat berperang dengan Abrahah yang congkak itu ketika hendak menyerang Mekah.
Ayah dari Mudrika adalah Ilyas, ia adalah seorang yang faqih dimasanya. Ia selalu menganjurkan agar kaumnya selalu mensucikan Ka’bah dan Tanah Haram Mekah. Beliau adalah orang yang kali pertama berkurban unta di Tanah Haram, untuk Allah Swt. menurut sebuah riwayat, ketika Ilyas melakukan kurban itu, dari sulbinya, atau tulang punggungnya terdengarlah talbiyah dari Nur Muhammad Saw. yang ada padanya. Ilyas sendiri mempunyai tiga orang anak, Thabikha, Qamiah dan Mudrika. Dari nama terakhir inilah penerusnya memperoleh keagungan.
Sementara ayah Ilyas adalah Mudhar, Ilyas mempunyai tiga orang anak, Qais Ailan, Ilyan dan Ilyas. Ilyan terputus keturunannya. Sementara dari Ilyas, Mudhar telah menurunkan keturunan mulia, Kinanah dengan Bani Kinani, selanjutnya Bani Quraisy, selanjutnya Bani Hasyim yang menurunkan Nabi Muhammad Saw. Sementara dari anaknya Qais Ailan, Mudhar menurunkan Bani Qais Ailan. Dari Bani Qais Ailan, muncullah dua ummul mukminin.
Bani Qais Ailan kemudian menurunkan beberapa kabilah besar, diantaranya Bani Sulaim, Bani Ghataffan dan Bani Hawazin. Dari Bani Hawazinlah muncul dua orang mulia, Ummul Mu’minin Zainab binti Khuzaimah bin Harits bin Abdullah bin Amar bin Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr bin Hawazin bin Mashur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan bin Mudhar dan Ummul Mu’minin Maimunah binti Harits bin Huzn bin Bahir bin Huzam bin Ruaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr bin Hawazin.
Nizar bin Ma’ad adalah ayah dari Mudhar. Nizar adalah orang mulia yang mempunyai keluasan ilmu, kemuliaan akhlak. Beliau dikenal sebagai seorang yang santun, namun juga selalu ringan tangan meringankan beban sesama. Selalu terbuka untuk siapapun yang membutuhkan. Dari Nizar, dia mempunyai tiga orang anak, yakni adalah Rabi’ah, Anmar dan Mudhar. Rabi’ah terputus keturunannya. Anmar menurunkan banyak kabilah-kabilah, diantaranya kabilah Bani Anzah, Bani Abdu Qais, Bani Taghlib dan Bani Hanifah. Dari kabilah Hanifah ini kelak muncul Musailamah bin Habib Al Kadzab, Nabi Palsu yang ada pada masa Rasulullah SAW dan tewas oleh kaum muslim dimasa Khalifah Abu Bakar as Shidiq Ra. Adapun Mudhar bin Nizar menetap dan tinggal di Mekah dan menjadi pemuka kaum dan keturunannya di Mekah.
Ayah dari Nizar adalah Ma’ad, putra Adnan yang masih berada di tanah Hijaz dan meneruskan dakwah menyebarkan agama tauhid, yang dibawa oleh para datuknya, Ibrahim As dan Ismail As. Ma’ad yang menikah dengan perempuan dari tanah Hijaz kemudian melahirkan keturunan, diantaranya Nizar. Sementara Adnan, dimana Rasulullah Saw. seringkali dinasabkan adalah seorang yang agung.
Beliau adalah salah satu keturunan Nabiyullah Ismail dan Nabiyullah Ibrahim As. yang tetap memegang teguh ajaran. Sayyid Adnan mempunyai dua orang anak, Akk dan Ma’ad. Akk menikah dengan seorang wanita Bani Asy’ariyyin keturunan Qathani dan menetap di negerinya, yaitu Yaman. Sementara Ma’ad yang tinggal di tanah Hijaz kemudian menurunkan kabilah-kabilah di kota Mekah yang kebanyakan kemudian menjadi penguasa disana.
