Equility before the law. Kesetaraan harus ada sebelum penegakan hukum,
begitu kiranya yang dimaksud dalam kalimat yang sangat terkenal dalam filsafat
hukum ini. Kesetaraan dimaksud bahwa setiap individu harus sama kedudukannya
dimata hukum, sebelum hukum ditegakkan. Inilah yang dimaksud sebagai keadilan
hukum. Jauh sebelum kalimat ini terkenal, seorang dari Jazirah Arab, penguasa
kota suci Mekah dan Madinah, yang menjadi tonggak awal keterkenalan semenanjung
Arab yang dulu dikenal terbelakang, sudah mengatakan, “Seandainya Fatimah Putri
Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya,”. Itulah Muhammad bin
Abdullah, sang penguasa kala itu, mengajarkan bagaimana kesetaraan hukum harus
diperlakukan. Sehingga ia mencontohkan, andai puterinya sendiri mencuri, maka
tanpa ragu ia akan menerapkan hukuman yang berlaku, yakni pemotongan tanggan.
Siapa sebenarnya Muhammad bin Abdullah ini?. Bagaimana mungkin seorang yang
hidup pada masa dimana keadilan, konsep kesetaraan hukum adalah hal langka, masa
yang lebih dikenal sebagai zaman barbar begini, dengan mudah mendekati dan
menerapkan konsep kesetaraan hukum?. Penelusuran tentang ketegasan hukum,
biasanya merujuk pada Hammurabi, sang Akkadia, raja keenam dari kerajaan
Babilonia pertama. Yang dikenal karena membuat peraturan tegas yang dituangkan
dalam piagam Hammurabi. Kesetaraan hukum juga kita baca dalam sejarah di bumi
Nusantara dengan ikon Ratu Shima dari kerajaan Kalingga. Kesetaraan dan
ketegasan hukum masa Ratu Shima diakui kala itu.
Tapi Muhammad bin Abdullah tentu lebih istimewa, karena yang dirubahnya
adalah masyarakat barbar, masyarakat yang jauh dari etika dan kepatutan. Kita
tentu bisa membayangkan, masyarakat yang ketika anaknya lahir perempuan akan
langsung dikubur hidup-hidup karena dianggap aib dan beban, diajari soal kesetaraan
hukum. Kita tentu harus bertanya, siapa dibalik perubahan mental yang
sedemikian dahsyat, bagaimana cara perubahan itu dilakukan, dan instrumen apa
yang digunakan?. Mempelajari sejarah perubahan yang dahsyat ini, bukan hanya
kita akan berdecak kagum, namun juga akan sadar, bahwa jikalaulah Muhammad bin
Abdullah bukan utusan penguasa bumi Yang Maha Perkasa, bukan manusia agung yang
secara khusus diutus, tidaklah mungkin dapat merubah peradaban dengan
sedemikian hebatnya.
Nasab Nabi
Muhammad Saw dan Keadaan Jazirah Arab
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, nama sebenarnya adalah Syaibah,
anak dari Hasyim yang nama sebenarnya adalah Amrun, anak dari Abdul Manaf yang
nama sebenarnya adalah Mughiroh, anak dari Qushoi yang nama sebenarnya adalah
Zaid, anak dari Kilab bin Murrah bin Kaab bin Luay bin Gholib, anak dari Fihr
yang sering dijuluki Quraisy dan darinyalah nama Bani Quraisy disandarkan. Fihr
dijuluki Quraisy dari kata Qursyun, karena merupakan pedagang yang kaya
dan berhasil, serta mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Fihr merupakan anak
dari Malik bin Nadhir atau Qois bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah atau
Amir bin Ilyas bin Mudlor bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari ini pula Nabi Muhammad
Saw sering dinisbatkan.
Adnan adalah keturunan langsung dari Nabi Ismail putera dari yang mulia Nabi
Ibrahim As. Para sejarawan bersepakat atas hal ini, bahwa Adnan adalah
keturunan nabi Ismail bin Ibrahim As. Maka Nabi Muhammad Saw. adalah bangsa
Arab Adnaniyah atau Arab al Musta’ribah. Para sejarawan membagi bangsa Arab
menjadi tiga golongan. Satu golongan telah punah, dan dua golongan yang ada
sampai saat ini. Pertama, al Arab al Baidah, yakni Arab kuno yang telah
punah. Mereka diantaranya adalah kaum ‘Aad, Tsamud, Kan’an, Madyan, Tashem,
Jadis dll. Mereka ini Arab kuno yang sering diceritakan dalam al Qur’an.
Kedua, yakni al Arab al ‘Aribah, yakni Arab asli yang merupakan
keturunan dari Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan. Karena itu mereka acap disebut
sebagai Arab Qahthaniyah. Mereka berasal dari Arab bagian selatan, seringkali
disebutkan berasal dari Yaman. Yang paling terkenal dalam sejarah Arab ‘Aribah
adalah kerajaan Saba, yang berdiri 8 abad sebelum masehi. Ibu kotanya adalah
Ma’rib, yang berada 3900 kaki diatas permukaan laut. Tidak jauh dari ibu kota,
dibangunlah sebuah bendungan besar yang terkenal, yakni bendungan Ma’rib, atau Saddul
Ma’rib. Beberapa sejarawan menduga, karena pecahnya bendungan Ma’rib atau
Ma’arib itulah selanjutnya beberapa suku di Yaman menyebar ke seluruh penjuru
jazirah Arab. Karena pertanian yang sebelumnya menggantungkan irigasi dari
bendungan itu telah sulit dilakukan. Sehingga kehidupan beberapa suku kemudian
menjadi nomaden, atau sering disebut sebagai suku Badui atau kaum Badawa.
Karena suku-suku itu harus mencari lembah subur yang memungkinkan terjadinya
kehidupan. Selanjutnya pasca kerajaan Saba adalah kerajaan Himyari. Sebuah
kerajaan penerus kerajaan Saba.
Ketiga, Arab Musta’ribah, sering disebut sebagai Arab tak asli (non-origin).
Karena mereka keturunan Adnan, maka acap disebut sebagai Arab Adnaniyah. Alasan
mereka disebut sebagai musta’ribah atau musta’robah, yang berarti
ter-arab-kan adalah bahwa nenek moyang mereka, Ismail dan Ibrahim bukanlah
orang Arab, melainkan dari Irak yang kemudian bermigrasi ke Arab, ke Mekah
tepatnya. Sehingga dianggap sebagai Arab yang belajar Arab dari orang-orang
Arab asli. Karena Nabi Ismail As. yang bermigrasi ke Mekah itu lantas menikah
dengan orang Arab setempatdan berketurunan. Kebanyakan ulama bersepakat,
siapapun yang bernasab kepada Hasyim adalah ahlul bait, kecuali Syiah yang
berpendapat bahwa ahlul bait hanya gelar yang dapat diperoleh dengan nasab
sayyidina Hasan dan Husein.
Beberapa pihak menyuguhkan dalil atas larangan mengetengahkan nasab Nabi
Muhammad Saw selepas dari nasab Adnan ini. Karena diragukan kebenarannya.
Sementara pihak lain mengetengahkan bahwa Adnan adalah anak dari Udad bin
Hamaisa’ bin Salaman bin Awash bin Bawash bin Qomwal bin Ubay bin Awam bin
Nasyid bin Hiza bin Buldas bin Yadlav bin Thabakh bin Jahim bin Nahisy bin
Makho bin ‘Aidl bin ‘Abqor bin Ubaid bin Addi’a bin Hamdan bin Sanbar bin
Yatsroba bin Yahzan bin Yalhan bin Ar’awa bin Aidl bin Disyan bin ‘Aishor bin
Afnad bin Ayham bin Maqshor bin Nahits bin Zarah bin Sama bin Maza bin ‘Audloh
bin ‘Arom bin Qoidar bin Ismail bin Ibrahim As. Walaupun nasab ini
diperselisihkan namun tidak diragukan bahwa Nabi Muhammad Saw memang mempunyai
nasab agung, yang sampai pada bapak agama samawi yang berciri hanif dan tauhid,
Ibrahim As.