Menurut Imam Ibnu Hisyam dalam kitabnya Tahdzib Siroh Nabawiyah, Adnan adalah keturunan ke-7 dari Nabi Ismail As, ke-8 dari Nabi Ibrahim As, ke-18 dari Nabi Nuh As, ke-21 dari Nabi Idris As dan ke-27 dari Nabi Adam As. Dengan menyimak nasab baginda Rasulullah Saw. yang begitu agung dan mulia, tentu kita takkan ragu bahwa sejak awal Allah Swt. memang sudah menyediakan secara khusus sebuah nasab agung tanpa tanding yang tanpa cacat, hanya untuk mempersiapkan kebangkitan seorang nabi mulia akhir zaman.

Ketika Pemuda Permata Mekkah Menikahi Bunga Suku Zuhrah; Pernikahan Sayyid Abdullah dan Sayyidah Aminah Ra.
Abdullah, ayahanda Nabi Muhammad Saw, adalah seorang pemuda nan tampan dan rupawan. Idaman seluruh perempuan dizamannya. Apalagi cerita tentang penebusannya, menjadikan ia seakan mitos. Bahwa beliau adalah bukan orang sembarangan, sehingga Hubal saja tak mau menerima penggantinya kurang dari seratus ekor unta. Ketika berumur dua puluh empat tahun, usia yang siap nikah, maka Abdul Muthalib mulai berfikir untuk menikahkan anaknya. Tidak kurang banyak perempuan hartawan dan bangsawan melamar Abdullah, Ruqaiyah binti Naufal, Fathimah binti Murr, Laila Al-Adawiyah, adalah beberapa perempuan yang berusaha meminang Abdullah.
Beberapa saat berfikir dan menimbang semua perempuan disekitarnya, Abdul Muthalib bersama Abdullah mendatangi tempat Bani Zuhrah. Menemui Wahb bin Abdu Manaf bin Zuhrah, pemimpin suku Zuhrah ketika itu untuk melamar Aminah, perempuan nan cantik rupawan dan indah perangainya. Sebagian sejarawan mengisahkan, bahwa ayahanda Aminah telah meninggal, yang menerima lamaran itu adalah pamannya, Uhaib. Namun tak dipungkiri, pemilihan Aminah selain merupakan skenario Allah Swt. juga dikarenakan Aminah adalah bunga Quraisy yang paling tinggi nasab dan kedudukannya.
Lamaran diterima dan pernikahan dilangsungkan. Sesuai tradisi Abdullah harus tinggal dirumah mertuanya tiga hari, setelah itu baru kemudian beliau memboyong sang istri tercinta kerumah Abdul Muthalib ayahnya. Ketika itu juga Abdul Muthalib menikahi Hallah binti Uhaib, sepupuh sayyidah Aminah. Tak berapa lama Abdullah meninggalkan sang istri, guna berdagang ke Syam atau kita kenal sekarang dengan Suriah, dan Sayyidah Aminah dalam kondisi hamil.
Wafatnya Sang Calon Ayah
Sepulang dari Syam, Abdullah mampir ke rumah sanak saudaranya didaerah Madinah, rumah paman-pamannya dari jalur ibu. Kafilahnya terlebih dahulu pulang guna mengabarkan kondisi Adbullah kepada Abdul Muthalib sang ayah. Haris, anak sulung Abdul Muthalib diutus oleh sang ayah untuk menjenguk adiknya, dan membawa pulang ketika sudah sembuh. Namun Haris harus pulang dengan hati remuk redam, sang adik yang tercinta telah meninggal. Pilu hati Abdu Muthalib, gelaplah dunia Aminah. Kesedihan sayyidah Aminah bisa kita temui dalam syair-syair yang diucapkannya ketika mengenang Abdullah, sang suami tercinta. Apalagi ketika itu Aminah sedang hamil anak pertama mereka.
Harta peninggalan Abdullah untuk istri dan calon anaknya, tidaklah banyak walau juga tidak sedikit. Lima ekor unta, beberapa ekor domba dan seorang budak perempuan Habsyi bernama Barokah, atau nantinya akan dikenal sebagai Ummu Aiman, pengasuh Nabi Muhammad Saw. menurut beberapa riwayat, setiap bulan sampai melahirkan, Sayyidah Aminah ketika malam selalu dijumpai para nabi-nabi Agung. Untuk mengabarkan kebahagiaannya mengandung pemimpin umat. Mulai Adam, Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman sampai Nabi Isa As. mereka tak lain hanya mengabarkan sebuah berita besar atas akan lahirnya manusia mulia pemimpin umat yang sedang dikandung Aminah.