Nasab agung ini juga dinyatakan langsung Nabi Agung Muhammad Saw, bahwa salah
satunya dari Ibnu Sa’ad bahwa nasab beliau berasal dari pernikahan yang sah
bukan melalui jalan sifah. Sifah berarti zina. Artinya Nabi Muhammad
Saw, dilahirkan dari nasab keluarga yang melakukan pernikahan yang sah,
sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah, bahwa pernikahan zaman dahulu
juga ada yang benar dan ada yang salah. Yang benar, seperti yang kita temui
sekarang adalah yang ditemukan saksi, akad, wali dan mahar. Dalam riwayat lain,
Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya
Allah memilih Ismail dari anak-anak keturunan Ibrahim. Dan memilih Kinanah dari
anak-anak keturunan Ismail. Lalu Allah memilih Quraisy dari anak-anak keturunan
Kinanah. Kemudian memilih Hasyim dari anak-anak keturunan Quraisy. Dan
memilihku dari anak keturunan Hasyim.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Bersih dan tingginya kedudukan nasab bagi dakwah nabi Muhammad Saw, sangat
penting artinya pada masa dan budaya disekitaran jazirah Arab ketika itu. Seperti
halnya hal itu penting artinya bagi nabi-nabi sebelumnya, Nabi Syuaib misalnya.
Dalam al Qur’an surat Huud ayat 91 diceritakan hal ini, ketika masyarakatnya
mengatakan, “kalau bukan karena keluarga besarmu wahai Syuaib, kami akan
melemparmu dengan batu.” Hal ini pula yang terjadi pada Nabi Agung Muhammad
Saw. kaum kuffar acap harus berfikir ribuan kali ketika hendak menyakiti
Rasulullah Saw. dikarenakan kedudukan Bani Quraisy, Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib,
yang begitu mulia dan berkuasa, keluarga penjaga rumah suci. Yang berarti
keluarga penguasa Mekah.
Mengenal Ayah dan Kakek Nabi Saw; Dari Abdullah Sampai Hasyim
Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahanda Nabi Agung Muhammad
Saw, adalah manusia agung yang menurunkan putra manusia teragung yang pernah
ada. Beliau menikahi sayyidah Aminah, ibunda Rasulullah pada usia 25 tahun.
Tidak lama setelah itu pula beliau meninggal di Yatsrib, nama kota Madinah
kuno, ketika hendak berangkat berdagang. Usia Rasulullah Saw. ketika itu baru
dua atau tiga bulan dikandungan bunda tercinta. Abdullah, bak Ismail putra
Ibrahim. Pernah hampir dikurbankan oleh ayahandanya Abdul Muthalib demi
ketaatan kepada Allah Swt.
Suatu kali Abdul Muthalib yang menjadi penjaga rumah suci
merasa kuwalahan, karena hanya mempunyai anak yang sedikit, disamping itu
sebagaimana tradisi Arab ketika itu banyaknya anak merupakan sebuah kebanggaan
tersendiri. Penjaga rumah suci atau ka’bah pada saat itu, harus menyediakan kebutuhan
pengunjung dan peziarah rumah suci yang datang dari jauh. Mulai dari minuman
dan kebutuhan lain. Merasa kuwalahan, Abdul Muthalib bernadzar, jika saja
dikaruniai sepuluh anak laki-laki maka salah satunya setelah dewasa akan
dikorbankan didepan patung Hubal dikawasan rumah suci atau ka’bah. Dan
terpenuhilah keinginan Abdul Muthalib, lahirlah sepuluh anak laki-laki.
Guna memenuhi nadzarnya, Abdul Muthalib seperti
kebanyakan orang zaman itu, menghadap ke juru ramal untuk mengundi sesiapa
anaknya yang harus dikorbankan. Setelah beberapa kali diundi dengan panah
didepan berhala Hubal, yang keluar selalu nama Abdullah, putra bungsu terkasih.
Melihat yang harus dikorbankan adalah Abdullah, putra yang paling cerdas,
seluruh bani Quraisy bersepakat untuk membatalkan pengorbanan kepada Hubal itu.
Dan agar diganti dengan pengorbanan dalam bentuk lain. Walaupun semua orang
sepakat, namun Abdul Muthalib merasa bahwa pengorbanan tetap harus dilakukan.
Setelah perundingan yang alot, Abdul Muthalib untuk
membawa permasalahan itu kepada seorang dukun didaerah Yatsrib yang sudah biasa
menyelesaikan masalah seperti itu. Sang dukun memberi saran untuk menyediakan
sepuluh unta sebagai tebusan dan mengundinya dengan nama Abdullah, jika masih
muncul nama Abdullah maka kurban unta harus ditambah sampai yang muncul adalah
nama unta. Ketika unta sudah mencapai seratus ekor, keluarlah nama unta. Guna
memantapkan, Abdul Muthalib mengulangi undian sampai tiga kali, dan selalu nama
unta yang keluar. Disembelihlah seratus unta sebagai tebusan atas diri
Abdullah.
Sedangkan Abdul Muthalib bin Hasyim bernama asli Syaibah.
Ia masih seorang anak kecil ketika ditinggalkan oleh ayahnya, Hasyim. Sampai
saat ini berusia 14 tahun, sang paman Muthalib berhasil membujuk sang ibunda
untuk membawa pemuda Syaibah ke Mekah. Sebenarnya sang ibunda tak rela melepas
putranya, namun Salma binti Amr yang merupakan tokoh dari suku Khazraj tahu
betul bahwa sang anak mempunyai tanggung jawab menggantikan kedudukan almarhum
ayahnya, baik didalam masyarakat maupun dalam hal mengurus rumah Tuhan.
Ketika Muthalib mengajak Syaibah memasuki kota Mekah,
ramai orang mengira Muthalib datang membawa budaknya, sehingga mereka
memanggilnya Abdul Muthalib yang berarti budak Muthalib. Muthalib pun akhirnya
menjelaskan bahwa yang bersamanya bukanlah budak, tapi tak lain Syaibah putra
dari Hasyim, pemimpin mereka sebelumnya. Mereka pun menjadi malu, mengetahui
kedudukan Syaibah yang begitu tinggi dan mulia dikalangan mereka. Namun julukan
Abdul Muthalib kadung menyebar, sehingga Syaibah lebih dikenal dengan nama Abdul
Muthalib.
Setelah cukup dewasa Abdul Muthalib mengambil tanggung
jawab yang merupakan warisan turun temurun sejak nenek moyangnya, yakni menjaga
ka’bah sebagai rumah Tuhan. Abdul Muthalib mempunyai usia yang relatif panjang,
sehingga sempat menemui sang cucu yang agung Muhammad Saw. Jasa Abdul Muthalib
kepada pembentukan pribdi Rasulullah tidaklah sedikit, beliau adalah kakek yang
setia melindungi dengan segenap kasih sayang. Namun bukan hanya itu, jasa Abdul
Muthalib kepada kota Mekah pun tidak bisa dipandang remeh. Masa itu, untuk
menyediakan air minum bagi para peziarah Rumah Suci, didatangkanlah air dari
jauh yang tentu menguras tenaga. Kaum Quraisy juga masih mengingat dengan jelas
tentang sumur Zamzam, yang telah ditimbun oleh Mudad bin Amr dari Kabilah
Jurhum. Namun mereka sama sekali tak tergerak untuk mencari dan menggali
kembali.
Abdul Muthalib yang bertugas melayani tamu Rumah Suci
ini, selalu berfikir keras akan pengadaan air dan terutama tentang Zamzam.
Sehingga sampailah ia bermimpi seakan-akan diperintah untuk menggali kembali
sumur yang diketemukan pertama kali dibawah kaki Ismail bin ibrahim, datuknya
dulu. Demikian kuatnya desakan suara itu, hingga pada suatu ketika Abdul
Muthalib bertekat untuk memulai penggalian, sesuai dengan petunjuk mimpinya.
Hingga ditemukanlah Zamzam yang berada diantara dua berhala, yakni Isaf dan
Nailah. Penggalian tersebut pad mulanya hanya dilakukan dengan anaknya Haris.
Kaum Quraisy sama sekali tidak membantu dan peduli, sampai pada ditemukannya
bersitan dan cipratan air disela-sela dua bonggol pelana emas dan beberapa
pedang Mudad bin Amr.
Melihat itu, kaum Quraisy bermaksud ikut melakukan
penggalian. Namun, Abdul Muthalib menolak. Dari beberapa perbincangan, termasuk
tentang pembagian harta temuan didalam sumur Zamzam. Dan seperti kebiasaan
zaman itu, diundilah dengan panah siapa yang berhak memiliki, Abdul Muthalib,
Rumah Suci atau kaum Quraisy. Dari pengundian, nama kaum Quraisy tidak pernah
keluar, maka pedang-pedang itu menjadi milik Abdul Muthalib dan oleh beliau
dipasang dipintu Ka’bah yang agung. Sedangkan dua bonggol pelana emas,
dijadikannya perhiasan di Ka’bah.
Abdul Muthalib adalah pemimpin Mekah ketika Abrahah dari
Abisinia menyerang Mekah, bermaksud merobohkan Rumah Suci Ka’bah. Pada masa
itu, melihat ketidak seimbangan kekuatan Abdul Muthalib memerintahkan evakuasi
seluruh penduduk Mekah. Alih-alih melawan, Abdul Muthalib yang merasa kekuatan
dan persenjataan yang tidak berimbang, lebih memilih untuk menyelamatkan
rakyatnya. Ketimbang melawan dan kalah secara konyol. Setelah sebelumnya Zu
Nafar, seorang bangsawan dari Yaman yang berusaha melakukan pemberontakan,
kalah dan ditawan. Begitupun Nufail bin Habib al Khas’ami yang mengerahkan
perlawanan dari suku Syahran dan Nahis pun mengalami nasib yang sama. Tapi
Abrahah ternyata tetap tak berhasil menguasai dan menghancurkan Rumah Suci
Ka’bah, dikarenakan penyakit cacar yang menghabisi pasukannya serta beberapa
alasan lain yang diabadikan dalam al Qur’an surat Al Fiil.
Lantas siapa Hasyim bin Abdul Manaf, ayahanda Abdul
Muthalib?. Dia adalah pemimpin Mekah yang begitu dipuja, diagungkan dan
disayangi kaumnya. Karena Hasyim telah berhasil mengatasi kesulitan pangan dan
kelaparan kaumnya, ketika ia memerintah. Pada saat Mekah dilanda sebuah musim
kemarau yang berat, Hasyim datang dengan membawa makanan yang diperoleh dari
hasil perdagangan yang beliau lakukan. Hasyim pula yang menentukan perdagangan
pada musim sita’ dan shoif, musim dingin dan musim panas.
Musim dingin perdagangan dilakukan ke Yaman dan musim
panas dilakukan perdagangan ke Suria. Hasyim dan saudara-saudaranya sesama
putra Abdul Manaf pula, yang berhasil membuat perjanjian dengan beberapa
kerajaan besar disekitarnya. Hasyim membuat perjanjian perlindungan perdagangan
dengan Imperium Romawi dan Banu Gassan. Kerajaan Romawi mengizinkan kaum
Quraisy berdagang diwilayah kekuasaan Romawi, termasuk Suriah. Saudaranya Abdus
Syam membuat perjanjian dengan kerajaan Najasyi atau Negus. Sedangkan Naufal
dan Muthalib membuat perjanjian dengan kerajaan Persia serta kerajaan Himyar di
Yaman.
Mekah pada saat itu telah menjadi kekuatan yang besar,
karena disokong oleh perjanjian dagang dengan kerajaan-kerajaan besar
disekitarnya. Itu pula yang menyebabkan Mekah menjadi pusat perdagangan, utang
piutang berjalan dengan cepat, riba menjalar dimana-mana. Tak ada yang berniat
menyaingi kedudukan Hasyim dalam masyarakat Mekah, walaupun usia Hasyim
berangsur mulai senja. Kecuali oleh Umayyah bin Abdus Syam, namun Umayyah tidak
mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengambil alih kekuasaan, sehingga ia tak
berdaya. Apalagi Umayyah telah sepuluh tahun meninggalkan Mekah dan tinggal di
Suriah. Menurut sejarah, kabilah Umayyah baru berhasil mengambil alih kekuasaan
di Mekah, setelah Abu Thalib wafat.
Pada saat melakukan perjalanan ke Suriah dan melewati
Yatsrib, beliau melihat sesosok wanita yang menyita perhatiannya. Beliaulah
perempuan terpandang di Yatsrib, Salma binti Amr Annajariyah yang pada saat itu
telah menjanda. Hasyim melamar perempuan cantik itu dengan syarat bahwa Salma
harus diberikan kebebasannya. Salma juga mempertimbangkan kedudukan Hasyim yang
tinggi diantara kaumnya, selain perangainya yang baik dan santun. Salma
mengikuti suaminya ke kota Mekah, beberapa saat kemudian Salma kembali ke
Yatsrib dan melahirkan seorang anak, Syaibah atau Abdul Muthalib kakek
Rasulullah. Malang tak dapat ditolak, beberapa tahun kemudian, dalam sebuah
perjalanan dagang musim panas ke Gaza, Hasyim wafat.
Hasyim mempunyai beberapa sembilan anak, mereka adalah adalah Syaibah atau
Abdul Muthalib (kakek Rasulullah SAW), Asad (kakek Ali bin Abu Thalib dari
pihak ibu), Abu Saifi, Nadla, Syifa, Khalida, Da’ifa, Ruqayyah dan Jannah.
Sepeninggal Hasyim, kepemimpinan Mekah dipegang oleh Muthalib. Sebenarnya Muthalib masih merupakan
adik dari Abdus Syam, namun Muthalib sudah terlanjur mempunyai kedudukan yang
tinggi dikaumnya, kemurahan hatinya dan kebiasaannya menenggang kepada sesama
sudah kadung terkenal. Sehingga muthalib mendapat julukan “al Fayd”.
Baik Hasyim atau Muthalib mewarisi sifat-sifat agung dari sang ayah, Abdul
Manaf.
Keturunan
Agung dan Besar; Dari Abdu Manaf Sampai “Qushay Sang Pemersatu Keturunan Nabi Ismail
“
Abdul Manaf, nama aslinya adalah Mughirah. Anak-anak dari Abdul Manaf ini
pada kemudian akan menjadi penghulu-penghulu dan pemimpin dari kaum Quraisy.