Kelahiran Manusia Mulia; Sejarah Terbaik Manusia Dimulai
Ketika Sayyidah Aminah melahirkan putranya, Abdul Muthalib sang mertua sedang berada di Ka’bah, Rumah Suci. Ketika dalam posisi hendak melahirkan, Aminah yang mulia didatangi oleh empat perempuan mulia. Yang dikirim secara khusus oleh Allah Swt. guna menemani dan menghibur Siti Aminah. Mereka adalah Hawa, ibu umat manusia, Sarah istri Nabiyullah Ibrahim, Asiyah binti Muzahim, dan Ibunda Isa As. yakni Siti Maryam.
Mendengar cucunya lahir laki-laki, Abdul Muthalib mengumandangkan syukur dan membawa bayi itu segara ke Ka’bah, lantas menamainya Muhammad. Nama yang tak umum, walaupun kata itu dikenal. Soal nama itu dalam sebuah perjamuan yang biasa dilakukan tujuh hari pasca kelahiran, para pemuka Quraisy sama bertanya atas nama  yang diberikan Abdul Muthalib kepada cucunya itu. “Aku ingin dia kelak menjadi orang yang terpuji’, begitu ujar Abdul Muthalib. Dan benarlah ia, hari ini nama cucunya tidak pernah luput disebut orang dengan penuh takdzim diseluruh penjuru dunia setiap saat.
Sesuai tradisi Arab, anak-anak akan disusukan kepada para Arab pedalaman, terutama dari kaum Bani Sa’d. Kehidupan demikian lazim dijalani oleh bangsawan-bangsawan Arab ketika itu. Anak-anak akan dikirim ke pedalaman Sahara, agar bisa disusui orang lain dengan kondisi udara yang masih segar, serta agar anak-anak belajar bahasa yang fasih atau fushah dari para Arab pedalaman yang menjaga kaidah-kaidah bahasa Arab dengan ketat. Sementara sebelum anaknya mendapat ibu susuan, Aminah menyerahkan anaknya kepada Suwaibah, budak pamannya Abu Lahab. Ia disusui oleh Suwaibah beberapa waktu bersama dengan Hamzah, pamannya. Anak termuda dari Abdul Muthalib.
Sampai juga saatnya Aminah berpisah dengan anaknya, wanita yang beruntung tersebut adalah Halimah binti Zua’ib dari Bani Sa’d. Muhammad yang mulia diasuh Halimah dan anak wanitanya, Syaima’. Setelah cukup dua tahun, Muhammad dikembalikan pada ibundanya namun berdasarkan sebuh riwayat dibawa kembali oleh Halimah. Halimah mengembalikan Muhammad ke Mekah diantaranya adalah untuk meminta izin ibundanya agar Muhammad disapih, namun dibawa kembali karena di Mekah sedang dilanda wabah. Dalam sebuah riwayat, itu karena permintaan Halimah yang merasakan keberkahan hidupnya setelah merawat Muhammad Saw.
Nabi mulia Muhammad Saw. sangat menghormati Halimah dan keluarganya. Ketika Nabi Saw. sudah menikah dengan Sayyidah Khadijah, suatu saat daerah Halimah mengalami paceklik. Bilamana Halimah mengunjunginya, Nabi Saw. selalu menyambutnya, menggelar pakaian dan kain terbaik untuk alas bagi Halimah, dan memberikan hadiah unta yang dipenuhi dengan air. Bukan itu saja, namun juga beberapa ekor kambing. Ketika Syaima’ putri Halimah tertawan dalam sebuah peperangan di Thaif bersama kabilah Hawazin dan dibawa ke hadapan Nabi Muhammad Saw. beliau langsung menghormati dan mengembalikannya ke kediamannya.