Mereka adalah Hasyim (penghulu
Bani Hasyim) kakek dari Rasulullah Saw, Abdu Syams (penghulu Bani Abdu Syams)
dari Abdus Syam menurunkan kabilah Umayyah, merupakan kabilah dari sahabat Utsman
bin Affan. Muthalib (penghulu kabilah Muthalib), dari kabilah inilah kemudian
hari melahirkan seorang ulama dan imam besar, Imam Syafi’i. Kabilah ini juga yang
sama-sama membela Rasulullah SAW ketika beliau diboikot oleh kaum kuffar
Quraisy dan Naufal (penghulu Bani Naufal).
Abdul Manaf merupakan anak dari Qushay, sedangkan Qushay adalah putra dari
Kilab. Sayyid Kilab meninggal dunia ketika usia Qushay masih bayi. Ibu Qushay,
Fatimah binti Sa’d bin Sahl kemudian menikah lagi dengan Rabiah bin Haram. Sejak
kanak-kanak Qushay hanya mengenal Rabiah sebagai ayahnya. Namun, ketika
menginjak remaja terjadilah perselisihan antara Qushay dengan beberapa orang
dari kabilah Rabiah. Sehingga Qushay dihina dan dikatakan berada dalam
perlindungan bani Rabiah, padahal bukan dari bani mereka. Qushay remaja
kemudian mengadukan penghinaan ini kepada ibundanya. Sang ibunda kemudia
mengatakan, “Ayahmu lebih mulia dari mereka, engkau anak Kilab bin Murrah, dan
keluargamu di Mekah adalah penguasa Rumah Suci.” Mendengar itu, Qushay lantas
pergi ke Mekah, berhijrah dan mencari keluarga ayahnya.
Karena Qushay adalah pemuda yang cekatan, pekerja keras dan
sungguh-sungguh, maka segera saja ia mendapatkan simpati dari para penduduk Mekah.
Apalagi setelah mereka tahu, bahwa pemuda itu adalah anak dari Murrah bin
Kilab, penerus tahta pemegang kekuasaan atas Rumah Suci yang sah. Qushay sangat
dibangga-banggakan oleh kaum Quraisy, tidak jarang ia dijadikan perlambang dan
washilah atas kebesaran Quraisy. Karena Qushay juga terkenal pemberani.
Pada saat Qushay datang ke Mekah, penguasaan Ka’bah ketika itu dipegang
oleh Hulail bin Hubsyiah. Seorang yang terpandang dari suku Khuzaah. Ketika
Qushay datang melamar putrinya Hubba, Hulail menerimanya karena melihat sosok
pemuda Qushay yang selain terpandang juga terlihat mengesankan. Setelah
menikah, kekayaan Qushay bertambah banyak, karena perdagangannya semakin maju.
Selain itu, Qushay juga mempunyai anak yang banyak. Makin terpandanglah kedudukan
Qushay ditengah masyarakat Mekah.
Setelah Hulail bin Hubsyiah meninggal, ia berwasiat agar kunci Ka’bah kelak
dikuasakan kepada putrinya, Hubba. Namun Hubba menolak tanggungjawab itu. Kunci
Ka’bah akhirnya jatuh pada Abu Gibsyan, seseorang tokoh dari Bani Khuzaah.
Hanya saja, Abu Gibsyan ini merupakan sosok pemabuk, sehingga ketika dalam
kondisi mabuk, Abu Gibsyan menukar kunci Ka’bah dengan minuman keras kepada
Qushay. Maka, penguasaan kunci Ka’bah jatuh pada Qushay. Tentu hal ini tidak
menggembirakan bagi suku Khuzaah. Karena selain memang Qushay mempunyai nasab
yang lebih tinggi dari mereka, Qushay merupakan sosok yang mempunyai dukungan
kuat, terutama dari suku ayahnya, Quraisy. Terlebih Qushay adalah seorang sosok
pedagang sukses yang tentu mudah berbuat apa saja untuk melakukan apapun dengan
harta berlimpahnya.
Melihat dan mempertimbangkan ini, suku Khuzaah merasa keberatan dengan
alasan keberatan jika kunci Ka’bah jatuh kepada orang selain mereka. Melihat
gelagat yang tidak baik ini, segera saja Qushay meminta bantuan kepada suku
ayahnya, suku Quraisy. Tanpa keberatan suku Quraisy menyanggupi untuk
membantunya, selain karena mereka menganggap Qushay adalah bagian dari mereka,
dan mereka sudah lama menginginkan penguasaan Rumah Suci kembali pada yang
berhak, yakni Qushay dari kabilah Quraisy sendiri. Selain itu mereka menganggap
bahwa memang sudah sepantasnyalah orang sebesar dan sekaya Qushay yang
menguasai pengawasan Rumah Suci. Dengan dibantu suku Quraisy dan beberapa
kabilah, mereka berhasil mengusir suku Khuzaah keluar dari Mekah.
Sebelum Qushay menguasai Mekah dan Rumah Sucinya Ka’bah, tidak ditemukan
satupun bangunan disekitaran Rumah Suci. Mereka hanya mendekati Rumah Suci pada
siang hari, dan akan kembali ke tempat terbuka pada malam harinya. Ini
dikarenakan kabilah Khuzaah dan Jurhum tidak menginginkan ada bangunan
disekitaran Ka’bah. Maka, pasca penguasaan Ka’bah dipegang oleh Qushay, beliau
mengajak kaum Quraisy untuk membangun rumah dan bangunan lain disekitaran
Ka’bah.
Diawali oleh Qushay sendiri yang
membangun Darun Nadwah, sebuah bangunan yang dibangun guna
menjadi tempat bertemu dan bermusyawarah bagi pembesar-pembesar Mekah yang
dipimpin oleh Qushay. Ditempat ini mereka bermusyawarah perihal persoalan
kehidupan bersama yang mereka hadapi. Selain itu, Darun Nadwah ini juga
berfungsi sebagai balairung untuk upacara pernikahan bagi kaum mereka. Dengan
perintah dari Qushay kaum Quraisy lalu membangun tempat-tempat tinggal
disekitaran Ka’bah dengan menyisakan tempat cukup luas untuk thawaf bagi
peziarah Rumah Suci. Dan pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus
ke tempat thawaf itu sendiri.
Diantara hal yang sering dibanggakan pada diri Qushay adalah kemampuannya mempersatukan
12 bangsa keturunan Nabi Ismail As. yang telah tersebar ke berbagai penjuru
negeri. Maka beliau sering dijuluki sebagai “al mujammi” yang
berarti pengumpul. Nama asli Qushay sendiri adalah Zaid. Beliau mempunyai empat
orang anak, mereka adalah Abdu Daar (penghulu kabilah Bani Abdari), Abdu Uzza
(menurunkan kabilah Al Asadi) kabilah ini adalah kabilah dari istri pertama Rasulullah,
yang mulai Sayyidah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdu Uzza. Anak
Qushay yang lain adalah Abdu Qushay dan Abdu Manaf (penghulu Bani Abdu Manaf).
Anak yang terakhir inilah yang kemudian meneruskan kepemimpinan ayahnya.
Datuk-Datuk
Mulia; Kilab “Pemilik Cahaya Muhammad” sampai Fihr “Sang Quraisy”
Kilab bin Murrah, ayahanda dari Qushay bukanlah sembarang orang. Beliau
terkenal sebagai orang yang sering menangis karena rasa takutnya kepada Allah
Azza wa Jalla. Selain itu, beliau terkenal sebagai orang yang lemah lembut dan
santun, menyayangi sesama. Pada dirinyalah nampak keagungan Rasulullah. Darinya
lahir dua anak yang sama-sama memiliki nur Muhammad Saw. Kedua anak beliau
adalah Zuhrah dan Qushay. Zuhrah adalah penghulu kabilah Zuhri yang darinya
lahir ibunda Rasulullah yang mulia, sayyidah Aminah binti Wahhab bin Abdu Manaf
bin Zuhrah. Sedangkan dari sayyid Qushay, kita ketahui kemudian melahirkan
nasab ayahanda Rasulullah, yakni sayyid Abdullah yang mulia. Pada saat
pemerintahan Kilab inilah penguasaan terhadap Rumah Suci direbut oleh suku
Khuzaah, sebelum akhirnya direbut kembali oleh anaknya, Qushay.
Murrah bin Kaab adalah ayah dari Kilab. Dia disebut-sebut sebagai pemilik
cahaya Nur Muhammad. Murrah merupakan orang yang mulia, yang menganut agama
tauhid, dan tak bosan-bosan mengajak kaumnya untuk kembali pada agama tauhid
peninggalan datuknya, Nabi Ibrahim dan Nabiyullah Ismail As. Murrah bin Kaab
mempunyai tiga orang anak yang menurunkan beberapa Kabilah. Anak pertama
bernama Taim bin Murrah, yang keturunannya disebut Bani Taim, yang dari kabilah
ini lahir sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq bin Abu Quhafah yang bernama asli
Ustman bin Amir bin Amar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim.
Anak kedua dari Murrah bin Kaab bernama Yaqadzah bin Murrah. Dari Yaqadzah
ini kemudian lahirlah seorang anak bernama Makhzum, yang menurunkan Bani
Makhzum, sebuah kabilah besar yang kabilahnya terdiri dari orang-orang kaya di Mekah.
Diantara keturunan Bani Makhzum ini adalah Ummul Mu’minin Hindun binti Umayyah
bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, yang sering dikenal dengan nama
Ummu Salamah. Anak ketiga Murrah bin Kaab bernama Kilab bin
Murrah yang menurunkan banyak kabilah dan memiliki segala kemuliaan yang
terhormat. Dari jalur ini lahir
manusia termulia sepanjang masa, Muhammad Saw.
Sedangkan Kaab bin Luay adalah ayah dari Murrah bin Kaab. Kaab merupakan
seorang ulama dan panglima dari kaumnya. Beliau dikenal sebagai penyusun
strategi perang yang ulung dalam menghadapi musuh-musuh Allah Swt. Kaab bin
Luay mempunyai tiga orang anak yang Hushaishah, Adi dan Murrah. Hushaishah mempunyai
anak yang bernama Sahm yang melahirkan Bani Sahmi. Anak Kaab yang lain, yakni
Adi menjadi penghulu dari Bani Adi. Dari Bani Adi ini lahirlah sahabat Umar bin
Khattab bin Nufail bin Abdu Uzza bin Abdullah bin Qurtsh bin Riyah bin Adi bin
Kaab. Sedangkan anaknya yang lain, Murrah melahirkan datu-datuk Nabi Muhammad
Saw.
Luay bin Ghalib dipanggil oleh kaumnya sebagai Lawwi. Ayah dari Kaab yang
merupakan pemimpin yang dicintai oleh kaumnya. Ia merupakan orang yang ramah
dan murah hati. Selalu menjamu dan memastikan pengunjung Rumah Suci dalam
kesejahteraan. Memberikan tempat berteduh bagi pengunjung yang kehujanan dan
kepanasan, memberi jamuan makanan dan minuman bagi mereka yang kelaparan dan
kehausan, bagi orang-orang yang berhaji ke Baitullah. Luay bin Ghalib mempunyai
empat orang anak, yakni Samah, Auf, Amir dan Kaab. Dari anaknya Amir bin Luay
kemudian menurunkan kabilah Amir bin
Luay. Diantara keturunan yang berasal dari Bani Amir bin Luay adalah istri
ketiga Rasulullah Saw, yaitu Ummul Mu’minin Saudah binti Zam’ah bin Qais
bin Abdu Syams bin Abdu Wudd bin Nashr bin Hisl bin Amir bin Luay. Dan dari
Kaab lahirlah Murrah yang merupakan nasab Rasulullah Saw.
Ghalib bin Fihr merupakan orang yang mulia, mengikuti sifat pemurah dari
ayahnya yang kaya, Ghalib bin Fihr menjadi
pemimpin yang disegani dan dihormati. Pada masanya, Mekah menjadi tempat
yang nyaman bagi para peziarah dan orang yang berhaji. Baitullah juga terjaga
dengan baik. Beliau mempunyai dua orang anak, Taim yang merupakan penghulu dari
Bani Taim bin Ghalib bin Fihr. Dan Luay yang meneruskan kekuasaan Ghalib, pada
jalur nasab inilah berasal Rasulullah Saw.
Fihr bin Malik bin Nadhor, ayahanda dari Ghalib bin Fihr adalah pengusaha
sukses dimasanya. Ia adalah saudagar besar yang menjadi kebanggaan kaumnya.
Karena keberhasilannya dalam perniagannya. Ia merupakan sosok yang menjadi
kebanggaan bagi kaum sesudahnya. Beliau pula yang penguasa Mekah yang
menerapkan upaya pemerataan kesejahteraan sosial. Jika ada kafilah dari Mekah
yang baru datang dari berdagang, maka Fihr meminta sebagian laba dari
perdagangan kafilah tersebut untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Fihr
dijuluki Quraisy, sehingga seluruh keturunan sesudahnya disebut sebagai kabilah
atau suku Quraisy. Fihr mempunyai empat orang anak, Muharib, Asad, Harits yang
menurunkan kabilah al Harits bin Fihr, serta Ghalib. Ghaliblah penerus
kekuasaan Fihr atas Mekah dan Baitullah. Dan dari Ghalib bin Fihr inilah akan
lahir Rasulullah Saw.
Keturunan
Ibrahim dan Ismail Alaihimas Salam; Dari Malik sampai Adnan “Sang Cucu Ismail”.
Sementara Malik bin Nadhor, ayah dari Fihr adalah orang terpandang
dizamannya. Walaupun ia hanya mempunyai seorang anak, yakni Fihr bin Malik bin
Nadhor. Sang anak ini, mempunyai tekat yang demikian luar biasa kuat, untuk
mengembalikan martabat kaumnya menjadi kaum yang terhormat dan terberkati,
seperti janji Allah Swt. Sementara itu ayah dari Malik, Nadhor bin Kinanah
adalah sebuah kebanggaan kaum Arab, dan karunia yang tak ternilai. Keberanian
dan loyalitas serta integritasnya dalam menjaga Baitullah telah menjadikannya
pahlawan bagi suku Arab. Malik bin Nadhor mempunyai dua orang anak, pertama adalah
Yakhlud dan kedua adalah Malik. Keturunan Maliklah yang melahirkan suku Quraisy
kemudian, namun keturunan Yakhlud tidak terlacak hari ini. Nadhor bin Kinanah
dikenal sebagai pemuda yang bahkan sejak masa mudanya telah gemar beribadah.
Kinanah, ayah dari Nadhor adalah seorang terhormat. Mewarisi keagungan
keturunan Ibrahim dan Ismail, rumahnya merupakan tempat berlindung bagi mereka
yang membutuhkan. Pintunya selalu terbuka untuk siapapun yang butuh santunan
dan terutama perlindungan. Keturunan dari Kinanah bin Khuzaimah ini acap
dipanggil seebagai Bani Kinani. Bani Kinani adalah bani besar yang pada
akhirnya terpecah menjadi puluhan bani dikemudian hari.
Kinanah mempunyai empat orang anak yaitu Abdu Manat,
Malik, Milkan dan Nadhor. Abdu
Manat bin Kinanah mempunyai anak bernama Bakr yang keturunannya disebut kabilah
Bani Bakr bin Abdu Manat. Bakr bin Abdu Manat mempunyai seorang anak bernama
Dhamrah, yang keturunannya disebut Bani Dhamrah. Kabilah ini adalah kabilah pertama
kali diperangi oleh kaum Muslimin. Penerus Kinanah adalah anaknya, Nadhor.