Manusia Mulia Yang Yatim Piatu; Wafatnya Ibunda Mulia
Beberapa tahun setelah Muhammad dikembalikan kepada orang tuanya, sayyidah Aminah berkeinginan membawa Muhammad Saw. untuk mengunjungi saudara-saudara kakeknya di Madinah dari Bani Najjar dan berziarah ke makam ayahandanya, Abdullah. Dalam perjalanan tersebut, dibawa pula Ummu Aiman, budak dari ayahandanya dulu. Perjalanan tersebut begitu membekas dihati Rasulullah Saw. Bagaimana tidak, perjalanan mengunjungi makam ayahnya mempertegas posisinya sebagai yatim, sekalian juga mengukir duka baru.
Yah, ibundanya tercinta Aminah yang mulia terserang penyakit dan menyusul sang suami tercinta, ketika perjalanan itu dilakukan. Muhammad menjadi yatim piatu, penderitaan yang cukup berat bagi seoranga anak seusianya. Ummu Aiman, sang budak kemudian membawa Rasulullah kembali ke Mekah.
Sebelum meninggal, Aminah membisiki sesuatu yang luar biasa bagi Muhammad Saw. Beliau menyenandungkan syair yang pilu sekaligus menggetarkan, beliau berpesan kepada buah hatinya. Bahwa jika benar isyarah yang diberikan Allah Yang Maha Esa kepadanya, kelak sang anak akan menjadi panutan dan pemimpin umat. Beliau, bunda mulia Aminah menyenandung kalimat yang menggugah anaknya yang mulia Muhammad Saw. bahwa kelak ia akan menjadi penerus agama nenek moyangnya Ibrahim As. Beliau juga mengatakan, “Setiap yang hidup pasti mati, dan setiap yang baru pasti usang. Setiap orang yang tua akan binasa. Aku pun akan wafat tapi sebutanku akan kekal. Aku telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan seorang bayi yang suci.” Sayyidah Aminah dimakamkan di Abwa, sebuah tempat antara Madinah dan Juhfah.

Dibawah Asuhan Kakek dan Pamanda
Nabi Muhammad Saw. kemudian dibawah asuhan kakeknya, yang sangat mencintainya. Dan setiap melihat cucunya ini, beliau selalu teringat akan anak tercintanya Abdullah. Keadaan Nabi Muhammad yang yatim piatu semenjak kecil ini, menyadarkan kita, bahwa karena mengalami hal yag sedemikian sengsara telah menyebabkan halusnya perasaan Muhammad Saw. Bagaimana rasa kasihnya terhadap para yatim. Karena pilu yang juga pernah ia rasakan. Tak lama kemudian, sang kakek tercinta juga tiada. Muhammad kemudia diasuh oleh pamandanya Ali bin Abi Thalib Ra. yang mengasuhnya selayaknya anak sendiri. Abu Thalib, bukanlah pamannya yang paling kaya, namun dari sekian pamannya yang paling bagus akhlak dan paling halus perangainya. Maka Abdul Muthalib menyerahkan pengasuhan cucu tersayangnya kepada Abu Thalib.
Dibawah asuhan Abu Thalib, suatu saat Muhammad muda menawarkan diri untuk mengikuti Abu Thalib pamandanya berdagang ke Syam. Beberapa riwayat, dalam perjalanan inilah beberapa petunjuk kenabian Muhammad sudah nampak terlihat. Seperti pertemuan dengan rahib Bahira, yang sudah menerangkan tanda-tanda agung kenabian dan memberi saran agar mereka tidak masuk terlalu kedalam negeri Syam. Karena khawatir akan muslihat jahat kaum Yahudi jika mereka membaca tanda-tanda kenabian Muhammad. Dari riwayat ini, dapat kita ketahui, bahwa sebenarnya baik Nasrani maupun Yahudi, jika mereka mau jujur dalam mempelajari ajaran kitab dan agamanya, maka akan gamblang sekali tanda kenabian Muhammad.