Nadhor adalah orang yang kelak menurunkan kabilah Quraisy.
Khuzaimah bin Mudrika, adalah pemimpin Mekah sebelum Kinanah. Ia adalah
ayah Kinanah. Pada saat kepemimpinan Khuzaimah bin Mudrikah, Mekah sangatlah
sejahtera dan terlindungi dari gangguan luar. Ia menuruni sifat mulia dan luhur
serta ketinggian ilmu dari ayahnya Mudrika. Khuzaimah mempunyai empat orang
anak, Al Huun, Asad, Asadah dan Kinanah. Dari keempatnya, hanya dua orang yang
keturunannya tetap berada di Mekah. Yakni Kinanah yang menurunkan bani Quraisy
yang terkenal dan kemudian menurunkan sayyid Abdullah, yang kemudian menurunkan
manusia teragung Muhammad Saw. Sementara Asad, menurunkan salah satu wanita
mulia, istri Rasulullah SAW, yaitu Ummul Mu’minin Zainab binti Jahsyi bin Riab
bin Ya’mar bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanam bin Daudan bin Asad bin
Khuzaimah.
Nama sebenarnya adalah Amir, namun ia lebih dikenal sebagai Mudrika. Ayah
dari Khuzaimah. Mudrika adalah pemimpin, pemuka agama sekaligus hakim dalam
masanya. Ia satu-satunya putra ayahnya Ilyas, yang menurunkan keturunan. Dari
keturunannya muncul puluhan kabilah-kabilah besar. Mudrika mempunyai dua orang
anak, Khuzaimah yang menurunkan Bani Kinani dan meneruskan estafet di Mekah.
Dan anak pertamannya Hudzail, adalah penghulu Bani Hudzail. Bani Hudzail adalah
bani yang sempat berperang dengan Abrahah yang congkak itu ketika hendak
menyerang Mekah.
Ayah dari Mudrika adalah Ilyas, ia adalah seorang yang faqih dimasanya. Ia
selalu menganjurkan agar kaumnya selalu mensucikan Ka’bah dan Tanah Haram Mekah.
Beliau adalah orang yang kali pertama berkurban unta di Tanah Haram, untuk
Allah Swt. menurut sebuah riwayat, ketika Ilyas melakukan kurban itu, dari sulbinya,
atau tulang punggungnya terdengarlah talbiyah dari Nur Muhammad Saw. yang ada
padanya. Ilyas sendiri mempunyai tiga orang anak, Thabikha, Qamiah dan Mudrika.
Dari nama terakhir inilah penerusnya memperoleh keagungan.
Sementara ayah Ilyas adalah Mudhar, Ilyas mempunyai tiga orang anak, Qais
Ailan, Ilyan dan Ilyas. Ilyan terputus keturunannya. Sementara dari Ilyas,
Mudhar telah menurunkan keturunan mulia, Kinanah dengan Bani Kinani,
selanjutnya Bani Quraisy, selanjutnya Bani Hasyim yang menurunkan Nabi Muhammad
Saw. Sementara dari anaknya Qais Ailan, Mudhar menurunkan Bani Qais Ailan. Dari
Bani Qais Ailan, muncullah dua ummul mukminin.
Bani Qais Ailan kemudian menurunkan beberapa kabilah besar, diantaranya
Bani Sulaim, Bani Ghataffan dan Bani Hawazin. Dari Bani Hawazinlah muncul dua
orang mulia, Ummul Mu’minin Zainab binti Khuzaimah bin Harits bin Abdullah bin
Amar bin Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr
bin Hawazin bin Mashur bin Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan bin Mudhar dan
Ummul Mu’minin Maimunah binti Harits bin Huzn bin Bahir bin Huzam bin Ruaibah
bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah bin Mu’awiyyah bin Bakr bin
Hawazin.
Nizar bin Ma’ad adalah ayah dari Mudhar. Nizar
adalah orang mulia yang mempunyai keluasan ilmu, kemuliaan akhlak. Beliau
dikenal sebagai seorang yang santun, namun juga selalu ringan tangan
meringankan beban sesama. Selalu terbuka untuk siapapun yang membutuhkan. Dari
Nizar, dia mempunyai tiga orang anak, yakni adalah Rabi’ah, Anmar dan Mudhar. Rabi’ah terputus
keturunannya. Anmar menurunkan banyak kabilah-kabilah, diantaranya kabilah Bani
Anzah, Bani Abdu Qais, Bani Taghlib dan Bani Hanifah. Dari kabilah Hanifah ini
kelak muncul Musailamah bin Habib Al Kadzab, Nabi Palsu yang ada pada masa
Rasulullah SAW dan tewas oleh kaum muslim dimasa Khalifah Abu Bakar as Shidiq
Ra. Adapun Mudhar bin Nizar menetap dan tinggal di Mekah dan menjadi
pemuka kaum dan keturunannya di Mekah.
Ayah dari Nizar adalah Ma’ad, putra Adnan yang masih berada di tanah Hijaz
dan meneruskan dakwah menyebarkan agama tauhid, yang dibawa oleh para datuknya,
Ibrahim As dan Ismail As. Ma’ad yang menikah dengan perempuan dari tanah Hijaz
kemudian melahirkan keturunan, diantaranya Nizar. Sementara Adnan, dimana
Rasulullah Saw. seringkali dinasabkan adalah seorang yang agung.
Beliau adalah salah satu keturunan Nabiyullah Ismail dan Nabiyullah Ibrahim
As. yang tetap memegang teguh ajaran. Sayyid Adnan mempunyai dua orang anak,
Akk dan Ma’ad. Akk menikah dengan seorang wanita Bani Asy’ariyyin keturunan
Qathani dan menetap di negerinya, yaitu Yaman. Sementara Ma’ad yang tinggal di
tanah Hijaz kemudian menurunkan kabilah-kabilah di kota Mekah yang kebanyakan
kemudian menjadi penguasa disana.
Menurut Imam Ibnu Hisyam dalam kitabnya Tahdzib Siroh Nabawiyah,
Adnan adalah keturunan ke-7 dari Nabi Ismail As, ke-8 dari Nabi Ibrahim As,
ke-18 dari Nabi Nuh As, ke-21 dari Nabi Idris As dan ke-27 dari Nabi Adam As.
Dengan menyimak nasab baginda Rasulullah Saw. yang begitu agung dan mulia,
tentu kita takkan ragu bahwa sejak awal Allah Swt. memang sudah menyediakan
secara khusus sebuah nasab agung tanpa tanding yang tanpa cacat, hanya untuk
mempersiapkan kebangkitan seorang nabi mulia akhir zaman.
Ketika
Pemuda Permata Mekkah Menikahi Bunga Suku Zuhrah; Pernikahan Sayyid Abdullah
dan Sayyidah Aminah Ra.
Abdullah, ayahanda Nabi Muhammad Saw, adalah seorang pemuda nan tampan dan
rupawan. Idaman seluruh perempuan dizamannya. Apalagi cerita tentang
penebusannya, menjadikan ia seakan mitos. Bahwa beliau adalah bukan orang
sembarangan, sehingga Hubal saja tak mau menerima penggantinya kurang dari
seratus ekor unta. Ketika berumur dua puluh empat tahun, usia yang siap nikah,
maka Abdul Muthalib mulai berfikir untuk menikahkan anaknya. Tidak kurang
banyak perempuan hartawan dan bangsawan melamar Abdullah, Ruqaiyah binti Naufal, Fathimah binti Murr,
Laila Al-Adawiyah, adalah beberapa perempuan yang berusaha meminang Abdullah.
Beberapa saat berfikir dan menimbang semua perempuan disekitarnya, Abdul
Muthalib bersama Abdullah mendatangi tempat Bani Zuhrah. Menemui Wahb bin Abdu
Manaf bin Zuhrah, pemimpin suku Zuhrah ketika itu untuk melamar Aminah,
perempuan nan cantik rupawan dan indah perangainya. Sebagian sejarawan
mengisahkan, bahwa ayahanda Aminah telah meninggal, yang menerima lamaran itu
adalah pamannya, Uhaib. Namun tak dipungkiri, pemilihan Aminah selain merupakan
skenario Allah Swt. juga dikarenakan Aminah adalah bunga Quraisy yang paling
tinggi nasab dan kedudukannya.
Lamaran diterima dan pernikahan dilangsungkan. Sesuai tradisi Abdullah
harus tinggal dirumah mertuanya tiga hari, setelah itu baru kemudian beliau
memboyong sang istri tercinta kerumah Abdul Muthalib ayahnya. Ketika itu juga
Abdul Muthalib menikahi Hallah binti Uhaib, sepupuh sayyidah Aminah. Tak berapa
lama Abdullah meninggalkan sang istri, guna berdagang ke Syam atau kita kenal
sekarang dengan Suriah, dan Sayyidah Aminah dalam kondisi hamil.
Wafatnya
Sang Calon Ayah
Sepulang dari Syam, Abdullah mampir ke rumah sanak saudaranya didaerah
Madinah, rumah paman-pamannya dari jalur ibu. Kafilahnya terlebih dahulu pulang
guna mengabarkan kondisi Adbullah kepada Abdul Muthalib sang ayah. Haris, anak
sulung Abdul Muthalib diutus oleh sang ayah untuk menjenguk adiknya, dan
membawa pulang ketika sudah sembuh. Namun Haris harus pulang dengan hati remuk
redam, sang adik yang tercinta telah meninggal. Pilu hati Abdu Muthalib,
gelaplah dunia Aminah. Kesedihan sayyidah Aminah bisa kita temui dalam
syair-syair yang diucapkannya ketika mengenang Abdullah, sang suami tercinta. Apalagi
ketika itu Aminah sedang hamil anak pertama mereka.
Harta peninggalan Abdullah untuk istri dan calon anaknya, tidaklah banyak
walau juga tidak sedikit. Lima ekor unta, beberapa ekor domba dan seorang budak
perempuan Habsyi bernama Barokah, atau nantinya akan dikenal sebagai Ummu
Aiman, pengasuh Nabi Muhammad Saw. menurut beberapa riwayat, setiap bulan
sampai melahirkan, Sayyidah Aminah ketika malam selalu dijumpai para nabi-nabi
Agung. Untuk mengabarkan kebahagiaannya mengandung pemimpin umat. Mulai Adam,
Nabi Idris, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi
Sulaiman sampai Nabi Isa As. mereka tak lain hanya mengabarkan sebuah berita besar
atas akan lahirnya manusia mulia pemimpin umat yang sedang dikandung Aminah.
Kelahiran
Manusia Mulia; Sejarah Terbaik Manusia Dimulai
Ketika Sayyidah Aminah melahirkan putranya, Abdul Muthalib sang mertua
sedang berada di Ka’bah, Rumah Suci. Ketika dalam posisi hendak melahirkan,
Aminah yang mulia didatangi oleh empat perempuan mulia. Yang dikirim secara
khusus oleh Allah Swt. guna menemani dan menghibur Siti Aminah. Mereka adalah
Hawa, ibu umat manusia, Sarah istri Nabiyullah Ibrahim, Asiyah binti Muzahim,
dan Ibunda Isa As. yakni Siti Maryam.
Mendengar cucunya lahir laki-laki, Abdul Muthalib mengumandangkan syukur
dan membawa bayi itu segara ke Ka’bah, lantas menamainya Muhammad. Nama yang
tak umum, walaupun kata itu dikenal. Soal nama itu dalam sebuah perjamuan yang
biasa dilakukan tujuh hari pasca kelahiran, para pemuka Quraisy sama bertanya
atas nama yang diberikan Abdul Muthalib
kepada cucunya itu. “Aku ingin dia kelak menjadi orang yang terpuji’, begitu
ujar Abdul Muthalib. Dan benarlah ia, hari ini nama cucunya tidak pernah luput
disebut orang dengan penuh takdzim diseluruh penjuru dunia setiap saat.
Sesuai tradisi Arab, anak-anak akan disusukan kepada para Arab pedalaman,
terutama dari kaum Bani Sa’d. Kehidupan demikian lazim dijalani oleh
bangsawan-bangsawan Arab ketika itu. Anak-anak akan dikirim ke pedalaman
Sahara, agar bisa disusui orang lain dengan kondisi udara yang masih segar,
serta agar anak-anak belajar bahasa yang fasih atau fushah dari para
Arab pedalaman yang menjaga kaidah-kaidah bahasa Arab dengan ketat. Sementara
sebelum anaknya mendapat ibu susuan, Aminah menyerahkan anaknya kepada
Suwaibah, budak pamannya Abu Lahab. Ia disusui oleh Suwaibah beberapa waktu
bersama dengan Hamzah, pamannya. Anak termuda dari Abdul Muthalib.
Sampai juga saatnya Aminah berpisah dengan anaknya, wanita yang beruntung
tersebut adalah Halimah binti Zua’ib dari Bani Sa’d. Muhammad yang mulia diasuh
Halimah dan anak wanitanya, Syaima’. Setelah cukup dua tahun, Muhammad
dikembalikan pada ibundanya namun berdasarkan sebuh riwayat dibawa kembali oleh
Halimah. Halimah mengembalikan Muhammad ke Mekah diantaranya adalah untuk
meminta izin ibundanya agar Muhammad disapih, namun dibawa kembali karena di
Mekah sedang dilanda wabah. Dalam sebuah riwayat, itu karena permintaan Halimah
yang merasakan keberkahan hidupnya setelah merawat Muhammad Saw.
Nabi mulia Muhammad Saw. sangat menghormati Halimah dan keluarganya. Ketika
Nabi Saw. sudah menikah dengan Sayyidah Khadijah, suatu saat daerah Halimah
mengalami paceklik. Bilamana Halimah mengunjunginya, Nabi Saw. selalu
menyambutnya, menggelar pakaian dan kain terbaik untuk alas bagi Halimah, dan
memberikan hadiah unta yang dipenuhi dengan air. Bukan itu saja, namun juga
beberapa ekor kambing. Ketika Syaima’ putri Halimah tertawan dalam sebuah
peperangan di Thaif bersama kabilah Hawazin dan dibawa ke hadapan Nabi Muhammad
Saw. beliau langsung menghormati dan mengembalikannya ke kediamannya.
Manusia
Mulia Yang Yatim Piatu; Wafatnya Ibunda Mulia
Beberapa tahun setelah Muhammad dikembalikan kepada orang tuanya, sayyidah
Aminah berkeinginan membawa Muhammad Saw. untuk mengunjungi saudara-saudara
kakeknya di Madinah dari Bani Najjar dan berziarah ke makam ayahandanya,
Abdullah. Dalam perjalanan tersebut, dibawa pula Ummu Aiman, budak dari
ayahandanya dulu. Perjalanan tersebut begitu membekas dihati Rasulullah Saw.
Bagaimana tidak, perjalanan mengunjungi makam ayahnya mempertegas posisinya
sebagai yatim, sekalian juga mengukir duka baru.