Dalam masa pengasuhan Abu Thalib pula Muhammad Saw. pernah memanggul senjata sebelum kenabian. Tepatnya pada perang fijar, ketika mendampingi pamannya. Perang ini disebut sebagai perang fijar, karena terjadi di bulan-bulan suci. Sampai pada sebuah perjanjian Hilf Fudhul dirumah Ibn Jud’an yang dihadiri Bani Zuhrah, Bani Taim dan Bani Hasyim, bahwa mereka akan bersama menjaga Mekah. Dan bahwa pertolongan Tuhan akan datang pada mereka yang teraniaya. Kaum-kaum ini bersepakat untuk melindungi Mekah dan tamunya.

Berdagang ke Syam dan Menikahi Ummul Mukminin Termulia
Suatu ketika Abu Thalib mendengar bahwa janda kaya raya Mekah, Khadijah akan memberangkatkan kafilah dagang ke Syam. Sedangkan kondisi keuangan keluarga Abu Thalib yang tak kaya namun mempunyai banyak anak memerlukan pertolongan segera. Segera saja Abu Thalib menyarankan kepada Muhammad untuk turut serta mengikuti kafilah itu. Namun kepada Khadijah, Abu Thalib meminta pengecualiaan. Jika orang lain diberi upah dua ekor anak unta, maka untuk Muhammad tidak boleh kurang dari empat ekor anak unta. Demi melihat Muhammad yang saat itu sudah terkenal ketampanan, kebaikan dan kehalusan budi pekerti dan akhlaknya, Khadijah menyetujuinya.
Ditemani Maisarah, laki-laki kepercayaan Khadijah, Muhammad berangkat berniaga ke Syam. Segera saja Maisarah terpikat dengan kemampuan berdagang pemuda Bani Hasyim ini. Kejujurannya dalam berdagang, kelembutan dan sopan santunnya, serta kefasihannya ketika berbincang dengan sesama, menjadikan dagangan lebih cepat laku dan mendapat untung yang berlipat banyak dari biasanya orang berdagang. Segera setelah mereka kembali ke Mekah, Maisarah menceritakan hal tersebut kepada sang majikan, Khadijah. Khadijah yang sejak awal memang sudah menaruh hati kepadanya, bertambah jatuh cinta dan terpesona kepad pemuda pilihan itu.
Sampai pada suatu ketika perasaan yang dipendam itu diutarakan jugalah kepada Nufaisah, sahabat dan kerabatnya. Dari Nufaisah pula yang bertugas menjajagi kepada Muhammad. Ketika dirasa keinginan itu tidak bertepuk tangan, bergembiralah Khadijah. Pada saat menikah dengan Muhammad yang berusia dua puluh lima tahun, Khadijah berusia empat puluh tahun. Namun cinta mereka yang suci tak bisa surut oleh apapun. Seringkali dikisahkan, bahwa cinta nabi agung Muhammad Saw. kepada Khadijah kerap membuat istri lain, bahkan Aisyah cemburu. Dan tentu hal itu wajar terjadi.
Khadijah, janda kaya raya dari keluarga terhormat dan bangsawan Mekah. Bahkan orang terkaya di Mekah. Membantu perjuangan suci manusia mulia, Muhammad Saw. Hingga suatu kali, karena tidak ada sesuatupun yang bisa dimakan, ketika menyusui Fatimah, darahlah yang mengalir. Dan pada saat itu Khadijah menangis. “Wahai Khadijah, apakah kau menyesal menikah denganku sehingga engkau menangis?”. Tanya Rasulullah. “Tidak wahai suamiku tercinta, perjuangann sucimu masih panjang, dan aku khawatir tidak akan menemui masa perjuanganmu yang berat itu.” Kisah cinta mana yang lebih agung, dari seorang istri kaya raya yang rela menderita demi sebuah perjuangan kebenaran?. Cerita cinta mana yang lebih syahdu, dari perjuangan seorang perempuan, yang rela derajat kebangsawanan dan kekayaanny hilang, demi perjuangan agama Tuhan?
Lalu, sejauh mana kita sudah mengenal nabi agung ini?. Kita kerap mengaku cinta dan mengumbar klaim mahabbah, sejauh mana kita meneladaninya?. Bukankah yang tak kenal tak akan pernah sayang?.

(Pernah dimuat sebagai editorial Majalah Al Fikrah Edisi 97/ Desember 2016)