Yah, ibundanya tercinta Aminah yang mulia terserang penyakit dan menyusul
sang suami tercinta, ketika perjalanan itu dilakukan. Muhammad menjadi yatim
piatu, penderitaan yang cukup berat bagi seoranga anak seusianya. Ummu Aiman,
sang budak kemudian membawa Rasulullah kembali ke Mekah.
Sebelum meninggal, Aminah membisiki sesuatu yang luar biasa bagi Muhammad
Saw. Beliau menyenandungkan syair yang pilu sekaligus menggetarkan, beliau
berpesan kepada buah hatinya. Bahwa jika benar isyarah yang diberikan Allah
Yang Maha Esa kepadanya, kelak sang anak akan menjadi panutan dan pemimpin
umat. Beliau, bunda mulia Aminah menyenandung kalimat yang menggugah anaknya
yang mulia Muhammad Saw. bahwa kelak ia akan menjadi penerus agama nenek
moyangnya Ibrahim As. Beliau juga mengatakan, “Setiap yang hidup pasti
mati, dan setiap yang baru pasti usang. Setiap orang yang tua akan binasa. Aku
pun akan wafat tapi sebutanku akan kekal. Aku telah meninggalkan kebaikan dan
melahirkan seorang bayi yang suci.”
Sayyidah Aminah dimakamkan di Abwa, sebuah tempat antara Madinah dan Juhfah.
Dibawah Asuhan
Kakek dan Pamanda
Nabi Muhammad Saw. kemudian dibawah asuhan kakeknya, yang sangat
mencintainya. Dan setiap melihat cucunya ini, beliau selalu teringat akan anak
tercintanya Abdullah. Keadaan Nabi Muhammad yang yatim piatu semenjak kecil
ini, menyadarkan kita, bahwa karena mengalami hal yag sedemikian sengsara telah
menyebabkan halusnya perasaan Muhammad Saw. Bagaimana rasa kasihnya terhadap
para yatim. Karena pilu yang juga pernah ia rasakan. Tak lama kemudian, sang
kakek tercinta juga tiada. Muhammad kemudia diasuh oleh pamandanya Ali bin Abi
Thalib Ra. yang mengasuhnya selayaknya anak sendiri. Abu Thalib, bukanlah
pamannya yang paling kaya, namun dari sekian pamannya yang paling bagus akhlak
dan paling halus perangainya. Maka Abdul Muthalib menyerahkan pengasuhan cucu
tersayangnya kepada Abu Thalib.
Dibawah asuhan Abu Thalib, suatu saat Muhammad muda menawarkan diri untuk
mengikuti Abu Thalib pamandanya berdagang ke Syam. Beberapa riwayat, dalam
perjalanan inilah beberapa petunjuk kenabian Muhammad sudah nampak terlihat.
Seperti pertemuan dengan rahib Bahira, yang sudah menerangkan tanda-tanda agung
kenabian dan memberi saran agar mereka tidak masuk terlalu kedalam negeri Syam.
Karena khawatir akan muslihat jahat kaum Yahudi jika mereka membaca tanda-tanda
kenabian Muhammad. Dari riwayat ini, dapat kita ketahui, bahwa sebenarnya baik
Nasrani maupun Yahudi, jika mereka mau jujur dalam mempelajari ajaran kitab dan
agamanya, maka akan gamblang sekali tanda kenabian Muhammad.
Dalam masa pengasuhan Abu Thalib pula Muhammad Saw. pernah memanggul
senjata sebelum kenabian. Tepatnya pada perang fijar, ketika mendampingi
pamannya. Perang ini disebut sebagai perang fijar, karena terjadi di
bulan-bulan suci. Sampai pada sebuah perjanjian Hilf Fudhul dirumah Ibn
Jud’an yang dihadiri Bani Zuhrah, Bani Taim dan Bani Hasyim, bahwa mereka akan
bersama menjaga Mekah. Dan bahwa pertolongan Tuhan akan datang pada mereka yang
teraniaya. Kaum-kaum ini bersepakat untuk melindungi Mekah dan tamunya.
Berdagang
ke Syam dan Menikahi Ummul Mukminin Termulia
Suatu ketika Abu Thalib mendengar bahwa janda kaya raya Mekah, Khadijah
akan memberangkatkan kafilah dagang ke Syam. Sedangkan kondisi keuangan
keluarga Abu Thalib yang tak kaya namun mempunyai banyak anak memerlukan
pertolongan segera. Segera saja Abu Thalib menyarankan kepada Muhammad untuk
turut serta mengikuti kafilah itu. Namun kepada Khadijah, Abu Thalib meminta
pengecualiaan. Jika orang lain diberi upah dua ekor anak unta, maka untuk
Muhammad tidak boleh kurang dari empat ekor anak unta. Demi melihat Muhammad
yang saat itu sudah terkenal ketampanan, kebaikan dan kehalusan budi pekerti
dan akhlaknya, Khadijah menyetujuinya.
Ditemani Maisarah, laki-laki kepercayaan Khadijah, Muhammad berangkat
berniaga ke Syam. Segera saja Maisarah terpikat dengan kemampuan berdagang
pemuda Bani Hasyim ini. Kejujurannya dalam berdagang, kelembutan dan sopan
santunnya, serta kefasihannya ketika berbincang dengan sesama, menjadikan
dagangan lebih cepat laku dan mendapat untung yang berlipat banyak dari
biasanya orang berdagang. Segera setelah mereka kembali ke Mekah, Maisarah
menceritakan hal tersebut kepada sang majikan, Khadijah. Khadijah yang sejak
awal memang sudah menaruh hati kepadanya, bertambah jatuh cinta dan terpesona kepad
pemuda pilihan itu.
Sampai pada suatu ketika perasaan yang dipendam itu diutarakan jugalah
kepada Nufaisah, sahabat dan kerabatnya. Dari Nufaisah pula yang bertugas
menjajagi kepada Muhammad. Ketika dirasa keinginan itu tidak bertepuk tangan,
bergembiralah Khadijah. Pada saat menikah dengan Muhammad yang berusia dua
puluh lima tahun, Khadijah berusia empat puluh tahun. Namun cinta mereka yang
suci tak bisa surut oleh apapun. Seringkali dikisahkan, bahwa cinta nabi agung
Muhammad Saw. kepada Khadijah kerap membuat istri lain, bahkan Aisyah cemburu.
Dan tentu hal itu wajar terjadi.
Khadijah, janda kaya raya dari keluarga terhormat dan bangsawan Mekah.
Bahkan orang terkaya di Mekah. Membantu perjuangan suci manusia mulia, Muhammad
Saw. Hingga suatu kali, karena tidak ada sesuatupun yang bisa dimakan, ketika
menyusui Fatimah, darahlah yang mengalir. Dan pada saat itu Khadijah menangis.
“Wahai Khadijah, apakah kau menyesal menikah denganku sehingga engkau
menangis?”. Tanya Rasulullah. “Tidak wahai suamiku tercinta, perjuangann sucimu
masih panjang, dan aku khawatir tidak akan menemui masa perjuanganmu yang berat
itu.” Kisah cinta mana yang lebih agung, dari seorang istri kaya raya yang rela
menderita demi sebuah perjuangan kebenaran?. Cerita cinta mana yang lebih
syahdu, dari perjuangan seorang perempuan, yang rela derajat kebangsawanan dan
kekayaanny hilang, demi perjuangan agama Tuhan?
Lalu, sejauh mana kita sudah mengenal nabi agung ini?. Kita kerap mengaku
cinta dan mengumbar klaim mahabbah, sejauh mana kita meneladaninya?.
Bukankah yang tak kenal tak akan pernah sayang?.
(Pernah dimuat sebagai editorial Majalah Al Fikrah Edisi 97/ Desember 2016)